Fan Fiction FF

The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ (다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’)

10:06

The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
            다음 이야기 화성 아카데사랑, 음악과
 
. Judul: The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
. Revised Romanization: da-eum iyagi Hwaseong Akademi 'salang, eum-aggwa kkum'
. Hangul: 다음 이야기 화성 아카데미사랑, 음악과
. Author: shytUrtle
. Rate: Serial/Straight
. Cast
- Fujiwara Ayumu (
藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (
김재중)
2. Oh Wonbin (
오원빈)
3. Lee Jaejin (
이재진)
4. Kang Minhyuk (
강민혁)
- Song Hyuri (
송휴리)
- Kim Myungsoo (
김명수)
- Jang Hanbyul (
장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1


New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
   

Cinta, musik dan impian adalah tiga ritme yang mampu membuat manusia tetap bersemangat dalam hidup. Cinta akan menunjukan jalan untuk meraih impian, dan musik memberikan harapan dalam mengiringinya. Cinta menguatkanmu, musik menginspirasimu dan impian akan memberimu ribuan harapan untuk tetap berjuang dan hidup…
 
Episode #18
“Kenapa merobeknya? Itu mengganggumu?” tanya Ai santai.
“Ak-aku…” pemuda yang berada paling tengah dari kubu lawan itu terbata. “Ini wilayah perbatasan! Kau tahu itu kan?!” imbuhnya dengan nada meninggi.
“Rileks. Santai. Tak perlu menyalak seperti itu.” Ai masih dengan tenangnya.
“Menyalak?!!” pemuda itu melotot.
Ai maju dua langkah lebih dekat pada pemuda itu. “Kau gugup? Kim Hyoseok?”
Mata Hyoseok melebar.
“Aku hanya ingin ngobrol. Denganmu.”
“Ngobrol…? Denganku…?”
“Em.” Ai kemudian melirik sekelilingnya. Kemudian ia mencondongkan badannya ke depan. “Bicara empat mata? Bisakah?” bisiknya.
Sebuah meja dengan dua kursi dimana Ai duduk berhadapan dengan Hyoseok. Di belakang keduanya, kira-kira jarak lima langkah ke belakang, anak buah masing-masing berkumpul menunggu. Di sekitar mereka, berantakan barang-barang di sana-sini. Sangat tak sedap di pandang mata.
Ai mengamati sekelilingnya. “Ini yang kalian sebut markas? Sangat tidak nyaman.” komentarnya.
“Anak jalanan harus terbiasa dengan hal ini.” respon Hyoseok.
“Aku juga anak jalanan, tapi tak asal-asalan membuat basecamp. Kau kan kaya, kenapa tak mau modal sedikit saja? Jangan jadi bos yang pelit. Tanpa anak buahmu, kau tak berarti apa-apa. Anak jalanan juga butuh tempat berteduh yang nyaman.”
“Kami ada.”
“Pasti tak jauh beda dengan ini.”
“Apa tujuanmu sebenarnya? Memasang iklan tentang apalah itu, basecamp-mu di wilayah perbatasan.”
“Umpan kulempar, umpan kau makan. Aku hanya memancingmu. Ikannya ternyata mudah sekali ditangkap.” Ai menyeringai.
“Kau!” Hyoseok membuang napas panjang. Ia kesal menghadapi makhluk dihadapannya ini. Makhluk yang benar-benar menyebalkan. Menurut penilaian Hyoseok demikian. “Apa maumu?”
“Kerjasama.”
“Kerjasama?! Hagh! Kau tahu aku ini siapa?”
“Tahu. Kau orang yang sengaja menabrak Dong Yongbae hingga ia terbaring koma.”
Hyoseok menelan ludah. Punggungnya menegang mendengarnya. “Kak-kau, kau datang untuk menuntut?” Hyoseok terbata.
“Menuntut?” Ai kembali menyincingkan senyumnya. “Aku sudah janji pada Tuan Kim, gantinya, perdamaian sementara ini. Aku butuh bantuanmu, Kim Hyoseok.”
“Hagh! Aku dengar tentang ini, lamaran dari Fujiwara Ayumu. Kau melakukannya padaku?”
“Terima kasih sudah begitu mengikuti sepak terjang kami.” Ai mendorong amplop putih di atas meja maju ke hadapan Hyoseok.
“Kau pikir aku mau?”
“Tak seyakin itu. Sepertinya kau juga tak merasa bersalah telah membuat Yongbae koma. Yah, benar. Tak perlu menyesalinya. Untuk apa menyesal? Toh sudah terjadi. Yang hidup pasti mati. Kalau nanti akhirnya Yongbae mati, ya biarkan, mati saja. Siapa peduli?”
“Fujiwara!!!”
“Kau marah? Eum, merasa bersalah? Menyesal?”
“Kau?!!”
“Turunkan nada bicaramu. Semakin meninggi semakin terlihat jika kau takut. Sangat terlihat.” Ai mengedipkan mata membuat Hyoseok makin jengkel.
“Kau mau aku melawan Ayahku sendiri?”
“Tidak. Aku tak sedang menyusun pemberontakan.”
“Lalu ini? Apa maksud dari rencanamu ini?”
Ai menggaruk kepala dengan ujung jari telunjuk tangan kanannya. “Susah ya. Aku jelaskan pun belum tentu kau paham. Baca saja isi amplop itu, kalau tak paham kau boleh tanya-tanya padaku. Gratis kok. Aku meninggalkan nomer ponselku di sana.”
Hyoseok melongo menatap Ai. Dia bingung.
“Aku hanya tahu, kalau tidak salah sih, kau suka musik. Kau suka main drum. Tapi di sekolah kau terasing. Miris. Yah, nasib anak Jeonggu Dong. Yang mau menemanimu hanya anak-anak yang sengaja kau bayar dan mereka takut padamu. Kau hanya bisa menabuh drum dalam kamarmu. Kalau tak beruntung, kau mendapat omelan dari Ibumu. Makin miris.”
Kedua mata Hyoseok makin lebar menatap Ai.
“Di sini kau malah bergumul dengan orang-orang yang hobi balap liar. Kapan orang akan tahu kalau kau punya bakat musik?”
Hyoseok masih terdiam. Ia bungkam. Sedikit tertunduk di depan Ai.
Ai bangkit dari duduknya. “Pikirkan saja dahulu. Jangan menyetujui lamaran ini hanya karena kau merasa bersalah pada Yongbae atau paksaan yang lain. Iya walau memang aku sedikit memaksa. Aku juga anak Jeonggu Dong. Aku tahu bagaimana rasanya menjadi anak Jeonggu Dong. Mungkin sama seperti yang kau rasa.” Ai tersenyum tulus lalu pergi.
Hyoseok mengehembuskan napas panjang masih menatap amplop yang ditinggalkan Ai.
***
“Oppa, aku mohon tenanglah!” Ai kesal karena Minki terus mengekor dan mengocehkan tentang kekhawatirannya jika Ai pergi berdua saja dengan Shin Ae. Ai menghela napas dan menatap kesal Minki. Ai yang sibuk bersiap-siap merasa terganggu oleh ulah Minki.
“Maaf.” Minki menunduk.
“Kami pasti akan baik-baik saja. Percayalah pada Shin Ae. Percobaan pembunuhan saat kami pergi dan semua itu, apalah, Oppa terlalu banyak menonton film. Hal itu terlalu hiperbola Oppa. Hanya ada dalam film. Shin Ae pengemudi handal, jadi tolong percaya padanya.”
Shin Ae selesai berkemas. Ia berdiri di samping Ai.
“Kami bukan gadis kecil lagi Oppa. Percayalah. Em?” imbuh Ai dengan nada lebih lembut.
“Hah… baiklah. Jung Shin Ae, kau harus menjaga Jiyoo dengan baik.” pinta Minki.
“Siap!!!” Shin Ae hormat pada Minki.
Minki tersenyum dan mengangguk. “Oh! Itu kan…” saat tatapan Minki beralih dan menangkap mobil berwarna hitam yang sedang berjalan mendekati mereka.
“Kim Myungsoo…?” bisik Ai.
Mobil mewah itu berhenti di depan truk Morning Glory Florist yang terparkir tepat di depan pintu masuk florist. Myungsoo, Hyuri, Byunghun dan Minhwan keluar dari dalamnya.
“Mereka…?” Shin Ae lirih. “Untuk apa kemari…?”
“Aku ikut ke kebun. Boleh ya? Aku kangen tempat itu.” Hyuri bergelayut manja di lengan Ai.
“Ini bukan piknik.” jawab Ai.
“Sambil menyelam minum air itu halah kok. Ini akhir pekan, Nenek setuju dan beliau memesan satu tanaman… ah, aku lupa namanya. Kata Nenek kau punya, tapi ada di kebun. Anggap saja aku ikut untuk mengambilnya.”
“Dasar Song Hyuri.” kata Minki yang.
Hyuri meringis menanggapinya.
“Jung Shin Ae, kau naik saja di mobilku.” Pinta Myungsoo.
“Aku harus menemani Nona. Maaf.” tolak Shin Ae.
“Aku yang akan mengemudikan truknya.” sahut Byunghun.
“Wah, aku setuju.” kata Minki. “Membiarkan seorang anak perempuan membawa mobil sendiri untuk perjalanan yang lumayan jauh membuatku tak tega. Aku lebih percaya pada anak laki-laki.”
Shin Ae cemberut mendengarnya. “Aku juga pengemudi handal!” protesnya.
“Sudah-sudah berangkat sana.” usir Minki.
“Ayo.” Minhwan menuntun Shin Ae masuk ke mobil Myungsoo.
“Curang.” Ai lirih.
“Byunghun memang patut diwaspadai, tapi dia baik kan? Dan dia pernah kalah darimu.” bisik Hyuri yang kini merangkul Ai.
“Bersenang-senanglah, Song Hyuri.” Ai berlalu pergi.
Hyuri tersenyum puas lalu segera masuk ke dalam mobil Myungsoo. “Oppa, kami berangkat!” teriaknya sambil melambaikan tangan pada Minki.
Minki membalas lambaian tangan Hyuri. Kedua mobil itu melaju pelan meninggalkan Minki yang berdiri di depan Morning Glory Florist. “Bersenang-senanglah, Jiyoo…” bisiknya.
Truk Morning Glory Florist dan mobil Myungsoo melaju berurutan. Truk yang dikemudikan Byunghun memimpin di depan. Karena merasa terlalu hening, Ai mulai mengotak-atik DVD dalam truk dan mulai memutar lagu.
“Gift Of A Friend? Demi Lovatto? Kau suka? Atau kau suka Tinker Bell?” tanya Byunghun penasaran.
“Hanya aku rasa cocok dengan situasi sekarang. Kau setuju?”
“Aku curiga kau ini pengemar Tinker Bell. Beberapa waktu lalu kau juga sempat memposting potongan lirik A Greater Treasure than a Friend - Savannah Outen kan?”
“Iya. Jadi sedikit ribut karenanya.”
“Tapi mereka senang. Kau pun mulai berinteraksi.”
Ai tersenyum saja menanggapinya.
Di dalam mobil Myungsoo terdengar lebih gaduh. Musik yang diputar kencang dan suara Hyuri juga Minhwan yang turut bernyanyi. Shin Ae hanya bisa senyum-senyum di kursi belakang melihat tingkah Minhwan yang duduk di sampingnya dan Hyuri yang duduk di depan menemani Myungsoo.
***
Sesampainya di kebun, Keluarga Kang telah menunggu dan menyambut hangat rombongan Ai. Ai langsung menjauh dan sibuk dengan sulung keluarga Kang, Kang Dongwon. Sementara itu si tengah Kang Daesung dan bungsu Kang Jiyoung sibuk meladeni teman-teman Ai.
“Kalau merasa tak nyaman di pondok ini, Anda sekalian bisa menginap di rumah kami.” Daesung menawarkan.
“Kalau Ai menginap di sini, kami pun akan tinggal. Tugas kami di sini adalah mengawasi dan menjaga Ai.” Hyuri sedikit berbisik pada kalimat terakhir.
Daesung terbahak mendengarnya. “Aku rasa kalian tidak akan bisa menemukan Nona. Jarak rumah kami tak terlalu jauh. Jika butuh sesuatu kalian bisa telfon aku.”
“Nona belum kembali?” Shin Ae duduk bergabung.
“Jangan heran. Nona tak akan bergabung. Aku yakin itu. Biasanya jika sedang berada di sini, Nona akan lebih banyak menyendiri.” Jiyoung sembari menata hidangan. “Nona benar terlihat baik, setelah YOWL pergi. Aku tak menduganya.”
“Terakhir kemari saat kami bersama-sama?” tanya Hyuri.
“Iya. Selajutnya hanya Dong Yongbae.”
“Oh, kami turut berduka atas insiden yang menimpa Yongbae.” sela Daesung. “Bagaimana kondisinya?”
“Masih koma. Ada kemajuan. Begitu terang Dokter saat aku berkunjung dua hari yang lalu.” jawab Shin Ae.
“Oh, kau ini kan pahlawan itu kan? Jung Shin Ae? Ah, maaf, aku baru ingat.” kata Daesung.
Shin Ae tersipu menganggukan kepala.
“Lega rasanya. Saat YOWL pergi, muncul orang-orang baru, termasuk kalian. Mengejutkan juga mendengar tentang Viceroy.” lanjut Daesung.
“Kalian tahu kami?” sahut Minhwan.
“Adik kami, Yowlism. Dia tahu segala sesuatu tentang YOWL dan apa pun yang berhubungan dengan mereka.”
“Wah, Jiyoung seorang Yowlism?” tanya Hyuri.
Jiyoung tersenyum dan mengangguk.
“Minhyuk pasti senang jika tahu tentang ini.” kata Hyuri lagi. “Kala itu, Minhyuk tak berhenti menatapmu.”
“Kau membuatnyaa malu, Song Hyuri.” Sela Minhwan.
“Itu kenyataan kok.”
-------
“Jangan!” cegah Shin Ae saat Hyuri hendak membongkar tas ransel Ai.
“Apa barang-barangnya tak dikeluarkan? Aku hanya ingin membantu menatanya saja.”
“Sebaiknya tidak. Kau tadi juga dengar kan? Aku rasa mala mini Nona tak akan tidur di sini bersama kita.”
“Lalu kenapa ia meninggalkan barang-barangnya di sini?”
“Itu hanya berisi baju ganti. Nona sudah membawa keperluannya.”
“Sedikit sekali.”
“Toh kita hanya semalam di sini bukan? Nona Hyuri yang berlebihan. Membawa sekoper pakaian.” Shin Ae tersenyum geli.
“Ini karena aku benar seorang gadis!”
Shin Ae makin geli melihat pembelaan Hyuri.
“Ah, Ai itu gemar sekali menghilang. Kenapa dia punya hobi menghilang sih?” gerutu Hyuri.
***
Myungsoo, Hyuri, Minhwan dan Shin Ae berkumpul di teras pondok menikmati sore yang masih lumayan terik. Mereka ngobrol sambil menikmati berbagai cemilan yang dihidangkan Hyuri.
“Eh, kau mau kemana?” tanya Minhwan saat Byunghun keluar.
“Berburu.” Byunghun menunjukan kameranya. “Ada yang mau ikut?”
“Aku mau!” Minhwan semangat.
“Ya Tuhan!” Shin Ae tiba-tiba memukul keningnya sendiri. “Aku lupa. Nona memintaku mengantar bingkisa untuk keluarga Kang.”
Mihwan bimbang. Ia menatap Byunghun lalu menatap ke dalam pondok dimana Shin Ae masuk ke dalamnya.
“Kau temani saja dia. Aku pergi.” Byunghun pamit.
“Sini aku bantu.” Minhwan membantu Shin Ae membawa bingkisan. “Kami pergi.” serunya.
Suasana berubah hening. Hyuri cemberut. “Hanya tersisa kita.” keluhnya.
“Bukankah begini lebih baik?” Myungsoo berbaring dan menyandarkan kepala pada pangkuan Hyuri. “Damai… tenang sekali di sini. Berbeda dengan Seoul yang tak pernah tidur.”
Hyuri tersenyum dan mengelus kepala Myungsoo. Membelai-belai rambut Myungsoo.
Myungsoo masih berbaring dan menyandarkan kepalanya pada pangkuan Hyuri.
Hyuri pun masih mengelus-elus rambut Myungsoo namun tatapannya kosong. Jiwa Hyuri seolah tak di sini bersama raganya. Ia melamun.
Menyadari keganjilan itu, Myungsoo mendongakan kepala. Dugaannya benar, Hyuri tak fokus pada apa yang ia lakukan kini. Myungsoo bangkit dari tidurnya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya pada Hyuri.
“Ah, iya.” Hyuri dengan senyum terpaksa.
“Kau bohong! Kau melamun. Apa yang kau pikirkan? Ada yang membebanimu? Ceritakan saja padaku.”
“Tiba-tiba saja aku berpikir, andai Hanbyul juga ada di sini. Aku membayangkannya, aku, kau, Ai, dan Hanbyul, kita bersama-sama berkumpul di sini. Seperti waktu sebelumnya.”
“Terkadang waktu memang tak mau berpihak pada kita. Tapi ia memberikan banyak pelajaran dan kenangan.”
“Beberapa hari yang lalu kami ngobrol, aku dan Ai. Di tengah obrolan tiba-tiba Ai bertanya. Kira-kira lima tahun lagi kita akan seperti apa? Aku tercengang mendengarnya. Sampai waktu Ai bertanya tentang hal itu, aku tak pernah berpikir sejauh itu. Aku hanya menjawab, eng… entahlah. Mungkin kita sudah ada pada titik dimana kita meraih impia masing-masing atau kemungkinan yang lain, yang jelas aku beraharap yang terbaik untuk kita semua. Lalu aku balik bertanya, menurutmu bagaimana? Ai hanya tersenyum menanggapinya.”
“Gemar sekali dia bersikap seperti itu. Sok misterius. Hah… selalu membuat orang penasaran.”
“Dia itu keren. Ibaratnya, ujung pedang yang runcing bisa langsung tumpul jika ada di depan Ai. Keren kan? Sikapnya selalu sama, datar dalam situasi apa pun. Itu yang membuatku iri.”
“Kau ini. Berlebihan sekali. Kau hanya perlu belajar mengendalikan keadaan. Itu saja. Penguasaan Fujiwara dalam hal ini memang bagus. Mungkin dahulu, sebelum reinkarnasi menjadi Fujiwara, dia adalah prajurit hebat dalam istana.”
“Sekarang malah kau yang berlebihan. Reinkarnasi…” Hyuri terkikik.
“Aku rasa benar kata Nenek, andai Fujiwara itu laki-laki, pasti aku kalah jauh darinya. Termasuk tentangmu.”
“Kenyataannya, aku memang lebih dulu jatuh hati pada Ai kan?”
“Tapi dibalik itu, aku tahu sebelumnya kau juga menyimpan rasa kagum padaku.”
“Ish! Percaya diri sekali…? Aku sama sekali tak menyimpan kekaguman pada si angkuh Kim Myungsoo.”
“Ya. Song Hyuri.”
“Iya. Itu kenyataannya.”
“Song Hyuri…!”
Hyuri menjulurkan lidah seraya bangkit dari duduknya.
“Awas, kau ya!” Myungsoo turut bangkit dari duduknya dan berusaha menangkap Hyuri.
Sepasang kekasih ini berkejaran di teras pondok yang cukup luas itu. Canda keduanya terdengar riang. Tempat yang sempurna untuk pasangan yang sempurna. Benar pepatah mengatakan, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Myungsoo dan Hyuri.
***
Byunghun berjalan sendiri menyusuri kebun bunga yang sangat luas itu. Ia membidik tiap obyek yang menarik baginya. Langkah Byunghun terhenti ketika ia menemukan bangunan kecil di tengah-tengah kebun. Byunghun mengamati sekelilingnya. Baru ia sadari jika ia telah berada jauh dari pondok. Bahkan Byunghun lupa jalan untuk kembali. Rerimbunan tanaman bunga yang tertata rapid an hampir sama setiap deretnya itu membuatnya bingung. Byunghun merogoh saku celananya.
“Ah…” keluhnya baru menyadari jika ponselnya tertinggal di pondok. Byunghun berdecak kesal dan kembali mengamati sekitar. Sepertinya ia benar tersesat.
Tatapan Byunghun terhenti pada bangunan di hadapannya. Byunghun merasa ngeri sendiri. Ia mengelus tengkuknya sendiri memperhatikan bagian belakang dari bangungan mungil itu. Byunghun menelan ludah. Namun rasa penasaran lebih dominan padanya. Perlahan Byunghun melangkahkan kakinya menuju bagian depan bangunan. Pelan dan sangat hati-hati Byunghun melangkah.
Byunghun tersentak. Langkahnya terhenti. Ia menemukan Ai sedang duduk bersila dengan kedua mata terpejam. Byunghun paham ini adalah posisi dimana seseorang tengah melakukan meditasi. Byunghun terpaku. Diamatinya Ai dari posisi yang lumayan dekat itu. Tangan Byunghun bergerak mengangkat kamera. Byunghun membidik Ai dan beberapa kali mengambil gambar Ai.
Byunghun terperanjat ketika Ai tiba-tiba membuka mata. “Maaf, aku tak bermaksud mengganggumu. Aku tak sengaja sampai di sini.” Byunghun salah tingkah. “Aku tadi hanya…”
“Aku sudah selesai.” potong Ai tersenyum sembari melepas headset di kedua telinganya. “Bingung tak tahu jalan untuk kembali?”
Byunghun tersenyum lega dan berjalan mendekat. “Nee. Semua terlihat sama.” Ia pun duduk di samping Ai. “Aku benar-benar minta maaf.”
“Gwaenchanna.”
Byunghun kembali mengamati bangunan mungil ini. “Jadi ini lubang tikus milikmu?”
“Eum… kepompong?”
“Kepompong…?”
“Tempat untuk menyendiri. Bertapa.”
“Bertapa…?” Byunghun tertawa geli. “Sangat nyaman.”
Ai mengangguk. “Aku membuatnya beberapa waktu lalu. Karena sering merasa bosan dan selalu ingin menyendiri. Sebulan dari waktu ketika aku menghilang, aku habiskan di sini. Menurut mereka delapan bulan aku melanglang buana ke berbagai negara. Itu salah. Sebulan penuh aku di sini, sebelum akhirnya kembali ke Seoul, Jeonggu Dong dan bersekolah di Hwaseong Academy. Hening dan tenang.”
“Penuh misteri. Aku sempat merinding ketika berdiri di belakang sana.”
Ai tersenyum menanggapinya.
“Jadi tak ada yang tahu tempat ini? Kecuali keluarga Kang pastinya. Kau tak pernah membawa seseorang kemari? YOWL?”
“Tak ada yang berani melangkah sedekat ini ketika aku berdiam di sini.”
“Oh. Jadi aku telah melanggar batas itu?”
“Dari awal, kau memang pembangkang.”
“Itulah aku.”
Keduanya tersenyum bersama.
“Aku akan tetap melanggar garis batas itu, tapi sebatas kau menerima kehadiranku.” kata Byunghun.
“Aku tahu, kau akan tetap melakukan itu. Hah… benteng-benteng mulai runtuh. Ini pertanda baik atau buruk?”
“Tak ada. Hanya saja memang sudah waktunya. Keangkuhanmu, keangkuhanku, keangkuhan kita hanyalah tameng untuk menutupi kekurangan kita masing-masing. Saat benteng keangkuhan itu runtuh, semua… terasa indah? Seperti terlahir kembali. Mengenal satu sama lain itu memang sedikit mengerikan, tapi juga indah.”
“Bicaramu berputar-putar Lee Byunghun. Kau tidak sedang merayuku kan?”
“Andai aku bisa, aku ingin merayumu. Aku lelah jika harus berduel lagi denganmu.”
“Kau takut kalah lagi?”
“Aku sudah kalah sejak awal.”
Hening. Hanya desiran angin senja yang entah bergumam apa diantara Ai dan Byunghun.
“Ada satu rahasia dari tempat ini. Kau tersesat dan aku enggan mengantarmu kembali ke pondok.” Ai memecah kebisuan yang sempat terjadi sesaat. “Tetaplah tinggal. Aku akan memberimu satu rahasia tentang tempat ini. Karena kau membocorkan tentang lubang tikus, terkadang aku jadi merasa hutang budi padamu.”
“Hutang budi…? Hey, dengar. Dalam sebuah ikatan pertemanan, tak ada kata hutang budi.”
“Semoga kita beruntung.”
“Semoga kita beruntung…?”
“Karena harus menunggu hari gelap, bahkan mungkin sampai tengah malam.”
“Tengah malam…? Aa-ai, kau tidak sedang bicara tentang yang sejenis dengan sesuatu yang ada dalam toilet siswi kelas X kan?”
“Kau takut?” Ai menoleh, melirik Byunghun.
“Eng, tidak! Aku hanya tak suka.”
“Eum… tak suka? Kalau begitu kau tak akan tahan jika ada di dekatku. Kau tak akan bertahan, Lee Byunghun. Aku bisa jamin itu.”
“Aku bisa mempelajarinya! Aku bisa belajar untuk menyukainya. Nantinya juga akan terbiasa!” Byunghun berubah antusias. “Aku… aku bisa memakluminya. Ketidakwajaran yang ada padamu.”
Ai kembali menoleh, tersenyum memperhatikan Byunghun.
Byunghun mengalihkan pandangannya. Wajahnya memerah. Byunghun tak kuasa menatap Ai.
“Kau benar ingin tinggal di dekatku? Kenapa?” tanya Ai.
“Entahlah. Mungkin karena ribuan rasa penasaranku yang tak kesemuanya menemukan jawaban. Kau keberatan?” Byunghun kembali menatap Ai.
“Siapa saja bebas berada di dekatku.”
“Namun tak akan bisa seperti Hanbyul kan? Karena posisi itu terlampau istimewa.”
Gantian Ai yang mengalihkan pandangan. “Entahlah. Aku tak tahu. Tentang sedetik kemudian, nanti, besok dan lusa, kita tak pernah tahu.”
Byunghun turut menatap hamparan tanaman bunga yang tersaji indah di depan pondok mungil ini.
***
Hyuri mondar-mandir di teras. Hari berubah gelap namun tak satu pun rekannya kembali. Minhwan dan Shin Ae belum juga kembali. Byunghun pun sama. Ai justru menghilang sejak mereka tiba di kebun bunga. Hyuri menghentikan langkahnya dan duduk, kembali sibuk mengotak-atik ponselnya.
Myungsoo menyeringai melihat Hyuri duduk dan tak menyadari keberadaan dirinya. Myungsoo mengendap-endap mendekati Hyuri, dan kemudian memeluk kekasihnya ini dari belakang.
Hyuri tersentak kaget. “Hah! Kau ini mengejutkan saja!” umpat Hyuri kesal.
Myungsoo terkekeh masih memeluk Hyuri.
“Lepaskan aku.” Hyuri menggeliat berusaha lepas dari dekapan erat Myungsoo.
“Begini lebih nyaman. Lagi pula hanya ada kita berdua di sini.” Myungsoo bertahan tak mau melepas pelukannya.
“Kim Myungsoo…”
Myungsoo melepas pelukannya. “Kenapa?”
“Yang lain belum kembali. Minhwan, Shin Ae, Byunghun.”
“Byunghun belum kembali ya?”
“Em. Apalagi Ai. Entah dimana dia. Padahal hari sudah gelap.”
“Kau takut? Tenanglah. Ada aku di sini. Aku bukan pria cabul. Jadi kau aman.”
“Ish! Kau tidak mengkhawatirkan mereka? Berada dalam pondok di tengah kebun bunga yang sangat luas ini, aku sedikit ngeri. Aku jadi ingat beberapa film horror yang pernah aku lihat.”
“Dasar!” Myungsoo memukul pelan kepala Hyuri. “Itu hanya film.”
“Tapi adegan dalam film itu ada karena pernah terjadi dalam dunia nyata. Begitu kata Ai.”
“Kita aman di sini. Aku yakin itu. Ai tak mungkin membahayakan orang-orang yang ia sayangi. Dan kau, aku jamin aman di sini. Aku akan menjagamu. Em? Pikirkan hal positifnya. Kita bisa menikmati malam bersama, hanya berdua, sebelum mereka kembali.”
“Begini ya bukan pria cabul itu?”
“Aish! Aku tak berpikiran… ah, sungguh aku ini bukan pria cabul.”
Hyuri terkekeh kemudian menyandarakan kepala di bahu Myungsoo. “Aku percaya.” bisiknya.
Myungsoo tersenyum dan merangkul Hyuri. “Ponsel Byunghun ada di kamar. Aku pikir dia sudah kembali. Dimana dia…?”
***
Minhwan dan Shin Ae berjalan bersama menyusuri jalanan kampung yang sangat sepi. Hanya ada mereka berdua di sepanjang jalan ini.
“Di Seoul jam segini masih ramai ya?” Minhwan membuka obrolan.
“Ini tak jauh beda dari Jeonggu Dong.” respon Shin Ae.
“Separah ini kah Jeonggu Dong? Menurutku tidak.”
“Memang tak seseram ini. Menjadi sepi karena rata-rata warganya sibuk bekerja di siang hari, ketika malam hanya tersisa lelah. Karenanya mereka lebih memilih berdiam diri di dalam rumah. Tapi kalo ke wilayah utara Jeonggu Dong, di sana pusatnya kehidupan malam Jeonggu Dong. Wilayah Tuan Kim.”
“Musuh Fujiwara itu ya?”
“Bukan musuh sih. Nona tak pernah menganggap Tuan Kim sebagai musuhnya.” Shin Ae kemudian mengelus tengkuknya. “Choi Minhwan, kau merasa ngeri tidak?”
“Eum? Ngeri?”
“Seolah ada yang sedang mengintai kita. Memperhatikan kita.”
