Khayalan shytUrtle

Istri Untuk Anakku

05:12

Istri Untuk Anakku
Ketika hati mencintai seseorang, namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
         
          Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah.  Dari belum kawin menjadi kawin. Aku memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi suamiku.”
***

Tuan Tanah Memilihnya

            “Mas, ada yang jual tanah di kampung sebelah. Mas Karyo minat?” tanya Harto.
          “Tanah milik siapa? Apa bukan tanah sengketa?”
          “Janda bernama Murti.”
          “Benar dia pemiliknya? Selidiki dulu, baru negosiasi.”
          “Baik, Mas.”
***

Harto segera mencari informasi tentang Murti dan sebidang sawah yang hendak ia jual. Dalam urusan ini Harto selalu turun tangan sendiri. Terjun ke lapangan untuk penyelidikan. Harto duduk di warung rujak di kampung tempat Murti tinggal. Sambil memesan rujak dan menunggunya, Harto mulai bertanya-tanya pada si pemilik warung perihal Murti. Dari pemilik warung rujak itulah Harto tahu banyak tentang Murti dan keluarganya.

Usai melaksanakan tugasnya, Harto langsung melapor pada kakak sekaligus bosnya Sukaryo. Harto melaporkan semua informasi yang ia peroleh tentang Murti, termasuk tentang Galuh yang hidupnya bak Putri Abu dalam dongeng. Sukaryo menjadi sedikit penasaran pada keluarga Murti itu. Ia memerintahkan Harto untuk menemui Murti dan mencoba negosiasi tentang sebidang sawah yang ditawarkan Murti padanya.
***

Harto pun berkunjung ke rumah Murti untuk melakukan negosiasi. Murti menyambut baik tangan kanan Tuan Tanah Sukaryo itu. Ramah saat ia menyambut Harto dan memperlakukannya dengan baik. Joyo—adik Murti, turut menemani Murti untuk negosiasi harga sawah.

“Sebelumnya saya minta maaf. Menurut yang saya dengar, sawah yang akan Anda jual ini sebenarnya adalah bukan milik Anda. Akan tetapi milik gadis yatim piatu bernama Galuh yang juga tinggal di rumah ini. Apa itu benar?” tanya Harto sopan.
Murti menarik senyum lebarnya mendengar pertanyaan itu.
“Kalau boleh, saya ingin ketemu sama Galuh. Pemilik sawah yang akan Anda jual.” imbuh Harto.
“Jadi Pak Harto nggak percaya sama saya? Galuh udah pasrah sama saya!” nada bicara Murti berubah ketus.
“Bukan begitu. Kami nggak ingin membeli tanah yang bermasalah. Galuh masih hidup kan? Jadi apa salahnya jika saya ingin bertemu sama Galuh?”
“Galuh sudah pasrah dan setuju sama jual-beli ini!”
“Maaf.” sela Joyo. “Kami tak keberatan. Hanya saja hari ini Galuh tidak ada di rumah.” Joyo lebih sopan.
Harto diam sejenak. “Lalu, kapan saya bisa bertemu Galuh secara langsung? Apa besok bisa?”
***

Hari berikutnya Harto kembali datang. Ia kembali meminta untuk bertemu langsung dengan Galuh sembari menyerahkan uang jual-beli sawah. Hal ini tak lain karena Harto penasaran dengan sosok Galuh yang terus dipuji oleh pemilik warung rujak kala itu.

Galuh duduk melihat anak-anak bermain di tepi sungai. Ia duduk di atas batu di tepi sungai. Sesekali Galuh tersenyum melihat tingkah anak-anak yang sedang bermain. Rahma menyusul dan menyampaikan pesan Joyo. Rahma sedikit memaksa hingga Galuh mau pulang bersamanya.

Joyo membawa Galuh ke ruang tamu. Harto yang lumayan lama menunggu terpukau ketika bertatap muka pertama kali bersama Galuh. Ia membenarkan pendapat pemilik warung rujak itu. Galuh cantik. Ia pantas disebut sebagai bunga desa di kampung tempat tinggalnya. Saat berbincang pun Galuh sangat sopan di depan Harto.

“Sekarang saya lega sudah ketemu sama kamu Galuh.” ungkap Harto usai menyerahkan uang jual-beli pada Galuh. “Semoga uangnya berguna buatmu.”
Galuh tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Pak.” ucapnya sopan.
***

“Ya, panteslah disebut bunga desa. Benar-benar cantik, Mas. Sayang hidupnya tak begitu mujur. Bak gadis dalam dongeng Putri Abu.” Harto antusias bercerita tentang Galuh.
“Gadis dalam dongeng Putri Abu?”
“Iya. Gadis cantik dan baik hati, punya harta warisan melimpah namun tak bisa menikmatinya. Bedanya di sini harta Galuh nggak dikuasai ibu tiri melainkan dikuasai bibinya. Pantas saja jika para pemuda tergila-gila. Gadis itu benar-benar cantik.”
“Siapa namanya?”
“Galuh. Galuh Widati.”
“Galuh Widati?” bisik Lasmi yang tidak sengaja mendengar obrolan dua putranya itu. “Galuh Widati? Gadis inikah yang diinginkan Karyo untuk menjadi istrinya?” gumam Lasmi.
***

“Cerita romantis, pangeran tampan atau pemuda kaya raya yang jatuh hati pada gadis cantik namun miskin itu hanya ada dalam dongeng dan sinetron Mbak.” kata Rahma yang duduk berdampingan dengan Galuh di kamar. “Mbak Galuh tinggal milih aja. Banyak cowok yang ngantri buat dapetin hati Mbak Galuh. Masak iya nggak ada yang nyantol sih Mbak.”
“Kalau aku pilih satu trus yang lain nggak terima gimana? Aku belum nemu pria yang pas. Sosok yang bisa membuatku benar-benar jatuh hati padanya. Sosok pria yang mampu menggetarkan hatiku saat aku bertatap muka dengannya. Sosok yang mau menerimaku apa adanya.”
“Jadi, Mbak Galuh memilih tetap menunggu Pangeran Berkuda Putih datang menjemput Mbak Galuh daripada memilih salah satu dari pria-pria yang mengejar Mbak Galuh dan mencoba menjalin hubungan dengannya? Di sini gadis seusia Mbak Galuh udah pada nikah lho. Jangan sampai nanti Ibu turun tangan juga masalah ini. Aku khawatir ntar Mbak Galuh dijodohkan dan Mbak Galuh mau aja.”
“Aku nggak mau menyia-nyiakan waktuku dengan mencoba-coba menjalin hubungan dengan pria yang aku sendiri tak begitu menaruh hati padanya.”
“Kalau nggak dicoba dulu mana kita tahu sosok itu cocok benar yang kita cari dan kita inginkan apa nggak. Tapi keren juga prinsip Mbak Galuh. Inilah kenapa aku selalu pengen jadi kayak Mbak Galuh.”
“Jadi diri kamu sendiri. Itu yang terbaik.”
Rahma tersenyum, menganggukkan kepala lalu memeluk Galuh.
***
Lasmi mulai bergerak mencari tahu tentang Galuh Widati tanpa sepengetahuan Harto dan Sukaryo. Ia mengirim orang kepercayaannya untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Galuh Widati. Usai mendapatkan informasi tentang Galuh, Lasmi semakin dibuat penasaran pada Galuh.

Lasmi sengaja berkunjung ke kampung tempat Galuh tinggal. Dengan menaiki andong kesayangannya, Lasmi berkeliling kampung. Lasmi sampai di depan rumah yang disebut-sebut sebagai rumah Galuh. Ia memperhatikan seorang wanita yang sedang menyapu halaman rumah sore itu. Lasmi pun turun dan menghampirinya.

Murti dibuat tertegun oleh kemunculan Lasmi di depannya.
“Boleh aku masuk ke rumahmu sebentar?” tanya Lasmi.
“Oh. Tentu saja. Mari. Monggo-monggo.” Murti mempersilahkan. “Maaf sangat buruk. Inilah gubuk kami.”
Lasmi mengamati rumah sederhana itu. Bersih dan nyaman. Lasmi duduk nyaman di sofa kecil di ruang tamu. Murti segera kembali dan menjamu Lasmi dengan secangkir teh hangat.
“Mengejutkan tiba-tiba Nyonya Besar berkunjung kemari.” Murti malu-malu.
“Kamu Murti?”
“Iya, Nyonya.”
“Aku datang kemari dengan niat baik. Aku ingin mencari istri untuk anakku.”
“Istri?” Murti berbinar. Ia menduga Lasmi telah memilihnya untuk menjadi pendamping entah Sukaryo atau Harto. Murti berseri dan senyum-senyum sendiri. “Istri untuk Tuan Karyo?” tanyanya kemudian.
“Iya.”
Murti sumringah. “Status saya janda beranak dua. Apa Nyonya Besar tak keberatan tentang ini?”
Lasmi terkejut. Kemudian ia tersenyum geli melihat tingkah Murti. “Aku datang kemari karena ingin bertemu Galuh Widati. Dia juga tinggal di rumah ini kan?”
“Galuh?!” pekik Murti melotot kaget.
“Iya. Sepertinya anakku, Karyo mennginginkannya. Sepertinya anakku menyukai keponakanmu itu. Apa kau keberatan?”
Murti terdiam dan berpikir. Lalu kusir dan seorang pengawal Lasmi masuk membawa bingkisan-bingkisan yang telah disiapkan Lasmi. Murti kembali dibuat terkejut melihat banyaknya bingkisan yang dibawa Lasmi.
“Galuh Widati, apa dia ada?” tanya Lasmi.
Murti tersadar. “Galuh… Galuh sedang tak di rumah. Dia keluar. Pamitnya ke warnet. Apa Nyonya mau melihat fotonya?”
“Boleh.”
Murti bergegas ke kamar Galuh dan mengambil album foto milik Galuh. Buru-buru ia kembali dan menunjukkan album foto Galuh pada Lasmi.
Lasmi membuka lembar demi lembar album foto dalam pangkuannya. Ia tersenyum mengamatinya. “Cantik. Aku menyukainya.”
“Ha?!!” Murti terkejut. “Apa Galuh tak terlalu muda? Ia baru saja genap 23 tahun bulan kemarin.”
“Jika anakku telah memilihnya, tak jadi masalah bagiku. Mendengar cerita orang-orang tentang Galuh, aku yakin ia bisa menjadi ibu dan istri yang baik bagi cucu-cucu dan anakku. Aku harap kau mau membantuku. Akan kuberikan apa pun yang kau minta. Pastikan Galuh setuju menikah dengan Karyo. Pastikan Galuh menerima lamaran Karyo.”
“Lamaran??”
“Untuk apa di tunda-tunda?”
Murti kembali diam dan berpikir. “Baiklah, Nyonya. Saya akan mencoba bicara dan membujuknya.” Murti menyanggupi.
Lasmi tersenyum lebar mendengarnya.

Murti mondar-mandir di ruang tamu setelah Lasmi pergi. Ia bingung. Ia menyanggupi Lasmi, namun ia tak yakin Galuh akan setuju. Di satu sisi ia iba pada Galuh. Bagaimana nasib anak perawan yang akan dinikahi duda beranak tujuh? Di sisi lain Murti membayangkan bagaimana enaknya hidup yang akan ia jalani setelah Galuh menikah dengan Tuan Tanah itu. Murti juga merasa takut. Takut Galuh kabur ketika mendengar permintaannya untuk menerima lamaran Sukaryo dan setuju menikah dengan Tuan tanah kaya raya itu.
***

Rasa iba Murti tergeser oleh ketamakannya. Tanpa meminta persetujuan Galuh terlebih dahulu Murti menerima lamaran Lasmi. Murti menyusun rencana agar Galuh setuju menikah dengan Sukaryo.

Lasmi mempercayai janji Murti. Ia mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Sukaryo dan Galuh. Bingkisan khas lamaran langsung ia kirim ke rumah Murti.

Sukaryo curiga. Ia pun bertanya pada Lasmi yang belakangan ini terlihat begitu sibuk. Sukaryo benar kaget ketika Lasmi mengatakan tengah mempersiapkan pernikahan untuknya. Lasmi mengatakan semua sudah diatur. Bahkan tanggal pernikahan telah ditentukan.
***

Galuh jatuh terduduk lemas di kamarnya. Tumpukan bingkisan tertata rapi di sana. Galuh tak pernah tahu tentang rencana itu sebelumnya. Tiba-tiba saja Murti mengatakan ada hantaran untuknya dan itu semua untuk pernikahannya dengan Sukaryo yang telah diatur dengan matang. Galuh menangis tersedu. Sedang di luar sana terdengar cek-cok antara Rahma dan Murti. Rahma menentang perjodohan itu.

Ya Allah… inikah akhirnya? Seperti inikah garis hidup yang harus aku jalani? Inikah takdirku? Haruskah aku menerimanya? Hamba tak sanggup ya Allah. Hamba sangat rapuh dan tak sanggup menjalani ini semua. Batin Galuh disela isak tangisnya.
***

 

Tempurung kura-kura, 10 Juli 2017.
. shytUrtle .

Creepy Story

Bilik shytUrtle – My Creepy Story: Pulang Bersama Tiga Peri.

06:29



Bilik shytUrtle – My Creepy Story: Pulang Bersama Tiga Peri.





Kalau di video aku bilang aku baik-baik saja itu bohong!!! Nyatanya, pusing yang aku rasakan pada hari Minggu itu bukanlah efek dari nekat makan teri. Tapi... yah! Kayak biasanya. Efek gesekan dengan energi dari makhluk astral yang ikut pulang. Lagian, sejak kapan makan teri bikin pusing? Yang ada, kalau alergi jadi gatel-gatel kan? Heuheuheu...

Coban Bidadari, the real rumahnya para bidadari. Mungkin lho ini. Karena yang tinggal di sana kebanyakan kaum peri yang cantiknya kayak bidadari, jadi wana wisatanya dikasih nama Coban Bidadari. Aku hanya menyimpulkan usai mengalami peristiwa itu.

Yap! Di video Paranormal Experience terbaruku, aku mendongeng tentang "Pulang Bersama Tiga Peri". Ini versi tulisannya. Jadi yang males nonton videonya, baca ini aja. Hehehe.
Video



Kamis, 20 Juli 2017 lalu aku dan Thata juga dua teman kerja Thata berkunjung ke wana wisata Coban Bidadari. Baca di sini tentang Coban Bidadari dan pesonanya.


Seperti yang aku jabarkan dalam tautan di atas, kami kesorean naiknya. Jadi nyampek lokasi udah mendung. Dan, karena keasikan bermain di sana. Turun pas masuk waktu Maghrib. Sepanjang jalan diselimuti kabut waktu turun. Alhamdulillah turun dengan selamat.

Aku emang jarang banget keluar di hari Kamis atau malam Jum'at. Kemarin itu, bukan nekat sih. Aku emang penasaran sama Coban Bidadari. Kebetulan ada yang ngajak. Jadi, kenapa tidak?

Lagi pula, kalau dihitung dari jam berangkat—yang awalnya dijadwalkan jam dua siang, nggak bakal kemalaman. Tapi, manusia hanya bisa berencana. Tuhan lah yang kuasa menentukan. Jam berangkat molor dan kami kemalaman.

Pas di atas, di lokasi wana wisata sengaja data seluler aku matikan. Sinyal ada, tapi lebih pada buat hemat baterai aja sih. Pasti Yu (nama ponselku) sibuk buat abadiin foto dan video. Malu lah kalau pasang PB yang kabelnya kayak mummy itu. Hahaha.

Nyampek Gubugklakah, nyalain data seluler. Pesan WhatsApp berbondong-bondong masuk. Dari Memes yang paling banyak. Nanyain aku di mana, nggak boleh lama-lama di atas biar turunnya nggak kemalaman. Plus ngingetin kalau hari itu adalah hari Kamis malam Jum'at.

Bukannya sok melanggar ya. Kan emang jadwal perjalanan hari itu berjalan nggak sesuai rencana. Tapi, aku udah pas aja di hati. Makanya berani mengiyakan untuk pergi. Pas di lokasi juga udah permisi dulu sebelum masuk wana wisatanya.

Namanya aja wana wisata ya. Jadi ya benar-benar hutan. Dan, karena masih baru banget. Jadi ya gitu. Masih sepi bangunan. Di dominasi hutan di sana-sini.

Selain dari Memes, ada WhatsApp dari Tunjung juga. Sengaja WA dari Tunjung nggak aku buka dulu. Pas nyampek di warung bakso, baru buka pesan dari Tunjung.

Njung Beb: Sido tah nang coban widodari?
Kurayui: Iya. Njung Beb: Wis di rumah a?
Kurayui: Maem bakso di Belung.
Njung Beb: Enak e........
Kurayui: Hehehe.
Njung Beb: Helom nggak oleh sambatan migren lho. Cepak no banyu degan.
Kurayui: Ojo a (T_T) Aku wes pakek gelang e tadi. Tidak ada degan buka (T_T)

Lalu, tidak ada balasan lagi dari Tunjung.


Jum'at siang, Tunjung nyamperin ke markas. Aku pun langsung memberondong dia dengan pertanyaan tentang pesannya via WhatsApp semalam.

"Jadi, beneran ada yang ikut pulang?" buruku.
"Iya. Tiga lho yang ikut kamu pulang."
"Wih! Nggak tanggung-tanggung! Tapi, alhamdulillah aku nggak migren lho! Tetep harus beli degan ya?"
"Iya lah. Buat jaga-jaga."
"Yang ikut aku pulang apa?"
"Peri. Golongan peri parahyangan gitu lah."
"Wah! Cantik dan ganteng dong?"
"Iya lah. Namanya aja peri. Cewek-cewek tiga yang ikut kamu. Seumuran Yani, Rara, sama yang satu kayak seumuran Rana." Tunjung mendeskripsikan penampilan tiga peri yang ikut aku pulang. Satu seumuran anak SMA (Yani), satu seumuran anak SD (Rara), dan satu seumuran anak TK (Rana).
"Wah! Pasti cantik dan lucu ya. Itu aku ketemu sama mereka di sebelah mana? Dan, kenapa mereka ikut aku? Bukan pengunjung yang lain?"
"Di pohon jejer tiga. Aslinya di deket air rumah mereka. Paling ya ada pengunjung lain. Kebetulan kamu yang terdeteksi."
"Pohon jejer tiga? Di dekat air terjun? Pohon yang disarungi bukan?" ketika aku membuat video tentang Coban Bidadari, aku berhenti lumayan lama di dekat tiga pohon yang di ikat dengan kain kotak-kotak warna hitam dan putih. Ala-ala di Bali gitu.
"Iya. Tapi tinggale asli ne mereka di deket air."
"Oh, jadi gitu. Di air terjun tinggalnya? Wujud mereka kayak gimana?"
"Kayak kita. Ya, kayak manusia gini. Tapi, pakaiannya pakaian kerajaan. Pakek jarik dan kebaya gitu."
"Cantik-cantik pasti ya. Hehehe. Selama ikut aku, mereka ngapain aja? Itu cuman pas Kamis malam tok kan ya? Apa sekarang masih di sini?"
"Tahuku sesaat itu aja. Sekarang aku rasain ndak ada mereka di sini. Cuman ikut aja, kayak ngamati apa yang kamu kerjain."
"Jadi kayak ABG manusia juga ya. Rasa ingin tahu dan penasarannya tinggi. Jadi, di sana emang penghuninya rata-rata peri ya?"
"Iya."

Sampai Sabtu malam, aku masih baik-baik saja. Tidak ada migren dan pusing sejenisnya. Hari Minggu, udah niat nggak ke mana-mana. Capek. Rabu dan Kamis udah dolen. Jadi, hari Minggu -nya di rumah aja.

Sarapan kepincut oseng-oseng daun pepaya dan singkong yang ada terinya. Karena ikan terinya terlalu kecil, aku kesulitan memilihnya agar nggak ikut termakan. Maklum, sejak keracunan teri zaman SMA dulu. Aku jadi trauma makan teri.

Nggak lama setelah sarapan, kepalaku pusing. Aku pikir sih efek makan oseng-oseng yang ada terinya. Tapi, sejak kapan makan teri bikin pusing? Tensiku pun cenderung rendah. Jadi, aman aja kalau makan daun singkong dan daun pepaya.

Tetep aja mikirnya itu pusing karena salah makan. Cuman minum air putih banyak-banyak dan istirahat.

Lalu, Memes membelikan tiga butir kelapa hijau. Tapi, bukan degan ijo asli. Satu dibawa Buk I (ibunya Thata) dan dua di pecah. Dapat airnya sebanyak 3/4 botol aqua besar. Dikasih ke aku semua sama Memes. Memes dan Buk I cuman icip masing-masing satu gelas.

Setelah minum segelas air degan, beberapa menit kemudian pusingku reda dan berangsur hilang. Bahkan aku langsung bisa kembali beraktifitas. Membabu ria, mencuci baju. Setelah nyuci, sorenya udah baikan juga. Anehnya, menjelang Maghrib kerasa lagi itu sakit kepala. Tapi, aku masih sempet bikin video paranormal experience. Hehehe.

Kelar bikin video, sakitnya makin menjadi. Aku nggak kuat dan telpon Tunjung.

"Kamu belum dapat degannya?" tanya Tunjung usai aku mengeluh sakit kepala. "Kan udah aku bilang, sedia banyu degan!"
"Tadi baru dapet. Udah aku minum juga. Tadi lho udah mendingan. Eh, ini sakit lagi."
"Masih ada air degannya?"
"Ada. Tinggal segelas."
"Udah. Buruan habisin!"

Buru-buru habisin air degan yang tersisa. Lalu, berdiam diri dalam tempat yang gelap. Hingga terlelap.

Alhamdulillah Senin pagi, terbangun dalam kondisi sangat baik. Dan, bisa bekerja dengan baik dan lancar pula.

Dan, ternyata... Thata juga mengalami gejala yang sama. Bahkan, hari Minggu itu dia tepar total. Baru membaik setelah minum air degan ijo.

"Aku kemarin nggak kuat apa-apa. Pegang hape dan bangun aja susah. Kepalaku kayak dipukuli sama palu." keluh Thata.

I feel you. Bahkan, aku kadang lebih dari itu.

Ternyata, masih tidak kuat ketika energi kami bersinggungan dengan energi makhluk astral. Bahkan, Thata ikut merasakannya.

Well, demikian cerita kami yang pulang bersama tiga peri. Jangan karena membaca tulisan ini, jadi takut main ke Coban Bidadari. Ingat! Makhluk astral itu ada di mana-mana. Ndak di hutan aja. Di rumah pun kita berbagi sama mereka. Asal sopan dan saling menghargai, inshaa ALLOH aman.

Maaf jika ada salah kata. Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Tempurung kura-kura, 26 Juli 2017.
. shytUrtle .

 

Search This Blog

Total Pageviews