AWAKE "Rigel Story" - Bab IV

06:09

AWAKE - Rigel Story
 


Bab IV
 
 
Selain menerima materi dari para guru pembimbing, ada latihan baris-berbaris, serta berburu tanda tangan para senior yang menjadi kegiatan dalam MPLS. Ada hukuman bagi peserta yang melakukan kesalahan saat sesi latihan baris-berbaris. Sedang dalam sesi perburuan tanda tangan, tak jarang para senior mengerjai junior mereka.
Pearl dan gengnya sangat menikmati sesi perburuan tanda tangan. Mereka gemar sekali mengerjari para junior yang meminta tanda tangan pada mereka. Anggota MPK yang menjadi panitia dan mengawasi jalannya MPLS sampai berulang kali menegur mereka.
Jika Pearl dan kedua rekannya gemar mejeng saat sesi perburuan tanda tangan. Rue dan gengnya malah lebih sering menghindar dari sesi itu. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kantor Dewan Senior selama sesi perburuan tanda tangan dimulai. Bukan hanya karena mereka bukan panitia MPLS. Tapi, juga karena mereka tidak bisa jika harus ‘mengerjai’ para junior dahulu sebelum membubuhkan tanda tangan di buku yang dibawa para junior.
Ketika tak sengaja tertangkap junior, Rue hanya mengajak ngobrol mereka sejenak sebelum memberikan tanda tangannya. Hanjoo langsung membubuhkan tanda tangannya. Sedang Dio dan Byungjae, meminta junior mereka untuk bernyanyi.
Rue, juga panitia merasa sedikit lega. Hari pertama dan kedua MPLS berjalan dengan lancar. Tidak ada murid kesurupan atau laporan murid dihantui.
Hari ketiga—yang juga menjadi hari terakhir MPLS, semua murid baru peserta MPLS diwajibkan menginap di sekolah. Para senior sudah mengatur ruang kelas X sedemikian rupa hingga bisa dijadikan tempat untuk tidur bagi peserta MPLS. Bangku dan meja ditepikan. Alas untuk tidur pun sudah disediakan. Ruang tidur untuk siswa dan siswi pun dipisahkan. Mereka tak dikumpulkan berdasarkan kelas lagi. Tapi, berdasarkan gender. Sedang para senior, ada yang menyiapkan tempat untuk tidur di kantor Dewan Senior/MPK. Ada pula yang memilih tidur di kantor ekstrakurikuler yang mereka ikuti.
Rigel memilih basecamp PMR (Palang Merah Remaja) sebagai tempat menaruh barang-barang mereka. Juga, sebagai tempat untuk tidur malam nanti. Rue dan ketiga temannya memang tergabung menjadi anggota ekstrakurikuler PMR. Bahkan Hanjoo menjabat sebagai ketua dalam organisasi itu.
***

“Bagaimana ruang tidurmu?” tanya Esya pada Hojoon saat bertemu usai mengantre untuk membersihkan diri. Langit yang tadinya menguning kini telah berubah hitam. “Kamu yakin kalau kamu baik-baik saja?” imbuhnya seraya menoleh ke arah kanan. Menatap Hojoon yang berjalan di sampingnya.
“Aku harus baik-baik saja. Ada teman sekelas yang jadi satu ruangan denganku. Aku nanti tidur bersebelahan dengannya.” Hojoon terdengar malas.
“Bersabarlah. Hanya semalam.”
“Malam paling menyebalkan seumur hidupku. Kelak, kalau aku jadi Menteri Pendidikan. Aku akan hapus MPLS.”
Esya tergelak mendengar ocehan Hojoon. “Kamu hanya kurang bisa menikmati momen ini.”
“Oh, Esya sayang. Apa yang bisa dinikmati dari momen penyiksaan seperti ini? Dan, coba pikirkan. Apa keuntungan yang kita peroleh dari… yah! Kegiatan tak berguna ini?”
“Jika MPLS dinilai tak berguna. Mungkin sudah lama ditiadakan.”
“Hey! Departemen dan Kementrian Pendidikan sedang meninjau ulang tentang MPLS lho!”
“Ya, ya, ya.” Esya mengangguk-anggukan kepala. “Coba pikirkan ulang apa yang dikatakan Nenek. Mungkin benar, nantinya kau akan menemukan apa yang kau cari di sini.”
“Aku tak yakin. Menurutku itu… konyol.”
“Konyol??” Esya menghentikan langkah. Kedua mata bulatnya melebar. Menatap Hojoon tajam sebagai ekspresi protes.
Hojoon ikut menghentikan langkah. Balas menatap Esya. “Lima tahun berlalu. Iya kalau dia masih tinggal di kota ini dan bersekolah di sekolah ini.”
“Aku percaya pada firasat nenek. Aku percaya, kau akan menemukan apa yang kau cari di sini. Nenek memilih kembali menetap di kota ini karenamu Hojoon. Mencari seseorang yang menolongmu malam itu menjadi prioritas tersendiri bagi nenek. Bukannya aku tak suka kita kembali ke kota ini. Aku hanya tak suka kau menyebut keyakinan nenek sebagai hal yang konyol!”
“Maafkan aku. Aku tahu aku salah. Huft!” Hojoon menghela napas.
Esya bersedekap. Memiringkan kepala mengamati Hojoon. Sahabat sekaligus saudara sepupunya itu tampak gusar. “Kau takut Hojoon?”
“Mm?” Hojoon kembali menatap Esya.
“Menginap di sekolah yang terkenal angker dan jurit malam. Aku tahu kau benci itu semua. Harusnya aku tak memaksamu ikut. Kau bisa izin dengan alasan sakit. Maafkan aku.”
“Tak apa. Aku laki-laki. Aku hanya sedikit gugup.” Hojoon membetulkan letak kacamatanya.
Esya tersenyum manis. “Aku tahu kau pasti bisa. Aku yakin kau pasti bisa mengalahkan ketakutanmu. Lagi pula ada Rigel. Mereka pasti menjaga kita.”
Hojoon mengulas sebuah senyuman kaku di wajahnya. Lalu terdengar pengumuman yang meminta para murid baru yang sudah selesai membersihkan diri segera menuju kantin untuk makan malam.
“Sampai ketemu di kantin.” Esya melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan Hojoon.
Hojoon menghela napas panjang. Ia termenung di tempat ia berdiri. Selama beberapa saat. Hojoon terkejut hingga terlonjak ketika ia merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya.
Rue terkejut melihat reaksi Hojoon. Ia mengamati Hojoon yang terlihat ketakutan. “Maaf jika aku mengejutkanmu,” jarnya meminta maaf. “Aku bertanya padamu, tapi kau diam saja. Karenanya aku menepuk pundakmu. Maaf jika itu membuatmu terkejut.”
Hojoon hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi ocehan Rue yang entah datang dari mana dan tiba-tiba menepuk pundaknya.
Senyum terkembang di wajah Rue. Menampakkan satu lesung pipi di pipi kanannya. “Jangan terlalu banyak bengong, melamun, atau termenung seperti tadi. Terlebih di peralihan dari sore ke malam seperti ini. Itu berbahaya. Kau tahu reputasi sekolah kita kan?”
Hojoon mengangguk sebanyak dua kali. Sisa ekspresi kaget masih ada di wajahnya.
“Apa kau tersesat? Kau kelas berapa?”
“Tid-tidak. X-8.” Hojoon terbata.
“Jika tidak, sebaiknya kau segera ke kantin untuk makan malam.”
Hojoon mengangguk. Membungkukkan badan, lalu bergegas pergi dari hadapan Rue. Saat ia menoleh, ia melihat Rue masih berdiri di sana. Mengamatinya. Hojoon mempercepat langkahnya. Menuju kelas yang akan menjadi kamar tidurnya malam nanti.
***
“Woa! Kak Rue menegurmu? Beruntung sekali kamu!” Axton Kim antusias saat Hojoon bercerita tentang Rue menegurnya. Dia adalah pemuda berdarah Korea-pribumi, teman sekelas sekaligus sekamar tidur—di ruang kelas X-5—Hojoon.
“Lagian kamu ngapain bengong di dekat aula?” tanya Axton usai memasukan sesendok nasi ke mulutnya. “Padahal sudah diperingatkan berulang kali agar tak melamun, agar tak bengong biar nggak kesurupan!”
Esya yang duduk di samping kiri Hojoon melirik Axton yang duduk berhadapan dengan Hojoon. Sembari mengunyah makanan dalam mulutnya, ia memperhatikan Axton. Pemuda berhidung mancung dan bermata sipit dengan rambut bergelombang  itu terlihat menyenangkan dan sedikit banyak bicara.
“Terlebih saat berada di kelas X-5, tempat kita tidur malam nanti. Jangan banyak bengong. Katanya, kelas X-5 itu adalah kelas paling angker di kelas X.” Axton terus mengoceh. “Katanya, pernah ada siswi kesurupan dan menari-nari di sana. Tarian tradisional.”
“Axton!” Esya menegur. “Bisa nggak sih kamu berhenti ngomongin hal creepy tentang sekolah kita?!” Esya melirik Hojoon yang terlihat kaku karena ketakutan mendengar ocehan Axton.
“Aku hanya bicara tentang sekolah kita yang katanya benar begitu adanya. Kita semua tahu bagaimana sekolah kita, kan?” Axton membela diri.
“Ya! Aku tahu. Mungkin kau lupa tentang satu hal. Katanya, jika kita membicarakan mereka yang bisa melihat kita tapi kita tak bisa melihat mereka. Mereka akan datang untuk menyimak dan mengoreksi apa yang sedang kita bicarakan tentang mereka.”
Axton menelan sisa makanan di dalam mulutnya. Diam menatap Esya. Ia terlihat sedikit ketakutan usai mendengar ocehan Esya.
“Jadi, sebaiknya kita diam dan menikmati makan malam ini. Atau, bicarakan hal lain saja!”
“Maafkan aku.” Axton beralih menatap Hojoon. “Hojoon, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat pucat. Apa kamu takut? Oh, teman! Maafkan aku. Aku tidak tahu jika kau penakut. Aku pun sebenarnya penakut. Tapi, ada Rigel di sini. Aku yakin Kak Rue dan juga kakak-kakak senior yang tergabung dalam ekskul metafisik akan melindungi kita dari gangguan makhluk halus penghuni sekolah kita ini. Lagi pula, sejak Kak Rue menjabat sebagai Ketua Dewan Senior, kasus kesurupan dan murid dihantui menurun drastis. Kamu nggak perlu takut, sobat!”
Axton menatap Hojoon, lalu Esya. Dua teman yang menjadi satu meja makan dengannya itu balas menatapnya dalam diam. “Oke! Kita makan!” Axton menundukkan kepala. Melanjutkan makan tanpa bersuara lagi.
***

Setengah jam usai makan malam, murid kelas X peserta MPLS dikumpulkan di lapangan basket. Walau malam hari, lapangan basket tetap terang karena adanya lampu penerangan yang menggunakan lampu LED.
Murid kelas X berbaris tak sesuai kelas lagi, tapi sesuai kelompok untuk jurit malam yang dipilih secara acak. Setiap kelompok beranggotakan lima orang. Dengan perbandingan tiga siswa dan dua siswi.
Hojoon merasa beruntung karena menjadi satu kelompok dengan Axton. Beruntung karena ia telah mengenalnya sejak ia tahu Axton adalah teman sesama kelas X-8 yang menjadi teman sekamarnya di kelas X-5. Baginya lebih baik bersama Axton yang banyak bicara itu daripada bersama murid lain yang tak ia kenal. Dan, sebenarnya ia sangat mengharap Esya jadi satu kelompok dengannya. Andai saja boleh mengajukan tukar anggota.
Para senior meminta para peserta MPLS menyiapkan segala peralatan yang dibutuhkan untuk jurit malam seperti jaket, lampu senter, bolpoint, dan lainnya. Senior juga meminta peserta MPLS memilih ketua untuk kelompok masing-masing. Kemudian, para ketua diminta maju untuk mengambil gulungan kertas kecil yang berisi tulisan berupa nomer pemberangkatan peserta.
Setelah semua ketua kelompok mendapatkan nomer urut pemberangkatan. Semua peserta MPLS kembali diminta berbaris sesuai kelompok. Perwakilan panitia membacakan aturan jurit malam yang rutenya berkeliling di luar gedung sekolah.
Hanjoo, Rue, Dio, dan Byungjae berdiri di tepi lapangan basket bersama senior lainnya. Memperhatikan junior mereka yang sedang mendengarkan pengarahan tentang aturan jurit malam.
Rue menurunkan kedua tangannya yang ia silangkan di dada ketika kedua matanya kembali menangkap sosok pemuda berpakaian serba hitam yang sedang berdiri di belakang barisan peserta MPLS. Pemuda tampan berwajah pucat itu berdiri tak jauh dari barisan peserta MPLS. Ia balas menatap Rue yang baru saja menyadari keberadaannya.
“Ada apa?” tanya Hanjoo yang menyadari perubahan bahasa tubuh Rue.
“Aku melihatnya lagi.” Jawab Rue lirih.
“Dewa Kematian?” Dio ikut melirihkan suaranya.
“Ada apa?” Byungjae ikut bertanya dengan lirih. “Dewa Kematian muncul lagi? Di sini?”
Rue menganggukan kepala. “Dia sedang balas menatapku.”
Oh, God! Dia di mana?” Dio mengamati barisan peserta.
“Murid kelas X-8 tersebar. Dia di mana?” Byungjae ikut mengamati para peserta MPLS.
Kening Rue berkerut. Sosok pemuda berpakaian serba hitam itu berdiri tak jauh dari siswa berkacamata yang ia temukan sedang berdiri sendirian, termenung di dekat aula saat pergantian sore menjadi malam tadi.
Rue berusaha melihat tag nama yang dikenakan siswa berkacamata itu. Ia ingat, siswa itu mengaku berada di kelas X-8. “Hojoon?” bisiknya saat berhasil membaca tag nama yang digunakan siswa berkacamata itu.
Rue kembali menatap sosok yang ia yakini sebagai Malaikat Maut—yang disebut Dio sebagai Dewa Kematian. Pemuda itu masih menatapnya. Wajahnya yang pucat dan dingin itu tiba-tiba memunculkan sebuah senyuman. Seringaian yang membuat Rue bergidik ngeri hanya dengan menatapnya dari jarak yang cukup jauh itu.
Rue segera menundukkan kepala. “Hojoon… Hojoon…?” gumamnya penuh pertanyaan.
***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews