Fly High! - Sepuluh

07:58

Fly High!



Sepuluh


Jia dan Oi berdiri di barisan paling depan dalam kerumunan yang sedang mengerubungi malajah dinding sekolah. Senin pagi pengumuman peserta audisi yang lolos untuk mengisi pentas seni ulang tahun sekolah sudah dipasang di majalah dinding sekolah. Karenanya, usai upacara bendera murid-murid peserta audisi menyerbu majalah dinding sekolah, termasuk Al dan Oi.

Al yang tak terlalu suka dengan keramaian sebenarnya mengajak Oi melihat pengumuman saat jam istirahat saja. Karena, jika setelah bubaran upacara pasti ramai. Tapi, Oi sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya. Saat upacara bendera usai, Oi mengajak Al langsung menuju majalah dinding sekolah. Jia turut bersama mereka.
Karena malas berdesak-desakan, Al menunggu di belakang kerumunan. Sedang Oi dan Jia rela berdesak-desakan hingga bisa mencapai barisan paling depan. Jia dan Oi membaca daftar nama peserta yang lolos dengan pelan.
“Kok nama kalian nggak ada?” Jia membaca ulang daftar peserta audisi yang lolos. “Eh, Eri lolos! Itu nomer lima belas. Kalian nggak lolos?”
“Alhamdulillah.” Oi tersenyum lebar. Ia pun tak menemukan Al & Oi dalam daftar peserta audisi yang lolos. “Ayo wes!” Ia mengajak Jia pergi.
“Gimana?” Sambut Al saat Oi dan Jia menghampirinya.
“Kita nggak lolos.” Jawab Oi dengan wajah dihiasi senyum.
“Alhamdulillah.” Al tersenyum lega.
Awakmu iki edan a rek?” Jia bingung melihat reaksi Al dan Oi. “Nggak lolos kok pada alhamdulillah.”
“Kalau lolos malah repot kan? Kalau nggak mau nampilin yang kemarin itu kudu nyari lagu lagi. Latihan lagi. Hafalan lagi. Ribet tau!” Oi merangkul Jia.
“Iya juga sih. Eh, Eri lolos lho.”
“Masa? Wah, nomer tujuh emang lucky number ya.” Al tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
“Padahal nurut aku bagusan penampilan kalian daripada Eri.” Jia mengungkapkan penilaiannya saat berjalan menuju kelas XI-IPA2. Ia berjalan di tengah, di antara Al dan Oi. “Eri tuh teriak, bukan nyanyi. Heran deh dia bisa lolos.”
“Tapi, dia bisa nyanyiin nada tingginya dengan baik lho.” Al menanggapi.
“Iya tahu. Tapi, itu tetep aja teriak namanya. Bukan nyanyi. Masa ntar dia mau nyanyi lagu itu juga?”
“Kita liat aja ntar.”
“Gimana? Lolos?” Sambut Nurul saat Al, Jia, dan Oi tiba di kelas. Ia sengaja menunggu di meja Oi.
“Lolos jadi penonton.” Jawab Oi.
“Lhah? Jadi nggak lolos?” Tanya Aning.
“Alhamdulillah nggak lolos.” Al tersenyum riang.
“Yah… nggak lolos?” Rifqi kecewa. “Padahal aku ngarep kalian lolos.”
“Eri yang lolos.” Oi mengabarkan jika Eri lolos audisi.
Moso??” Rifqi melotot tak percaya. “Padahal suaranya biasa aja. Nyanyinya juga ngotot. Nada nggak kuat dikuat-kuatin.”
“Kok umak tahu?” Tanya Fuad yang berdiri di samping Rifqi.
“Kan aku nginceng pas audisi. Kamu se ndak dateng.” Rifqi kembali memperhatikan Al dan Oi. “Kalian nggak lolos kok malah berseri-seri gitu mukanya? Seneng?”
“Iya lah. Nggak bisa bayangin tampil di panggung pentas seni yang tinggi dan besar.” Oi mengusuk kedua lengannya. Ia merinding hanya dengan membayangkan berada di atas panggung pentas seni ulang tahun sekolah.
Eri masuk ke dalam kelas. Tiara dan Nesya langsung menyambutnya dan memberi selamat. Murid-murid yang berkumpul di meja Oi turut memperhatikan. Eri dan ketiga temannya berbicara dengan keras. Lalu, mereka tertawa bersama-sama. Eri pun sesekali melirik ke bangku Oi.
Oi memiringkan kepala dan tersenyum melihat tingkah Eri. “Eri, selamat ya. Kamu lolos.” Ia pun memberi ucapan selamat dengan suara lantang.
“Kalian nggak lolos ya? Padahal pengenya maju bersama.” Eri menyunggingkan senyum. Mencibir Oi.
“Kita nggak bisa maju bersama. Kamu kan bukan pecinta udel dan plastik.”
Murid-murid yang berkumpul di sekitar meja Oi kompak tersenyum mendengar sindirian Oi untuk Eri.
“Bisa dong! Al kan suka Westlife. Kamu juga kan? Aku juga suka. Jadi, kita bisa maju bareng. Apa perlu aku bilang ke panitia kalau nanti aku tampil sebagai grup? Sama-sama penyuka lagu 90-an. Jadi, bisa maju bersama.”
“Nggak deh makasih. Kami malah seneng nggak lolos. Hilang deh beban di pundak. Rasanya lega banget.”
“Padahal udah syukuran ya. Sayang banget nggak lolos.”
“Syukuran bukan untuk merayakan lolos kok. Tapi, untuk merayakan kami. Comeback-nya mantan artis cilik kampung Welas ke panggung hiburan.” Oi membusungkan dada. Ia sama sekali tak terlihat sedih walau tak lolos dan diejek Eri. Bahkan, ia menyebutkan julukan masa lalunya bersama Al dan Gia; Artis Kampung Welas.
Dasar arek gendeng!” Eri mencibir lalu menghadap ke depan kelas. Memunggungi Oi dan teman-temannya.
Arwan masuk ke dalam kelas. Disusul guru yang akan memberi materi. Murid kelas XI-IPA2 pun segera membubarkan diri untuk duduk di bangku masing-masing.
***

