Fly High! - Dua
04:36
Fly High!
- Dua -
Eri berada di ruang UKS. Hari ini ia kebagian tugas piket
UKS bersama Diana. Keduanya bergabung dalam ekstrakurikuler PMR. Karenanya,
keduanya mendapat giliran piket UKS saat jam istirahat tiba.
“Demi plastik dan udel sampai
nantangin aku ikut audisi. Al itu gendeng apa edan sih?” Eri tak hentinya
mengomel sejak tiba di ruang UKS.
“Bukan demi plastik dan udel, tapi
demi mbaknya. Lagian kamu keterlaluan, Er. Itu kan urusan pribadi. Wajar kalau
Al marah. Dia serem kalau marah.” Diana bergidik ngeri ketika teringat
bagaimana Al menyerang Eri di ruang ganti pagi tadi.
Eri menghela napas panjang. “Aku
gengsi kalau harus minta maaf. Itu kenyataan kan emang? Mbaknya Al sampai
sekarang belum nikah. Padahal umurnya udah berapa tuh? Temen seangkatannya dah
pada punya anak.”
“Itu masalah pribadi dia. Kenapa dia
belum nikah sampai sekarang kan bukan urusan kita.”
“Pasti terlalu halu karena ngarep
dapat suami kayak Kim Jae Joong. Makanya nggak bisa hidup di kenyataan. Aku
yakin sih tipe-tipe cowok kayak gitu pastiya homo. Nggak doyan cewek. Kasian
banget mbaknya Al ngarep cinta ke cowok homo.”
“Eri!” Diana menggelengkan kepala.
Heran melihat tingkah teman sebangkunya itu. “Nggak papa sih kamu nggak minta
maaf. Kayaknya Al nggak ngarep kamu minta maaf juga. Tapi, kamu kudu maju
ikutan audisi. Masa kamu nggak malu kalau nggak maju?”
“Nah aku bingung mau ikut audisi
buat nampilin apa.”
“Kayak kata Jia, nyanyi aja. Kamu
ngarep lolos?”
“Iya dong! Siapa sih yang nggak
pengen tampil di pentas seni ultah sekolah? Hanya orang-orang yang sempurna
yang bisa tampil di sana.”
“Yakin lolos?”
“Suaraku kan lumayan.”
Diana tersenyum dan menganggukkan
kepala.
***
Nurul menatap Al dan Oi secara bergantian. Kedua gadis itu
tak meninggalkan bangkunya walau bel tanda istirahat sudah berbunyi. Jia yang
duduk di samping Nurul pun melakukan hal yang sama, menatap Al dan Oi
bergantian dalam diam. Nurul dan Jia duduk di bangku Rina dan Lila yang keluar
kelas untuk istirahat.
“Al, makan yuk! Laper nih!” Oi
memecah keheningan.
“Aku goblok banget ya Oi.” Al
membungkukkan badan, menenggelamkan wajah pada kedua tangannya yang tergeletak
di atas meja.
“Emang! Marah sih boleh. Tapi,
kenapa kamu nantangin Eri buat ikutan audisi sih? Emang kamu bisa apa?” Bukannya
menenangkan, Oi malah memarahi Al.
“Oi!” Jia menegur Oi yang mengomeli
Al.
“Bener, kan? Heran aku. Biasanya Al
mikir dulu kalau mau ngomong. Tadi tuh apa? Trus, kamu mau ngapain buat
audisi?”
Al yang masih menyembunyikan
wajahnya menggelengkan kepala.
“Kalian maju berdua aja. Toh cuman
ikut audisi kan? Zaman SD kalian pernah naik pentas, kan?” Nurul memberi usul.
“Nah, iya tuh. Aku pernah liat foto
kalian tampil di pentas Agustusan.” Jia mendukung usul Nurul.
“Itu zaman SD. Zaman kami masih
nggak punya malu. Beda sama sekarang tau! Lagian itu pensi buat ultah sekolah.
Bukan cuman murid, tapi akan ada alumni dan kemungkinan murid sekolah lain yang
hadir. Malu tau!” Oi cemberut.
“Emang kamu yakin lolos?” Jia
mementahkan keraguan Oi. “Cuman buat audisi aja. Buat gugurin tantangan Al ke
Eri. Aku yakin Eri bakalan maju aja. Dia kan pedenya selangit. Walau suaranya
kayak kaleng rombeng, tetep pede aja dia.”
“Iya ya. Tantangannya kan cuman ikut
audisi aja.” Oi memiringkan kepala.
“Ya udah, bantuin Al. Kalian maju
ikut audisi.” Nurul menyemangati.
“Kami bisa apa?” Oi menatap Nurul,
lalu Jia. Kemudian beralih pada Al yang masih menyembunyikan wajahnya.
“Nyanyi lah. Apa lagi? Emang kamu
bisa dance cover atau nari India?” Jia
merespon.
“Nyanyi apaan?”
“Lagu Wanna One?” Jia memberi usul.
Hanya dengan mendengar nama Wanna One, wajah Oi sukses bersemu
merah.
“Kamu pikir nyanyi lagu Korea
gampang apa?” Al tiba-tiba menegakkan badan. Membuat Oi, Jia, dan Nurul
terkejut.
“Ya udah nyanyi lagu apa gitu.
Pokoknya ikut audisi. Atau mau nari India? Ajakin Nurul tuh!” Jia menyikut
Nurul.
“Aku
ora iso nari!” Nurul langsung menolak.
Rina dan Lila masuk ke kelas. Lila
membawa satu kantong plastik snack
dan menaruhnya di atas meja Oi.
“Walau galau, kamu tetep kudu makan
Al.” Ujar Lila.
“Aku nggak nafsu makan.” Al
mendesah. Ia terlihat lesu.
“Minum deh kalau gitu. Manusia bisa
bertahan tanpa makan, tapi kalau kekurangan cairan bisa bahaya.” Rina bermaksud
menghibur.
Al meraih botol air mineral, membukanya,
dan meneguk isinya. “Makasih ya Rin, Lil.”
“Kita makan dulu yuk. Al udah ada
yang nemenin.” Oi bangkit dari duduknya. Lalu, pergi ke kantin bersama Nurul
dan Jia. Meninggalkan Al di kelas bersama Lila dan Rina.
“Jangan terlalu dipikirin. Audisi
aja, kan?” Lila seraya duduk di bangkunya.
“Goblok banget ya aku? Nantangin
buat ikutan audisi.”
“Aku kaget lho, Al.” Rina pun duduk
di bangkunya. Sama dengan Lila, ia menghadap ke belakang untuk ngobrol dengan
Al.
“Tapi, bagus sih. Positif kok. Trus,
kamu nampilin apa buat audisi?” Tanya Lila.
“Nggak tahu.” Al mengangkat kedua
bahunya dengan lemah.
“Nyanyi aja deh. Gampang, kan?” Rina
memberi usul. “Waktu kelas X kamu bagus lho nyanyinya. Pas pelajaran kesenian.
Cuman kurang keras aja suaranya.”
Al tersenyum lesu.
Murid-murid kelas XI-IPA2 memasuki kelas menjelang jam
istirahat berakhir. Oi juga sudah kembali dari kantin. Ia sudah duduk di
bangkunya. Mengobrol dengan Aning dan Yani yang duduk tepat di belakangnya.
Eri dan Diana kembali dari UKS dan
langsung duduk di bangkunya yang berada di deretan paling depan. Kelas XI-IPA2
hampir penuh. Hanya menyisakan beberapa bangku kosong di bagian belakang.
Arwan masuk ke dalam kelas. Tidak
langsung duduk, ia malah berdiri di depan kelas.
“Arwan ngapain tuh!” Aning
menggerakkan kepala, menunjuk Arwan yang berdiri di depan kelas.
Arwan menatap Al, lalu tersenyum.
“Al, kamu tahu nggak sih kalau Arwan
itu naksir kamu?” Aning berbisik.
“Wah! Masa?? Ciee… Al ada yang
naksir. Pantesan selalu deketin Al mulu si Arwan.” Oi menggoda. “Waktu kelas X
kalian deket, kan?”
“Itu karena Arwan minta dicomblangin.
Kayaknya aku dah cerita ke kamu deh Oi.” Al menjelaskan perihal kedekatannya
dengan Arwan.
“Jadi, ceritanya si Arwan naksir mak
comblangnya nih?” Yani bergabung dalam obrolan.
“Arwan cakep lho! Kulitnya putih
bersih. Kayak mas-mas Korea.” Aning memuji ketampanan Arwan.
Al tersenyum saja mendengarnya.
Arwan memang tampan. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, dan matanya
sipit. Pemuda itu juga selalu tampil rapi. Tapi, Al sama sekali tak memiliki
rasa pada pemuda yang cukup dekat dengannya itu.
“Teman-teman,” Arwan meminta
perhatian teman sekelasnya. Seluruh murid kelas XI-IPA2 yang sudah berada di
kelas pun menaruh perhatian pada Arwan yang berdiri di depan kelas.
Arwan mengedarkan pandangan ke
seluruh kelas. Lalu, tatapannya terhenti pada Al. Ia kembali tersenyum. “Anu,
aku mau ngumumin hal penting.”
“Penting opo?”
“Duh, arek iki opo ae se!”
“Pengumuman dari OSIS ya?”
Tiga siswa bersahutan menanggapi
Arwan.
“Tadi aku denger soal Al dan Eri di
ruang ganti.” Arwan melanjutkan, membuat isi kelas menatap Al dan Eri
bergantian.
“Dia mindring apa mabok?” Oi mengomentari ungkapan Arwan.
“Woo… udah nyebar nih kayaknya.” Lila
menoleh ke belakang.
“Al berantem sama Eri lagi? Harusnya
kalian tuh dibikinin ring aja.” Rifqi berkomentar. Teman sebangkunya segera
menjundu kepalanya.
“Umak[1]
kira Al sama Eri mau tinju apa?” Ujar teman sebangku Rifqi usai menjundu kepala
pemuda berkulit hitam itu.
“Rungokno
sek tah rek!” Arwan meminta teman-temannya mendengarkannya, kembali meminta
perhatian. “Al dan Eri mau ikut audisi SMA Wijaya Kusuma Mencari Bakat. Kita
harus kasih dukungan. Udah pasti nanti Al dan Eri bakalan disebut mewakili
kelas XI-IPA2. Nah, sebagai bentuk dukungan, aku udah ambil formulir
pendaftaran buat Al dan Eri.” Arwan tersenyum lebar, mengangkat tangan kanannya
yang memegang dua buah kertas.
Al dan Eri kompak menatap Arwan
dengan mata melebar.
“Jasik
tenan si Arwan!” Oi bergumam mengumpat.
“Ayo
rek! Kita dukung Al dan Eri sebagai wakil kelas XI-IPA2 untuk audisi SMB!” Arwan
penuh semangat. Sedang seluruh kelas menatapnya dalam diam.
***
“Umak jan jasik tenan,
Wan!” Oi mengumpat pada Arwan saat pulang sekolah. Mereka berjalan bersama
menuju terminal.
“Lha? Kok jasik lho? Formulir SMB itu selalu jadi rebutan. Kalau Al nggak
kebagian kan kasihan. Maunya aku ambilin Al aja. Tapi, nggak enak sama Eri,
kan?” Arwan sama sekali tak merasa bersalah. “Tanya Fuad tuh. Fuad kan anggota
MPK. Pasti tahu gimana murid rebutan buat dapetin formulir audisi SMB. Aku kan
hanya bantu.”
“Ya tapi ngapain pakek diumumin di
depan kelas kayak gitu? Caper umak!”
Arwan yang berjalan berdampingan
dengan Oi membalikkan badan. Berjalan mundur demi bisa melihat Al. “Sepurane, Al. Maaf kalau kamu nggak
suka. Aku cuman mau bantu aja.”
“Makasih bantuannya. Maaf aku setuju
sama Oi. Kamu lebay banget pakek umumin di depan kelas.” Al masih lesu.
“Tapi, teman-teman kita antusias lho
Al. Kamu tahu sendiri gimana reaksi mereka setelah Arwan bikin pengumuman di
depan kelas kan?” Jia yang berjalan di belakang Al turut buka suara.
“Malah beberapa bikin taruhan.” Fuad
yang berjalan di samping Al menggeleng pelan.
“Trus, rencananya kamu mau ngapain
buat audisi?” Arwan masih berjalan mundur.
“Palingan nyanyi. Mau ngapain lagi?
Baca puisi? Drama? Nggak mungkin kalau drama. Itu bagiannya anak-anak teater
kan?” Oi yang menjawab.
“Nyanyi lagu Korea aja. Aku tahu
kalian sering nyanyi di Smule.” Arwan
tersenyum lebar. “Aw!” Sedetik kemudian ia tersandung dan jatuh terduduk.
Membuat rombongannya menghentikan langkah.
“Kualat kamu!” Oi mengolok Arwan
yang jatuh terduduk.
“Al!” Arwan memegang lengan kanan Al saat gadis itu akan
menuju angkot yang akan mengantarnya pulang. Setiap harinya mereka berpisah di
terminal karena beda jurusan angkutan. “Maaf ya soal tadi. Aku nggak maksud
bikin malu kamu.”
Al tersenyum lesu. “Nggak papa kok.
Nyantai aja. Makasih ya udah diambilin formulir. Bahkan sebelum pengambilan
formulir resmi di buka.”
Arwan tersenyum. Merasa lega karena
Al tak marah padanya. “Semangat ya! Apa pun itu, aku nunggu penampilan kamu.”
“Jangan terlalu ngarep deh. Aku
emang goblok. Nantangin Eri buat ikutan audisi. Anak itu jelas bakalan maju
aja. Pede banget dia.”
“Mending kamu nantangin dia buat
ikutan audisi daripada kamu pukulin dia. Bisa diperkarain ntar. Pembullyan dan
sejenisnya. Zaman sekarang lho. Ngeri.”
Lagi-lagi Al tersenyum lesu.
“Semoga kamu segera dapet inspirasi
buat audisi. Semangat Al!” Arwan tersenyum lebar.
“Pulang yuk!” Oi merangkul Al dan
menarik gadis itu. Membuat Arwan melepas pegangannya pada lengan Al.
Oi dan Al berjalan menuju tempat parkir
angkot yang sesuai dengan jurusan mereka. Arwan tersenyum pada punggung Al yang
berjalan menjauhinya.
“Yuk!” Jia menepuk lengan Arwan dan
naik ke dalam angkot. Menyusul Fuad yang sudah lebih dulu masuk ke dalam
angkot. Jia, Arwan, dan Fuad satu jurusan. Sedang Al dan Oi, satu jurusan
dengan Nurul. Mereka selalu pulang bersama dan berpisah di terminal. Arwan dan
Fuad kadang turut pulang bersama. Jika tidak ada kegiatan OSIS-MPK atau
kegiatan ekstrakurikuler.
Al duduk di bangku paling ujung di
dalam angkot. Berhadapan dengan Oi. Sedang Nurul duduk di tengah, di antara Al
dan Oi. Al melamun, menatap keluar jendela bagian belakang angkot. Ia masih
saja menyesali tantangan yang ia ajukan pada Eri. Andai saja ia tak menantang
gadis itu. Al menghela napas panjang. Saat mengalihkan pandangan, ia mendapati
Oi dan Nurul sedang menatapnya.
“Masih kepikiran ya?” Tanya Nurul.
“Iya lah. Aku kudu ottokke?” Al menggunakan bahasa campuran, bahasa Jawa dan
Korea. Bertanya ia harus bagaimana.
“Ya jalani aja. Udah kadung, terlanjur kamu nantangin Eri.
Jadi, maju aja. Toh cuman audisi, kan?” Jawab Nurul santai.
“Trus, kalau lolos gimana?” Gantian
Oi yang bertanya.
“Berarti takdir kalian buat tampil
di pensi ultah sekolah. Kita bisa ngubah nasib kita, tapi nggak dengan takdir
kita.” Nurul mendadak sok bijak.
“Takdir bisa diubah dengan doa.
Katanya sih gitu.” Al meralat.
Nurul dan Oi kompak tersenyum.
“Que
Sera Sera, Al.” Oi memegang tangan kanan Al.
“Tul tuh. Apa yang terjadi
terjadilah.” Nurul memegang tangan kiri Al.
Al tersenyum lebih tulus pada Oi dan
Nurul. “Gomawo. Shukriya.” Ia pun berterima kasih dalam bahasa Korea dan India.
***
0 comments