Bilik shytUrtle

Unek-unek di Kepala Tentang Depresi

05:32



Unek-unek di Kepala Tentang Depresi

Sebelumnya terima kasih kepada teman-teman yang sudah membagikan postingan saya. Terima kasih. Semoga tulisannya bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Tahun ini aku kehilangan dua orang yang sama-sama bersinar dan berbakat. Keduanya divonis meninggal dengan cara bunuh diri. Bunuh diri karena depresi yang mereka alami. Juli lalu Om Chester Linkin Park. Desember ini Jonghyun SHINee.

Syok dan sedih. Kenapa orang-orang hebat itu harus pergi dengan cara demikian?

Depresi bukan masalah sepele yang bisa dijadikan candaan. Depresi bukan masalah sepele yang tak perlu ditanggapi atau diberi perhatian.

Please stop! Berhenti beranggapan seperti itu!

Depresi adalah masalah yang serius. Masalah yang harus ditanggapi dan diberi perhatian secara khusus. Kalau nggak percaya, coba googling aja. Apa itu depresi dan apa dampaknya.

Mengutip dari artikel di Alodokter dot com. Depresi bukanlah kondisi yang bisa diubah dengan cepat atau secara langsung. Tanpa penanganan dan pengobatan yang tepat, depresi bisa mengganggu hubungan dengan orang di sekitar Anda. Untuk depresi yang berat atau parah, depresi bisa berakibat pada hilangnya hasrat untuk hidup dan keinginan untuk bunuh diri. Akibat dari depresi yang paling parah adalah kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

See? Depresi bukanlah masalah sepele!

Aku pernah pada titik yang saat itu hampir saja aku melakukan bunuh diri dengan melompat dari atap gedung. Itu ketika aku masih SMA.

Sejak kecil aku hidup terisolasi dari lingkungan luar. Aku nggak begitu pandai bergaul. Di sekolah, aku nggak populer. Masuk dalam jajaran tiga besar, lima besar, atau sepuluh besar apakah termasuk berprestasi?

Entahlah. Aku selalu merasa diriku kurang dari yang lain. Kurang pintar, kurang cantik, kurang pandai bergaul, kurang pandai berolah raga. Rasa itu semakin parah ketika aku masuk SMP. Aku tidak cantik. Aku tidak pintar. Aku tidak pandai bergaul.

Terlebih ketika SMP aku sakit-sakitan. Usai MOS sakit. Mau ujian sakit. Kelas II SMP harus operasi sinusitis. Hiatus dari sekolah. Kelas III terkena tipes. Hiatus lagi dari sekolah hingga 1,5 bulan lamanya.

Tubuh jadi kurus. Pikiran ketakutan. Bagaimana jika aku tidak bisa mengejar ketinggalan dan nggak lulus? Harus mengulang satu tahun lagi bersama adik kelas. Itu mimpi buruk! Ancaman!

Aku yang dengan segala rasa minder dan kurang percaya diri itu dicurigai, dituduh mencontek ketika mendapat nilai bagus di kelas. Aku yang hanya bisa diam dan berpikir, harus belajar dengan baik agar bisa lulus dan masuk SMA. Bukankah masa SMA adalah masa yang paling indah? Aku menaruh harapan besar masa SMA ku pun menjadi masa yang paling indah.

Tapi, aku tetap tak bisa menepis rasa kurang percaya diri itu. Minder itu. Rasa tidak diinginkan oleh lingkungan itu. Rasa sendirian dan terbuang. Merasa tidak disayang dan dikucilkan oleh keluargaku sendiri. Aku merasa orang tuaku hanya peduli dan menyayangi kedua kakakku.

Aku mendengar bisikan-bisikan bahwa aku nggak berguna. Aku nggak diinginkan. Orang-orang di sekitarku membenciku. Bisikan-bisikan bahwa aku lebih baik pergi bersamanya yang mengerti aku. Karena dengan bersamanya aku bisa bebas dan bahagia.

Sampai pada sore itu, menjelang Maghrib. Aku sudah berdiri di ujung atap dan siap meluncur ke bawah di tangkap bambu-bambu yang berjajar menahan deretan tanaman tomat. Bisikan itu semakin terdengar jelas di telingaku. Membuaiku untuk terbang menuju kebebasan yang abadi.

Tubuhku sudah condong ke depan dengan kedua tangan terbuka. Siap terbang menyambut kebebasan. Tapi, tiba-tiba sesuatu menarikku ke belakang. Membuatku jatuh terduduk. Aku terdiam sejenak, kemudian menangis tersedu. Menyadari betapa bodohnya aku yang hampir saja melakukan bunuh diri.

Merasa ada yang tak beres pada diriku, aku mulai menceritakannya pada salah satu temanku. Ia menyarankan agar aku berbicara pada keluargaku. Tentang masalahku. Ia juga menyarankan agar aku lebih dekat dengan Tuhan.

Aku berpikir aku sudah melakukan banyak hal, tapi sepertinya hal itu kurang membuatku menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Lalu, aku pun mulai berbicara pada kakak sulungku. Tentang masalahku.

Perlahan aku mulai memperbaiki apa yang salah pada diriku. Mulai membuka diri dan melihat diri sendiri dengan sudut pandang yang lebih positif. Aku mulai bisa menikmati hidupku bersama teman-temanku. Mulai bisa menerima adanya diriku. Mulai bisa mengatasi krisis kepercayaan diri. Kakak sulungku menjadi tempatku berkeluh kesah. Ia pun memberiku sebuah buku, karya Dr. Robert Anthony. Tentang rahasia membangun percaya diri. Buku itu benar-benar membantuku bertumbuh.

Setelah belasan tahun dalam keadaan aman, aku kembali dihadapkan pada situasi sulit. Ketika aku divonis GERD pada November 2014. Penyakit dengan sejuta sensasi dan ribuan keluhan. Dari GERD, mendapat sakit psikis bernama psikosomatis dan gangguan kecemasan (anxiety).

Kembali mengalami krisis kepercayaan diri. Sakit dengan sejuta sensasi yang tak kunjung membaik walau sudah rutin melakukan pengobatan. Merasakan sakit dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hanya bisa berbaring di atas ranjang. Tidak bisa melakukan aktifitas apa pun. Tidak bisa bekerja. Berat tubuh berangsur menyusut. Selalu mual membuat tak enak makan. Mual di pagi hari sampai dituduh hamil. Wanita single yang tidak pernah punya pacar tiba-tiba dicurigai hamil. How do you feel? Me? Broke!

Merasa nggak berguna. Merasa jadi beban bagi keluarga. Bahkan, sempat berpikir mungkin sudah waktunya aku mati. Dihantui ketakutan akan datangnya kematian. Dibelenggu rasa nggak berguna dan merasa jadi beban bagi yang sehat. Setiap malam insomnia. Sampai-sampai aku melukai diriku sendiri dengan menyayati lengan kiriku.

Kakak sulungku selalu berpesan, jangan banyak melamun, sabar, selalu istighfar. Bahkan, ia berpesan pada orang tuaku jangan sampai membiarkan aku sendirian. Dalam kondisiku yang seperti itu, ia hanya takut aku melakukan hal nekat seperti belasan tahun yang lalu; hampir bunuh diri.

Karena alasan itu, ibu melarang aku mengunci kamar dan setiap malam menengokku ke kamar. Secara diam-diam. Jika aku bisa terlelap, seringnya aku tindihen. Itu pula yang di waspadai ibuku.

Memiliki sakit psikis itu benar-benar menyiksa dan melelahkan. Tidak hanya pikiran saja yang sakit. Tapi, juga fisik. Terlebih datangnya serangan panik itu tidak bisa di duga. Lagi enak-enaknya makan siang, nggak sengaja denger berita kematian di TV. Langsung tubuh gemetaran, pusing, mual, rasanya mau ambruk saja. Melihat keramaian langsung pusing, sesak napas, gemetaran. Nyetir motor sendiri gemetaran, sesak napas, pusing, mual.

Aku benar-benar lelah dengan itu semua. Aku takut keluar rumah. Takut bertemu banyak orang. Semakin merasa nggak berguna. Semakin merasa jadi beban keluarga. Setiap hari merasa kelelahan padahal tidak melakukan aktifitas yang berlebihan. Lebih sering mengurung diri. Jika keluar dan terkena matahari, rasanya mata sakit, kepala pusing, mual. Itu semua melelahkan.

Aku tiba pada titik aku merasa tidak sanggup lagi menghadapi itu semua. Aku merasa tubuhku udah sangat lelah dan nggak sanggup lagi untuk bertahan. Aku menangis dan memohon untuk dibawa ke psikiater saja. Aku berpikir hanya itu satu-satunya jalan. Keluargaku nggak menolak. Mereka mengatakan akan mendukung apa pun itu asal bisa membuatku sembuh.

Tapi, ketika ijin sudah di dapat. Aku kembali meragu. Kembali terombang-ambing. Lalu aku berpikir aku butuh seseorang untuk diajak bicara. Aku kembali membuka diri, berbicara pada orang-orang yang aku percaya bisa sebagai tempat aku menemukan solusi.

Dari sana aku mendapat gemblengan, mendapat support untuk maju, bertindak, dan melawan. Tanpa bantuan psikiater. Alhamdulillah berkat keberanian itu aku sembuh dari penyakit psikis yang aku alami.

Walau tidak sampai pada depresi, tapi apa yang aku alami sangat menyiksa jiwa dan raga. Nggak bisa bayangin gimana rasanya orang-orang yang udah masuk pada tahap depresi. Dan, mereka yang bisa bertahan adalah orang hebat. Om Chester misalnya. Beliau hebat karena bisa bertahan hidup sampai umur 41 tahun. Walau akhirnya beliau menyerah pada keadaan dan bunuh diri.

Jonghyun pun demikian. Sejak kecil ia mengidap SAD (Seasonal Affective Disorder). Itu artinya dia telah mengalami depresi sejak lama. Dan, bisa bertahan hingga umur 27 tahun adalah hebat. Walau pada akhirnya ia pun menyerah dan memilih bunuh diri.

Walau aku tidak mengidap SAD dan tidak tinggal di negara empat musim. Cuaca dingin memang cukup mempengaruhi padaku yang hidup dengan adanya anxie. Terlebih awal Desember lalu secara tiba-tiba aku hampir pingsan di tempat kerja tanpa adanya tanda-tanda aku sakit. Setelah di cek, ternyata tensiku drop. Seiring dengan drop nya kondisi fisikku, anxie yang udah setahun nggak pernah kambuh muncul lagi. Kembali menggerogoti pikiran serta fisikku.

Hari-hari penuh siksaan dan perjuangan pun terulang. Jika tidak ada matahari dan hawa terlalu dingin, aku merasa gusar. Aku merasa pusing, mual, bahkan sakit di sana-sini. Ketika matahari bersinar, aku merasa tenang. Hanya dengan 10 menit saja berjemur, aku sudah merasa tenang. Jika lebih dari itu, rasa pusing juga muncul. Bagaimana hidup dengan semua sensasi seperti itu?

Seperti kata Dokter Andri, depresi itu bisa di deteksi karena ada gejalanya. Hanya saja kadang ketika si penderita mencoba mencurahkan keluhannya, kita yang kurang tanggap.

Masa iya sih kamu depresi? Kelihatan baik-baik saja dan ceria gitu?

Seringnya begitu kan? Mulai sekarang, mari kita berusaha lebih peka. Orang yang selalu ceria dan menguatkan yang lain seringnya ia lah yang paling rapuh dan butuh dikuatkan. Jika kita memiliki orang dekat yang seperti itu dan tiba-tiba dia curhat, tolong dengarkan. Bisa jadi dia memang sedang dalam kondisi yang tidak baik dan benar-benar butuh dukungan.

Di sisi lain, kadang orang yang depresi enggan membagi rasa sakit yang ia alami. Untuk tipe yang seperti ini yang membutuhkan perhatian secara lebih detail.

Depresi itu bisa menyerang siapa saja. Nggak harus orang terkenal. Terlebih di jaman sekarang yang apa-apa serba mudah, tapi juga susah.

Jika Anda merasa ada yang tak beres pada diri Anda. Bicaralah! Bicara pada siapa yang Anda percaya. Ungkapkan semuanya. Kadang kita memang butuh bantuan orang lain untuk menemukan masalah kita. Untuk menemukan solusi dari masalah kita.

Jangan memendamnya sendiri. Tubuh kita, otak kita, pikiran kita punya batasan. Jika sudah merasa nggak mampu menahan beban, jangan takut untuk mencari bantuan. Kita nggak sendiri. Seburuk-buruknya kita, pasti kita memiliki satu orang yang peduli sama kita.

Seandainya tak ada, kembalilah pada Tuhan. Ceritakan semua pada-Nya. Pasrahkan semua pada-Nya. Tuhan sangat menyayangi makhluk-makhluk-Nya. Ia tak akan memberi kita ujian di luar kemampuan kita. Ia nggak akan ngasih ujian, tanpa ngasih solusi. Kita nggak pernah sendirian. Karena kita punya Tuhan yang selalu ada untuk kita. Walau kadang kita sering mengabaikan Dia.

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Mari menjadi lebih tanggap dan lebih peduli. Karena gangguan mental, depresi, dan sejenisnya bisa menyerang siapa saja. Termasuk saya, juga Anda.

Semoga kita semua diberkahi dengan kesehatan fisik dan mental. Semoga semua makhluk berbahagia. Aamiin...

Maaf jika ada salah kata.
Terima kasih.
Tempurung kura-kura, 23 Desember 2017.
. shytUrtle .


Khayalan shytUrtle

Istri Untuk Anakku

04:23

Istri Untuk Anakku

Ketika hati mencintai seseorang, namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
  
       
          Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah.  Dari belum kawin menjadi kawin. Aku memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi suamiku.”
***
   



Pelarian, Perjuangan Cinta.


Rombongan Galih tiba di sebuah desa di pesisir pantai. Mereka menyewa sebuah rumah kecil untuk tempat tinggal sementara. Galuh, Ima, dan Harto memilih istirahat. Sedang Galih dan Anjar berjalan-jalan di tepi pantai.

"Makasih. Maaf juga membuatmu terlibat," Galih memulai obrolan saat keduanya duduk di tepi pantai. "Mulai saat ini, status kita adalah buronan. Bapak bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan kita."

"Aku kenal bagaimana juragan. Benar saat ini mungkin Beliau sangat marah. Tapi, aku yakin Juragan sangat menyayangi kalian." Anjar berkomentar.

"Kamu benar. Tapi, aku udah sangat kurang ajar dengan membawa lari istrinya Bapak. Ibu tiriku. Gadis yang juga aku cintai. Aku sangat mengkhawatirkan Eyang dan Mbak Puspita." Galih menghela napas panjang.


Galuh dan Ima menyiapkan makan malam seadanya yang mereka beli dari warung terdekat. Kelimanya pun makan bersama.

"Aku sudah memikirkannya sejak kita pergi. Aku rasa sebaiknya kalian pergi ke luar Jawa saja." Harto memulai obrolan di tengah makan bersama. "Dengan uang yang kita punya sekarang, itu bisa mengantarkan kalian berempat ke Kalimantan. Aku punya kenalan di Kalimantan Timur. Temanku siap membantu. Kang Karyo tidak tahu perihal temanku di Kalimantan. Jadi, kalian aman dan bisa melanjutkan hidup di sana."

"Nggak, Lek." Tolak Galuh. "Aku nggak bisa pergi dengan cara seperti itu."

"Kenapa? Bukankah itu akan membuatmu aman? Kamu bisa melanjutkan hidup bersama Galih. Begitu juga Ima dan Anjar. Aku yang akan kembali untuk menghadapi Kang Karyo."

"Aku akan menemani Juragan Harto. Biar Mas Galih, Mbak Ima, dan Galuh yang pergi." Anjar ikut bersuara.

"Aku tidak akan menikah dengan Galih sebelum Bapak menceraikan aku dan merestui hubungan kami." Galuh kukuh menolak.

"Apa kamu pikir itu mungkin dan mudah saja terjadi?" nada suara Harto sedikit meninggi.

"Galuh benar, Lek. Kami sudah berdosa dengan saling jatuh cinta. Aku setuju dengan Galuh." Galih meraih tangan Galuh dan menggenggamnya erat. "Kami akan berusaha untuk mendapatkan restu Bapak."

"Lalu, apa gunanya pelarian kita ini?" Harto menatap Galih, lalu Galuh.

Suasana pun berubah hening dan kaku.

***


Sukaryo termenung. Ia berdiri menatap sisa lumbung yang terbakar. Baru sehari Galuh meninggalkan rumah. Ia merasa sangat rindu pada gadis itu. Seolah gadis itu telah pergi cukup lama. Ia merindukan senyuman Galuh, juga suara lembut gadis itu. Ia rindu canda tawa Galuh bersama anak-anaknya.

"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Kenapa kamu tega melakukannya di saat aku mulai menyayangimu? Kau menghancurkan semuanya. Semuanya!" Sukaryo berkata dalam hati. Ada rasa sesak yang teramat sangat di dalam dadanya.

Saya tidak peduli pada gunjingan orang di luar sana. Janji dan persahabatan yang Anda tawarkan sangat berharga bagi saya. Saya akan menjaganya. Sebaik yang saya bisa. Saya akan mencoba dan berusaha melakukan yang terbaik untuk persahabatan kita. Jika sahabatku ini bahagia, maka aku juga bahagia. Seorang sahabat tidak akan membiarkan sahabat baiknya menderita dan bersedih. Seorang sahabat akan selalu berusaha membuat sahabatnya bahagia dan selalu tersenyum.

Suara Galuh kembali terniang di telinga Sukaryo. Ekspresi gadis itu juga turut muncul dalam ingatannya. Sangat jelas. Bak sebuah kenyataan di hadapan Sukaryo.

"Maaf, Juragan."suara salah seorang kepercayaannya membuyarkan lamunan Sukaryo

"Hm. Ada apa?" Tanya Sukaryo tanpa membalikan badan untuk menghadap pada bawahannya.

"Menurut Mbah Jiwo, rombongan Juragan Harto bergerak ke arah selatan. Apa sebaiknya kita mulai bergerak? Menyisir lokasi?"

"Sebarkan orang-orangmu! Mulai lakukan pencarian."

"Baik, Juragan."

Pandu menghela napas. Ia lalu berjalan mendekati Sukaryo setelah salah satu orang kepercayaan Sukaryo pamit pergi.

"Kenapa tidak lapor polisi saja?" Tanya Pandu.

"Kita memiliki orang-orang yang lebih hebat dari polisi. Orang-orangku pasti bisa menemukan mereka."

"Jika mereka kembali, apa yang akan Bapak lakukan?"

Sukaryo tak menjawab. Hanya menghela napas panjang, lalu berjalan pergi meninggalkan Pandu.


Pandu mengetuk pintu kamar Lasmi. Setelah mendengar perintah untuk masuk, ia pun membuka pintu dan memasuki kamar Lasmi.

Lasmi yang duduk menyelonjorkan kaki di atas ranjang pun menyambut kehadiran Pandu dengan sebuah senyuman di wajah rentanya yang terlihat lesu.

"Kenapa Eyang ndak istirahat?" Tanya Pandu sembari duduk di tepi ranjang.

"Bagaimana aku bisa tidur dan istirahat? Sedang di luar sana mereka..." tatapan Lasmi menerawang ke luar jendela kamarnya. Ia tak melanjutkan ucapannya.

"Di luar sana, orang mulai bergosip tentang keluarga kita." Puspita memasuki kamar Lasmi.

Lasmi menghela napas panjang mendengarnya.

***


"Kita harus pergi dari sini." Harto menjelaskan rencana selanjutnya.

"Pergi? Kenapa, Lek?" Tanya Galih.

"Apa yang bisa kita lakukan di sini? Kang Karyo sudah mulai bergerak."

"Sebenarnya aku bisa kerja apa saja. Jadi nelayan juga bisa. Tapi, tetap tinggal di sini memang terlalu beresiko." Jawab Anjar.

"Ini desa. Kita tidak akan aman berada lama-lama di sini. Kepolosan dan kejujuran warga, bisa jadi bencana bagi kita. Rasa ingin tahu mereka yang teramat sangat tentang kita, bisa jadi masalah besar buat kita. Sebaiknya kita pergi ke kota. Sambil memikirkan rencana selanjutnya."

"Benar juga. Baiklah. Besok pagi-pagi kita pergi." Galih setuju.

"Kita pergi malam ini saja. Aku tidak bisa menunggu sampai besok." Harto memberi keputusan.

Semua pun setuju. Masing-masing mulai mengemasi barang-barang. Malam itu juga mereka pergi meninggalkan desa nelayan itu. Mereka melanjutkan perjalanan menuju kota. Melanjutkan pelarian mereka.

Hidup dalam pelarian benar menyiksa mereka berlima. Setiap detik mereka merasa gelisah. Rasa takut selalu menggerayangi mereka. Empat hari berjalan, masih terasa cukup berat bagi mereka. Tak bisa tidur nyenyak. Melakukan aktifitas apa pun tidak bisa nyaman. Mereka selalu was-was dan cemas.

Rombongan itu pun tiba di kota. Usai seharian berkeliling tanpa arah, akhirnya mereka mendapatkan rumah untuk di sewa. Menurut Harto, mereka untuk sementara aman jika tinggal di rumah itu. Karena kota itu berada jauh ribuan kilo dari tempat asal mereka.

Mereka mulai mengatur rencana. Mereka tidak akan bisa bertahan lama dengan uang pemberian Lasmi. Terlebih setelah Sukaryo memblokir akses keuangan Galih dan Harto. Mereka harus bekerja untuk mendapatkan uang agar mereka bisa bertahan hidup.

Rapat pun digelar. Keputusannya adalah Galuh dan Ima tetap tinggal di rumah. Sedang para pria akan keluar dan mencari pekerjaan.

Kehidupan yang dipenuhi orang-orang yang sibuk dan cuek membuat mereka merasa aman dan nyaman. Mereka berencana untuk menetap di kota itu untuk beberapa waktu.

***


Hari berganti. Beberapa minggu berlalu. Anak buah Sukaryo belum membuahkan hasil dalam misi pencarian mereka. Lasmi yang tua dan rapuh pun jatuh sakit.

"Belum ada kabar dari mereka lagi?" Tanya Lasmi.

"Belum, Eyang." Jawab Puspita.

"Aku benar-benar kangen Galih, Galuh, dan Harto."

"Gendis dan Ragil juga terus bertanya tentang Galuh. Mereka kangen sama Galuh. Aku nggak tahu apa mereka mempercayai apa yang aku bilang."

"Lalu, bagaimana bapakmu?"

Puspita menatap Lasmi. "Bapak ya tetap seperti itu, Eyang. Sampai kapan Eyang akan diam ke Bapak?"

"Bapakmu yang nggak mau ngomong ke aku sejak Galih dan Galuh pergi. Bukan aku!"

Puspita hanya bisa diam dan menghela napas mendengarnya.

Sukaryo menatap kamar Galuh yang kosong. Menjenguk kamar itu telah menjadi rutinitas Sukaryo sejak Galuh pergi. Semua barang-barang Galuh masih ada di sana. Setiap kali melihat kamar itu, Sukaryo merasakan sesak yang teramat sangat di hatinya.

Langkah Sukaryo terhenti di depan ruang bermain. Ruangan itu tak pernah ramai canda tawa sejak Galuh pergi. Rupanya anak-anaknya enggan berlama-lama dan bermain di ruangan itu sejak Galuh pergi.

"Dengan menatapnya seperti itu, canda tawa itu tidak akan bisa kembali."

Sukaryo membalikkan badan. Ia menemukan Lasmi sudah berdiri di belakangnya. "Ibu? Kenapa Ibu bangun dan berjalan ke mari?"

"Aku pikir kau benar-benar sudah tak peduli padaku. Kau bahkan tidak menjengukku sejak Galih pergi. Aku tidak bisa didiamkan seperti itu. Sudah waktunya kita bicara. Kenapa kau mendiamkan ibumu yang sudah renta dan semakin mendekati kematian ini?" Lasmi duduk di kursi di ruang keluarga yang letaknya menghadap ruang bermain.

"Aku telah membuat banyak kekacauan. Tindakanku selalu menyusahkanmu. Aku akui peristiwa malam itu, semuanya adalah skenario yang aku buat." Lasmi mengakui semua perbuatannya.

Sukaryo datar saja menanggapinya. Ia tahu jika Lasmi dibalik itu semua. Karenanya ia marah dan mendiamkan ibu kandungnya itu.

"Kau pantas marah. Bahkan, kau punya hak mutlak untuk membunuhku!"

"Ibu..."

"Jika kau mencari mereka hanya untuk memberi hukuman, lebih baik kau bunuh saja ibumu ini. Untuk apa ibu hidup jika harus menyaksikan anak dan cucuku, orang-orang yang sangat aku cintai menderita? Semua masalah yang terjadi dalam keluarga ini adalah salahku. Pernikahanmu dengan Galuh. Pertemuan Galuh dengan Galih hingga mereka saling jatuh hati. Aku lah yang memberi kesempatan itu semua terjadi."

Sukaryo kembali bungkam.

"Pikirkanlah kembali. Kemarahanmu itu tidak pantas kau luapkan pada Galih dan Galuh. Tapi, padaku lah seharusnya kau meluapkan semua amarahmu. Akulah yang membuat hidup kalian semua menjadi kacau. Tapi, kemarahanmu. Amarahmu itu apakah setimpal dengan apa yang akan kau dapatkan? Pilihanmu hanya dua, Anakku. Buatlah ibumu ini hidup bahagia di sisa hidupnya. Atau biarkan dia mati perlahan karena menderita atas penyesalannya. Aku meminta ijin padamu, karena hidupku kini bergantung padamu." Lasmi bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang renta itu berjalan pelan meninggalkan Sukaryo.

Sukaryo duduk terdiam di ruang keluarga. Kejadian malam itu kembali muncul dalam ingatannya. Pengakuan Galih tentang perasaan sukanya pada Galuh yang tak terbendung lagi. Permohonan Galuh dan pembelaan Ima.

Perubahan dratis di dalam rumahnya sejak Galuh pergi pun turut memenuhi pikiran Sukaryo. Anak-anak yang berubah lesu dan lebih banyak diam. Sering ia mendengar anak-anaknya bertanya pada Puspita ke mana Galuh pergi dan kapan gadis itu akan kembali.

Sukaryo menghela napas panjang. Kepergian Galuh benar-benar telah merubah segalanya. Ia merasakan kembali rasa sakit dan kesepian yang pernah ia rasakan ketika istri pertamanya pergi untuk selamanya.

***


Tempurung kura-kura, 29 November 2017.
. shytUrtle .


Search This Blog

Total Pageviews