Al, Oi, Aning, Jia, Nurul, Arwan, Rifqi, Fuad, dan Yani berkumpul di kantin untuk makan siang bersama saat jam istirahat. Mereka sengaja berkumpul mendekati jam istirahat berakhir karena menghindari antrian padat. Mereka duduk berkumpul di meja yang letaknya berada di ujung paling timur di dalam kantin.

“Wan, gimana ceritanya Eri bisa lolos?” Rifqi yang merasa keputusan dewan juri tidak adil merasa penasaran.
“Anak pandai yang dekat dengan beberapa guru. Prestasi di ekskul juga lumayan. Nilai plus katanya.” Jawab Arwan.
“Sudah kuduga. Padahal suaranya biasa aja.” Jia masih kesal karena Al dan Oi tidak lolos.
“Katanya nyari yang sempurna. Kalau gini, apanya yang sempurna?” Rifqi pun sama kesalnya.
“Sempurna berdasarkan penilaian manusia itu relatif. Sempurna nurut kita, belum tentu sempurna nurut orang lain, kan?” Al ngimbrung dalam obrolan.
“Iya juga sih.” Rifqi membenarkan pendapat Al.
“Itu sempat jajak pendapat lho!” Ujar Arwan.
“Jajak pendapat?” Oi memiringkan kepala. Merasa tak paham.
“Iya. Jadi, waktu jajak pendapat buat nentuin siapa aja peserta yang lolos, Pak Iskandar memperjuangkan Al sama Oi buat lolos. Menurut beliau penampilan Al dan Oi unik. Pak Pri juga mendukung. Tapi, kalah suara aja.”
“Itu diskusi namanya. Bukan jajak pendapat.” Oi meralat pemilihan kata yang digunakan Arwan.
Yo wes apalah itu. Pokoknya rundingan buat nentuin peserta yang lolos. Nilai Al dan Oi juga beda tipis sama Eri. Tapi, kalah voting. Jadi, sebenernya kalau banyak yang milih Al dan Oi, mereka udah pasti lolos. Selisihnya satu suara aja.”
Beti ya. Beda tipis. Tapi, harusnya kalau nilai udah masuk kategori untuk lolos kan bisa lolos.” Nurul menyesalkan penyebab Al dan Oi tidak lolos audisi.
“Ada yang langsung dilolosin karena nilainya emang memenuhi syarat lolos. Tapi, ada yang butuh untuk dirundingkan kayak kasus Al dan Oi.”
“Apa emang satu kelas wakilnya satu aja?” Tanya Jia.
“Nggak deh kayaknya. Kalau ada target gitu, tiap kelas jadi wajib dong ngirim perwakilan buat ikutan audisi. Ini kan bebas. Siapa aja boleh ikut asal memenuhi syarat audisi.” Oi menjawab pertanyaan Jia.
“Mungkin jurinya puyeng karena nggak ngerti bahasa India dan Korea.” Sahut Aning asal-asalan.
“Hahaha. Iya bisa jadi.” Jia membenarkan.
“Kalau dipikir-pikir, pendapat Mey Eonni bener juga.” Oi seolah bergumam pada dirinya sendiri.
“Apa pendapatnya?” Nurul penasaran.
“Kalau nyanyi pakek lirik asing, spelling-nya susah kalau kudu sama persis kayak spelling aslinya. Karena kita belajar otodidak dari lagu yang kita dengar. Tapi, kalau kita bisa nyanyi dengan nada yang tepat dan meresapi lagunya, pesan lagu pasti bisa tersampaikan. Menyentuh hati pendengarnya. Apa kami kurang meresapi saat nyanyi ya? Walau nggak ngerti liriknya, kalau kami nyanyinya meresapi kan bisa nyentuh hati dewan juri yang dengerin kami nyanyi.”
“Bisa jadi. Tapi, kata Arwan nilai kalian beda tipis sama nilai Eri. Jadi, sebenernya juri terkesan dong sama penampilan kalian.”
“Kalian harusnya bikin sajen dan minta bantuan dukun biar bisa lolos.” Celetuk Rifqi. Membuat teman-temanya tertawa dan beberapa mengoloknya.
***

“Nggak papa. Yang penting kalian udah berusaha dan memberikan penampilan yang terbaik.” Meyra tersenyum tulus. Ia tak terlihat terkejut ketika mendengar kabar tidak lolosnya Al dan Oi dari Al.

“Mey Eonni udah tahu ya kalau kami nggak bakalan lolos? Kayaknya nggak kaget gitu tahu kami nggak lolos.” Oi penasaran.
“Ajaib namanya kalau kalian langsung lolos pada percobaan pertama. Kecuali kelas kalian emang udah sekelas artis ibukota Malang.”
“Dih! Ibukota Malang.” Al mencibir.
“Aku tahu kalian udah latihan keras. Menurutku penampilan kalian pun udah bagus. Mengingat ini pertama kalinya kalian balik naik panggung setelah vakum lama. Bukan hal aneh kalau kalian nggak lolos. Walau hanya dalam lingkup SMA Wijaya Kusuma, tapi ada berapa murid di sana? Seribu? Bahkan mungkin lebih. Dari seribu itu berapa murid yang berbakat. Pasti tidak sedikit. Dibanding mereka yang benar-benar serius mempersiapkan untuk audisi, kalian nggak ada apa-apanya.”
“Iya juga sih.” Oi membenarkan pendapat Meyra. “Jujur perasaan Eonni gimana?”
“Munafik kalau aku bilang aku nggak ngarep kalian lolos. Tentu aja aku ngarep kalian lolos dan nunjukin ke Eri kalau si pecinta udel dan plastik ini punya bakat. Bukan sekedar fans biasa. Tapi, aku cukup tahu diri. Mengingat kalian vakum lama. Trus, kurangnya persiapan juga.”
“Pasti Mbak Mey udah yakin dari awal kalau kami nggak bakalan lolos.” Al menebak.
“Pemikiran itu ada. Tapi, nggak salah kan kalau aku berpikir positif dan ngarep kalian lolos? Aku udah nembung omongan ke Ryo. Minta tolong buat bikin instrumen buat kalian kalau kalian lolos. Karena kalian nggak lolos, aku bisa ngirit pengeluaran jadinya.”
“Maaf ya Eonni. Kami selalu merepotkan.”
“Baru nyadar ya?”
Al dan Oi tersenyum malu.
“Videonya aku unggah ya. Ke Youtube sama Facebook. Ntar di IG juga.”
“Emang nggak malu-maluin apa?” Al memanyunkan bibir.
“Udah biasa malu-maluin kan?”
“Itu kan Mbak Mey. Kami nggak.”
“Nggak salah?”
Ketiga gadis yang sedang berkumpul di kamar Meyra itu pun tertawa bersama.
“Videonya udah di edit Eonni?” Tanya Oi.
“Sedikit lagi. Ntar kalau udah aku unggah, share ya.” Pinta Meyra.
“Siap! 86!” Oi ala-ala anggota polisi.
“Kalian masih sebel sama Eri? Karena dia lolos?”
“Dia tiap hari nyebelin Eonni. Kalau masalah dia lolos mah do amat!” Jawab Oi.
“Al?”
“Sama kayak Oi. Tapi, aku masih sakit hati gara-gara dia ngatain Mbak Mey.”
Meyra tersenyum. “Cuekin aja. Toh ini bukan yang pertama, kan?”
“Makanya Eonni nikah sana! Biar nggak diledekin mulu.” Oi bercanda seperti tempo hari jika mendengar Meyra diolok karena tak kunjung menikah.
“Kan udah nikah ama Mas Jeje. Orang-orang aja yang nggak tahu.”
“Hadeh! Nikah beneran Eonni!” Oi memutar kedua bola matanya.
Meyra diam sejenak dan berpikir. “Sama kayak mati dan rezeki, jodoh itu rahasia Tuhan. Sekarang aku hanya menjalani dan menikmati hidup. Selebihnya, ngikut apa kata Tuhan.”
Sejenak suasana berubah hening di dalam kamar Meyra.
“Kalau nikah hanya buat kita sakit, ngenes, ya mending nggak. Ya, kan? Tapi, kalau Tuhan ngasih rezeki buat nikah. Saat tiba waktunya, aku pasti nikah.”
“Iya juga sih. Lagian kalau nurutin omongan orang, nggak bakalan tenang idup kita.” Oi tersenyum pada Meyra.
“Nah, udah tahu gitu. Yang penting, bahagiain diri kalian dulu. Lalu, orang tua kalian. Lainnya mah belakangan aja.”
Al dan Oi kompak tersenyum mendengarnya.
“Hidup bisa santai dan enjoy kayak Eonni tuh bikin ngiri.”
“Kok demennya ngiri mulu. Sekali-kali nganan napa?”
“Hahaha. Iya ya. Jangan ke kiri mulu. Sekali-kali ke kanan.” Oi tergelak.
“Semua itu butuh proses. Kalian udah tahu kan gimana aku sebelum aku sampai di titik ini?”
Al dan Oi terdiam. Menatap iba pada Meyra.
“Untuk kalian, kehidupan baru dimulai. Jalan kalian masih panjang. Jalani dan nikmati. Nggak ada jalan yang mulus. Jalan tol aja kadang masih terasa gronjal-gronjal. Tapi, jangan pernah takut. Ada Tuhan bersama kita. Kalau kata Mbah Sujiwo Tejo, Tuhan Maha Asik. Itu beneran. Asal kitanya asik, Tuhan pun pasti asik. Yang penting, jangan lelah untuk berusaha dan berdoa. Selebihnya, serahin pada Tuhan.”
“Aku merasa beruntung bisa kenal dan deket sama Mey Eonni. Dulu aku sering berpikir, beruntung banget Al punya kakak kayak Mey Eonni. Nggak kayak aku, di rumah laki semua. Aku yang bungsu sering jadi bahan bullyan mas-masku.”
“Itu tanda sayang lho!” Meyra menghibur. “I feel you as anak bungsu.”
“Bungsu atau sulung, tengah sama aja. Tergantung gimana kita nikmatinya. Ya kan, Mbak?” Al menghibur Oi.
“Betul!” Meyra sembari menuding Al.
“Aku juga sering berpikir, enak banget jadi Oi. Anak bungsu, berkecukupan. Mau apa tinggal minta.”
“Semua itu sawang sinawang. Dan, seringnya rumput tetangga tampak lebih hijau. Boleh sesekali kita mendongak. Tapi, yang terbaik adalah banyak menunduk dan merenung. Itu akan membuat kita lebih banyak bersyukur atas keadaan kita. Just enjoy your life, girls. And be yourself!” Meyra menghibur Al dan Oi.
“Boleh peluk Eonni nggak?” Tanya Oi.
Meyra pun membuka lebar kedua tangannya. Oi segera maju dan memeluk Meyra.
Gomawo[1], Eonni.” Bisik Oi.
Al tersenyum menatap Meyra dan Oi yang berpelukan. “Dasar lesbian pecinta udel dan plastik.” Ia memotret Meyra dan Oi yang sedang berpelukan. “Aku unggah foto kalian, lesbi!”
“Unggah aja! Do amat!” Oi tidak peduli pada ancaman Al. Membuat Al menatapnya kesal. Sedang Meyra, tertawa melihat tingkah kedua adiknya.
***

Tidak ada yang berubah tentang Eri. Ia masih gemar mengolok Al dan Oi. Bahkan, ia semakin congkak setelah berhasil lolos audisi. Ia merasa menang dan lebih unggul dari Al dan Oi. Oi tak ambil pusing. Ia pun meminta Al cuek.

“Kamu tahu nggak apa yang bikin bunga bisa tumbuh subur dan berbunga indah? Pupuk, kan? Pupuk ya ng paling murah apa? Tai, kan? Anggep aja Eri tuh tai yang jadi pupuk kita tanaman bunga. Nanti, kita pasti akan tumbuh subur dan berbunga indah.” Oi saat berdua saja dengan Al.
“Kasar banget sih. Masa Eri disamain sama tai.” Al memprotes. “Emang kamu mau disamain sama tai? Udah bau, nggak ada yang mau lagi.”
“Hahaha. Kalau aku mah bukan tai. Tapi, bunga bangkai. Cantik dan elegan, tapi sulit buat dideketin. Karena baunya. Tapi, justru bau itu yang menarik perhatian.”
Sak karepmu Oi!”
Ponsel Oi dan Al sama-sama bergetar. Keduanya pun langsung mengeceknya. Pesan dari Meyra. Berisi sebuah tautan dari Youtube dan Facebook.
“Eh, udah di upload!” Oi antusias.
“Kayaknya iya.” Al yang sedang menatap ponselnya pun bereaksi sama. Keduanya pun segera membuka tautan yang dikirim Meyra.
Benar dugaan Al dan Oi, Meyra sudah mengunggah video penampilan mereka saat mengikuti audisi di akun Facebook dan kanal Youtube-nya.

Gara-gara dikatain pecinta plastik dan udel, dua cewek ini ikutan audisi bawain lagu Korea dan India (dua lol emoticon)
Sayang belum beruntung (cry emoticon)
Tetep semangat ya dongsaeng-dongsaeng[2] nya eonni (dua kiss emoticon)
I’m proud of both of you (love emoticon)
Akhirnya kalian comeback juga setelah vakum hampir 5 tahun (smile emoticon)
Kapan nih trio AOG bisa comeback sama-sama lagi?
#coversing #kpop #hallyuwood #bollywood #wannaone #blackpink #energetic #whistle #jeenajeena #AtifAslam #badlapur

Caption-nya Mey Eonni random, tapi bikin baper.” Oi usai membaca tulisan yang menyertai unggahan video penampilannya dan Al di Facebook. “Apa perlu kita mention Gia?”
“Boleh. Eh! Ini kita bertiga di mention di komentar.” Al menuding layar ponsel di tangan kanannya.
“Kita share ya videonya. Kamu juga. Jangan malu. Biarin aja kalau Eri baca. Kamu bertemen kan sama dia di Facebook?
“Iya.”
“Aku nggak. Hahaha. Aku bagiin ke yang lain juga ah.” Oi pun membagikan tautan yang dikirim Meyra pada nomer teman-teman sekelasnya yang ia simpan.
“Kalau kamu share videonya, apa Eri bakalan tahu ya?” Oi penasaran.
“Penasaran banget sih umak!”
“Pengen tahu reaksinya. Caption-nya Mey Eonni kan jelas banget nyindir dia. Sengaja apa gimana si eonni tuh? Harusnya kita di tag aja ya. Bukan di mention di komentar kayak gini.”
“Kan kamu tahu Mbak Mey itu kadang merasa nggak enak kalau tag. Katanya, ya kalau yang di tag suka, kalau nggak suka dan merasa terganggu kan nggak enak.”
“Tapi, ini kita. Mey Eonni lebay ah.”
“Eh, di kelas pada heboh karena video kalian.” Jia menghampiri Al dan Oi yang duduk di depan perpustakaan. Ia datang bersama Nurul. “Caption-nya lho aku suka!” Ia duduk di bangku di kosong di depan tempat Al dan Oi duduk.
“Iya. Nampar banget. Semoga Eri baca.” Nurul duduk di samping kanan Jia.
Full version-nya di Youtube ya.” Oi memberi tahu.
“Itu kan udah full?” Komentar Jia.
Full performance. Kalau yang di Youtube, ada komentar juri dari awal sampai akhir.”
“Ntar deh pulang sekolah sempetin nonton dulu. Hehehe.”
“Dasar pemburu wifi!” Oi mengolok Jia.
“Biarin!” Jia menjulurkan lidah, membalas olokan Oi.
***

Wong edan! Caption-nya sengaja nyindir aku!” Eri yang berada di UKS usai jam sekolah selesai kesal. Ia tahu perihal postingan Meyra yang dibagikan Al dan Oi dari Neysa. Saat di kelas, ia sengaja cuek. Pura-pura tak peduli. Tapi, saat berada di UKS bersama Diana, ia meluapkan kekesalannya.

