Fly High!

04:21


Fly High!


Al dan Oi sekolah di sekolah yang sama sejak Taman Kanak-kanak hingga SMA. Karena itu keduanya berteman baik dan mendeklarasikan diri sebagai sahabat.

Karena tumbuh bersama, Al dan Oi mempunyai satu kesukaan yang sama. Terpengaruh Meyra—Kakak Al, Al dan Oi jadi menyukai Bollywood dan Hallyuwood. Keduanya menyukai film dan lagu-lagu dari India dan Korea Selatan. Keduanya pun bertumbuh menjadi remaja yang sedikit berbeda dari kebanyakan remaja di lingkungannya.

Menyukai hal yang berbeda dari kesukaan remaja pada umumnya membuat Al dan Oi sering diejek. Terutama oleh geng Eri. Namun, keduanya tak ambil pusing. Hingga terjadi suatu peristiwa yang membuat Al marah dan menantang Eri untuk berkompetisi.

 




Satu


Sepasang kaki itu berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor sekolah. Tangan kirinya terangkat setengah tinggi, jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ia mendesah lega karena tiba di sekolah lima belas menit sebelum bel tanda masuk. Ia menjatuhkan tangan kirinya dan terus berjalan.

Dengan gesit ia menaiki tangga yang berjumlah empat buah. Langkahnya semakin cepat ketika melihat papan kecil bertuliskan XI-IPA2. Ia pun berlari kecil lalu menuju kelas itu. Berhenti di ambang pintu kelas yang terbuka keduanya, ia mengamati kelas.
“Al!” Di sela napasnya yang terengah-engah, Oi memanggil nama sahabatnya.
Gadis berambut coklat yang sedang duduk di kursi nomer dua dari belakang pada deretan meja dekat pintu itu pun mengangkat kepala. Ia tersenyum pada Oi yang berdiri di ambang pintu. Ia pun mengangkat tangan kanannya yang memegang sebuah album.
“Kyaaa!!!” Oi menjerit histeris. Berlari mendekati meja Al. Ia menjatuhkan pantatnya ke kursi kosong di sebelah kiri Al. Dengan cekatan tangan kanannya menyahut album di tangan kanan Al.
“Akhirnya aku dapat album debut Wanna One! Makasih, Al!” Oi memeluk erat Al.
“Oi! Udah! Malu ih!” Al menepuk-nepuk punggung Oi. Tapi, bukannya melepas pelukan, sahabatnya itu justru makin erat memeluknya.
“Aku seneng banget tau! Akhirnya aku bisa punya album debut Wanna One. Makasih ya, Al.” Oi akhirnya melepaskan pelukannya.
“Ngapain sih getol banget beli album Wanna One? Mereka udah bubar juga.”
“Kamu tahu kan harusnya aku ada di konser pertama dan terakhir mereka Juli taun kemarin. Tapi, nggak dikasih izin berangkat sama ortu. Yo wes aku kumpulin album mereka aja. Makasih ya. Berkat kamu aku jadi dapet harga miring.”
“Makasihnya ke Mbak Mey.”
“Iya, nanti aku juga makasih ke Mey Eonni[1].”
Al tersenyum mencibir. “Besar kepala ntar dia kalau kamu panggil eonni.”
“Dia emang eonni kita, kan? Uri saranghaneun eonni[2].” Oi mengedip-ngedipkan kedua matanya dengan manja.