“Eng… tidak.” Minhwan mengamati sekeliling lalu bergeser lebih dekat pada Shin Ae. “Kau takut?”
“Bukan begitu. Hanya saja… sedikit ngeri.”
“Jangan khawatir. Aku akan melindungimu.”
Shin Ae tersenyum gelid an menggeleng pelan. “Oh!” Shin Ae tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Minhwan turut menghentikan langkahnya.
 “It…itu…” tuding Shin Ae.
Seekor anjing hitam berukuran besar berdiri di tengah jalan.
“Hanya anjing. Kenapa?”
Shin Ae menelan ludah. Ia yakin jika anjing itu menghadang mereka dan siap menyerang. Shin Ae ngeri melihatnya. Wajahnya berubah pucat dan keringat mulai bercucuran di wajah Shin Ae.
“Ayo!” ajak Minhwan santai.
“Aku benci anjing!” teriak Shin Ae seraya berlari kembali kea rah belakang.
Melihat Shin Ae berlari, anjing itu tiba-tiba menggongong dan siap mengejar.
Minhwan bingung dan berlari menyusul Shin Ae.
Anjing hitam itu pun mengejar Minhwan dan Shin Ae sambil terus menggonggong.
Shin Ae berlari sekencang ia bisa. Ia menemukan sebuah pohon. Shin Ae tersenyum lebar dan segera menuju pohon itu dan memanjatnya. “Ya! Choi Minhwan! Kemari!” panggilnya pada Minhwan. “Ayo, cepat naik!” Shin Ae mengulurkan tangan membantu Minhwan naik ke atas pohon.
Anjing hitam besar itu sampai tepat saat Minhwan sudah sampai di atas pohon. Ia berputar-putar di bawah pohon dan sesekali menggonggong sambil melihat ke atas pohon. Tempat Shin Ae dan Minhwan berada.
Minhwan terengah-engah mengatur napasnya. “Ya, kenapa kau tiba-tiba kabur seperti itu? Larimu kencang sekali…”
“Tidak kah kau lihat betapa mengerikannya dia?”
“Ceritanya akan beda jika kau tidak tiba-tiba berlari.”
“Kau pikir dia jinak?!”
“Kau benar takut pada anjing?”
“Omo! Dia malah duduk.”
“Aku akan mengusirnya.”
“Jangan!” Shin Ae menarik lengan Minhwan. “Sepertinya dia sangat galak.”
Minhwan tersenyum melihat Shin Ae memegang lengannya dan mengkhawatirkannya seperti ini. “Apa kau mau semalaman di atas pohon ini?”
“Aku tak mau kau terluka. Berada di atas pohon ini semalaman tak mengapa. Anjing itu benar-benar mengerikan.”
“Aku tak mau semalaman di atas pohon ini. Itu bukan ide baik. Ulat lebih mengerikan dari anjing galak. Aku akan turun dan berusaha mengusir anjing itu. Jika anjing itu menyerangku, kau bergegaslah kembali ke rumah keluarga Kang untuk minta bantuan.”
“Tapi itu terlalu beresiko, aku tak…”
Minhwan mengecup cepat bibir Shin Ae. Minhwan tersenyum kemudian mengelus pipi Shin Ae. “Aku akan baik-baik saja. Percayalah.”
Shin Ae masih duduk tertegun. Ia tak percaya jika beberapa detik yang lalu Minhwan mengecup cepat bibirnya.
“Aku turun.”
“Hati-hati.” Shin Ae khawatir.
Minhwan tersenyum mengangguk, kemudian turun dari pohon.
Shin Ae benar khawatir. Bagaimana jika anjing itu benar menyerang Minhwan? Shin Ae berdiri, mengamati ranting-ranting pohon lalu mematahkan sebuah ranting dengan ukuran yang lumayan besar. Ia siap membantu Minhwan jika tiba-tiba anjing itu menyerang.
Anjing hitam besar itu kembali berdiri dan sesekali menggonggong melihat Minhwan menuruni pohon.
Minhwan sampai di bawah. Sebenarnya ia sedikit gugup melihat ukuran anjing ini. Namun ia tak mau terlihat lemah di depan Shin Ae. Ragu-ragu Minhwan melangkah mendekati anjing hitam besar itu.
Shin Ae makin erat memegang ranting di tangannya. Ia memejamkan mata. Tak tega jika harus menyaksikan Minhwan di serang.
Minhwan menelan ludah. Ia berdiri jarak satu langkah dengan anjing hitam besar itu. “Aku tak tahu siapa namamu. Aku yakin kau anjing baik. Temanku takut padamu, aku mohon pergilah dari sini. Lain kali jika kita ada waktu bersua, aku janji akan mengajakmu bermain.” Minhwan bicara pada anjing hitam besar itu. Ia tak lupa tersenyum pada anjing hitam besar itu.
Anjing hitam besar itu menggonggong lagi.
“Iya, dia temanku, takut padamu. Tolong terima negosiasiku ini, sobat.”
Anjing hitam besar itu menggonggong sekali, lalu berlari pergi.
Minhwan menghela napas lega. “Ya, Jung Shin Ae. Turunlah! Dia sudah pergi.” panggil Minhwan dari bawah.
Shin Ae membuka kedua matanya. Ia mengamati situasi di bawah pohon. Anjing hitam besar itu tak lagi di sana. “Woa! Choi Minhwan, kau mengusirnya…?”
Minhwan berdiri berkacak pinggang dan mengangguk bangga. “Ayo! Turunlah.”
Shin Ae tersenyum lega dan memastikan situasi di bawah sana benar-benar aman. “Ok, aku turun!” ia melempar ranting di tangannya ke bawah.
“Ya! Apa ini…?”
“Senjata darurat. Aku takut anjing itu tiba-tiba menyerangmu.” Shin Ae mulai turun.
“Hahaha… sudah kukatakan jika dia anjing jinak. Dia setuju pergi bukan?”
Sedikit lagi Shin Ae akan sampai, namun tiba-tiba terdengar gonggongan anjing hitam itu lagi. Karena terkejut dan panik, Shin Ae pun terjatuh.
Minhwan tersenyum menggendong Shin Ae di punggungnya. Anjing hitam besar itu berjalan di samping kanan Minhwan, turut menemani perjalanan Minhwan.
“Benar kan yang aku katakan? Anjing ini jinak.” Minhwan memecah kebisuan. “Kau kenapa benci pada anjing?”
“Saat kecil, seekor anjing mengejar kami, aku dan temanku. Anjing itu menggigit temanku. Sejak saat itu aku selalu ketakutan setiap kali melihat anjing.”
“Oh.” Minhwan mengangguk paham. “Tak apa. Hal semacam itu wajar. Seperti aku takut pada ulat.”
“Kau takut ulat?”
“Geli melihat ulat. Bulu-bulunya mengerikan, jika tak berbulu apalagi.”
Shin Ae tersenyum mendengarnya.
“Aku rasa anjing ini anjing penjaga perkebunan milik Fujiwara.”
“Oh…”
***
Ai tiba-tiba bangkit dari duduknya di teras gubuk kecilnya. Byunghun turut bangkit. Ai melangkah maju, Byunghun turut melangkah maju. Antara takut dan panasaran, Byunghun mengikuti apa pun itu yang di lakukan Ai. Ai berhenti, Byunghun pun turut berhenti.
Ai berhenti dan berdiri di dekat deretan tanaman bunga. Byunghun turut berhenti dan berdiri di samping kanan Ai. Sesekali Byunghun menoleh, melirik Ai. Ia bingung, penasaran kenapa Ai berhenti lalu berdiri diam seperti ini.
Hampir tengah malam. Byunghun mengusuk tengkuknya dan kembali melirik Ai. Kepala Ai sedikit mendongak. Ekspresi Ai tenang. Ia diam menunggu sesuatu yang Byunghun tak tahu. Entah apa itu. Namun terlihat dari ekspresinya, Ai benar-benar menunggu dan berharap sesuatu itu benar datang malam ini.
“Siapkan kameramu. Mereka menuju kemari.” bisik Ai.
Byunghun menelan ludah. Apa yang sedang menuju kemari? Namun ia menurut saja pada apa yang dikatakan Ai. Byunghun  menyiapkan kameranya.
“Mereka semakin dekat.” Ai berbisik makin lirih.
Byunghun semakin dibuat penasaran.
Ai tersenyum lebar. “Itu mereka.” tudingnya ke udara.
“Woa~” gumam Byunghun ternganga melihat sekumpulan kunang-kunang datang membentuk kerlap-kerlip cahaya di tengah gelapnya suasana kebun malam ini. Benar-benar indah. Byunghun tak menyia-nyiakan momen itu. Ia segera membidik fenomena itu dengan kameranya.
Fireflies …” bisik Ai dengan tangan kanan terangkat seakan-akan ingin menangkap kerumuman kunang-kunang itu.
Byunghun beralih membidik Ai. Ia tak pernah melihat ekspresi Ai seperti ini sebelumnya. Byunghun mengabadikan beberapa ekspresi Ai saat gadis itu berusaha dekat dengan kelompok kunang-kunang itu. Byunghun tersenyum puas sesudahnya.
“Jadi ini rahasiamu?” Byunghun menghampiri Ai, turut menatap kumpulan kunang-kunang yang berterbangan.
“Salah satu alasanku membangun gubuk itu adalah mereka. Pemandangan malam nan indah.”
“Hanya Minki Oppa, hanya mendengar ceritaku saja. Mungkin keluarga Kang yang mencoba membuktikan ceritaku usai mendengarnya dariku.”
Byunghun tersenyum bangga. Dia orang pertaman yang berdiri di samping kanan Ai, menemaninya melihat kunang-kunang. Byunghun menggeser langkahnya lebih dekat pada Ai. “Gomawo…” bisik Byunghun dekat di telinga kanan Ai.
Ai tersenyum mengangguk.
Keduanya berdiri berdampingan masih menatap puluhan kunang-kunang yang berterbangan membentu kerlap-kerlip cahaya indah di tengah malam.
  
 
---TBC---
 
  shytUrtle

Search This Blog

Total Pageviews