Khayalan shytUrtle

Hanya Sekejap Saja

05:34



Hanya Sekejap Saja



“14 hari ku mencari dirimu, untuk menanyakan dimanakah dirimu. 14 hari ku datangi rumahmu. Agar engkau tahu tertatihku menunggumu. Aku kangen sama kamu. Apa kamu udah nggak sayang aku.” –Kangen Band-Bintang 14 Hari-

            Tiba-tiba demen dengerin Bintang 14 Hari-Kangen Band, padahal awalnya nggak begitu suka sama Kangen Band. Lagu ini tiba-tiba menjadi theme song yang mendukung suasana hatiku banget akhir-akhir ini. Ya, setelah 14 malam bersama, tiba-tiba digantung. 14 malam yang singkat namun benar membekas sebagai kenangan manis juga pahit dalam memori otakku. Kau datang hanya sekejap saja dalam hidupku dan kau mewujudkan kencan romantis impianku.
***

            Jujur aku nggak suka banget sama cowok ini. Namanya Irawan. Dia kakak kelasku di SMP dan SMA sekaligus tetangga di komplek tempat tinggalku. Dia tampan, kaya dan sombong. Sering kami bertemu namun tak pernah saling bertegur sapa. Walau semua mengatakan dia tampan, bagiku Irawan hanyalah pemuda kaya yang sombong dan sok. Sampai pada minggu pagi itu, kami tak sengaja bertemu ketika aku pulang dari pasar. Kami berpapasan dan Irawan melempar sebuah senyuman padaku. Senyuman yang tulus dan manis bak angin sepoi di pagi yang gerah. Aku terpana. Terpesona pada senyuman manis Irawan yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

            Permainan iseng Cupid sukses menakhlukan egoku. Usai menerima senyuman Irawan, diam-diam aku mulai memperhatikan pemuda itu. Cinta selalu punya cara sendiri untuk mendekatkan dua hati. Aku percaya pada keajaibannya. Semudah mengupas kulit kacang goreng jalan itu pun terbuka. Aku dan Irawan mulai saling membuka diri dan perlahan menjadi dekat. Kebetulan faktor lingkungan juga mendukung. Rumah orang tuaku selalu ramai karena menjadi basecamp bagi muda-mudi seusiaku di kampung kami. Karenanya Irawan dengan mudah menyusup ke dalam komunitas kami.

            Selasa malam paling berkesan. Irawan datang bergabung dalam acara kumpul-kumpul kami. Satu per satu menghilang dan menyisakan aku dan Irawan. Kami duduk berdampingan di kebun samping rumah. Irawan membuat api unggun kecil tepat di depan kami duduk bersama untuk mengusir hawa dingin. Di bawah naungan langit malam dimana bintang-bintang bertaburan dan bulan bersinar terang, kami duduk berdampingan dan Irawan tiba-tiba curhat tentang kisah hidupnya. Tentang keluarga, karir dan cintanya. Irawan menceritakan semua secara gamblang. Aku terharu dan merasa berarti. Irawan mempercayai aku untuk menjadi pendengar semua keluh kesahnya tentang kehidupan yang mulai bosan ia jalani. Irawan pun berjanji ingin berubah, menjalani hidup yang lebih baik. Aku senang mendengarnya dan aku mendukungnya. Dimulai dari malam kedua itu, kami pun menjadi dekat pada 12 malam berikutnya. Sering menghabiskan waktu sore dan malam bersama hanya untuk duduk bersama dan mendengar curhatan Irawan. Aku senang. Aku bahagia. Dan aku mulai menyayanginya.

            Malam itu Irawan pamit mudik ke rumah Ibu kandungnya dan kemudian untuk seminggu bekerja di luar kota. Entah kenapa ada protes di hatiku. Kita baru dekat kenapa kau malah pergi? Tapi aku tak punya hak untuk melarangnya pergi. Hanya menunggu, itu yang bisa aku lakukan.

Seminggu berlalu namun tiba-tiba Irawan menghilang tanpa kabar. Aku SMS tak ada balasan. Aku bersabar menunggu dan menunggu. Minggu berganti bulan namun Irawan tak kunjung memberi kabar. Semua pesan singkat yang aku kirim tak ia balas satu pun. Harapanku mulai pupus. Janji Irawan untuk kembali sepertinya hanya menjadi isapan jempol belaka bagiku. Namun di tengah keraguan itu aku tetap menunggu hingga tiga bulan berlalu. Hingga sore itu sepulang aku menikmati senja di samping rumah, aku melihat Irawan kembali namun tak sendiri. Ia membawa seorang gadis dalam boncengannya. Gadis yang memeluk mesra pinggang Irawan. Hatiku hancur. Tembok keyakinan yang aku bangun runtuh ketika aku mendengar tetanggaku berceloteh, “Akhirnya Irawan pulang kembali membawa istrinya kemari.”

            Masih saja bertanya, inikah akhir dari kisahku? Akhir dari penantianku? Tuhan, kenapa cinta itu menyakitkan? Aku mencintainya, aku menyanyanginya, tapi kenapa Engkau sandingkan ia dengan gadis lain?

Mengapa hanya sekejab saja. Ku merasakan indahnya dengan dirimu. Mengapa hanya untaian kata. Ku rasa tiada sempurna cerita cinta kita. –Kangen Band-Bintang 14 Hari-
***
 
Tempurung kura-kura, 07 Oktober 2017.
.shytUrtle.




Khayalan shytUrtle

Matahariku

04:58


Matahariku


Bagiku, engkau tetaplah matahari. Yang selalu bersinar terang di atas sana. Yang terkadang hangat namun terkadang  panas membakar. Yang hanya bisa kunikmati keindahanmu tanpa bisa aku menyentuhmu. Apalagi memilikimu.


            “Hallo?” aku terdiam ketika mendengar suara wanita menerima teleponku di seberang sana. Sangat lembut. Suara khas seorang ibu. “Hallo?” wanita itu mengulang kembali kata yang sama karena aku hanya terdiam tak membalas sapaannya. “Hallo?” untuk yang ketiga kalinya wanita itu mengucap sapaan yang sama. “Baiklah. Kalau tidak mau bicara akan kututup teleponnya.’
            “I-iya, hallo.” Sahutku dengan sedikit terbata saat mendengar ancaman itu.
            “Oh, anak gadis lagi. Apa kau mencari Ricky? Sayangnya Ricky sedang mengikuti les musik hari ini. Katakan saja ini siapa, nanti akan kusampaikan pada Ricky dan apakah kau akan menelfon lagi nanti? Kau pasti adik kelasnya kan?”
            Aku tercengang mendengar itu semua. Jadi aku bukan gadis—adik kelas- yang pertama yang menelfon Kak Ricky? Wanita di seberang sana—yang aku yakin adalah ibu dari Kak Ricky- sepertinya sangat hafal sekali dengan kebiasaan itu—kebiasaan adik kelas Kak Ricky menelfonnya.
“Iya, aku akan menelfon kembali nanti,” jawabku setelah aku kembali tersadar dari keterkejutanku.
            “Baiklah. Akan kusampaikan pada anakku. Belakangan ini dia tenar sekali. Hehehe,” wanita itu terkekeh dan berbicara dengan nada yang sangat akrab seolah ini bukan pertama kalinya aku menelfon. “Lalu namamu siapa dan kelas berapa?”
            Aku kembali tercengang. Apakah semua gadis—adik kelas yang menelfon- mengatakan nama beserta kelasnya? Tuhan. Apa aku pun harus melakukan itu? “Nanti saja aku akan menelfon kembali. Terima kasih dan maaf mengganggu,” tanpa menyebutkan nama aku buru-buru pamit dan meletakan gagang telepon.
Rasanya begitu lega. Dadaku yang sempat terikat tali tambang besar itu terbebas sudah. Aku lega juga kecewa. Lega karena bisa mengatasi rasa gugupku dan kecewa karena orang yang aku cari ternyata tak ada di rumah. Aku mendesah karenanya.
            “Bagaimana? Disambut baik tidak? Dia mau bicara denganmu?” sambut Mini dengan raut muka penuh penasaran.
            “Aku rasa tidak. Lihat saja bagaimana ekspresinya!” Ari menyahut sembari menggerakan kepalanya menunjuk padaku. “Harusnya aku tak memberikan nomer telepon itu padamu dan tak memaksamu untuk mencoba menelfonnya. Maafkan aku,” sesal Ari setelah dua hari yang lalu memberikan nomer telepon rumah Ricky padaku.
Tidak mudah untuk mendapatkan nomer ponsel Ricky. Kakak OSIS yang lumayan menjadi idola di SMA kami. Ari yang ingin membantuku—karena tahu aku naksir berat pada Ricky- berakhir hanya dengan mendapatkan nomer telepon rumah Ricky dari salah seorang temannya yang kebetulan satu kelas dengan Ricky.
            “Disambut baik kok. Sama Mama-nya,” jawabku untuk menghapus rasa penasaran kedua sahabatku.
            “Sama Mama-nya??” Mini melotot menatapku. “Kok sama Mama-nya sih?”
            “Iya. Kak Ricky lagi les katanya. Besok kita coba lagi yah,” aku tersenyum lebar dan merangkul Mini yang berdiri di samping kiriku.
***

            Naksir berat pada cowok yang jadi idola di sekolah itu memang bikin ngenes. Apa menurutmu Ricky itu sosok yang tinggi, putih, bertubuh atletis atau sejenisnya? Tidak. Ricky bukanlah tipe cowok idola di sekolah dengan kriteria idola dalam sinetron seperti itu. Tidak sama sekali. Ricky berkulit hitam dan tak terlalu tinggi—yang bagiku tergolong pendek untuk ukuran cowok- namun ia memiliki mata elang yang tajam. Suaranya penuh wibawa. Dan ketrampilannya memainkan drum juga gitar tentu menjadi sisi tambahan yang membuat ia cocok dimasukan dalam kategori “idola di sekolah”. Di tambah Ricky seorang anggota OSIS. Lengkaplah sudah persyaratan baginya untuk masuk daftar “idola di sekolah”.

            Jika boleh jujur, awal ketika aku masuk ke SMA tempat aku dan Ricky bertemu, aku tak mengidolakan cowok berkulit hitam itu. Sama sekali tidak. Tatapan pertamaku tertuju pada Agung. Cowok ini boleh aku sebut sebagai cowok “idola di sekolah” dengan kriteria idola dalam sinetron. Dia kurus, tinggi, ceking, berwajah tampan dan cool. Selain termasuk pengurus OSIS, Kak Agung juga tergabung dalam tim sepak bola nomer satu di kota kami. Prestasi di sekolah dan di luar sekolah yang ia miliki benar-benar pantas untuk menyematkan gelar “idola di sekolah” yang sebenarnya. Tapi jangan sekali-kali kau mencoba mendekatinya karena ia sudah memiliki pacar yang juga “idola di sekolah”. Sangat sinetron sekali bukan?

“Adegan di sinetron ada karena itu pernah terjadi di dunia nyata,” begitulah pembelaan Mini setiap kali kami membahas tentang Kak Agung dan pacarnya yang juga “idola di sekolah”. Lalu bagaimana aku bisa berpaling pada Ricky?

            Hari itu hari terakhir MOS—Masa Orientasi Siswa- dan aku sangat ngantuk sekali ketika mengikuti sesi materi yang dibawakan oleh seorang guru. Hampir saja aku jatuh tertidur, namun aku terkejut ketika tiba-tiba seseorang mencolek punggungku sambil memanggilku, “Dek, dek, dek.” Spontan aku menoleh dengan mata terbuka lebar.

Aku terkejut setengah mati. Aku pikir aku telah membuat kesalahan—terkantuk-kantuk dan ketahuan- di sesi ini. “Iya?” aku menoleh dengan nada suara sedikit lantang. Dua kakak OSIS yang duduk tepat dibelakangku tampak terkejut juga melihat bagaimana reaksiku.

            “Kamu ngantuk ya?” tanya Kak Ricky dengan menyunginggkan senyum—yang sumpah membuatku benar malu- sambil menatap lurus padaku.

            “Iyaaa begitulah. Hehehe,” aku pun nyengir bak anak SD yang ketahuan makan sesuatu di dalam kelas.

            “Pembicaranya memang bikin boring, bikin ngantuk,” Kak ricky sedikit mencondongkan badannya ke depan agar lebih dekat padaku yang pastinya agar aku mendengar suaranya yang sedikit berbisik itu dengan jelas.

            Iya, benar. Rasa kagum atau rasa suka atau bahasa bekennya adalah naksir itu bisa muncul dari hal kecil. Seperti yang terjadi padaku yang beralih dari kagum atau entah naksir pada Kak Agung beralih kagum entah naksir pada Kak Ricky. Hanya karena obrolan singkat saat aku terkantuk di salah satu sesi MOS.

Bagaimana sosok Kak Ricky ketika memimpin barisan adik-adik juniornya saat MOS pun terbayang kembali di otakku. Yah, dia memang tak tampan tapi dia sangat manis. Aku suka mata elangnya. Itu sudah cukup kan untuk membuatku naksir padanya? Di tambah obrolan singkat saat aku terkantuk dan berjabat tangan di hari terakhir MOS. “Selamat bergabung di SMA kita ini. Sekarang kau benar-benar murid di sini,” ucap Kak Ricky seraya menjabat erat tanganku.

Kenapa sebelumnya ia tak berdiri dan menjabat tangan para junior yang hendak pulang seperti kakak-kakak yang lain? Kenapa ketika aku dan kedua temanku lewat turut menyalami deretan kakak OSIS dia baru berdiri dan menyalami kami? Apa dia juga naksir aku? Seperti cerita dalam sinetron?
***

            Di usaha kedua menelfon Kak Ricky, Dewi Fortuna berpihak padaku. Kak Ricky sendiri yang menerima panggilan itu dan entah aku gadis yang ke berapa yang menelfonnya sore itu. Sumpah dia sangat ramah. Hangat menyambut obrolan. Karena aku begitu gugup dan tak mau Kak Ricky tahu jatidiriku yang sebenarnya maka aku mengaku sebagai “Ratna” bukan Tyas saat aku menelfonnya.

Sejak menerima sambutan hangat itu, tiga kali dalam seminggu aku selalu menelfon Kak Ricky sebagai Ratna bukan sebagai diriku yang sebenarnya Tyas. Tadinya aku pikir Kak Ricky sama seperti “idola di sekolah” yang lainnya yang angkuh dan sombong, tapi aku salah. Kak Ricky sangat ramah di telepon. Obrolan kami selalu nyambung dan kesukaan kami hampir selalu sama.

Di sela-sela obrolan kami, Kak Ricky tak pernah lupa bertanya aku sebenarnya siapa, kelas berapa dan di mana rumahku namun aku selalu berkelit. Tentang semua sambutan ramahnya dan segala yang kami suka hampir sama memang membuatku melayang. Bahkan sempat aku berpikir apakah dia benar menyukaiku? Namun sisi rasionalku menjawab, ingatlah dia itu termasuk “idola di sekolah” pasti ia bersikap ramah bukanlah hanya padamu tapi juga pada semua gadis yang menelfonnya. Namun tak jarang perasaanku menepis logikaku. Setidaknya biarkan aku menikmati keindahan—keakraban di telepon- walau itu semu.

            Rasa kagum yang kita pupuk dalam kebiasaan itu tentu saja akan tumbuh semakin subur. Naksirku pada Kak Ricky semakin menjadi. Berkhayal tentang bagaimana hubunganku dengan Kak Ricky selanjutnya—yang pasti adalah khayalan kami pada akhirnya pacaran- hampir setiap hari memenuhi otakku. Di sekolah, memperhatikan Kak Ricky secara diam-diam pun telah menjadi rutinitas bagiku. Yah, kami memang akrab di dunia maya—di telepon- namun di dunia nyata, kami dua makhluk yang hanya saling tahu satu sama lain sebagai senior dan junior.

            “Kau benar akan meminjamkan CD Backstreet Boys itu padaku?” aku berbinar. Salah satu kesamaan kami adalah kami sama-sama menyukai lagu-lagu dari Backstreet Boys. Suatu ketika Kak Ricky pernah memutarkan lagu favoritku Spanish Eyes ketika aku menelfonnya.
            “Tentu saja. Kita harus bertemu. Ayolah. Kenapa kau selalu menolak untuk bertemu? Berhenti menyembunyikan jatidirimu dariku,” Kak Ricky menyanggupi.
            Bertemu? Berhenti menyembunyikan jatidirimu dariku? Apa Kak Ricky telah tahu aku yang sebenarnya siapa? Apa aku, Ari dan Mini membuat kesalahan di sekolah hingga kedok kami terbuka? Bagaimana ini?
            “Hari Sabtu kau ada pelajaran renang kan? Kebetulan aku ikut tes susulan karena itu aku akan ikut kelas X. Kita bertemu di sana. Akan kubawa CD BSB-nya untukmu. Jangan menolak.”
            Tut.. tut… tut… Kak Ricky menutup telepon sebelum aku setuju atau menolak. Tuhan. Sabtu nanti haruskah aku bertemu langsung dengannya? Aku… dilema.
***

            Sejak pagi aku gusar. Hari Sabtu, hari di mana pelajaran renang digelar usai jam sekolah. Hari di mana Kak Ricky akan mengikuti tes renang susulan dan bergabung dengan kami murid-murid kelas X. Hari di mana Kak Ricky memintaku untuk menmuinya karena ia akan membawakan CD Backstreet Boys yang akan aku pinjam darinya. Haruskah aku benar-benar menamuinya dan membuka jatidiriku yang sebenarnya setelah sebulan menjalin keakraban dengannya di telepon?

            Aku lega ketika sampai di kolam. Hanya ada murid-murid kelas X di sana. Tidak-tidak. Ada beberapa murid kelas XI yang ikut tes susulan juga namun tak ada Kak Ricky di sana. Aku menghela napas lega. Aku pun turun untuk bersiap mengikuti pelajaran renang. Karena guru olah raga masih sibuk dengan tes susulan para senior, kami para junior pun harus menunggu di pinggir kolam. Aku. Ari dan Mini duduk berjajar bersama beberapa siswi dari kelas kami di pinggir kolam. Kami merendam kaki di dalam kolam sembari mengobrol.

Perhatian para siswi yang duduk satu deret dengan kami beralih. Mereka menjadi riuh dan menatap ke arah pintu masuk kolam. Seperti telah di komando oleh guru olah raga, aku, Ari, dan Mini pun turut menatap ke arah pintu masuk kolam. Kedua mataku terbelalak melihat satu-satunya pemandangan muncul di pintu masuk. Kak Ricky berjalan masuk dan yang membuat kedua mataku terbelalak bukanlah Kak Ricky yang berjalan dengan memamerkan CD Backstreet Boys yang aku pesan, tapi adanya gadis yang berjalan di samping Kak Ricky dengan tangan kanannya di gandeng tangan kiri Kak Ricky. Mereka… mesra sekali. Apa mereka pacaran?

            “Iya. Mereka itu pacaran. Sejak mereka SMP,” seolah mendengar pertanyaan di otakku salah seorang teman sekelasku melontarkan jawaban.
“Aku tahu karena aku satu sekolah dengan mereka. Aku sih suka nelfon Kak Ricky karena Kak Ricky enak diajak ngobrol. Itu aja,” imbuhnya enteng menjelaskan alasan kenapa ia juga suka menelfon Kak Ricky.
“Itu sebabnya kenapa aku selalu bilang pada kalian, jangan naksir idola di sekolah karena aku jamin kalian pasti akan patah hati. Semua idola di sekolah kita sudah punya pacar,” lagi-lagi ia menambahkan membuat dadaku semakin sesak seolah aku akan pingsan saat itu juga karena kehabisan napas. Namun sekuat tenaga aku tetap berusaha tegar—tak mengalihkan pandanganku dari menatap Kak Ricky dan pacarnya yang tak lain adalah teman seangkatan kami siswi kelas X- bahkan aku tersenyum kagum menatap keduanya di depan teman-temanku.

Aku tahu Ari dan Mini kompak menatapku dengan tatapan haru atau lebih pantasnya kasihan ketika aku tersenyum untuk Kak Ricky dan kekasihnya.

            Setelah kejadian itu, aku tak pernah menelfon Kak Ricky lagi. Benar yang dikatakan Silvia, “Jangan naksir idola di sekolah karena aku jamin kalian pasti akan patah hati. Semua idola di sekolah kita sudah punya pacar.”

Bagaimanapun juga matahari hanya bisa dipandang tak bisa disentuh apalagi dimiliki.
***


Tempurung kura-kura, 15 Mei 2016.
.shytUrtle.




Search This Blog

Total Pageviews