“Tapi, itu kenyataannya kan Er? Untung aja nggak ditulis, gara-gara kesal kakaknya dikataian perawan tua, dua cewek ini nantangin temannya yang suka ngejek ikutan audisi, mereka bawain lagu Korea dan India saat audisi. Sayang belum beruntung.” Diana menggoda Eri.
“Sialan kamu!”
Diana terkekeh. “Kamu udah nonton videonya? Bagus ya ternyata penampilan Al dan Oi. Gitu kok bisa nggak lolos audisi ya?”
“Trus, aku nggak bagus gitu? Dan, kenapa aku yang lolos audisi? Aku nggak KKN atau nyuap juri. Aku juga kaget waktu tahu lolos!”
“Sensi amat sih. Kamu juga bagus waktu audisi. Rezeki kamu kan berarti? Bisa tampil di puncak HUT sekolah.”
“Awalnya seneng, tapi sekarang rasanya jadi beban. Berdiri sendiri di tengah panggung megah di lapangan basket. Sial bener sih aku!”
“Itu kenapa kamu ngajakin Al dan Oi gabung? Jangan-jangan emang kamu beneran pengen mereka gabung.”
“Itu aku sengaja buat ngolok mereka. Tapi, dipikir-pikir, emang lebih baik ada temen daripada sendirian. Walau males ngakuin, emang penampilan Al sama Oi bagus. Bahkan, lebih santai dan lebih ekspresif dari aku.”
“Ciee… nonton videonya juga nih?”
“Penasaran aja. Kok di kelas heboh banget.”
“Kalau emang mau mereka bantuin kamu buat tampil ntar, lamar lagi dong. Dengan lebih tulus.”
“Males” Lalu, Eri terkejut karena melihat Al dan Oi memasuki UKS.
Al dan Oi tak berdua saja. Bersama Aning, mereka menggendong seorang siswi yang tak sadarkan diri. Aning juga bergabung PMR saat kelas X. Namun, hanya sampai diklat mendapat scraf pertama saja ia aktif. Setelah mendapatkan scraf pertamanya, ia vakum hingga kini. Karena itu Aning tahu bagaimana memberikan pertolongan pertama pada korban pingsan.
Usai menidurkan siswi yang tak sadarkan diri di atas salah satu ranjang di dalam UKS, dengan cekatan Al, Oi, dan Aning melakukan pertolongan pertama. Aning membuka sepatu sebelah kiri dan Oi sebelah kanan. Sedang Al segera mengendorkan dasi, kerah baju, dan sabuk yang dikenakan siswi itu. Lalu dengan cekatan mengambil minyak kayu putih dalam tas obat di dalam tasnya, dan mengolesi kening sisi kanan dan kiri siswi pingsan. Berlanjut pada bawah hidung dan perut. Lalu, ia mendekatkan botol minyak kayu putih berukuran kecil itu ke hidung siswi yang tak sadarkan diri.
Eri dan Diana terpaku di tempatnya berdiri. Menatap Al, Oi, dan Aning yang sibuk merawat siswi tak sadarkan diri di ranjang yang paling dekat dengan pintu masuk.
“Ada apa ini?” Angga, ketua PMR saat ini keluar dari ruang bagian dalam UKS.
“Tiba-tiba pingsan di depan kantor guru.” Jawab Oi. “Kelas X kayaknya.”
“Wah. Kenapa ya?” Tanya Angga, gadis berambut lurus sepanjang di bawah telinga itu.
“Tau nih. Pucet banget mukanya.”
“Dia mulai sadar nih.” Al dengan suara lirih.
Semua yang berada di dalam UKS memfokuskan pandangan pada siswi yang tak sadarkan diri. Angga bergerak mendekati ranjang. Berdiri di samping kanan Al. Turut menunggu siswi itu benar-benar sadar. Eri dan Diana masih bertahan di tempatnya. Berdiri di dekat ranjang paling timur. Setelah siswi itu benar-benar sadar, Angga bertanya apa yang ia rasakan hingga pingsan.
“Oh dilepen[3] tho.” Komentar Angga setelah mendengar penjelasan siswi kelas X itu. Siswi itu pingsan karena tak tahan sakit dari nyeri haid yang dia alami. “Bentar tak ambilin obat.”
“Di aku ada!” Al sibuk memeriksa isi tas obatnya, lalu memberikan satu buah pil pada adik kelasnya yang baru sadar. Tak hanya pil, Al juga memberikan botol air mineral miliknya pada adik kelasnya itu.
“Lekas diminum. Inshaa ALLOH lima belas menit udah bereaksi dan sakitnya ilang.” Al tersenyum tulus.
“Makasih, Kak.” Siswi itu pun segera meminum pil pemberian Al dengan air mineral yang juga ia dapat dari Al.
“Masih jadi apotek berjalan kamu ya.” Angga menepuk lengan Al. Keduanya satu kelas saat kelas X. Tentu saja Angga tahu tentang julukan apotek berjalan yang disematkan pada Al.
“Ajaran Mbak Mey. Ternyata banyak manfaatnya.”
Mendengar nama Meyra disebut, jantung Eri seolah terjun bebas ke lantai. Ia heran dengan reaksi berlebihannya itu.
“Dulu anak PMR juga kan?”
“Yo’i. Itu kenapa Al ngajakin aku gabung PMR. Mau kayak Mey Eonni katanya.” Oi yang menjawab pertanyaan Angga.
“Bukannya kamu yang ngomong gitu Oi?” Al menegur Oi yang memutar balikan fakta. Oi hanya tergelak menanggapinya. “Aku tinggal ya, Ngga. Kan udah ada kamu, Eri, dan Diana di sini.”
“Oke. Makasih ya Al. Kalau ada kamu, obat di UKS bisa awet.” Angga menepuk pundak kanan Al.
“Irit anggaran kan jadinya.”
“Bisa aja kamu.”
Eri menatap Al dan Oi yang pergi meninggalkan UKS bersama Aning. Di luar UKS, Jia dan Nurul menunggu. Lima gadis itu pun pulang bersama. Pintu dan tembok bagian depan UKS terbuat dari kaca. Jika kelambunya di buka seluruhnya seperti sekarang, tentu saja pemandangan di luar ruangan bisa terlihat jelas dari dalam ruangan. Eri masih menatap Al dan gengnya yang berjalan menjauh.
“Kalau semua murid mandiri kayak Al, enak kita ya. UKS nggak usah sediain obat.” Ujar Angga. Suaranya membawa fokus Eri kembali. Gadis itu mengalihkan pandangan padanya.
“Kenapa Al dipanggil apotek berjalan?” Tanya Diana.
“Diana nggak satu kelas sih ya waktu kelas X. Itu karena Al selalu bawa obat di tasnya. Obat yang penting ada semua. Jadi, kalau temen-temen di kelas sakit tinggal minta ke dia. Nggak minta ke UKS. Sejak tau Al selalu bawa obat, Guntur, ketua kelas kami kasih dia julukan apotek berjalan. Semua jadi ikutan manggil kayak gitu.”
“Oh. Trus, apa maksudnya ajaran Mbak Mey?”
“Katanya, itu Mbak Meyra yang nyuruh dia bawa tas obat ke sekolah. Mbak Meyra dulu juga anggota PMR. Tahun berapa ya… sekitar 2002-2003 gitu.”
“Udah lama banget ya. Pernah ke sini dia?”
“Nggak pernah. Aku pernah ketemu sekali. Pas kelas X ikutan main ke rumah Al. Cantik lho orangnya. Walau katakan udah berumur, tapi mukanya masih muda. Andai disuruh pakek seragam SMA kayak kita, masih pantes lah.”
Moso?”
“Iya. Beneran. Cari aja di FB ku ada. Aku temenan sama dia di FB.”
“Jadi penasaran. Ntar deh aku kepoin. Kan tadi Al bagiin postingan dia tuh. Di kelas jadi pada heboh.”
“Postingan apaan? Aku belum cek FB.”
“Video Al sama Oi saat audisi.”
“Iya? Wah, bentar aku cek FB ku.”
Eri yang duduk di tepi ranjang paling timur hanya diam. Menyimak obrolan Angga dan Diana. Muncul rasa aneh di dalam dirinya. Tiba-tiba ia penasaran pada sosok Meyra. Ia meraih ponselnya. Diam-diam mengintip akun Facebook milik Meyra. Ia mendapatkan tautan yang dibagikan Oi dari Neysa. Dari tautan itu dia mengintip akun Facebook Meyra. Karena Meyra tak menggunakan foto asli, Eri harus mencari foto asli Meyra.
Eri menjadi teman sekelas Al dan Oi sejak kelas X. Ia tahu perihal kakak Al yang masih single dari gosipan teman-teman satu gengnya saat kelas X. Salah satu anggota gengnya tinggal satu kampung dengan Al dan Oi. Dari temannya itu Eri tahu tentang Meyra yang sering disebut Oi dengan panggilan Meyra Eonni.
Eri menemukan foto asli Meyra dalam album foto profil. Cantik. Dalam hati ia memuji jika Meyra cantik. Setelahnya, ia pun membenarkan pendapat Angga yang mengatakan Meyra terlihat lebih muda dari umurnya.
Aku udah salah sama mbak ini. Apa aku harus minta maaf? Nggak ah! Ngapain minta maaf. Tapi, gimana kalau Al-Oi cerita soal aku ngatain dia perawan tua? Buat apa sih minta maaf? Toh nggak bakalan ketemu juga. Eri bergumam dalam hati, lalu buru-buru menghentikan aktivitasnya yang sedang mengintip akun Facebook Meyra.
***