Wanna One adalah boy band asal Korea Selatan yang terbentuk dari ajang survival Produce 101 season 2. Grup itu dibentuk dengan masa kontrak satu setengah tahun. Kontraknya berakhir pada Desember 2018. Karena berakhirnya kontrak, boy band itu pun resmi bubar pada Januari 2019. Walau sudah resmi bubar dan para member telah kembali ke agensi masing-masing, fans tetap memberi dukungan pada mantan member Wanna One. Termasuk Oi yang menjadi pendukung pemuda-pemuda tampan itu saat masih mengikuti survival show Produce 101 season 2.
Al dan Oi menjadi satu sekolah sejak TK. Karena tumbuh bersama, mereka pun menjadi dekat dan bersahabat. Sejak kecil Oi sering bermain ke rumah Al yang tinggal bersama budhenya. Keduanya tumbuh bersama dalam  asuhan Meyra, kakak sepupu Al. Karena Meyra sangat menyukai Kpop, Al dan Oi yang tumbuh dalam asuhannya pun turut terpengaruh. Al dan Oi turut menyukai Kpop seperti Meyra. Hobi yang membuat kedua remaja itu berbeda dari teman sebayanya.
“Jadi, kurang berapa buat lengkapi koleksi kamu? Paklek sama Bulek tahu?” Al bertanya tentang koleksi album Wanna One milik Oi.
“Udah semua dong! Semua versi aku punya!” Oi tersenyum lebar. Menunjukkan deretan giginya yang rapi. “Mama sama Papa nggak tahu sih. Kan ini aku pakek uang jajan. Kamu tahu kan gimana aku puasa jajan demi punya semua album Wanna One?”
“Tahu. Tahu.” Al mengangguk-anggukan kepala. Walau sama-sama menyukai Kpop, ia tak segila Oi yang rela menghabiskan uang demi membeli album idolanya. Jika Oi adalah tipe rich fangirl, Al adalah tipe fangirl bermodal kuota. Al mendukung idolanya dengan cara streaming.
“Doh! Dua lesbian pecinta plastik pagi-pagi udah ribut aja!” Siswi yang duduk di bangku paling depan pada deretan bangku nomer dua dari pintu berbicara dengan keras demi menyindir Al dan Oi.
Al dan Oi kompak menatap siswi berambut lurus sebahu yang kini memutar tubuh menghadap pada mereka itu.
“Nggak bosen apa tiap hari ngomongin plastik?” Imbuh gadis bernama Eri itu. Siswi paling pintar di kelas XI-IPA2. Ia selalu ada di peringkat pertama.
“Kamu ndiri, nggak bosen apa tiap hari ngurusin kami?” Balas Oi santai. “Mending kami suka plastik, tapi nggak suka ngurusin idup orang. Na kamu, hobi kok ngurusin idup orang mulu.” Oi menyunggingkan senyum, mencibir Eri.
“Oi!” Eri geram. Bangkit berdiri dari duduknya. Lalu, terdengar bunyi bel tanda masuk. Eri pun kembali duduk. Batal menghampiri Al dan Oi yang saling cekikikan menertawakan dirinya.
“Dasar lesbian pecinta plastik!” Eri menggerutu sembari kembali duduk.
“Dia kenapa sih? Sirik banget sama kita.” Oi berbisik lirih. “Kayaknya sehari aja nggak usilin kita, bakalan gatal-gatal tuh mulutnya.”
“Ssh!” Al meminta Oi diam.
Semua murid kelas XI-IPA2 duduk di bangku masing-masing. Bersiap mengikuti pelajaran pertama.
***

Usai berganti baju olah raga, murid kelas XI-IPA2 berkumpul di lapangan basket. Ketua kelas XI-IPA2 memimpin anggota kelas untuk berbaris. Lalu, bersama-sama melakukan pemanasan sebelum pelajaran olah raga dimulai. Selesai dengan gerakan pemanasan, murid kelas XI-IPA2 berlari mengelilingi lapangan basket.

“Al! Makasih ya. Soal kemarin itu, nilai kita jadi bagus semua.” Siswa berkulit bersih itu berlari di samping kanan Al.
“Oi tuh. Bukan aku. Aku juga nyontek Oi. Makanya dapet nilai bagus juga.” Al mengelak.
“Kimia emang Oi jagonya. Kalau Biologi sama Bahasa Inggris, Al ya.” Siswa berkulit sawo matang yang berlari di sebelah kiri Oi bergabung dalam obrolan.
“Bu Yuni kaget tuh. Anak belakang nilainya bagus semua. Curiga nggak ya kalau otaknya si Oi?” Gadis berambut ikal yang berlari di belakang Al menyahut.
“Udah curiga. Tapi, cuek aja kayaknya. Kita kan usaha membantu orang tua. Biar nilai kita bagus. Ya nggak?” Siswa berkulit sawo matang berhenti di dekat ring. Diikuti Al, Oi, siswa berkulit bersih dan dua gadis yang berlari di belakang Al dan Oi.
“Aku seneng ada di kelas kita. Kelas IPA tapi berasa IPS. Santai banget.” Siswi berambut lurus dan diikat ekor kuda tersenyum.
“Kalau nggak minat, ngapain masuk jurusan IPA coba?” Oi menggoda.
“Mauku masuk IPS. Tapi, nilaiku dukung masuk IPA. Ortu seneng banget. Apa boleh buat.” Lila, gadis kuncir ekor kuda mengangkat kedua bahunya.
“Nah, sama. Aku maunya Bahasa, malah masuk IPA. Sial banget kan?” Arwan, siswa berkulit bersih mengeluhkan hal yang sama dengan Lila.
“Untungnya aku masuk kelas XI-IPA2. Ada Al, Oi, dan Rina yang nggak pelit ilmu.” Fuad, siswa berkulit sawo matang membusungkan dada.
“Rina tuh jago Fisika. Bikin aku ngiri. Aku bodoh banget kalau Fisika.” Al memuji Rina. Siswi berambut ikal itu segera tersipu.
“Lengkap lho ya! Al, Oi, dan Rina. Hidupku terselamatkan.” Aning, siswi berambut pendek itu baru bergabung. Di kelas, ia duduk tepat di belakang Al. Jika memakai seragam olah raga seperti ini, ia terlihat seperti anak laki-laki.
“Hidupku juga terselamatkan!” Yani berseru. Ia teman sebangku Aning.
“Bikin kaget aja!” Aning meninju lengan kanan Yani.
Al, Oi, dan teman-temannya tersenyum melihat tingkah Aning dan Yani.

Al dan teman-temannya berkumpul di dekat ring basket. Menunggu datangnya guru olah raga. Murid yang berkumpul bersama Al dan Oi adalah murid kelas XI-IPA2 yang duduk di bagian belakang kelas. Al dan Oi berteman baik dengan hampir seluruh murid kelas XI-IPA2. Walau kelas jurusan IPA, namun suasananya sangat berbeda. Murid-muridnya kompak dan santai. Kecuali geng Eri tentunya. Murid paling pandai di kelas XI-IPA2. Bagi Eri dan gengnya, murid yang duduk di belakang adalah golongan murid bodoh. Padahal tidak demikian. Al, Oi, dan Rina adalah siswi yang berada di urutan 2, 3, dan 4 dalam prestasi kelas. Mereka duduk di belakang karena postur tubuh mereka yang tinggi. Tapi, tetap saja mayoritas yang duduk di belakang adalah murid ternakal di kelas atau murid yang kurang pandai. Bagian belakang kelas adalah zona aman bagi mereka.
Tak lama kemudian guru olah raga pun datang. Karena materi pelajaran hari itu adalah basket, murid kelas XI-IPA2 pun tak beranjak dari lapangan basket. Pertandingan pertama adalah basket putri. Guru olah raga menunjuk Eri, Tiara, Nesya, Diana, dan Tiana untuk maju. Sebagai lawannya, guru olah raga menunjuk Al, Oi, Rina, Lila, dan Aning.
“Busyet! Musuh bebuyutan nih!” Rifqi yang ditunjuk sebagai wasit terkejut melihat fenomena di hadapannya. Sudah menjadi rahasia umum di kelas XI-IPA2 jika Eri sering bersitegang dengan Al dan Oi.
“Ayo!” Rifqi yang sudah berada di tengah lapangan menggerakan kedua tangannya. Memberi aba-aba agar satu anggota dari masing-masing tim maju ke tengah. Eri maju ke depan. Al mendorong Oi untuk maju. Jadilah Oi berhadapan dengan Eri di tengah lapangan.
“Oi, pelan-pelan aja. Ntar pingsan lagi tuh Eri.” Celetuk Aning bermaksud mengolok Eri. Minggu lalu Eri tiba-tiba jatuh pingsan saat kalah debat dengan Al dalam pelajaran Bahasa Inggris.
“Sialan kamu, Ning!” Eri mendengus menanggapi olokan Aning.
Aning, Rina, Lila, dan Al kompak tersenyum menanggapi respon Eri.
“Kalau kalah jangan pingsan ya. Kasian yang angkat. Tubuh kamu berat katanya.” Oi menyambung olokan Aning.
Eri mengacungkan jari tengahnya pada Oi. Namun, Oi menanggapinya dengan senyum santai.
Rifqi meniup peluit. Pertandingan basket antara tim Eri dan tim Oi pun dimulai. Dipinggir lapangan, murid kelas XI-IPA2 yang duduk menonton pertandingan sesekali bersorak menyemangati. Bahkan, ada satu siswa yang bertindak bak komentator pertandingan olah raga di televisi. Pertandingan basket pagi itu dimenangkan oleh tim Oi.
***

Siswi kelas XI-IPA2 berkumpul di ruang ganti usai pelajaran olah raga. Ada yang mandi, ada yang sekedar berganti baju saja. Al dan Oi selesai ganti baju. Namun, keduanya masih ada di ruang ganti. Keduanya terlihat antusias ngobrol bersama dua siswi bertubuh mungil. Mereka membicarakan film Hichki. Film terbaru dari Rani Mukerji. Artis Bollywood yang menjadi idola Oi.

“Iya keren banget. Aku jadi makin cinta sama Rani Mukerji.” Ujar Nurul siswi berambut sebahu dengan wajah berbinar-binar. Sama dengan Oi, ia pun sangat mengidolakan Rani Mukerji.
“Tapi, nggak seru ya. Nggak ada joged-jogednya.” Jia turut mengungkapkan perasaannya.
“Film India sekarang jarang ada joged-jogednya. Udah nonton Pink kah? Itu juga bagus lho!” Al turut larut dalam obrolan.
Selain menularkan virus Kpop kepada Al, Meyra juga membuatnya terjangkit virus Bollywood. Karena Meyra, Al pun jadi suka menonton film India yang lebih dikenal dengan sebutan Bollywood. Hal itu pun berdampak pada Oi, teman sepermainan Al. Selain Kpop dan Hallyuwood—sebutan untuk  industri film Korea—, Al dan Oi pun menyukai Bollywood—sebutan untuk industri film India. Saat masuk SMA, keduanya bertemu dengan Nurul dan Jia yang sama-sama menyukai Hallyuwood dan Bollywood. Jadilah keempatnya berteman baik.
“Eh kamu udah ada? Kok nggak bilang sih!” Oi memukul pelan lengan Al.
“Kan kamu udah aku ajakin nginep buat nobar. Kamunya nggak mau. Ya udah, nonton berdua aja sama Mbak Mey.”
“Al, aku mau dong filmnya.” Pinta Jia.
“Aku juga mau.” Nurul pun sama.
“Kasih aku flashdisk, ntar aku kopiin.” Al menyanggupi.
“Besok ya. Sama film Korea apa aja aku mau.” Jia antusias.
“Beres. Mbak Mey gudangnya.” Al membusungkan dada. Membanggakan kakak sepupunya.
Terdengar helaan napas. Eri muncul usai membersihkan diri di kamar mandi. “Komunitas pecinta plastik dan udel.” Ujarnya mengolok Al, Oi, Jia, dan Nurul yang duduk berkumpul di ruang ganti.
“Jangan menghina ya!” Jia menegur. “Orang India emang pakaian adatnya keliatan udelnya. Jangan rasis gitu dong!”
“Mungkin dia lupa kalau nenek moyang kita dulu cuman pakek kemben sama jarik. Jangan menghina budaya orang. Nggak baik itu.” Oi ikut menegur.
“Apa hebatnya sih mereka? Bangga amat kalian. Sampai lupa sama budaya negeri sendiri!” Eri tak mau kalah.
“Kami nggak lupa sama budaya negeri kami sendiri. Kesenangan itu nggak bisa dibandingkan kayak gitu, Er. Kami suka Korea dan India, tapi kami masih tetep cinta Indonesia.” Oi membela diri.
“Oke. Oke. Ngomong sama fans fanatik itu emang kayak ngomong sama tembok. Kasihan aja sih aku sama kalian. Jatohnya jadi hobi nge-halu! Asal jangan jadi kayak mbaknya Al aja tuh. Saking halunya ngarep dapet cowok Korea, sampai jadi perawan tua.”
Brak!
“Auw!” Eri memekik karena punggungnya menabrak lemari di dalam ruang ganti.
Tangan Al masih mencengkeram kerah seragam Eri. Mendorong gadis itu hingga menabrak lemari. “Kamu boleh hina aku, hina idola Korea dan India yang aku suka. Tapi, jangan bawa-bawa Mbak Mey!” Nada suara Al meninggi. Napasnya terengah-engah karena emosi.
Suasana berubah hening di dalam ruang ganti. Semua mata tertuju pada Al yang mendorong Eri.
“Al, udahan.” Oi yang sudah bangkit dari duduknya mengelus pelan lengan Al. Ia khawatir karena melihat Eri meringis karena kesakitan.
Al menghela napas dan melepas cengkeramannya pada krah seragam Eri.
“Minta maaf napa. Kamu emang salah.” Jia menuntut Eri untuk meminta maaf pada Al.
Eri masih terlihat ketakutan. Selama ini Al memang tidak pernah menanggapi serius olokannya. Tapi, beberapa detik lalu gadis itu tiba-tiba berdiri, mencengkeram krah seragamnya, dan mendorongnya hingga menabrak lemari ketika ia membawa Meyra dalam olokannya. Eri tak mendunga Al akan begitu marah hingga mendorongnya dan membuat punggungnya sakit karena menghantam lemari yang berada di belakangnya.
“Kamu kenapa sih, Er? Apa yang kamu nggak suka dari aku dan Al sampai segitunya kamu ke kami? Kamu cantik dan pinter. Apa untungnya hampir tiap hari kamu kayak gini ke aku dan Al?” Oi menuntut penjelasan. “Kayaknya kesukaan kami pada Kpop, Hallyuwood, dan Bollywood juga nggak bikin hidup kamu nggak tenang. Atau, justru sebaliknya? Itu bikin kamu nggak tenang? Jujur ya, aku juga kesel banget kamu bawa-bawa Mbak Myera.”
“Ak-aku…” Eri terbata. Ia melirik Al yang masih menatapnya dengan ekspresi marah.
“Aku tantang kamu buat ikutan audisi pengisi acara ulang tahun sekolah.” Al tiba-tiba mengajukan tantangan. Bukan hanya Eri yang terbengong mendengarnya. Tapi, juga Oi.
“Au-audisi?” Eri masih dengan terbata.
“Iya. Ulang tahun sekolah sebentar lagi. Seperti yang kita tahu, sekolah selalu mengadakan audisi untuk mencari pengisi acara saat pentas seni. Ayo, maju. Kamu bilang apa hebatnya Kpop idol, kan? Mereka nggak cuman pinter bikin kami menghalu alias pinter berkhayal. Tapi, mereka juga jadi inspirasi bagi kami. Mumpung ada ajang bagus, ayo maju.  Kita bertarung. Ikut audisi.”
“Wah! Ide bagus tuh. Daripada tiap hari kamu nyanyi nggak jelas di kelas bikin telinga kami yang denger jadi sakit, mending kamu ikutan audisi SMA Wijaya Kusuma Mencari Bakat.” Jia tersenyum mencibir pada Eri.
“Bagus! Bagus! Itu namanya bertanding secara sportif. Aku dukung kamu, Al!” Nurul antusias.
Al berdiri dengan angkuh. Menatap Eri yang masih syok usai mendapat serangan tiba-tiba darinya.
***



[1] Panggilan untuk kakak perempuan dari adik perempuan dalam bahasa Korea
[2] Kakak kita yang tersayang
 


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews