Khayalan shytUrtle

Istri Untuk Anakku

04:23

Istri Untuk Anakku

Ketika hati mencintai seseorang, namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
  
       
          Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah.  Dari belum kawin menjadi kawin. Aku memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi suamiku.”
***
   



Pelarian, Perjuangan Cinta.


Rombongan Galih tiba di sebuah desa di pesisir pantai. Mereka menyewa sebuah rumah kecil untuk tempat tinggal sementara. Galuh, Ima, dan Harto memilih istirahat. Sedang Galih dan Anjar berjalan-jalan di tepi pantai.

"Makasih. Maaf juga membuatmu terlibat," Galih memulai obrolan saat keduanya duduk di tepi pantai. "Mulai saat ini, status kita adalah buronan. Bapak bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan kita."

"Aku kenal bagaimana juragan. Benar saat ini mungkin Beliau sangat marah. Tapi, aku yakin Juragan sangat menyayangi kalian." Anjar berkomentar.

"Kamu benar. Tapi, aku udah sangat kurang ajar dengan membawa lari istrinya Bapak. Ibu tiriku. Gadis yang juga aku cintai. Aku sangat mengkhawatirkan Eyang dan Mbak Puspita." Galih menghela napas panjang.


Galuh dan Ima menyiapkan makan malam seadanya yang mereka beli dari warung terdekat. Kelimanya pun makan bersama.

"Aku sudah memikirkannya sejak kita pergi. Aku rasa sebaiknya kalian pergi ke luar Jawa saja." Harto memulai obrolan di tengah makan bersama. "Dengan uang yang kita punya sekarang, itu bisa mengantarkan kalian berempat ke Kalimantan. Aku punya kenalan di Kalimantan Timur. Temanku siap membantu. Kang Karyo tidak tahu perihal temanku di Kalimantan. Jadi, kalian aman dan bisa melanjutkan hidup di sana."

"Nggak, Lek." Tolak Galuh. "Aku nggak bisa pergi dengan cara seperti itu."

"Kenapa? Bukankah itu akan membuatmu aman? Kamu bisa melanjutkan hidup bersama Galih. Begitu juga Ima dan Anjar. Aku yang akan kembali untuk menghadapi Kang Karyo."

"Aku akan menemani Juragan Harto. Biar Mas Galih, Mbak Ima, dan Galuh yang pergi." Anjar ikut bersuara.

"Aku tidak akan menikah dengan Galih sebelum Bapak menceraikan aku dan merestui hubungan kami." Galuh kukuh menolak.

"Apa kamu pikir itu mungkin dan mudah saja terjadi?" nada suara Harto sedikit meninggi.

"Galuh benar, Lek. Kami sudah berdosa dengan saling jatuh cinta. Aku setuju dengan Galuh." Galih meraih tangan Galuh dan menggenggamnya erat. "Kami akan berusaha untuk mendapatkan restu Bapak."

"Lalu, apa gunanya pelarian kita ini?" Harto menatap Galih, lalu Galuh.

Suasana pun berubah hening dan kaku.

***


Sukaryo termenung. Ia berdiri menatap sisa lumbung yang terbakar. Baru sehari Galuh meninggalkan rumah. Ia merasa sangat rindu pada gadis itu. Seolah gadis itu telah pergi cukup lama. Ia merindukan senyuman Galuh, juga suara lembut gadis itu. Ia rindu canda tawa Galuh bersama anak-anaknya.

"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Kenapa kamu tega melakukannya di saat aku mulai menyayangimu? Kau menghancurkan semuanya. Semuanya!" Sukaryo berkata dalam hati. Ada rasa sesak yang teramat sangat di dalam dadanya.

Saya tidak peduli pada gunjingan orang di luar sana. Janji dan persahabatan yang Anda tawarkan sangat berharga bagi saya. Saya akan menjaganya. Sebaik yang saya bisa. Saya akan mencoba dan berusaha melakukan yang terbaik untuk persahabatan kita. Jika sahabatku ini bahagia, maka aku juga bahagia. Seorang sahabat tidak akan membiarkan sahabat baiknya menderita dan bersedih. Seorang sahabat akan selalu berusaha membuat sahabatnya bahagia dan selalu tersenyum.

Suara Galuh kembali terniang di telinga Sukaryo. Ekspresi gadis itu juga turut muncul dalam ingatannya. Sangat jelas. Bak sebuah kenyataan di hadapan Sukaryo.

"Maaf, Juragan."suara salah seorang kepercayaannya membuyarkan lamunan Sukaryo

"Hm. Ada apa?" Tanya Sukaryo tanpa membalikan badan untuk menghadap pada bawahannya.

"Menurut Mbah Jiwo, rombongan Juragan Harto bergerak ke arah selatan. Apa sebaiknya kita mulai bergerak? Menyisir lokasi?"

"Sebarkan orang-orangmu! Mulai lakukan pencarian."

"Baik, Juragan."

Pandu menghela napas. Ia lalu berjalan mendekati Sukaryo setelah salah satu orang kepercayaan Sukaryo pamit pergi.

"Kenapa tidak lapor polisi saja?" Tanya Pandu.

"Kita memiliki orang-orang yang lebih hebat dari polisi. Orang-orangku pasti bisa menemukan mereka."

"Jika mereka kembali, apa yang akan Bapak lakukan?"

Sukaryo tak menjawab. Hanya menghela napas panjang, lalu berjalan pergi meninggalkan Pandu.


Pandu mengetuk pintu kamar Lasmi. Setelah mendengar perintah untuk masuk, ia pun membuka pintu dan memasuki kamar Lasmi.

Lasmi yang duduk menyelonjorkan kaki di atas ranjang pun menyambut kehadiran Pandu dengan sebuah senyuman di wajah rentanya yang terlihat lesu.

"Kenapa Eyang ndak istirahat?" Tanya Pandu sembari duduk di tepi ranjang.

"Bagaimana aku bisa tidur dan istirahat? Sedang di luar sana mereka..." tatapan Lasmi menerawang ke luar jendela kamarnya. Ia tak melanjutkan ucapannya.

"Di luar sana, orang mulai bergosip tentang keluarga kita." Puspita memasuki kamar Lasmi.

Lasmi menghela napas panjang mendengarnya.

***


"Kita harus pergi dari sini." Harto menjelaskan rencana selanjutnya.

"Pergi? Kenapa, Lek?" Tanya Galih.

"Apa yang bisa kita lakukan di sini? Kang Karyo sudah mulai bergerak."

"Sebenarnya aku bisa kerja apa saja. Jadi nelayan juga bisa. Tapi, tetap tinggal di sini memang terlalu beresiko." Jawab Anjar.

"Ini desa. Kita tidak akan aman berada lama-lama di sini. Kepolosan dan kejujuran warga, bisa jadi bencana bagi kita. Rasa ingin tahu mereka yang teramat sangat tentang kita, bisa jadi masalah besar buat kita. Sebaiknya kita pergi ke kota. Sambil memikirkan rencana selanjutnya."

"Benar juga. Baiklah. Besok pagi-pagi kita pergi." Galih setuju.

"Kita pergi malam ini saja. Aku tidak bisa menunggu sampai besok." Harto memberi keputusan.

Semua pun setuju. Masing-masing mulai mengemasi barang-barang. Malam itu juga mereka pergi meninggalkan desa nelayan itu. Mereka melanjutkan perjalanan menuju kota. Melanjutkan pelarian mereka.

Hidup dalam pelarian benar menyiksa mereka berlima. Setiap detik mereka merasa gelisah. Rasa takut selalu menggerayangi mereka. Empat hari berjalan, masih terasa cukup berat bagi mereka. Tak bisa tidur nyenyak. Melakukan aktifitas apa pun tidak bisa nyaman. Mereka selalu was-was dan cemas.

Rombongan itu pun tiba di kota. Usai seharian berkeliling tanpa arah, akhirnya mereka mendapatkan rumah untuk di sewa. Menurut Harto, mereka untuk sementara aman jika tinggal di rumah itu. Karena kota itu berada jauh ribuan kilo dari tempat asal mereka.

Mereka mulai mengatur rencana. Mereka tidak akan bisa bertahan lama dengan uang pemberian Lasmi. Terlebih setelah Sukaryo memblokir akses keuangan Galih dan Harto. Mereka harus bekerja untuk mendapatkan uang agar mereka bisa bertahan hidup.

Rapat pun digelar. Keputusannya adalah Galuh dan Ima tetap tinggal di rumah. Sedang para pria akan keluar dan mencari pekerjaan.

Kehidupan yang dipenuhi orang-orang yang sibuk dan cuek membuat mereka merasa aman dan nyaman. Mereka berencana untuk menetap di kota itu untuk beberapa waktu.

***


Hari berganti. Beberapa minggu berlalu. Anak buah Sukaryo belum membuahkan hasil dalam misi pencarian mereka. Lasmi yang tua dan rapuh pun jatuh sakit.

"Belum ada kabar dari mereka lagi?" Tanya Lasmi.

"Belum, Eyang." Jawab Puspita.

"Aku benar-benar kangen Galih, Galuh, dan Harto."

"Gendis dan Ragil juga terus bertanya tentang Galuh. Mereka kangen sama Galuh. Aku nggak tahu apa mereka mempercayai apa yang aku bilang."

"Lalu, bagaimana bapakmu?"

Puspita menatap Lasmi. "Bapak ya tetap seperti itu, Eyang. Sampai kapan Eyang akan diam ke Bapak?"

"Bapakmu yang nggak mau ngomong ke aku sejak Galih dan Galuh pergi. Bukan aku!"

Puspita hanya bisa diam dan menghela napas mendengarnya.

Sukaryo menatap kamar Galuh yang kosong. Menjenguk kamar itu telah menjadi rutinitas Sukaryo sejak Galuh pergi. Semua barang-barang Galuh masih ada di sana. Setiap kali melihat kamar itu, Sukaryo merasakan sesak yang teramat sangat di hatinya.

Langkah Sukaryo terhenti di depan ruang bermain. Ruangan itu tak pernah ramai canda tawa sejak Galuh pergi. Rupanya anak-anaknya enggan berlama-lama dan bermain di ruangan itu sejak Galuh pergi.

"Dengan menatapnya seperti itu, canda tawa itu tidak akan bisa kembali."

Sukaryo membalikkan badan. Ia menemukan Lasmi sudah berdiri di belakangnya. "Ibu? Kenapa Ibu bangun dan berjalan ke mari?"

"Aku pikir kau benar-benar sudah tak peduli padaku. Kau bahkan tidak menjengukku sejak Galih pergi. Aku tidak bisa didiamkan seperti itu. Sudah waktunya kita bicara. Kenapa kau mendiamkan ibumu yang sudah renta dan semakin mendekati kematian ini?" Lasmi duduk di kursi di ruang keluarga yang letaknya menghadap ruang bermain.

"Aku telah membuat banyak kekacauan. Tindakanku selalu menyusahkanmu. Aku akui peristiwa malam itu, semuanya adalah skenario yang aku buat." Lasmi mengakui semua perbuatannya.

Sukaryo datar saja menanggapinya. Ia tahu jika Lasmi dibalik itu semua. Karenanya ia marah dan mendiamkan ibu kandungnya itu.

"Kau pantas marah. Bahkan, kau punya hak mutlak untuk membunuhku!"

"Ibu..."

"Jika kau mencari mereka hanya untuk memberi hukuman, lebih baik kau bunuh saja ibumu ini. Untuk apa ibu hidup jika harus menyaksikan anak dan cucuku, orang-orang yang sangat aku cintai menderita? Semua masalah yang terjadi dalam keluarga ini adalah salahku. Pernikahanmu dengan Galuh. Pertemuan Galuh dengan Galih hingga mereka saling jatuh hati. Aku lah yang memberi kesempatan itu semua terjadi."

Sukaryo kembali bungkam.

"Pikirkanlah kembali. Kemarahanmu itu tidak pantas kau luapkan pada Galih dan Galuh. Tapi, padaku lah seharusnya kau meluapkan semua amarahmu. Akulah yang membuat hidup kalian semua menjadi kacau. Tapi, kemarahanmu. Amarahmu itu apakah setimpal dengan apa yang akan kau dapatkan? Pilihanmu hanya dua, Anakku. Buatlah ibumu ini hidup bahagia di sisa hidupnya. Atau biarkan dia mati perlahan karena menderita atas penyesalannya. Aku meminta ijin padamu, karena hidupku kini bergantung padamu." Lasmi bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang renta itu berjalan pelan meninggalkan Sukaryo.

Sukaryo duduk terdiam di ruang keluarga. Kejadian malam itu kembali muncul dalam ingatannya. Pengakuan Galih tentang perasaan sukanya pada Galuh yang tak terbendung lagi. Permohonan Galuh dan pembelaan Ima.

Perubahan dratis di dalam rumahnya sejak Galuh pergi pun turut memenuhi pikiran Sukaryo. Anak-anak yang berubah lesu dan lebih banyak diam. Sering ia mendengar anak-anaknya bertanya pada Puspita ke mana Galuh pergi dan kapan gadis itu akan kembali.

Sukaryo menghela napas panjang. Kepergian Galuh benar-benar telah merubah segalanya. Ia merasakan kembali rasa sakit dan kesepian yang pernah ia rasakan ketika istri pertamanya pergi untuk selamanya.

***


Tempurung kura-kura, 29 November 2017.
. shytUrtle .


Khayalan shytUrtle

Istri Untuk Anakku

04:00

Istri Untuk Anakku

Ketika hati mencintai seseorang, namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
  
       
          Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah.  Dari belum kawin menjadi kawin. Aku memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi suamiku.”
***

Cinta Terlarang yang Terbongkar


Sukaryo terlihat bahagia hari ini. Hasil rapor keempat anaknya meningkat drastis. Galuh membantu membereskan kertas-kertas di meja kerjanya. Ia pun tersenyum menatap gadis itu.
"Sebentar lagi temani aku minum teh di teras samping," pinta Sukaryo.
Galuh menjawabnya dengan sebuah anggukan.

Galuh memberikan teh hasil racikannya pada Sukaryo. Teh melati kesukaan tuan tanah itu.
Sukaryo mencium aroma teh melati favoritnya. Kemudian ia menyesapnya. Lalu, ia pun tersenyum.
"Rasanya pas sekali!" Sukaryo memuji teh hasil racikan Galuh.
Galuh tersenyum menanggapinya.
"Kau membawa banyak kebahagiaan ke dalam rumah ini. Terima kasih untuk semuanya."
"Bapak tidak perlu berterima kasih. Sudah jadi kewajiban dari seorang teman untuk membantu temanya, kan? Lagi pula, kita adalah keluarga. Ada yang bilang, dalam keluarga jangan terus mengatakan maaf dan terima kasih."
"Teman?" Sukaryo merasa tak nyaman mendengar kata itu. "Ah, ya! Kita adalah teman. Apa kau juga bahagia?"
Galuh menundukkan kepala. Ia memilih bungkam. Lalu meraih teh di hadapannya dan menyesapnya.
"Kau merawatku, ibuku, juga anak-anakku. Setiap hari. Tapi, aku tidak pernah berpikir apakah kau bahagia dalam kehidupan yang kau jalani kini. Rutinitas yang kau jalani, setiap hari di rumah ini. Aku tidak pernah bertanya apakah itu membebanimu atau tidak."
"Selama Anda memegang janji Anda, saya merasa baik. Akan selalu demikian. Bapak tidak perlu khawatir tentang saya."
"Janji?"
"Iya. Janji bahwa Bapak tidak akan pernah menyentuh saya, layaknya seorang suami kepada istri. Anda tidak akan menyentuh saya, selamanya."
Kalimat penegasan itu terlontar lancar dari mulut Galuh. Kalimat yang diartikan sebuah penolakan oleh Sukaryo. Sedari awal ia sadar jika Galuh tak pernah menginginkannya. Ekspresi Sukaryo berubah menjadi sedikit redup. Sejenak ia menyesali janji itu.
Suasana berubah menjadi hening dan sedikit kaku. Sukaryo dan Galuh sama-sama terdiam. Hanya hembusan lembut angin malam yang terdengar di sekitar mereka.
"Kau bisa percaya aku!" Ujar Sukaryo memecah keheningan. "Jadi jika aku menepati janji itu, maka kau akan bahagia?"
Harusnya Galuh berbicara jujur tengang apa yang ia rasakan, bahwa ia tidak bahagia berada di dalam rumah besar itu. Tapi, ia justeru menganggukkan kepala.
"Apakah perasaanmu padaku tidak bisa berubah?"
"Maaf?" Galuh mengangkat kepala dan menatap Sukaryo.
"Sudahlah! Lupakan saja. Sebaiknya sekarang kau istirahat saja."
Tak mau menunggu lagi, Galuh pun langsung bangkit dari duduknya. "Apa perlu saya bereskan sekarang?" Tanyanya.
"Biarkan saja. Aku masih ingin menikmati teh di sini."
"Baik. Kalau begitu saya permisi." Galuh pun pergi.
Sukaryo menghela napas panjang. Ia menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.
Harto yang sedari awal memperhatikan dari kejauhan hanya bisa menghela napas panjang.
***


Pagi menjelang siang, Galih duduk di pondok di tengah hamparan hijau padi. Ia sendirian. Rona bahagia terpancar di wajahnya. Walau ia terlihat duduk dengan tenang, tapi hatinya benar tak sabar. Tak sabar untuk bertemu pujaan hatinya, Galuh.
Tak lama kemudian, Galuh pun tiba di pondok tempat Galih menunggu. Galih menyambutnya dengan senyuman lebar. Tapi, Galuh terlihat murung.
"Ada yang ingin aku sampaikan,"ujar Galuh.
"Ssh!" Galih meletakkan jari telunjuknya pada bibir Galuh. "Coba perhatikan sekitar kita. Indah, kan? Nyanyian alam. Benar-benar damai."
"Galih! Aku mohon dengarkan aku!"
Galih merubah posisi duduknya menjadi menghadap pada Galuh. "Kamu ingin bilang apa? Sebelumnya dengarkan aku dulu. Aku menyukaimu, Galuh. Aku mencintaimu. Aku selalu merasa bahagia jika ada kamu didekatku. Kayak sekarang ini."
Galuh diam, balas menatap Galih. Ada rasa bahagia memenuhi dadanya. Bahagia mendengar Galih menyatakan perasaan padanya. Tapi bersamaan dengan itu, muncul juga rasa sakit yang teramat sangat di dadanya. Ia kembali menyesali keadaannya. Menyesal karena bertemu Galih setelah ia resmi menjadi istri Sukaryo, ayah Galih.
"Maafkan aku, Galih. Tapi, ini tidak boleh terjadi. Kita tidak boleh seperti ini. Kau tahu, aku merasa sangat jijik pada diriku sendiri. Aku menikahi ayahmu, tapi aku jatuh hati padamu. Aku wanita terkutuk dan pendosa. Aku tidak bis..."
Galih membungkam Galuh dengan bibirnya. Ia mencium bibir Galuh.
Galuh terkejut. Galih tiba-tiba menciumnya. Ciuman pertama yang membuat suhu tubuhnya tiba-tiba meningkat. Ciuman pertama yang membuatnya mabuk. Ia merasa dirinya benar sudah gila. Bukannya menolak ciuman itu, tapi ia malah pasrah. Menikmati kecupan hangat dari bibir Galih.
"Dengarkan aku," Galih menangkup wajah Galuh dengan kedua tangannya. "Aku sendiri tidak tahu sejak kapan aku mulai menyukai dan jatuh hati padamu. Aku tidak akan tinggal diam. Aku telah memikirkannya. Aku akan memperjuangkan cinta kita."
"Tapi, Galih..."
"Ssh! Serahkan semua padaku. Percayalah padaku. Bisa kan?"
"Aku percaya sama kamu, Galih. Aku juga jatuh hati, cinta sama kamu. Jika nantinya kita memang harus pergi, aku rela. Aku bersedia pergi bersamamu. Ke mana pun itu."
Galih meraih tubuh Galuh. Mendekapnya erat.
Galuh membalas pelukan Galih dan menangis. Ia benar-benar tak ingin jauh dari Galih.

Setiap kali mengingat ciuman pertama itu, Galuh selalu tersipu. Ia lebih banyak diam, melamun, dan tersenyum sendiri usai pertemuan itu.
Ya ALLOH, selama ini aku tidak pernah memohon sesuatu untuk diriku sendiri. Tapi, kali ini aku ingin membuat satu permohonan pada-Mu. Permohonan, untuk diriku sendiri.  Aku tahu ini salah, tapi aku sangat mencintai Galih. Tolong bantu kami. Jika rasa ini murni angerah-Mu, maka tolong bantu kami untuk bersatu. Tapi, jika rasa ini adalah  hembusan napas setan belaka. Aku mohon bantu kami untuk lepas dari lingkaran ini. Tunjukan jalan keluar bagi kami. Pisahkan kami. Dan, aku mohon kuatkan aku untuk menghadapi itu semua. Kuatkan hatiku yang rapuh. Aku tidak akan sanggup menjalani ini semua tanpa kekuatan dari-Mu. Aku mohon tunjukkanlah yang terbaik bagi kami semua.

***


Galuh sibuk menjahit di kamarnya ketika Ima tiba-tiba muncul dengan napas terengah-engah. Melihat ekspresi Ima, Galuh paham jika telah terjadi sesuatu yang buruk. Ima memintanya untuk ikut ke ruang keluarga.
Jantung Galuh berdetub tidak karuan sejak ia meninggalkan kamarnya bersama Ima. Tubuhnya gemeteran. Ketika sampai di ruang keluarga, ia terbelalak. Ia melihat Galih tengah berlutut di hadapan Sukaryo. Lasmi, Pandu, Ratih, dan Puspita juga berada di sana.
Tubuh Galuh terasa lemas. Seolah tak bertulang. Ia yakin, Galih pasti telah mengungkap tentang cinta terlarang yang terjalin di hati mereka.

Pria gagah itu berdiri membelakangi Galuh yang tertunduk di belakangnya. Sukaryo berusaha meredam emosi yang melonjak-lonjak di dadanya. Ia tak menyangka jika permintaan Galih untuk ngbrol dengannya malam ini adalah untuk mengakui semua perasaannya pada Galuh.
Galuh jatuh berlutut di belakang Sukaryo yang masih bertahan memunggunginya. Ia berada di samping Galih yang juga masih berlutut. Tubuh Galuh gemetaran. Air matanya pun meleleh.
"Bapak, saya mohon jangan hukum Galih." Pinta Galuh di sela isak tangisnya.
"Kau bohong padaku!" Akhirnya Sukaryo bersuara. "Kau tidak bahagia. Kau berkhianat. Kau mengkhianati aku."
"Saya tahu kata maaf tidak akan berguna lagi sekarang. Tapi, saya benar-benar meminta maaf pada Bapak. Maaf karena saya tidak bisa menjadi istri yang baik bagi Bapak. Maaf karena saya pun tidak bisa menjadi teman yang baik bagi Bapak. Anda membawa saya ke dalam rumah ini dalama ikatan suci. Tapi, balasan yang saya berikan... Maafkan saya, Bapak. Maaf karena saya telah mengkhianati Bapak." Galuh tertunduk semakin dalam.
"Ini semua bukan salah Galuh. Ini salahku! Aku yang menggodanya. Aku yang lebih dahulu menyukai Galuh dan terus menggodanya agar ia jatuh hati padaku." Bantah Galih. "Galuh Widati tidak bersalah. Aku mencintainya, dan ia pun demikian. Mencintai aku. Kami saling mencintai. Karena itu, aku meminta ijin. Tolong, lepaskan Galuh. Tolong lepaskan Galuh, untukku."
PLOK!
Telapak tangan kanan Sukaryo mendarat di pipi kiri Galih. Membuat semua yang ada di ruangan itu terkejut. Sepanjang hidupnya, Sukaryo tak pernah memukul anak-anaknya. Ini pertama kalinya ia memukul anak kandungnya sendiri.
"Kalian benar-benar membuat hatiku sakit. Sangat sakit! Bagaimana bisa istri dan anakku saling jatuh cinta seperti ini?!" nada bicara Sukaryo meninggi. "Dosa apa keluargaku ini! Hingga kami harus menanggung semua ini!"
"Maaf." Ima tiba-tiba angkat bicara. "Anda menyebut gadis ini sebagai istri? Tolong lihat gadis ini! Lihat dengan jelas. Dia rela melayani Anda, merawat Ibu dan anak-anak Anda. Menganggap semua itu adalah kebahagiaan baginya. Apa Juragan tahu jika di beberapa malam dia menangis? Anda menyalahkan cinta yang tumbuh di hati mereka. Tapi, Anda lupa jika Anda lah yang memberi ruang dan kesempatan cinta itu untuk tumbuh di hati mereka. Anda bisa saja menolak pernikahan itu, kan? Tapi, Anda justeru mengiyakan pernikahan itu dan membawa gadis ini masuk ke dalam rumah besar ini. Menjadikan Galuh sebagai boneka dalam keluarga ini. Galuh bukan boneka. Dia hanya manusia biasa. Jika sampai ada cinta yang tumbuh di hatinya. Itu bukan hal yang tidak mungkin."
"Lancang! Berani sekali kau berkata seperti itu!" Sukaryo diselimuti emosi yang membara. Ia berteriak memanggil pengikutnya. "Kurung Galuh dan Ima di lumbung belakang!" Titahnya ketika para pengikutnya tiba di ruang keluarga.
Galih meronta. Memohon ampunan untuk Galuh. Tapi, Sukaryo bergeming. Kembali berdiri membelakanginya. Ketika Galih mengejar Galuh yang digiring menuju lumbung belakang, dua orang anak buah Sukaryo menahannya. Galih terus berteriak dan berontak. Berusaha lepas. Tapi, usahanya sia-sia.
Galuh dan Ima dimasukan ke dalam lumbung yang gelap dan pengab. Mereka berdua dikurung di dalam sana.
Ratih dan Puspita memapah Lasmi ke kamarnya. Nenek itu syok usai melihat pertikaian di ruang keluarga.

***


Pandu menyambut Harto yang baru saja sampai di rumah. Harto mengerutkan dahi ketika melihat ekspresi Pandu yang terlihat panik. Usai mendengar penjelasan singkat Pandu, Harto bergegas memasuki rumah. Tapi, tak ada siapapun di ruang keluarga.
Sukaryo berdiam di ruang kerjanya. Dadanya masih bergemuruh. Ia merasa dikhianati oleh istri dan anak kandungnya sendiri.
Galih yang terkunci di kamarnya mondar-mandir. Ia terus memikirkan cara untuk bisa kabur dan menolong Galuh.
Di dalam lumbung, Ima memeluk Galuh yang menangis. Ia terus menenangkan Galuh yang syok.

"Jika menunggu besok, dia tidak akan selamat. Bawa dia pergu dari sini. Malam ini juga!" Lasmi memberi perintah.
"Ibu..." Harto menatap iba pada ibunya yang sudah renta itu.
"Hanya kamu yang bisa aku percaya dan aku andalkan. Kekacauan ini karena kesalahanku. Aku yang membuka kesempatan bagi Galih dan Galuh untuk bertemu dengan jalan yang salah. Sekarang, biarkan aku menyelesaikannya."
"Ibu pikir cara ini akan menyelesaikan konflik dalam keluarga kita?"
Lasmi diam sejenak. "Setidaknya biarkan emosi masmu mereda. Jadi Galih dan Galuh harus pergi. Orangku sudah menemui Anjar. Kalian pergilah. Di sini biar aku yang urus."
"Tapi, Ibu. Bagaimana jika jalan kita ini malah memperparah keadaan?"
"Sukaryo biar aku yang urus. Untuk sementara, kau bawa Galih dan Galuh pergi. Ini duplikat kunci lumbung. Ikuti rencanaku. Aku percaya padamu, anakku." Lasmi menepuk tangan Harto yang berada dalam genggamannya.
Walau Harto tahu jika rencana Lasmi adalah bukan tindakan yang benar, ia tetap melaksanakan perintah sang ibu. Lasmi dibantu Puspita dan juga orang-orang kepercayaannya mulai menjalankan rencana yang ia buat.

Malam itu Lasmi sendiri yang mengantar teh untuk Sukaryo. Ia tinggal di ruang kerja Sukaryo. Ia meminta putra sulungnya itu untuk tetap berpikir jernih dan sebisa mungkin meredam emosi. Untuk mengantisipasi keadaan, ia pun mencampur obat tidur pada teh untuk Sukaryo.
Rencana Lasmi berjalan lancar. Obat tidur yang ia campur ke dalam minuman Sukaryo berhasil membuat pria itu pusing dan mulai mengantuk.
Tak hanya mencampur obat tidur ke dalam minuman Sukaryo, Lasmi juga memerintahan anak buahnya untuk mencampur obat tidur ke dalam minuman untuk anak buah Sukaryo yang ditugaskan menjaga lumbung. Para penjaga itu pun jatuh terlelap.
Lasmi membuka pintu kamar Galih dan menjelaskan semua rencananya. Ia meminta Galih segera berkemas dan pergi bersama Galuh.
Galih terharu. Berulang kali ia memeluk sang nenek. Usai memeluk Lasmi untuk yang terakhir kali, Galih mencium kedua tangan Lasmi. Kemudian ia pun bergegas pergi.