“Sumpah tadi aku liat tuh Eri kayak kaget gitu waktu kamu masuk UKS. Keliatan dari luar. Jelas keliatan.” Jia yang sedang berjalan menuju terminal bersama Aning, Nurul, Al, dan Oi ngotot. Ia yakin Eri terkejut ketika Al dan Oi masuk ke dalam UKS. “Jangan-jangan dia lagi ngomongin kalian.”

“Wajar dong. Hari ini aku bagiin link video ke teman-teman sekelas di WhatsApp, termasuk Neysa. Pasti Nyesa kasih tahu Eri soal link itu. Jadinya nggak heran kalau tadi di UKS dia sama Diana ngomongin kami.” Oi tidak terkejut dengan dugaan Jia.
“Dia itu katanya anggota PMR paling pinter. Sering ikutan lomba juga. Tapi, liat ada anak pingsan kok malah diem aja. Pinter beneran apa nggak sih dia?” Nurul yang juga mengamati tingkah Eri dari luar ruang UKS turut berkomentar.
“Kan udah ada Al, Oi, dan Aning. Bos ya nonton aja. Kalau anak buahnya nggak bener baru deh ditegur.” Ujar Jia.
“Bosnya kan Angga.”
“Eri itu wakil ketua.”
Moso? Maklum aku bukan anak PMR. Jadi nggak tahu.”
“Aku yo bukan anak PMR. Tapi, tahu.”
“Kepomu luar biasa. Jadinya tahu apa aja.”
“Nggak yo!”
Al dan Oi kompak tersenyum melihat Jia dan Nurul yang berjalan di depannya cek-cok.
“Tadi Aning juga cekatan banget nolongin korban. Aku kaget liatnya.” Nurul berganti mengomentari Aning.
“Aning dulu juga anak PMR.”
“Lho kan Jia tahu aja. Emang kayak tim buser ini anak. Tahu apa aja.”
“Hahaha.” Jia tergelak. “Aku udah bagiin video kalian yang di FB Mbak Mey. Kalau ntar video kalian viral gimana? Biasanya di FB kalau banyak dibagiin kan jadi viral.”
“Nggak mungkin lah. Udah banyak video cover sing macem gitu. Bahkan lebih bagus dari video kami.” Oi menyangkal. Baginya tidak mungkin video penampilannya akan viral di Facebook.
“Bisa aja lah Oi. Asal banyak yang bagiin, banyak yang omongin, pasti viral.” Aning merasa mungkin saja video penampilan Al dan Oi jadi viral.
The power of netizen ya. Kalau sampai viral, Al dan Oi bakalan terkenal.” Nurul mengungkapkan hal pasti yang akan terjadi jika video Al dan Oi sampai viral di Facebook.
“Aku bergidik lho bayangin komentar netizen. Apa lagi caption Mbak Mey kan bisa mengundang war.” Al mengusuk kedua lengannya.
“Iya. Pasti ada pro dan kontra. Seru pasti.” Jia setuju. “Ntar aku mau komen kasih tahu siapa yang ngatain pecinta plastik dan udel.”
“Jahat kamu!” Nurul menegur.
“Biarin. Eri nggak bisa dibaikin.”
“Jangan lah. Kasian Eri kalau jadi korban teror netizen.” Al meminta Jia membatalkan niatnya.
“Aku doain video kalian viral. Aamiin.” Aning mengungkap harapan dengan tulus.
“Aamiin.” Nurul mengamini.
“Aamiin.” Jia turut mengamini. “Aku bakal memantau komentar netizen. Hehehe.”
“Dasar tukang kepo!” Nurul mengolok Jia.
Al dan Oi hanya diam. Keduanya sama-sama merasa merinding hanya dengan membayangkan video mereka menjadi viral di Facebook.
Semoga aja nggak sampai viral. Al mengucap harapannya dalam hati.
Viral pun nggak papa. Tapi, ngeri juga kalau ada komentar jahat. Duh. Oi pun merasa gundah.
***


[1] Terima kasih dalam bahasa Korea
[2] Adik dalam bahasa Korea
[3] Nyeri haid
 


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews