Tuhan, Jika Menikah Malah Menambah Masalah, Maka Biarkanlah Aku Tetap Sendiri
19:02
Tuhan, Jika Menikah Malah Menambah Masalah, Maka Biarkanlah Aku Tetap Sendiri
Dari event #NulisRandom2017
Aku sangat mengagumi wanita ini. Dia sukses dalam karir. Hidupnya mapan. Wajahnya pun cantik. Ketika aku bisa berada begini dekat dengannya, rasanya sangat gugup. Apalagi bisa ngobrol panjang lebar seperti ini, sungguh kesempatan yang sangat langka. Sungguh berkah bagiku.
Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku menanyakan segala hal yang aku penasaran tentang dia. Tahu kah kalian, walau tampilannya terkesan dingin dan angkuh. Ternyata dia adalah sosok yang... ramah. Eh? Bagaimana sih aku ini. Pokoknya dia orang yang ramah. Dia menjawab semua pertanyaanku. Tak kenal maka tak sayang. Aku pikir dia sosok yang nggak asik. Ternyata aku salah.
Setelah ngobrol panjang lebar tentang karirnya, kesuksesannya, dan ketenarannya. Rasanya masih kurang jika aku tak bertanya soal kehidupan pribadinya yang benar membuat aku penasaran. Seperti kebanyakan orang. Kalian ingin tahu apa itu?
Ya, dia memang punya karir yang cemerlang. Hidupnya mandiri dan mapan. Wajahnya juga sangat cantik. Tapi, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga itu dia masih saja sendiri. Masih jomblo kalau kata anak kekinian.
Kayak orang kebanyakan, aku juga penasaran dong. Dia cantik dan mapan, mandiri. Tapi, kenapa masih jomblo? Masak iya nggak ada laki-laki yang ngedeketin dia? Secara pergaulannya juga luas. Dan, kalau aku stalker akun sosial medianya--juga di kehidupan nyatanya. Ia memiliki banyak teman pria. Temannya mayoritas cowok. Aku amati cowoknya cakep-cakep juga lho! Masak iya nggak ada satupun yang nyantol di hatinya.
Atau jangan-jangan dia masih sakit hati karena di tinggal menikah sama cowok yang dia sukai?
Ada juga yang bilang, dia terkena sihir. Katanya, dulu dia pernah nolak cinta seorang lelaki. Makanya dia dibikin nggak laku kayak sekarang. Jadi perawan tua.
Itu... itu bukan kata-kataku! Aku hanya mengutip apa yang dikatakan orang-orang tentangnya. Aku sangat mengagumi wanita itu. Dan, sebenarnya aku tak mempermasalahkan tentang status jomblonya itu. Wanita sukses dan jomblo itu bukan hal yang wah. Buatku itu wajar. Apalagi kalau cewek itu tipikal cewek smart, kayak dia.
Aku tahu sebenarnya ini tak sopan. Menanyakan perihal status kejombloannya dan tentang apa-apa yang dikatakan orang tentangnya. Tapi, aku penasaran. Dan, sebenarnya aku juga berada di posisi yang sama dengannya; tak kunjung mempunyai kekasih dan menikah.
Aku pun begitu. Walau aku lebih muda beberapa tahun darinya. Tapi, teman-teman seangkatanku rata-rata sudah menikah dan punya anak. Sedang aku, ya masih begini-begini aja. Jomblo.
Mungkin hampir sama dengannya, aku juga sering ditanya kapan nikah. Atau dikatain, pilih-pilih sih! Makanya nggak laku-laku.
Karena itu, aku ingin bertanya tentang itu padanya. Karena aku merasa nasib kami sama. Bedanya tentu saja pada status kehidupan sosial kami.
Semalaman aku memikirkan tentang hal itu. Ketika berhadapan dengannya, jantungku berdetub dua kali lebih cepat dari biasanya. Hanya ini kesempatanku. Aku harus bertanya padanya. Bertukar pikiran dengannya. Meminta resep dari dia agar tetap tegar dalam cercaan hidup sebagai cewek single. Setelah berputar-putar, akhirnya aku bisa mengungkap keinginanku untuk membahas hal yang sangat pribadi itu. Aku mengungkapnya dengan terbata. Setelah itu, aku menundukan kepala dalam-dalam. Tak berani menatapnya.
Hening sejenak setelah aku mengutarakan maksudku. Aku masih menundukan kepala. Bahkan tubuhku gemeteran kini. Pasti dia marah. Duh, bodoh! Bodoh! Bodoh!
"Jadi, itu yang kamu maksud nasib kita sama?" suaranya yang lembut memecah keheningan. "Tolong jangan menundukan kepala di depanku. Kita teman, kan? Seorang teman, harus menatap wajah temannya ketika sedang mengobrol. Jika salah satunya menunduk, itu bukan obrolan antar teman. Tapi, antara atasan dan bawahan. Aku bukan atasanmu, dan kau bukan bawahanku. Jadi, tolong angkat kepalamu. Bahkan, aku dan bawahanku pun menatap wajah satu sama lain ketika mengobrol."
Malu-malu aku mengangkat kembali kepalaku dan menatapnya. Senyumnya sangat manis. Tidak ada ekspresi marah di wajah ayunya.
"Apa yang kau ingin tanyakan? Dibanding aku, pasti kau lebih menderita ya. Karena, di lingkungan tempatmu tinggal pasti lebih menjujung tinggi tentang pernikahan. Perempuan yang sudah cukup umur dan tak kunjung menikah, pasti dicibir dan tak jarang diolok secara terang-terangan."
Aku tersenyum kikuk dan mengangguk. Membenarkan ucapannya. "Kalau boleh tahu, apa arti pernikahan menurutmu? Dan, seberapa penting pernikahan itu bagimu?"
Dia diam sejenak. Sepertinya sedang merenung. "Jujur aku nggak tahu arti sebuah pernikahan bagiku. Love goals? Aku nggak punya hubungan cinta. Hahaha. Aku pun tidak tahu seberapa penting pernikahan bagiku. Kalau hanya untuk mendapatkan laki-laki yang berstatus sebagai suami yang bisa menafkahi aku, aku rasa kau tahu jawabannya."
"Ya. Kau mapan dan mampu secara finansial. Bagaimana dengan sosok yang melindungi?"
"Bodyguard yang dibayar akan lebih bertanggung jawab dalam hal melindungi. Menurutku."
"Jadi, semua kau ukur dengan uang?"
"Tentu saja tidak, Sayang. Uang bukanlah segalanya. Tapi, jika yang kau cari hanya seperti yang kau sebut tadi, uang bisa menjadi solusinya."
"Ok! Bodyguard akan membuatmu aman, tapi apa dia bisa membuatmu nyaman?"
"Nyaman bagimu hanya kau sendiri yang bisa menciptakannya, Sayang. Semua itu bisa diciptakan jika kau bisa bekerja sama dengan dirimu sendiri. Orang lain hanya akan mengikuti kendalimu setelah kau bisa memegang kendali akan dirimu sendiri."
Aku diam. Merenungi kata-katanya.
"Lagi pula, menikah itu bukan hanya perkara mensahkan sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan agar terhindar dari zina. Menikah juga bukan hanya perkara melanjutkan keturunan. Tapi, menikah juga adalah penyatuan dua makhluk yang amat sangat berbeda. Penyatuan dua pikiran. Penyatuan dua keluarga. Dan penyatuan-penyatuan banyak hal lainnya."
Aku kembali menatapnya. "Apa kau takut?"
"Ya. Aku takut akan banyak hal tentang pernikahan."
"Bukankah jika dua hati sudah disatukan, pasti ada jalan tengahnya? Kau juga percaya itu kan?"
"Ya. Tapi, berucap tak semudah praktek. Banyak hal di sekitarku yang membuatku berpikir ribuan kali tentang menikah. Coba pikiran, apa perlu menikah jika pernikahan itu justeru menimbulkan masalah?"
"Masalah?" aku benar-benar tak bisa menyembunyikan ekspresi tak pahamku.
"Ya. Menikah tapi tak membuat hidup orang tua kita tenang, misalnya? Karena aku membebani mereka dengan masalah pernikahanku."
"Melihat kehidupanmu yang sekarang, aku rasa tak mungkin."
"Belum tentu."
"Tapi, kau mapan secara finansial. Kau juga orang yang mandiri dan bijak."
"Belum tentu. Banyak contohnya. Pasangan yang sudah mapan secara finansial. Tapi, apa-apa masih orang tua mereka. Ya, aku akui aku sendiri tak bisa lepas dari orang tuaku. Masih membebani orang tuaku. Tapi, jika itu ditambah dengan suami dan mungkin juga anakku. Kacau! Apa gunanya menikah jika masih merepotkan orang tua? Lebih baik tetap hidup sendiri dan mengabdikan hidup untuk orang tua. Dulu mereka yang merawat, sekarang gantian kita yang merawat."
"Tunggu! Tunggu! Tidak semua kehidupan pernikahan berujung seperti itu. Mungkin kau punya pemikiran seperti itu karena contoh yang ada di sekitarmu seperti itu. Banyak kok pasangan menikah yang hidup mandiri. Ya, walau kadang masih melibatkan peran orang tua."
Dia tersenyum. "Ya. Kau benar. Dan menurutku, sampai kapanpun kita tidak akan bisa berhenti merepotkan orang tua. Baik dalam hal kecil atau besar. Sampai kita mati pun, kita masih akan merepotkan orang tua."
Apa yang dia katakan benar adanya. "Lalu, apa kau tak ingin menikah? Bagaimana dengan orang tuamu?"
"Orang tua mana yang tak ingin melihat anaknya menikah?"
"Lalu, bagaimana denganmu?"
"Entahlah."
"Apa... kau masih sakit hati karena ditinggal menikah?"
Dia tergelak. Tawanya terdengar lepas. Bukan tawa yang dibuat-buat. "Semua itu sudah berlalu, Sayang. Aku hanya menikmati apa yang sedang diberikan Tuhan padaku sekarang. Bukankah kita ini hanya wayang dan Tuhan lah dalangnya?"
Apa yang dia katakan benar adanya.
"Lagi pula, kalau jodoh nggak akan ke mana. Seperti mati dan rejeki, jodoh pun nggak akan salah alamat. Begitu kata orang-orang bijak. Tapi, jika menikah malah menambah masalah, maka aku minta Tuhan membiarkan diriku tetap sendiri saja. Tuhan, jika menikah malah menambah masalah, maka biarkanlah aku tetap sendiri. Begitu doaku."
Aku bergidik mendengarnya. Ngeri! Bagaimana ia bisa berdoa seperti itu? "Apa kau tidak pernah merasa kesepian?"
"Aku punya Tuhan yang selalu ada untukku. Jadi, aku tidak pernah merasa kesepian. Aku juga punya Ibu yang super super hebat, yang amat mengerti aku. Aku juga punya teman-teman yang selalu ada di saat aku butuhkan. Saat mereka semua tak ada, masih ada Tuhan yang mau mendengar segala keluh kesahku. Seperti rasa nyaman, rasa kesepian itu juga diciptakan."
Orang macam apa dia ini? Aku semakin tak bisa memahaminya. "Lalu, bagaimana jika kau tiba-tiba dihadapkan pada sebuah pernikahan?"
"Jika Tuhan benar akan menghadirkan pernikahan itu padaku, berarti Tuhan sudah percaya padaku. Percaya bahwa aku mampu. Dan, aku pun percaya. Jika Tuhan menghadirkan sebuah pernikahan itu untukku, pernikahan itu bukanlah pernikahan yang akan menambah masalah dalam hidupku dan keluargaku. Semua hanya masalah waktu. Jika waktunya tiba, waktu yang merupakan kehendak-Nya. Bagaimanapun aku tidak akan bisa mengelak. Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Bukan yang kita minta. Walau, itu sulit. Jika tetap bersandar pada-Nya. Semua akan baik-baik saja."
Ini semua membuatku pusing. Aku tidak bisa mengerti jalan pikirannya. Aku tidak bisa mencerna dengan baik semua penjelasannya.
"Sayang, kita hanya punya kuasa untuk merubah nasib kita. Tapi, tidak dengan takdir. Sekuat apa pun kita berusaha, jika takdir kita tidak untuk menikah. Kita bisa apa? Nasib punya kita, tapi takdir adalah mutlak milik Tuhan."
Aku terkesiap. Dia benar lagi.
"Jalani saja peran kita. Sembari berusaha dan berdoa. Jika semua itu sudah dilakukan, selebihnya hanya berpasrah. Itulah yang bisa kita lakukan."
Aku tak bisa untuk tak tersenyum ketika mendengarnya. Dia bukanlah wanita sombong yang sok pilih-pilih pasangan hingga menjadi perawan tua yang tak kunjung laku dan menikah. Dia adalah wanita tegar yang berusaha menjalankan perannya dengan baik. Berusaha merubah nasibnya dan berusaha menguatkan diri untuk menerima takdirnya. Apa pun itu.
"Jika mereka terus menerormu masalah pernikahan, senyumin aja. Kalau senyum tak cukup untuk menghentikan ocehan mereka, lakukan aja seperti tulisan dalam meme yang banyak beredar di dunia maya."
"Meme di dunia maya?"
"Iya. Ketika mereka nggak berhenti nanya kamu soal nikah. Gantilah bertanya, kapan mati. Karena jodoh, mati, dan rejeki kan rahasia Tuhan. Siapa yang bisa menjawabnya?"
"Ada meme kayak gitu?"
"Ada. Coba cari deh."
Aku tersenyum dan mengangguk. Ada benarnya juga ya. Jika menikah hanya akan menambah beban hidup dan masalah bagi kita dan orang tua kita, bukankah lebih baik sendiri? Tapi, memang harus tetap berusaha. Masalah hasil akhir, pasrahkan saja pada-Nya.
Tempurung kura-kura, 05 Juni 2017.
. shytUrtle .
0 comments