Ima dan Galuh terkejut melihat Harto dan Anjar muncul ketika pintu lumbung terbuka. Mereka segera membawa Ima dan Galuh keluar dari lumbung. Mereka berempat pergi menemui Galih.
Galih memeluk erat Galuh sambil terus membisikkan kata maaf. Kelima orang itu kemudian pergi bersama dengan menaiki mobil Harto. Mereka meninggalkan desa.

Puspita merangkul Lasmi yang berdiri di teras depan. "Apakah yang kita lakukan ini benar?"
"Benar atau salah, biarkan Gusti Pengeran yang menunjukkan pada kita semua."

***


"Kebakaran! Kebakaran! Lumbung kebakaran!"
Teriakan di waktu menjelang Subuh itu membangunkan Sukaryo dari tidurnya. "Lumbung? Galuh!" Ia pun bangkit dari duduknya dan berlari meninggalkan ruang kerjanya. Menuju lumbung belakang.
Sukaryo panik ketika sampai di lokasi. Api telah membakar seluruh bangunan lumbung belakang. Lumbung belakang memang bukan lumbung utamanya. Karenanya ukurannya sangat kecil. Hanya sebuah bangunan dengan ukuran 3x4 meter saja.
Sukaryo berteriak. Meminta anak buahnya untuk mematikan api yang telah menyelimuti seluruh bangunan lumbung.
Bersamaan dengan terbitnya fajar, api yang melahap lumbung belakang berhasil dipadamkan. Api melahap hampir seluruh bangunan lumbung. Gabah yang berada di dalam lumbung ludes terbakar. Mendengar itu semua, Sukaryo terduduk lemas di ruang keluarga.

Siang harinya, Sukaryo sudah tampak lebih tenang. Ia pun menemui orang-orang kepercayaannya. Ia mendengar keterangan orang-orang itu.
Menurut penyelidikan orang-orang kepercayaan Sukaryo, lumbung dalam keadaan kosong. Dan, sepertinya memang sengaja dibakar. Sukaryo juga menerima laporan jika Galih tidak ada di kamarnya. Harto dan mobilnya pun tiba-tiba menghilang.
Amarah Sukaryo yang mulai mereda kembali memuncak. Tubuhnya gemetar karena emosi yang kembali membara itu. Ia merasakan sakit di dadanya. Sakit karena telah dikhianati oleh istri, anak, dan juga adik kandungnya sendiri.

"Mereka bersekongkol melawanku!" Sukaryo mengepalkan kedua tangannya untuk menahan emosinya yang menjadi-jadi. Ia berdiam diri di dalam ruang kerjanya.
"Pak, ada polisi. Mereka mendengar perihal kebakaran di lumbung belakang dan mengadakan kunjungan." Pandu berbicara dari balik pintu yang terturup.
Sukaryo menghela napas. "Kau urus saja mereka! Katakan kita tidak perlu penyelidikan. Tentang peristiwa semalam, jangan sampai orang luar tahu!"
Sukaryo memberi perintah tanpa mempersilahkan Pandu masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Baik, Pak!" Pandu pun pamit.

Lasmi dan Puspita berakting seolah mereka tidak tahu menahu tentang peristiwa kebakaran di lumbung dan juga menghilangnya Galih dan Harto. Mereka sedikit lega ketika mendengar Sukaryo tak menginginkan polisi membantu penyelidikan. Tapi, bukan berarti mereka tenang. Sukaryo yang tak mau minta bantuan polisi pasti telah memiliki rencana sendiri. Mereka tahu pasti tentang hal itu.
***
 
 

Tempurung kura-kura, 15 November 2017.
. shytUrtle .

Search This Blog

Total Pageviews