Fan Fiction FF

Majimak Insa (Last Farewell)

04:09


Majimak Insa (Last Farewell)




Annyeong. Apa kabarmu hari ini? Maaf aku terlambat. Hari ini aku datang membawa berita bagus. Kupu-kupu Hitam sudah terbit. Maaf ya. Harus menunggu begini lama untuk bisa menerbitkan kisah gadis pembawa pesan kematian itu. Aku membawakan satu untukmu. Lihat! Cantik kan? Semoga kau menyukainya.

Ia membuka pintu yang terbuat kaca pada lemari tempat penyimpanan abu jenazah itu. Ia meletakan buku berwarna putih, bergambar kupu-kupu hitam yang sedang hinggap di jari telunjuk seorang gadis di dekat guci tempat abu jenazah disimpan. Ia tersenyum dan menutup pintu kaca tempat penyimpanan abu jenazah.

Sesuai permintaanmu, kan? Aku harap tidak akan menimbulkan kontroversi. Tapi, aku sudah menjelaskan jika cover buku itu memang terinspirasi dari Jigokuchō dalam anime Bleach. Seperti yang kau inginkan, kisah gadis pembawa pesan kematian itu akan abadi kini. Jadi, beristirahatlah dengan tenang. Dan, tolong doakan aku dari sana. Agar aku bisa menjalankan sisa tugas yang kau tinggalkan untukku.

***


— Sebelum Kupu-kupu Hitam resmi diterbitkan —


Suasana sangat ramai di toko elektronik itu. Para karyawan sibuk melayani pembeli. Menawarkan barang-barang elektronik dan menjelaskan spesifikasinya kepada pelanggan. Kwon So Ryeon yang berstatus sebagai karyawan pun sama. Ia sedang meladeni dua wanita yang bertanya tentang sebuah televisi layar datar yang baru saja dirilis kemarin.

So Ryeon menyalakan televisi sambil menjelaskan spesifikasinya. Kemudian ia menyerahkan remote pada salah satu wanita yang menjadi pelanggannya. Meminta wanita itu untuk mencoba mengubah channel televisi.

Wanita itu memencet remote berulang kali. Lalu berhenti pada salah satu channel televisi yang sedang menayangkan siaran berita. “Kasihan sekali ya. Padahal dia masih muda.” Ujar wanita itu.

“Iya. Kecelakaan itu sangat parah. Apa dia berkendara saat mabuk?” Wanita lainnya ikut berkomentar sembari menonton tayangan di televisi berukuran 29 inch itu.

So Ryeon yang ikut menonton televisi menarik senyum yang sebelumnya terkembang di wajahnya. Gadis dengan rambut sebahu yang dikuncir ekor kuda itu mengerutkan kening. Masih menatap layar televisi yang menayangkan berita seorang anak konglomerat yang mengalami kecelakaan dini hari tadi. Foto pemuda tampan itu terpampang di televisi. Kedua mata bulat So Ryeon menyipit ketika mengamati foto itu.

Dia akan mati!

So Ryeon tersentak kaget ketika suara itu terdengar dekat di telinganya. Tubuhnya sampai terhuyung ke belakang. Namun, ia merasakan seseorang menangkap tubuhnya.

So Ryeon mengangkat kepala, menoleh untuk melihat siapakah yang menangkap tubuhnya yang sempat oleng. Pemuda tampan itu tersenyum. Mata coklatnya memberi tatapan teduh.

“Apa dia akan pergi?” Pemuda itu menggerakan kepala, menunjuk televisi. Ia tak menopang tubuh So Reyon lagi. Tapi, lebih tepatnya mendekap gadis itu dari belakang. Kepalanya pun bersandar di pundak So Ryeon.

So Ryeon mengangguk. Lalu, melepaskan diri dari dekapan pemuda tampan yang memakai kostum serba putih itu; jas yang membungkus kemeja putih serta celana dan sepatu dengan warna senada.

Pemuda itu mendesah, lalu memiringkan kepala. “Bagaimana ya? Masa iya kita harus menyampaikan pesan itu pada keluarganya? Tapi melihat kondisinya, aku rasa keluarganya pasti sudah tahu kalau harapan hidupnya tipis.”

“Tidak semua pesan harus disampaikan. Bisa-bisa kita dianggap pengacau.” Jawab So Ryeon dengan hati-hati. Kedua matanya mengamati sekitar. Khawatir ada yang memperhatikan adegan ia didekap dari belakang. Lalu, ia teringat pada dua pelanggan yang sebelumnya ia layani.

“Kita pergi!” Tangan pemuda itu memegang lengan So Ryeon saat gadis itu hendak melangkahkan kakinya.

“Tapi, saya masih bekerja.” Tolak So Ryeon.

Pemuda itu mengangkat tangan kanannya. Salah satu karyawan perempuan mendekatinya. “Gantikan tugasnya!” Perintahnya pada karyawan itu.

“Baik.” Jawab karyawan itu dengan sopan. Ia lalu tersenyum dan mengerlingkan mata pada So Ryeon.

“Kita pergi. Temani aku! Kita makan siang bersama.” Pemuda itu menggandeng tangan So Ryeon dan menyeretnya pergi.

So Ryeon menatap rekan yang menggantikan tugasnya. Ia merasa sungkan pada rekannya itu. Tapi, gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan pada So Ryeon sambil berucap, “Selamat bersenang-senang,” tanpa bersuara.

So Ryeon yang merasa sungkan pada rekannya hanya bisa pasrah ketika Seo Kang Joon yang tak lain adalah pemilik toko elektronik maha besar tempatnya bekerja membawanya pergi. Ia menundukkan kepala ketika berjalan melewati rekan-rekannya yang lain.

Kang Joon berhenti di depan ruang karyawan. “Ganti bajumu sana!” Ia mendorong So Ryeon masuk. Lalu tersenyum manis. Mengabaikan ekspresi protes So Ryeon.

***


So Ryeon diam sejak ia duduk di samping kanan Kang Joon yang sedang mengemudi. Ia melamun.

“Ryeon-aa, kamu baik saja?” Tanya Kang Joon.

“Mm.” So Ryeon menganggukan kepala.

“Masih kepikiran anak konglomerat itu?”

So Ryeon mendesah. “Bagaimana aku bisa tak memikirkannya? Setiap pesan kematian itu sampai ke telingaku, aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya. Walau berusaha aku abaikan, tetap saja menghantuiku.”

Kang Joon menatap iba So Ryeon. Ia tahu apa yang di alami So Ryeon bukanlah hal ringan yang bisa diabaikan begitu saja. Mendapat pesan kematian seseorang sebelum kematian itu sendiri terjadi tentu saja menjadi beban berat bagi So Ryeon. Ia selalu meminta So Ryeon untuk tak memikirkan hal itu. Tapi, tentu saja So Ryeon tak bisa melakukannya.

“Saat itu, apa kamu juga merasa seperti ini?” Kang Joon kembali bicara. “Saat kamu melihat foto mendiang nenekku.”

So Ryeon tersenyum lesu. “Bukan hanya pada mendiang nenek Oppa. Tapi, pada semuanya. Rasanya semakin berat ketika orang itu adalah orang yang aku kenal atau setidaknya aku tahu walau aku tidak mengenalnya.”

Kang Joon turut tersenyum. “Tuhan mempertemukan kita karena pesan kematian itu. Unik ya?”

So Ryeon menoleh, mengamati Kang Joon yang fokus di balik kemudi. “Oppa menyesalinya?”

Kang Joon tersenyum dan menggeleng. “Jika Ha Na tidak mempertemukan kita, dan kamu tidak mengatakan tentang pesan kematian itu. Aku tidak akan punya kesempatan untuk membahagiakan nenekku di saat-saat terakhirnya. Aku sangat berterima kasih akan hal itu.”

“Tapi, Oppa sempat marah dan tak percaya padaku.”

“Itu...”

So Ryeon tertawa melihat reaksi Kang Joon. “Semua orang pasti akan bereaksi seperti itu. Oppa bukan yang pertama. Sebelum itu, aku juga pernah menyampaikan pesan kematian itu pada keluarga yang bersangkutan, tapi malah kena marah. Bahkan, aku pernah mendapat perlakuan yang lebih buruk. Sejak saat itu aku memilih diam saja. Toh kematian memang tidak bisa di tolak atau di hindari.

“Hanya saja, aku berpikir jika aku memberi tahu keluarga dari orang yang akan meninggal itu. Mereka bisa membahagiakan atau melakukan apa saja itu yang bisa membahagiakan orang yang akan meninggal. Agar ketika ia pergi, ia tak membawa beban yang akan memberatkan perjalanannya kelak.

“Sayangnya, hampir kesemuanya tak bisa menerima pesan yang aku sampaikan. Bahkan, aku sempat dituduh sebagai dukun dan pembunuh. Itu kenapa aku lari ke Seoul. Kupikir di sini aku akan lebih tenang karena tak banyak orang yang aku kenal. Tapi, kenyataan memang tak seindah harapan.” So Ryeon mendesah setelah menyelesaikan kalimat panjangnya.


Saat So Ryeon berkunjung ke rumah sahabatnya Yoo Ha Na, ia melihat album foto keluarga Yoo Ha Na. Tatapannya terhenti pada foto seorang wanita tua yang tersenyum anggun. So Ryeon tersentak ketika ia mendengar pesan kematian itu sampai ke telinganya.

Ha Na yang kembali dengan membawa cemilan dan minuman menyadari perubahan ekspresi So Ryeon. Dua gadis itu berteman sejak tahun pertama mereka di bangku kuliah. Mengenal So Ryeon cukup lama, Ha Na telah mengetahui banyak hal tentang gadis itu termasuk kemampuan So Ryeon yang sering menerima pesan kematian berupa bisikan.

Ha Na menatap album foto di pangkuan So Ryeon. Ia mendadak panik dan mendesak So Ryeon untuk mengatakan apa yang terjadi. Apakah ada pesan kematian yang sampai ke telinganya. Dan, pesan itu muncul setelah So Ryeon melihat foto siapa.

Dengan hati-hati So Ryeon menuding foto wanita tua dengan senyum anggun di dalam album foto milik Ha Na. Tanpa basa-basi, Ha Na menariknya dan mengajaknya pergi ke sebuah toko elektronik maha besar yang tak lain adalah tempat So Ryeon bekerja paruh waktu.

Ha Na mempertemukan So Ryeon dengan Seo Kang Joon—saudara sepupu Ha Na yang juga pemilik toko elektronik tempat So Ryeon bekerja paruh waktu. Ha Na menjelaskan maksud kedatangannya bersama So Ryeon. Ia memperkenalkan So Ryeon pada Kang Joon dan begitu sebaliknya.

Dari pertemuan itu So Ryeon mengetahui jika Kang Joon adalah bosnya. Dan, Kang Joon mengetahui jika So Ryeon adalah karyawan paruh waktu yang baru beberapa hari bekerja di toko elektronik miliknya.

Kang Joon sempat marah dan tak mempercayai apa yang disampaikan Ha Na. Bahkan, ketika So Ryeon maju menjelaskan, Kang Joon pun marah dan mengusir gadis itu.

Saya tidak meminta Anda mempercayai saya. Saya bersedia pergi karena Ha Na yang meminta. Saya hanya bisa menyarankan agar Anda melakukan yang terbaik. Daripada nanti Anda menyesal. Orang yang sudah meninggal, tidak akan pernah bisa kembali ke sisi kita lagi. Jika masih memiliki kesempatan, kenapa tidak memanfaatkannya dengan baik?

Kalimat itulah yang membuat Kang Joon merenung. Kemudian, ia pun bersikap baik pada neneknya yang menurut So Ryeon akan meninggal. Kang Joon selalu menemani sang nenek dan melakukan apa saja yang diminta sang nenek.

Tiga hari setelah pertemuannya dengan So Ryeon, Kang Joon menerima kabar jika sang nenek ditemukan tak sadarkan diri di kamar mandi. Kang Joon bergegas ke rumah sakit tempat sang nenek dirawat. Setelah dirawat selama 24 jam di rumah sakit, nenek Kang Joon pun meninggal dunia.

Setelah peristiwa itu, diam-diam Kang Joon memperhatikan So Ryeon setiap kali gadis itu datang untuk bekerja di toko miliknya. Ia juga mencari informasi tentang So Ryeon. Hingga pada akhirnya ia memiliki keberanian untuk menemui So Ryeon dua bulan setelah kematian neneknya.

Kang Joon meminta maaf sekaligus berterima kasih pada So Ryeon. Gadis itu menyambut baik. Ia memaafkan Kang Joon. Dan, sejak saat itu keduanya sering berhubungan. Kadang-kadang Kang Joon mengantar So Ryeon pulang usai bekerja paruh waktu di tokonya.

Walau di awal waktu ketika Kang Joon ingin mengantarnya pulang sempat menolak, So Ryeon akhirnya setuju saat Kang Joon mengatakan itu untuk menebus rasa bersalahnya pada So Ryeon. Kadang kala Kang Joon mengajak So Ryeon bertemu Ha Na untuk sekedar ngopi bersama.

Kang Joon yang awalnya hanya penasaran pada So Ryeon mulai merasa nyaman berada di sisi gadis itu. Walau memiliki kelebihan yang tergolong mengerikan—sering menerima pesan kematian seseorang, So Ryeon adalah gadis periang yang selalu berpenampilan sederhana. Seperti Ha Na dan kebanyakan karyawannya, Kang Joon pun menyukai So Ryeon. Namun, kadar rasa suka yang ia rasakan sedikit berlebih.

Tiga bulan setelah masa pendekatan, Kang Joon akhirnya menyatakan rasa sukanya pada So Ryeon. Beruntungnya ia, karena So Ryeon juga memiliki ketertarikan padanya. Kang Joon dan So Ryeon pun meresmikan hubungan mereka sebagai sepasang kekasih.

Kang Joon bersedia menerima keunikan So Ryeon. Ia pun mulai terbiasa bahkan memahami bagaimana So Ryeon ketika gadis itu mendapatkan pesan kematian. Karena itu, tadi ia bergegas mendekati So Ryeon ketika gadis itu tiba-tiba tampak kaku ketika melayani pelanggan. Ia segera menangkap tubuh So Ryeon yang limbung. Lalu, membawa gadis itu pergi dari toko demi menenangkan gadis itu.

***


Kang Joon membelokan mobilnya ke sebuah cafe. So Ryeon hanya diam. Walau sebenarnya ia penasaran kenapa Kang Joon mengajaknya ke cafe itu. Keduanya turun usai Kang Joon memarkirkan mobilnya. Ia berjalan di samping kanan So Ryeon saat keduanya menuju pintu masuk cafe.

Karena jam makan siang, suasana di dalam cafe cukup ramai. Kang Joon dan So Ryeon berhenti di dekat pintu masuk. Kang Joon mengamati café yang sedang padat pengunjung itu.

“Oh! Ha Na?” Celetuk So Ryeon ketika menemukan seorang gadis sedang melambaikan tangan kepadanya.

“Ah! Kamu lebih dulu menemukannya.” Kang Joon membawa So Ryeon berjalan di depannya, menuju meja tempat Ha Na duduk.

“Meja nomer tujuh! Angka favoritmu!” Ha Na menunjuk nomer di atas meja ketika So Ryeon dan Kang Joon sampai.

Kang Joon menarik kursi untuk So Ryeon, lalu mempersilahkan kekasihnya itu untuk duduk. Setelah So Ryeon duduk, Kang Joon menarik kursi di samping kanan So Ryeon dan duduk.

“Aigoo! Pantas saja Ryeonku tidak bisa berpaling. Sikap Oppa sangat manis. Ryeon-aa, kalau begini aku jadi tenang, karena telah mempercayakanmu pada orang yang tepat. Kau lihat sendiri, kan? Saranku untuk menerima Kang Joon Oppa jadi pacarmu tidaklah salah.” Ha Na mengoceh. Mengomentari bagaimana Kang Joon memperlakukan So Ryeon.

“Dia terus mengomel, kenapa Oppa mempekerjakan Ryeonku di saat liburan kuliah seperti sekarang? Karenanya, aku menculikmu untuk makan siang bersama.” Kang Joon menjelaskan kenapa Ha Na sudah berada di cafe. “Dia bilang, belakangan cafe ini jadi tempat favorit kalian.” Imbuhnya.

So Ryeon tersenyum dan mengangguk.

“Ryeon-aa, kenapa kamu harus kerja sih? Ryeonku kan bukan golongan orang kekurangan ekonomi. Mari kita nikmati liburan kuliah ini.” Ha Na kembali bicara.

“Liburan? Kamu lupa tugas akhir kita?” Ujar So Ryeon.

“Ah! Benar! Kita ini sebenarnya tidak benar-benar libur, kan? Tapi, kita memang butuh berlibur. Barang satu dua hari. Iya kan, Oppa?” Ha Na meminta persetujuan Kang Joon.

“Mm. Benar sekali!” Kang Joon mendukung Ha Na. “Aku juga setuju kamu tidak usah bekerja paruh waktu. Fokus saja pada kuliahmu.”

“Aku hanya butuh menyibukan diri. Jadi, izinkan aku tetap bekerja.” So Ryeon memohon.

“Padahal kuliah kita sudah cukup sibuk. Kenapa masih mencari kesibukan?” Ha Na kemudian sibuk dengan buku menu. “Enaknya makan siang apa ya?” Ia mengamati menu.

So Ryeon langsung menentukan pilihan.

“Ryeon-aa, kamu tidak bosan tiap kali ke sini pesan menu itu?” Ha Na menatap So Ryeon dengan heran.

So Ryeon hanya tersenyum menanggapinya.

“Ya, ya. Kamu ini memang tipe orang setia. Oppa lihat! Oppa harus menjaganya dengan baik. Gadis seperti Ryeonku ini sangat langka sekarang!”

Kang Joon tersenyum, lalu menoleh dan menatap So Ryeon penuh kasih. “Tentu saja. Aku akan menjaganya dengan baik.”

“Janji ya?” Ha Na menatap Kang Joon dengan serius.

“Ha Na-ya.” Tegur So Ryeon yang merasa sungkan pada Kang Joon.

“Kau diam saja! Kang Joon Oppa itu dasarnya playboy! Jadi, aku harus memastikan dia akan menjagamu dengan baik!”

“Lalu, apa artinya, Saranku untuk menerima Kang Joon Oppa jadi pacarmu tidaklah salah, yang tadi sempat kamu ucapkan?” Protes So Ryeon.

Ha Na terdiam sejenak. “Ya memang tidak salah. Walau dia playboy, dia pria yang baik kok!”

So Ryeon tersenyum nakal pada Ha Na.

“Ryeon-aa! Berhenti menggodaku! Sudah! Mau pesan apa?” Ha Na kembali fokus pada buku menu.

“Aku bukan playboy! Gadis-gadis itu yang mengejarku!” Kang Joon membela diri.

“Dan, Oppa memanfaatkan mereka!” Ha Na menyerahkan buku menu pada pelayan. Ia menatap Kang Joon, lalu So Ryeon. “Ryeon-aa, aku sudah memutuskan bahwa subyek penelitianku untuk tugas akhir adalah kamu.”

“Apa?” Mulut So Ryeon membulat.

“Menerima pesan kematian itu apa termasuk kelainan jiwa?” Sela Kang Joon.

“Ryeon merasa dirinya seperti itu. Karena alasan itu dia kuliah ambil jurusan psikologi. Tanya saja padanya. Dia berharap bisa menyembuhkan dirinya sendiri.”

“Itu kan berkah dari Tuhan. Bukan kelainan jiwa.” Kang Joon menatap So Ryeon dengan ekspresi tak paham.

“Berkah yang bisa menimbulkan kelainan jiwa. Benar, kan?” Ha Na menatap So Ryeon. “Dia itu rentan depresi. Oppa pasti tahu kan? Itu kenapa dulu aku tanya, apa Oppa akan sanggup berada di sisi Ryeon, ketika Oppa bilang padaku Oppa menyukai Ryeon dan hendak menyatakan rasa suka itu. Karena Oppa bilang sanggup, aku pun memberi dukungan.

“Ryeon sendiri merasa akan membebani Oppa jika kalian menjalin sebuah hubungan yang lebih dari sekedar teman atau atasan dan bawahan. Tapi, karena Oppa bertekad bulat. Aku meyakinkannya untuk mencoba hubungan ini. Ryeonku berhak bahagia. Dan, aku yakin Oppa bisa membahagiakan Ryeonku.” Ha Na tersenyum manis.

“Jangan membuat aku kehilangan selera makan siang. Kamu tahu kan aku tidak suka obrolan serius saat makan? Itu bisa mengurangi, bahkan menghilangkan selera makan.” So Ryeon menegur.

Ha Na tertawa. “Oke. Oke. Maafkan aku. Ah, kenapa obrolanku jadi ngelantur ya? Jadi, bagaimana? Bolehkah aku menjadikanmu sebagai obyek penelitian?”

“Bukan kah kita sudah ada janji dengan Dokter Oh? Beliau akan memberikan dua orang pasiennya untuk kita.”

“Ah! Itu lebih membebaniku. Semoga saja bukan orang yang benar-benar gila.”

“Ha Na-ya, kalau takut sama orang gila, kenapa kamu kuliah ambil jurusan psikologi?”

“Aku ingin jadi konselor. Atau kalau paling sial ya masih berguna untuk perusahaan ayahku, kan?”

“Ya ampun! Kenapa aku malah kasihan ya mendengarnya? Jangan-jangan kamu sendiri yang rentan depresi. Bukan Ryeon.” Goda Kang Joon.

Pelayan datang membawakan pesanan. Menyela obrolan Ha Na, Kang Joon, dan So Ryeon. Ketiganya berterima kasih ketika pelayan usai menyajikan hidangan.

“Kamu udah nonton atau baca berita pagi ini?” Ha Na bersiap memakan menu yang tersaji di hadapannya. “Pesan itu datang padamu?”

“Mm!” So Ryeon mengangguk.

“Pantas saja kamu bad mood. Jadi, sensitif! Udah, jangan dipikirkan. Seperti yang kamu bilang, kematian itu pasti dan tidak bisa dihindari. Jadi, jangan terlalu dipikirkan. Tapi, semangat ya buat melawan rasa tak nyaman di seluruh tubuhmu hingga hari H tiba.”

So Ryeon tersenyum lesu dan mengangguk.

“Oppa, kapan kita liburan bersama? Ke Busan ya?” Ha Na beralih pada Kang Joon.

“Mau liburan bersama? Ke Busan?” Sela So Ryeon.

“Iya. Oppa, aku, dan kamu. Tenang. Aku tidak akan ganggu kalian kok! Jangan nolak ya!” Ha Na mengancam So Ryeon. “Siapa tahu itu akan menjadi kesempatan terakhir kita bersama.”

“Yoo Ha Na!” So Ryeon menatap lurus Ha Na. Ekspresinya serius. Ia marah. Tak suka setiap kali Ha Na menyebut kesempatan terakhir.

“Makanya jangan menolak liburan ke Busan. Musim panas di Busan menyenangkan lho! Jika kamu menolak, aku akan terus menghantuimu dan membuatmu marah!”

So Ryeon hanya bisa diam dan menghela napas. Sebagai tanda menyerah berdebat dari Ha Na. Ia pun menikmati makan siangnya bersama Kang Joon dan Ha Na.

***


So Ryeon pertama kali mendapatkan pesan kematian ketika ia berada di kelas dua SMA. Ketika ia tak sengaja melihat foto adik kelasnya yang dikabarkan jatuh sakit. Saat melihat foto itu, tiba-tiba ia mendengar bisikan “Dia akan mati!” dekat di telinganya. Walau sempat dibuat tersentak kaget oleh bisikan itu, So Ryeon mengabaikannya.

Tiga hari kemudian, berita duka itu sampai ke telinga So Ryeon. Adik kelasnya yang sakit meninggal dunia. Tentu saja So Ryeon syok mendengar berita itu. Tapi, ia masih meyakini itu hanyalah kebetulan.

Sejak kejadian itu, ketika melihat foto atau mendengar tentang seseorang yang sakit atau kecelakaan yang akan berakhir dengan kematian, So Ryeon selalu mendapatkan bisikan pesan kematian. Tidak peduli itu orang yang ia kenal atau tidak, berita kematian itu pasti datang padanya jika foto atau berita yang ia dengar bukanlah orang yang ia kenal.

So Ryeon mulai tak nyaman dengan pesan kematian yang ia terima. Namun, ia tak berani bercerita pada keluarga dan teman terdekatnya. Ia takut jika mereka tak mempercayai apa yang ia katakan. Ia lebih takut jika orang-orang di sekitarnya menganggapnya berhalusinasi bahkan gila. Ia juga takut untuk bercerita pada Guru Bimbingan Konseling yang notabene memahami psikologi murid. Ia menyimpan semuanya sendiri.

So Ryeon membulatkan tekad untuk kuliah dengan mengambil jurusan psikologi. Ia harus mencari jawaban tentang dirinya sendiri. Ia berpikir jurusan psikologi lah yang paling cocok dan bisa membantu dirinya. Karenanya, ia berusaha keras untuk bisa diterima di universitas kenamaan di Seoul.

Kerja keras So Ryeon terbayar. Ia diterima di salah satu universitas kenamaan di Seoul. Walaupun Daegu memiliki banyak universitas bagus, So Ryeon telah memantabkan pilihan untuk hijrah ke Seoul. Ia berharap di lingkungan barunya, ia tak akan mendapat pesan kematian lagi. Namun sayang, kenyataan tak berjalan seperti harapan So Ryeon. Di Seoul, ia masih mendapatkan bisikan pesan kematian itu. Di Seoul, ia bertemu Ha Na untuk pertama kali.

Ketika Ha Na menyapa dan mengajaknya berkenalan, lalu bertanya alasan kenapa So Ryeon memilih jurusan psikologi. So Ryeon memilih untuk jujur. Ia mengatakan alasan yang sebenar-benarnya memilih jurusan psikologi. Ia sudah siap jika Ha Na menertawakannya atau bahkan menuduhnya gila.

Di luar dugaan, Ha Na justeru percaya dan tertarik pada kemampuan yang dimiliki So Ryeon. So Ryeon merasa ia menemukan sebuah cahaya di tengah kegelapan. Ia lega Ha Na mempercayainya. Sejak saat itu So Ryeon menjadi dekat dengan Ha Na. Bahkan, Ha Na sering membantunya ketika So Ryeon mendapatkan pesan kematian dan berjuang melawan siksaan secara mental, juga fisik.

Setelah menerima pesan kematian, So Ryeon selalu merasakan lelah di sekujur tubuhnya. Ia merasa lemas dan tak bertenaga. Bahkan, kadang ia sampai menderita migraine berat. Fase itu terjadi selama berhari-hari. Ketika kematian itu telah terjadi, sensasi yang membuat So Ryeon sakit secara fisik pun hilang. Pesan kematian itu biasa datang tiga sampai lima hari sebelum hari H.

Di saat seperti itulah Ha Na selalu ada memberi dukungan. Tak jarang pula ia merawat So Ryeon ketika sahabatnya itu mengalami siksaan fisik. Ha Na juga selalu memberikan dukungan moril pada So Ryeon. Agar psikis So Ryeon tetap stabil.

Dengan adanya Ha Na di sampingnya, So Ryeon tidak pernah menyesali keputusannya untuk pindah ke Seoul. Ia mulai bisa menerima kelebihan tak wajar yang ia miliki. Kadang keduanya menyampaikan pesan kematian itu pada orang terdekat atau keluarga dari 'calon mayat'. Walau tak kesemuanya berjalan sesuai harapan, Ha Na yakin itu bisa menjadi terapi untuk mengurangi beban psikis yang harus ditanggung So Ryeon.

Menyampaikan pesan kematian adalah untuk memberi kesempatan pada keluarga juga calon mayat. Bukankah semua orang memimpikan sebuah akhir yang indah? Terutama bagi yang ditinggalkan. Karena, jalan kematian adalah mutlak Tuhan yang menentukan. Kita tidak bisa mengubah apa pun yang akan menjadi jalan kematian bagi calon mayat. Tapi, bagi keluarga calon mayat, mereka memiliki kesempatan untuk bersikap lebih baik pada calon mayat sebelum kematian itu tiba menjemputnya.

Ha Na selalu mengucapkan kalimat itu ketika So Ryeon merasa rapuh. Saking seringnya, So Ryeon sampai hafal di luar kepala. Kalimat ajaib yang selalu menguatkannya. Kalimat ajaib yang selalu membuatnya yakin bahwa mendapat pesan kematian itu adalah berkah, bukan kutukan baginya.

***


Kang Joon dan So Ryeon duduk berdampingan. Di hadapan mereka, ada Ha Na dan tunangannya Lee Tae Hwan. Keempatnya sedang berada dalam KTX (Korea Train eXpress), untuk perjalanan ke Busan.

Rencana liburan ke Busan itu akhirnya terwujud. Sebenarnya So Ryeon tak begitu menyukai pantai. Tapi, ia tak turut merencanakan liburan kali ini. Dan, demi rasa solidaritasnya pada Ha Na, juga rasa sayangnya pada Kang Joon. Ia akhirnya setuju bergabung dalam liburan bersama itu. Ia pikir bukan ide buruk untuk liburan. Sejenak melepaskan beban dan mengusir penat.

So Ryeon menatap keluar jendela. Namun, tampak jelas tak menikmati pemandangan di luar sana. Ia melamun.

“Walau sudah seminggu berlalu, berita kematian anak konglomerat itu masih ramai diperbincangkan ya.” Ujar Tae Hwan memecah kebisuan.

Kang Joon spontan menoleh, menatap So Ryeon yang duduk di samping kirinya.

“Namanya juga orang terkenal. Pasti jadi sorotan.” Respon Ha Na santai. Ia sempat melirik So Ryeon yang duduk tepat berhadapan dengannya.

“Kasihan ya orang tuanya. Anak tunggalnya meninggal dunia di usia muda.” Tae Hwan rupanya masih tertarik pada bahasan tentang anak konglomerat yang mengalami kecelakaan dan kemudian meninggal. Anak konglomerat itu meninggal tepat di hari ketiga usai So Ryeon mendapat pesan kematian.

“Takdir memang kadang seolah tak adil. Tapi, bukankah semua itu bergantung pada hukum sebab-akibat? Iya, kan Ryeon?” Ha Na berusaha menarik perhatian So Ryeon.

“Mm.” So Ryeon mengangguk, lalu tersenyum kecil pada Ha Na.

Benar dugaan Ha Na, So Ryeon tak sepenuhnya acuh. Dalam diamnya, ia menyimak obrolan.

“Hukum sebab-akibat?” Tae Hwan menatap tak paham pada Ha Na.

“Apa yang kita lakukan di masa lalu, bisa merupakan sebab pada apa yang kita alami di masa sekarang. Dan, akibat itu bisa saja bukan kita yang mendapatkannya.” Kang Joon bersuara, memberi jawaban.

“Karma ya?” Respon Tae Hwan.

“Iya. Semua itu di luar kendali kita. Karenanya, sebisa mungkin kita menanam kebaikan saja. Agar nanti semua kembali baik pula pada kita. Kita tidak pernah tahu kan bagaimana kehidupan kita di masa lalu?” So Ryeon menyambung penjelasan Kang Joon.

“Wah, lalu apa yang terjadi pada kehidupan mereka di masa lalu ya? Hingga sekarang mereka harus menuai hasil yang seperti itu?” Tae Hwan menggelengkan kepala.

“Itu bukan urusan kita! Tapi, kita petik saja pelajarannya. Misal, jangan berkendara sambil mabuk atau ngebut.  Fatal akibatnya!” Ha Na melirik tajam Tae Hwan.

“Aku kan tidak suka berkendara dalam kondisi mabuk!” Tae Hwan membela diri.

“Tapi, ngebut!”

“Itu kalau lagi terburu-buru saja. Hehehe.” Tae Hwan meringis.


Beberapa saat kemudian, suasana dalam perjalanan kembali hening. Ha Na dan Tae Hwan tertidur dengan kepala saling menempel. So Ryeon tersenyum melihatnya.

“Ah, aku mengantuk. Rasanya lelah sekali. Kenapa perjalanan ini terasa lama sekali ya?” Kang Joon menyandarkan kepala di bahu So Ryeon.

“Tidurlah.” So Ryeon mengelus kepala Kang Joon.

“Kamu tidak mengantuk?” Tanya Kang Joon.

“Aku harus berjaga. Ini kereta ke Busan, kan?”

Kang Joon diam sejenak, lalu kembali menegakan badannya. “Ya! Jangan bilang kau sedang teringat pada film Train To Busan!” Ia menyebut judul film horor yang sukses itu.

So Ryeon tertawa melihat reaksi Kang Joon. “Oppa berlebihan sekali! Itu hanya film!” Oloknya.

“Zombie itu mengerikan tahu!” Kang Joon kembali merebahkan tubuhnya, menyandarkan kepalanya pada bahu So Ryeon. Ia menatap Ha Na dan Tae Hwan. “Mereka itu pasangan yang serasi ya?”

“He’em.” So Ryeon setuju. “Awet pula. Mereka pacaran dari SMA sampai bertunangan. Keren!”

“Kau dan Ha Na sudah saling mengenal secara mendalam rupanya.”

“Ha Na adalah cahaya yang aku temukan dalam kegelapan. Satu orang yang langsung mempercayaiku saat aku bercerita tentang keanehanku.”

Kang Joon menarik kepalanya, lalu menatap So Ryeon yang berada dekat di sampingnya. “Lalu, bagaimana denganku?”

“Oppa?” So Ryeon pun menoleh. Tapi, ia tak terkejut mendapati Kang Joon berada begitu dekat dengannya. “Hmm, apa ya? Bintang terang yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku akan bisa meraihnya? Ah! Oppa dan Ha Na adalah bintang terangku.”

Kang Joon tersenyum. Wajahnya bersemu merah. “Kau berlebihan.”

“Tidak. Itu fakta. Rasanya seperti mimpi, bosku menyatakan cinta padaku. Aku seperti gadis dalam drama saja. Dengan kehidupan abnormal yang aku jalani, sebelumnya aku sama sekali tak berani berharap akan ada pria yang mau dekat dan menghabiskan hidupnya denganku. Tapi, Oppa datang. Memberiku harapan. Masih sering aku bertanya, apa ini nyata?”

Kang Joon meraih tangan kiri So Ryeon dan meletakannya di pipi kanannya. “Kamu bisa merasakan aku kan?”

So Ryeon mengangguk.

“Jadi, kamu tidak sedang bermimpi. Karena aku nyata.” Kang Joon tersenyum manis.

“Tsk! Apa kalian tidak malu bermesraan di tempat umum?” Suara Ha Na menyita perhatian Kang Joon dan So Ryeon. So Ryeon langsung menurunkan tangannya.

Ha Na menyunggingkan senyum. “Ryeon-aa, wajahmu memerah.” Godanya.

“Balik tidur sana!” Perintah Kang Joon.

“Abaikan saja aku. Anggap aku tak ada. Lanjutkan! Lanjutkan!” Ha Na membetulkan letak kepalanya, kembali menempelkannya pada kepala Tae Hwan, dan kemudian memejamkan mata. Pura-pura tidur. Sedang wajah ayunya masih mengulas sebuah senyuman.

Kang Joon pun kembali menyadarkan kepala pada bahu So Ryeon. Kedua matanya masih terfokus pada Ha Na yang pura-pura tidur.

So Ryeon tersenyum melihat tingkah saudara sepupu yang sering saling menggoda itu. Kang Joon meraih tangan kanannya dan menggenggamnya erat. So Ryeon tak menolak. Ia membiarkan Kang Joon tetap menggenggam tangannya.

***

Mereka tiba di Busan dengan selamat. Mereka akan berlibur selama tiga hari di Busan. Ha Na menyebut liburan kali ini sebagai liburan sederhana ala mahasiswa. Karenanya, ia yang mengatur segala keperluan liburan. Itulah kenapa Ha Na memilih naik KTX kelas ekonomi daripada naik pesawat. Ia juga memilih penginapan sederhana. Menyewa dua kamar. Satu untuk dirinya dan So Ryeon, lainnya untuk Kang Joon dan Tae Hwan.

Ha Na memilih Busan karena festival pantainya. Ia juga penasaran pada Busan International Magic Festival. So Ryeon, Kang Joon, dan Tae Hwan menurut saja pada rencana liburan si Tuan Putri Ha Na.

Satu per satu rencana liburan di Busan ala Tuan Putri Ha Na pun diwujudkan. Menonton Busan Beach Festival dan Busan International Magic Festival pun terlaksana. So Ryeon paling tertarik pada Busan International Magic Festival. Menurutnya itu festival yang unik.

Malam terakhir di Busan, Ha Na dan Tae Hwan memisahkan diri dari Kang Joon dan So Ryeon. Mereka menunggu pesta kembang api digelar. Kang Joon dan So Ryeon duduk di tepi pantai setelah lelah berkeliling.

“Kau senang?” Tanya Kang Joon.

“Mm.” So Ryeon mengangguk. “Tuan Putri membuat rencana liburan yang sempurna.”

“Dia selalu bersemangat. Oya, apa Ha Na sudah mengatakannya padamu?”

“Mm? Tentang apa?”

“Belum ya?”

“Tentang rencana pernikahannya dengan Tae Hwan Oppa saat lulus kuliah nanti?”

“Bukan. Ah, aku rasa belum. Ini ada hubungannya denganmu.”

“Denganku? Apa sih? Oppa, jangan membuatku penasaran.”

“Kupu-kupu Hitam.”

“...”

“Kamu sama sekali tidak tahu ya? Ha Na ingin menulis buku tentangmu. Tentang gadis pembawa pesan kematian. Menurutnya kisahmu sangat unik. Ha Na ingin mengabadikannya dalam sebuah buku.”

“Ha Na pernah bercerita tentang kebiasaannya menulis diary tentang kami. Ia menulis semua dari awal perkenalan kami. Tapi, aku belum tahu rencananya tentang buku.”

“Wah! Jadi, Ha Na belum membaginya denganmu ya? Maafkan aku.”

“Tidak apa-apa. Aku tidak akan bertanya pada Ha Na kalau dia tidak cerita.”

“Aku mendukungnya, karena aku setuju dengannya. Kisahmu unik dan patut di abadikan. Aku memintanya membicarakan hal ini denganmu. Aku harap kau pun setuju.”

So Ryeon tersenyum. “Tentu saja aku setuju. Di tangan Ha Na, semua pasti akan jadi suatu hal yang baik dan menyenangkan.”

“Syukurlah.” Kang Joon tersenyum lega. “Tapi, kenapa kupu-kupu hitam?”

“Ha Na tidak menjelaskan?”

“Dia hanya bilang ingin bukunya diberi judul Kupu-kupu Hitam.”

So Ryeon tersenyum. “Saat aku menceritakan tentang pesan kematian yang aku terima, Ha Na teringat pada Jigokuchō. Kupu-kupu neraka pada anime Bleach. Kupu-kupu hitam yang digunakan para Shinigami untuk berkomunikasi. Menurutnya aku seperti kupu-kupu hitam itu. Aku yang membawa pesan kematian. Padahal kalau dipikir-pikir aku ini penerima pesan kematian, kan? Bukan pembawa pesan kematian. Atau mungkin dalam imajinasi Ha Na, kupu-kupu nerakalah yang membisikan pesan kematian itu padaku. Maksudku yang membisikan pesan kematian itu berwujud kupu-kupu hitam seperti kupu-kupu neraka dalam Bleach.”

“Pantas saja kalian berdua cocok. Kalian sama-sama memiliki imajinasi tingkat dewa.”

“Oh! Sudah dimulai!” So Ryeon menuding langit malam. Satu kembang api pecah di udara. Menghiasi langit malam.

Kang Joon merangkul So Ryeon yang duduk dekat di samping kirinya. Keduanya menikmati indahnya pesta kembang api di langit Busan.

***

So Ryeon dan Ha Na sibuk dengan tugas akhir mereka. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu berdua dan menjadi jarang bersama pasangan masing-masing. Ha Na berencana menikah dengan Tae Hwan setelah lulus S1 nanti. Sedang So Ryeon, berencana untuk bekerja lalu melanjutkan pendidikan ke S2. Walau sudah memiliki Kang Joon di sisinya, belum terbesit keinginan dalam diri Si Ryeon untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang lebih serius seperti pertunangan. Padahal Kang Joon sama mapannya seperti Tae Hwan. Berbeda dengan Ha Na yang punya keinginan menikah muda.

Ujian dan tugas akhir selesai dilalui dengan baik oleh Ha Na dan So Ryeon. Keduanya merasa lega bisa sedikit bersantai usai melewati masa-masa penuh perjuangan itu. Saat itulah Ha Na membagi rencananya tentang buku yang sedang ia tulis. Buku yang sempat diceritakan Kang Joon pada So Ryeon saat liburan di Busan.

Prediksi So Ryeon tak meleset. Ha Na memilih judul Kupu-kupu Hitam karena terinspirasi dari kupu-kupu neraka dalam serial Bleach. Ha Na hampir menyelesaikan buku itu. Bahkan, ia berniat menjadikan buku itu sebagai souvenir pernikahannya kelak.

“Ha Na-ya, apa kamu sudah gila? Bagaimana mungkin souvenir pernikahanmu adalah buku dengan genre horor seperti itu?” Protes So Ryeon.

“Ryeonku sayang, itu bukan buku horor. Tapi, buku tentang kisah perjalanan kita. Lagi pula semua nama disamarkan. Kamu tidak perlu khawatir.” Ha Na tersenyum manis.

“Tapi, kisah gadis penerima pesan kematian itu horor kan, bagi orang normal! Hentikan! Maksudku, kamu boleh menulis dan menerbitkan buku itu. Tapi, jangan digunakan sebagai souvenir pernikahanmu. Ngeri tahu!”

Ha Na tergelak. “Oke. Oke. Baiklah kupu-kupu hitamku tersayang. Aku akan segera menyelesaikannya. Nanti kamu baca dulu ya. Kalau ada bagian yang tidak kamu suka, kamu bisa ubah.”

“Semangat sekali?”

“Aku ingin kita hidup abadi. Kau dan aku.” Ha Na mengerlingkan mata. “Lagi pula kisahmu itu bisa membuka mata banyak orang. Bahwa tidak ada yang lebih dekat dengan kita kecuali kematian. Agar hidup mereka tak melulu untuk mengejar duniawi saja. Itu poin pentingnya!”

“Baiklah. Aku menurut saja pada Tuan Putri cantikku ini.”

Ha Na memang tak memiliki fisik sempurna; wajah ayu dengan tinggi semampai bak super model Korea. Ha Na bertubuh mungil dan wajahnya cantik. Dengan rambut hitam sebawah telinga dan kulit putih serta pipi chubby, mengingatkan So Ryeon pada Putri Salju. Karenanya So Ryeon selalu memanggilnya Tuan Putri. Ha Na pun tak keberatan disebut Tuan Putri.

***

“Ryeon-aa, kamu menganggur hari ini?” Tanya Ha Na saat So Ryeon menerima panggilannya.

“Aku masih bekerja. Pulang nanti ada janji dengan Kang Joon Oppa.” Jawab So Ryeon.

“Oh. Mau kencan ya?”

“Kamu butuh aku?”

“Maunya minta ditemani fitting baju.”

“Tae Hwan Oppa?”

“Ada sih. Rasanya lebih nyaman kalau ada kamu. Tapi, nggak papa kok. Kamu pergi aja sama Kang Joon Oppa. Kalian lama nggak pergi berdua kan? Nikmati waktu kalian.”

“Aku bisa menjelaskan situasi ini pada Oppa.”

“Nggak! Nggak! Nggak usah! Selama ini aku udah banyak ngrepotin kamu. Masa iya mau nikah masih aja ngrepotin kamu?”

“Aku udah biasa kok kamu gangguin. Malah rasanya bakalan aneh kalau kamu nggak gangguin aku.”

Suasana berubah hening. So Ryeon yakin Ha Na sedang tersenyum tersipu di seberang sana.

“Ryeon-aa. Mianhae. Selama ini aku selalu merepotkanmu.” Ha Na kembali bicara.

“Ay! Bukannya aku yang selalu merepotkanmu?”

“Benar sekali. Terlebih saat kau menerima pesan kematian. Ah... aku akan sangat merindukan hal itu.”

So Ryeon tersenyum. “Aku akan selalu meminta bantuanmu. Tak apa kan? Tae Hwan Oppa pasti akan memahaminya kan?”

“Mm.” Ha Na bergumam. “Tapi, perlahan kamu harus belajar bertahan tanpa aku. Seperti sebelum kita saling mengenal. Aku yakin kamu pasti bisa. Oh tidak! Kamu tidak sendirian. Ada Kang Joon Oppa. Dia sudah janji padaku, dia akan menjagamu dengan baik. Kalau tidak, aku akan menghantuinya!”

“Ha Na-ya!”

Ha Na tergelak. “Kenapa aku jadi begini merindukanmu? Padahal tadi pagi sebelum berpisah aku sudah memelukmu erat-erat.”

“Jangan sampai berpaling dari Tae Hwan Oppa ke aku ya! Jelek begini, aku masih normal.”

“Hahaha.” Ha Na kembali tergelak. “Aku pasti akan sangat merindukanmu Kwon So Ryeon. Terima kasih untuk semuanya. Aku sangat bahagia saat bersamamu.”

“Ha Na-ya! Kamu mau nikah! Bukan pindah ke planet lain. Bicaramu ngelantur. Seolah kamu akan pindah ke planet Mars usai nikah nanti! Kang Joon Oppa dan Tae Hwan Oppa pasti akan tetap membiarkan kita berhubungan seperti sebelumnya. Atau, kamu ingin aku segera menikah juga? Dengan Kang Joon Oppa?”

“Ide bagus!” Ha Na bersemangat. “Kamu kan bisa lanjut kuliah S2 atau S3 setelah menikah. Kang Joon Oppa pasti setuju. Apa perlu bantuanku?”

“Aku bercanda!”

“Serius pun nggak papa kok. Seru lho menikah muda. Kita akan mendapatkan suami rasa pacar. Hehehe.”

So Ryeon tersenyum walau tahu Ha Na tidak bisa melihat senyum itu.

“Ya sudah! Lanjutkan bekerja sana! Aku mencintaimu Kwon So Ryeon. Aku sangat sangat sangat mencintaimu! Tolong jangan lupakan aku.”

“Aku juga mencintaimu Yoo Ha Na. Sangat sangat sangat mencintaimu! Aku tidak akan melupakanmu. Kita akan selalu begini sampai nanti.”

“Gomawo, Ryeon-aa. Sampai jumpa kembali.” Ha Na memutuskan panggilan.

So Ryeon menatap layar ponselnya. Ia memiringkan kepala, berpikir tentang sikap Ha Na yang ia rasa sedikit aneh. So Ryeon menggelengkan kepala dan tersenyum. “Tingkah orang mau menikah memang selalu aneh.” Gumamnya seraya berjalan keluar dari toilet.

***


Pesan kematian itu adalah kesempatan bagi yang hidup, yang akan ditinggalkan calon mayat. Kesempatan untuk berbuat baik kepada calon mayat. Agar tidak ada penyesalan ketika kematian itu benar-benar datang menjemput. Tapi, kenapa aku tak mendengar pesan itu ketika kau akan pergi meninggalkan aku? Kau tiba-tiba pergi tanpa mengucap salam terakhir padaku. Kenapa? Ha Na-ya, kenapa kau tega melakukan ini padaku?

Tatapan So Ryeon kosong. Menatap altar, tempat foto Ha Na yang tersenyum manis di letakan. Foto yang dihiasi bunga-bunga tanda duka. Sejak dua jam yang lalu So Ryeon duduk bersimpuh di depan altar itu. Namun, ia masih enggan beranjak. Kang Joon hanya bisa duduk, diam dan menunggu tak jauh di belakang So Ryeon.

So Ryeon tak menyangka jika obrolannya di telepon sore itu akan menjadi obrolannya yang terakhir dengan Ha Na. Ha Na yang malam harinya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Dalam perjalanan pulang usai melakukan fitting baju, mobil Ha Na mengalami kecelakaan. Seorang sopir mobil box yang mabuk menabrak mobil Ha Na. Ha Na lupa tak mengenakan sabuk pengaman dan pintu belakang mobil belum terkunci. Ha Na yang tertidur di kursi belakang terlempar keluar saat kecelakaan. Ia meninggal di tempat kejadian.

So Ryeon menyesali semuanya. Menyesali kesempatan terakhir yang ia miliki untuk menjaga Ha Na namun ia abaikan. Ia mengutuk entah itu malaikat atau setan yang biasanya membisikan pesan kematian padanya. Ia marah karena tak mendapat pesan itu sebelum Ha Na meninggal.

So Ryeon menangis tersedu karena rasa sesak dan sakit yang menghujam dadanya. Kang Joon beranjak, mendekap So Ryeon yang sangat terguncang karena kematian Ha Na yang mendadak.

Bukan pesta pernikahan untuk Ha Na yang digelar usai upacara kelulusan. Tapi, prosesi pemakaman yang menjadi akhir dari kisah Tuan Putri Salju yang selalu menjadi malaikat dalam hidup So Ryeon.

Karena tragedi itu So Ryeon sempat mengalami depresi. Ia sampai mendapatkan bantuan seorang psikiater untuk bangkit. So Ryeon juga menemui seorang paranormal untuk membantunya. Selepas kepergian Ha Na, ia sempat terpuruk. Beruntung ada Kang Joon di sisinya. Pemuda itu benar menepati janjinya pada Ha Na. Janji untuk selalu menjaga So Ryeon. Janji untuk membahagiakan gadis itu.

***

So Ryeon menatap buku Kupu-kupu Hitam yang berdiri di samping guci tempat penyimpanan abu jenazah Ha Na. Buliran air mata kembali membasahi pipinya. Rasa sesak itu kembali memenuhi dadanya. Membuatnya sulit bernapas. Rasa sesak perwujudan dari rasa sesal yang masih sering datang dan merundungnya.

Tiga bulan yang lalu ia datang untuk mengantar buku itu ke tempat peristirahatan terakhir Ha Na. Buku berdasarkan kisah nyata itu laris di pasaran. Bahkan mendapatkan label best seller.

Selepas dari masa penyembuhan, So Ryeon memutuskan untuk melanjutkan impian Ha Na.  Ia menyelesaikan bagian akhir dari buku Kupu-kupu Hitam yang belum selesai ditulis Ha Na dan memprosesnya hingga terbit menjadi sebuah buku.

Selain itu So Ryeon juga membuka praktek sebagai seorang psikolog. Ia juga bergabung dalam sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial. Ia menjadi konselor dalam organisasi itu. Impian Ha Na adalah menjadi konselor untuk membantu, membimbing orang-orang yang merasa tersesat dan kehilangan jati dirinya. So Ryeon mengambil tugas itu, untuk mewujudkan impian Ha Na.

Satu bulan usai perilisan buku Kupu-kupu Hitam, So Ryeon menerima lamaran Kang Joon. Sebulan kemudian mereka menikah di gereja yang seharusnya menjadi tempat pernikahan Ha Na dan Tae Hwan. So Ryeon menunda keinginannya untuk melanjutkan kuliah S2 dan memilih bekerja lalu menikah dengan Kang Joon. Ia mewujudkan impian Ha Na untuk menikah muda.

So Ryeon mengusap air matanya dan tersenyum. “Bukan! Ini bukan salahmu. Bukan pula caraku untuk menebus rasa bersalahku padamu. Setelah kupikir-pikir, jalan hidup yang kamu rencanakan menyenangkan juga. Aku bahagia menjalaninya. Terima kasih, Ha Na-ya. Kaulah bintang yang akan selalu menyinari hidupku.”

Kang Joon yang berdiri di samping kanan So Ryeon tersenyum. Ia merangkul istri tercintanya itu. “Ha Na-ya, maafkan aku. Mungkin kamu akan terkejut saat melihat Ryeon kita pada kunjungan berikutnya.” Ia berbicara sambil menatap foto Ha Na di dalam kotak kaca tempat abu Ha Na disimpan.

“Yeobo! Hentikan!” Tegur So Ryeon.

“Mm!” Kang Joon menggeleng. “Ini kabar gembira. Tuan Putri kita harus mendengarnya.”

Kang Joon mendekatkan wajah ke kotak kaca tempat abu Ha Na disimpan. “Sebentar lagi aku akan menjadi ayah. Kamu akan menjadi bibi. Kamu senang? Aku yakin kamu senang mendengarnya. Karenanya, tetap doakan kami ya. Aku tahu kamu selalu mendukung kami walau kita tak berada di tempat yang sama lagi sekarang. Ngomong-ngomong kamu mau keponakan laki-laki apa perempuan?”

“Yeobo!” So Ryeon memukul lengan Kang Joon.

Kang Joon menegakan tubuhnya. Kembali tersenyum pada foto Ha Na. “Terima kasih, Ha Na-ya. Kamu meninggalkan harta yang sangat berharga untukku.” Ia mengelus lengan So Ryeon yang berada dalam rangkulannya.

So Ryeon dan Kang Joon sama-sama tersenyum pada Ha Na yang terlihat cantik dan tersenyum manis dalam fotonya.

***

Gadis itu masih menerima pesan-pesan kematian seperti sebelumnya. Pesan yang entah murni intuisinya, entah bisikan malaikat, atau bisikan setan. Ia tetap menerima bisikan itu dan meyakininya sebagai salam perpisahan yang dikirim calon mayat padanya. Salam perpisahan yang juga menjadi pengingat baginya bahwa tidak ada yang lebih dekat padanya kecuali kematian. Bahwa ia tidak akan kekal hidup di dunia. Bahwa ia harus selalu berbuat kebaikan selagi ia hidup, sebelum kematian datang menjemputnya.

Tuan Putri yang menjadi bintang dalam hidupnya tidak pergi meninggalkannya. Tapi, karena tugasnya sebagai malaikat berwujud manusia telah selesai, ia pun harus kembali ke surga. Ia tetap mengawasi gadis penerima pesan kematian itu dari surga. Menunggu waktu bagi mereka untuk bersua dan bersama kembali di surga.

Ciuman pangeran tidak bisa membangunkan sang putri dari tidurnya. Pangeran tidak bisa melupakan Tuan Putri. Ia memilih untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memilih menjadi abdi Tuhan di sisa hidupnya. Ia berharap kelak surga akan memilihnya menjadi salah satu malaikat dan mempertemukannya kembali dengan Tuan Putri pujaan hatinya.

Kematian memisahkan mereka untuk sementara waktu. Kematian pula yang nantinya akan menyatukan mereka kembali. Ikatan hati itu tidak akan terputus. Walau telah terpisah ruang dan waktu. Suatu saat ikatan itu akan dipertemukan kembali dalam keabadian di dalam taman surga.
***




Search This Blog

Total Pageviews