My 4D’s Seonbae - Episode #36 “Bendera Perang Telah Dikibarkan!”
04:30
Episode #36 “Bendera Perang Telah Dikibarkan!”
Luna mematung dalam dekapan Daniel.
Rasa hangat itu menjalari tubuhnya. Hembusan napas Daniel pun bisa ia rasakan
dengan jelas di leher kanannya. Harusnya ia menolak perlakuan itu, tapi ia hanya
bisa diam begitu saja.
Perlahan Daniel melepas pelukannya.
Ia pun jalan mundur sebanyak dua langkah menjauhi Luna. “Masuklah.” Ia meminta
Luna masuk ke dalam rooftop.
Luna tak membalikkan badan, juga tak
berkata apa-apa. Ia memungut kuncinya yang terjatuh, lalu bergegas membuka
pintu dan masuk ke dalam rooftop.
Kemudian, ia menutup pintu dan menguncinya. Ia menyandarkan punggung pada pintu
yang tertutup rapat, menghela napas, dan meletakkan telapak tangan kanannya di
dada demi menenangkan detak jantungnya yang masih bertalu-talu.
Luna berjalan menuju sofa dan duduk
di sana. Ritme detak jantungnya mulai memelan. Ketika menjatuhkan tangan
kanannya di sofa, ia menyentuh sesuatu. Ia pun menoleh ke arah kanan dan
menemukan benda putih yang tergeletak begitu saja di atas sofa. Kaos putih yang
sebelumnya dikenakan Daniel sebelum pemuda itu ganti untuk memakai kaos
pemberiannya.
Luna meraih kaos berwarna putih itu.
Wangi aroma tubuh Daniel menguar dan terendus hidungnya. Wangi yang tak asing
karena setengah dari hari ini, ia menghabiskan waktu dengan pemilik aroma itu.
Wangi yang membuatnya kembali teringat bagaimana Daniel tiba-tiba memeluknya
dari belakang, lalu mengucapkan terima kasih juga kembali menyatakan perasaan
sukanya. Bagaimana Daniel menyandarkan dagu di bahu kanannya, serta hembusan
hangat napas Daniel yang begitu nyata ia rasakan.
Luna menjatuhkan punggungnya pada
punggung sofa. Kepalanya mendongak dan kedua matanya terpejam. Ia meremas kaos
putih milik Daniel. Mencoba mengusir rasa tak nyaman yang tiba-tiba memenuhi
ruang hatinya.
***
Minhyun menjemput Rania. Kali ini
tak hanya menunggu di luar pagar rumah Rania. Tapi, ia mengetuk pintu dan masuk
ke rumah Rania karena Ibu Rania memintanya menunggu di dalam.
“Mantan temen apa mantan pacar?
Ganteng ya.” Komentar Ibu Rania usai mendengar penjelasan singkat putrinya
tentang Minhyun.
“Kata Kucing sih temen doang. Iya,
cakep. Cocok ya Kucing kasih nama Prince
buat dia.”
“Trus sekarang, ngapain dia deketin
kamu?”
“Ya elah emak gue! Kan udah
dijelasin tuh kapan hari.”
“Oh proyek undian itu ya? Wah,
kebetulan banget ya. Jangan-jangan Tuhan emang ngatur ini buat kalian. Kamu
jadi jembatan buat Luna dan temennya itu.”
“Emang kudu bantu ya?”
Ibu Rania diam sejenak. “Kamu
liatnya gimana, Nak?” Ia balik bertanya pada Rania.
“Kucing masih nganggep Prince itu temennya, Ma. Walau Prince diemin dia tahunan.”
“Trus Prince?”
“Itu yang bikin bingung. Kemarin
tiba-tiba baik banget gitu ke aku, Ma. Katanya sih biar aku nggak ngerasa canggung
aja sama dia. Gimana dong?”
“Mama liatnya sih salah paham aja
itu Luna sama Prince.”
“Trus, aku kudu gimana?”
“Ya kalau Luna masih mau baikan dan Prince juga, ya bantuin dong, Nak. Nggak
ada ruginya kan nyambung tali silaturahmi yang pernah terputus. Baik malahan.”
“Jadi, kudu bantuin ya?”
“Kalau mereka emang masih mau berteman
kayak dulu, kenapa nggak?”
Rania diam sejenak. Merenungi
kata-kata ibunya. “Oke. Akan aku coba.”
Ibu Rania tersenyum. “Mama bakalan
seneng kalau punya mantu ganteng gitu.” Ia menggoda Rania.
“Mama apaan sih!”
“Kan dia cuman temen tho sama Luna?
Nggak papa kan kalau ntar jadiannya sama kamu?”
“Aku kayak nikung teman dong, Ma!”
Ibu Rania tersenyum, lalu mengelus
puncak kepala putrinya. “Kenapa ini? Kamu baper sama Prince?”
Rania serta merta menoleh dan
menatap tajam ibunya. “Nggak lah!” Ia membantah tuduhan ibunya.
“Tapi, itu kenapa mukanya jadi merah
kayak udang rebus?”
“Mama!”
Ibu Rania terkekeh. “Nggak papa kok.
Baper ke cowok ganteng itu wajar.”
“Mama nggak asik ah!”
Ibu Rania masih menertawakan Rania.
“Udah sana berangkat. Kasihan Prince
udah nungguin Princess lama.”
“Ih! Apaan dah Princess!” Rania bergidik ngeri. Ia berjalan menuju ruang tamu.
Meninggalkan sang ibu yang berada di dalam kamarnya.
Rania menghampiri Minhyun yang duduk
di ruang tamu. “Maaf ya. Kamu jadi nunggu. Habisnya kamu nggak bilang dulu
kalau mau jemput.”
“Nggak papa.” Minhyun tersenyum
manis. “Kita berangkat sekarang?”
Rania melirik gelas yang ada di
hadapan Minhyun. Gelas itu sudah kosong. Emang
pinter bikin seneng ati orang ini anak. Dikasih minum juga dihabisin. Ia
membatin. “Oke. Mama! Aku berangkat ya!” Ia berteriak untuk berpamitan pada
sang ibu.
“Hati-hati di jalan ya.” Ibu Rania
berjalan menuju ruang tamu.
Minhyun bangkit dari duduknya.
“Tante, terima kasih.”
Rania dan ibunya sama-sama terkejut.
Mendengar Minhyun berbicara dalam bahasa Indonesia. “Ah, iya iya.” Ibu Rania
tersenyum canggung.
Minhyun membalas senyum, menundukkan
kepala, lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. Rania menatap sang ibu sejenak,
ia tersenyum, lalu berjalan menyusul Minhyun.
Ibu Rania menghela napas dan
menggeleng pelan melihat tingkah putrinya.
Sepanjang perjalanan menuju tempat
latihan tidak ada obrolan antara Minhyun dan Rania. Ketika sampai, mereka pun
tidak mengucapkan satu patah kata pun. Hingga mereka masuk ke studio latihan
dan Taemin menyambut kedunya. Minhyun dan Rania berurutan menyapa Taemin. Tanpa
menunggu lama, mereka pun langsung latihan di bawah pantauan Taemin.
Lima belas menit waktu yang tersisa
digunakan untuk beristirahat. Minhyun, Rania, dan Taemin duduk menyelonjorkan
kaki di atas lantai studio. Ketiganya bercucuran keringat usai latihan selama
hampir dua jam.
“Rania cepat menghapal gerakan ya.
Aku senang melihatnya. Kalau begini, mungkin minggu depan aku nggak perlu
datang untuk latihan.” Taemin memuji Rania.
“Tahu kah Seonbae jika saya dibuat sangat lelah dengan proyek konyol Seonbae ini?” Rania menanggapi.
Taemin terkekeh mendengarnya. “Mian. Tapi, aku yakin ini akan menjadi
pertunjukkan yang mengejutkan.”
“Tentu saja! Sahabat Luna dan mantan
teman baiknya menjadi pasangan dalam pertunjukan tari saat festival sekolah.
Kemarin, pergi makan siang bareng aja udah heboh!” Rania ceplas-ceplos
mengungkap kekesalannya.
“Itu ya? Aku sempat dengar.” Ekspresi
Taemin berubah. Menjadi sedikit kaku. “Lalu, soal surat ancaman itu bagaimana?
Yang aku dengar, pelakunya sudah diketahui ya?”
“Tinggal memastikan saja.”
Minhyun diam dan menyimak. Namun, ia
menyadari perubahan bahasa tubuh Taemin. Karena itu keningnya sedikit berkerut.
“Wah, aku jadi penasaran. Siapa
pelakunya?”
“Sayangnya Luna tak membaginya
dengan saya. Sepertinya Ha Sungwoon yang bertanggung jawab penuh atas
penyelidikan.”
“Ha Sungwoon ya? Yang terkenal
sebagai preman budiman itu ya?”
“Padahal tampilannya nggak kayak
preman, kan?”
“Tapi, ya begitulah. Kadang-kadang
julukan yang diberikan memang tidak sesuai. Ya sudah. Aku pergi dulu. Kalian
nanti pulang bareng, kan?” Taemin bangkit dari duduknya.
“Minggu depan Seonbae masih harus membimbing kami.” Minhyun mengingatkan tugas
Taemin.
“Tentu saja.” Taemin tersenyum. Lalu,
ia pun pamit dan pergi meninggalkan Minhyun dan Rania di dalam studio.
Suasana hening selama beberapa detik
setelah Taemin pergi. Minhyun dan Rania sama-sama diam.
“Seperti yang dikatakan Taemin Seonbae, aku juga terkejut dengan kemampuanmu
menghapal gerakan.” Minhyun memulai obrolan.
“Pada dasarnya kami sering melakukan
tarian bersama saat masih SD. Kucing memberiku ruang untuk berlatih di
tempatnya selama aku menginap. Dia melihat video dance step yang dibuat Taemin Seonbae
untuk mengoreksi gerakanku.”
“Wah! Kerjasama tim yang bagus.” Minhyun
memuji dengan tulus sampai-sampai tersenyum lebar.
“Bahasa Indonesia tadi, Kucing yang
ngajarin?” Saat berbicara dengan Minhyun, Rania kembali memanggil Luna dengan
Kucing. Bukan nama aslinya seperti ketika berbicara dengan Taemin.
Minhyun tersenyum dan mengangguk.
“Jadi, sebenarnya kamu bisa bahasa
Indonesia?”
“Kurang lebih seperti Jaehwan. Hanya
sedikit saja.”
“Oh.”
Kembali hening selama beberapa
detik.
“Menurutmu, kenapa Taemin Seonbae penasaran pada pelaku yang
mengirim surat ancaman pada Kucing?” Rania mengganti topik.
“Menurutku sebagian besar murid pasti
akan merasakan hal yang sama.”
“Kamu juga?” Rania fokus menatap
Minhyun. Pemuda itu diam sejenak, lalu menganggukkan kepala. “Iya juga sih.
Terlepas dari suka atau benci pada Kucing, pasti rata-rata penasaran. Padahal tidak
hanya surat ancaman saja.”
“Begitu?”
“He’em. Memang ada surat ancaman,
tapi ada surat konyol juga. Minta Kucing jadi mak comblang. Aku rasa itu hanya
mengacau saja. Tapi, tentang fakta bahwa tindakan itu bisa dibawa ke ranah
hukum, tentu saja membuat pelaku panik. Apa kamu punya pandangan tentang siapa
pelakunya?” Rania kembali menaruh fokus pada Minhyun.
“Tidak ada. Tidak tahu. Lebih
tepatnya begitu. Tapi, orang lain bisa saja menganggap itu ulahku.”
“Kok gitu?”
“Karena mereka tidak tahu pasti
alasan kenapa aku dan Luna seperti ini. Siapa antagonis dan protagonis di
antara kami, itu tergantung bagaimana orang yang menilainya, kan? Bisa jadi aku
lah si antagonis karena alibi, mungkin saja aku dendam pada Luna. Pun bisa
sebaliknya, Luna membuat orang berpikir bahwa aku lah yang jahat padanya. Tapi,
aku yakin Luna tidak akan melakukan hal itu. Posisi kami, jika benar masalah
itu ada hubungannya dengan kami, kami sama-sama korban.”
“Lalu, apa pernah kamu ada keinginan
untuk membantu Kucing?” Rania bertanya dengan hati-hati. Ia sangat penasaran
pada bagaimana Minhyun menganggap Luna.
“Kami bekerja sama untuk masalah Bae
Jinyoung.” Minhyun tak memberikan jawaban pasti. Membuat Rania tak puas.
“Waktu kita sudah habis. Ayo, aku
akan mengantarmu pulang.” Minhyun bangkit dari duduknya. Ia berdiri dan
mengulurkan tangan kirinya pada Rania.
Rania yang masih duduk di atas
lantai mendongak. Menatap Minhyun yang berdiri menjulang di hadapannya. Dengan
latar belakang lampu dalam studio, Minhyun tidak hanya terlihat tampan, tapi
juga bersinar. Hanya dengan melihatnya, detub jantung Rania kembali meningkat.
Ia tak meraih uluran tangan Minhyun. Ia berdiri tanpa bantuan Minhyun dan
berjalan lebih dulu untuk keluar dari studio.
***
Rooftop Luna riuh di hari
Minggu ini. Tidak hanya delapan gadis yang menjadi satu tim dengannya untuk
menampilkan tari Buchaechum sebagai
perwakilan dari Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun yang datang ke rooftop-nya. Tapi, ada Daehwi, Joohee,
dan Jisung yang turut datang. Jisung sebenarnya pergi untuk menemui Linda.
Tapi, saat ia sampai, gadis itu hendak pergi ke tempat Luna. Karena sudah
terlanjur datang, Jisung pun akhirnya ikut pergi bersama Linda. Linda yang
merasa tak enak, berulang kali meminta maaf pada Luna. Luna mengatakan jika ia
tak perlu meminta maaf karena itu bukan sebuah kesalahan.
Mendengar kegaduhan di atap
rumahnya, si pemilik rooftop yang
biasa dipanggil Luna dengan sebutan Ibu Kecil pun menengok. Wanita itu sempat
terkejut karena ada sebelas teman Luna yang datang hari itu. Tapi, melihat apa
yang sedang dipersiapkan remaja-remaja itu, ia pun memberi dukungan. Ia turut
menonton jalannya latihan tari Buchaechum
di atas atap rumahnya, di teras rooftop
tempat Luna tinggal.
Jisung merasa puas hanya dengan
menemani Linda latihan. Ia tak tinggal bersama Linda yang masih ingin berada di
rooftop Luna bersama Rania. Jisung
pulang bersama Daehwi dan Joohee setelah sempat tinggal untuk membantu Luna
membereskan sampah makanan dan minuman serta ngobrol sejenak di teras rooftop. Di atas bangku yang di letakan
di teras rooftop, kini hanya ada
Luna, Rania, dan Linda.
“Loe jadian sama Jisung, Lin?” Tanpa
basa-basi Rania langsung bertanya tentang hubungan Linda dan Jisung.
“Ng-nggak. Nggak, Mbak.” Linda
membantah. “Aku juga bingung. Jisung Seonbae
baik banget. Tapi, perasaanku ya gini-gini aja sama dia.”
“Wah! Belum bisa move on dari Daniel ya?” Rania menyerang
tanpa ampun.
Linda kelincutan. Tapi, Luna lah
yang paling dibuat tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Setiap kali ada Linda
dan membahas Daniel, Luna selalu merasa bersalah. Ia selalu berandai-andai
tentang dirinya yang tak masuk ke dalam kehidupan Daniel. Mungkin saja saat ini
Daniel dan Linda bisa membentuk sebuah hubungan. Mungkin.
Linda tersenyum kikuk. “Nggak juga.
Tapi, iya juga. Setiap hari ketemu, gimana bisa move on?”
“Tapi, loe masih punya harapan. Kan
Luna udah sama Jihoon.”
“Iya. Mbak Luna memang pacaran sama
Jihoon. Tapi, kalau Daniel-nya masih suka sama Mbak Luna kan tetep aja Mbak.
Rasaku nggak kebales.”
“Sabar
yo, Nduk. Ini ujian.”
“Mbak Rania sendiri, mulai jalan
sama Minhyun Seonbae?” Linda
melalukan serangan balik.
“Njir! Ini anak balas dendam!”
Luna tersenyum mendengar umpatan
Rania.
“Nanya doang kok dibilang balas
dendam sih Mbak? Eh, nyadar nggak sih kalau hidup kita ini dirusuhin sama Mbak
Luna?”
“Nyadar banget! Anehnya, gue tetep
nyaman aja deket dia.”
“Jujur, awal-awal aku sempet sebel
banget sama Mbak Luna. Kok kesannya sok terkenal. Sok semua dukung dia. Aku
takut lah. Jangan-jangan aku ngiri.”
“Sebel karena dia rebut Daniel dari
kamu?”
“Iya itu juga. Sama kayak dia ngasih
Mbak Rania bekasnya dia.”
“Asem! Maksud loe apa sih?! Cing!
Lerai kami napa?” Rania memprotes sikap Luna yang hanya diam memperhatikan.
“Kalau kalian sampai gelut, ukel gitu di sini, seru pasti.” Luna
dengan ekspresi antusias.
“Sialan! Kucing psiko! Eh, ukel apaan?”
“Itu lho Mbak, gelut yang sampai guling-guling di lantai.” Linda memberi
penjelasan.
“Trus loe videoin ya! Unggah.
Viral.” Rania menuduh Luna, karena bisa jadi seperti itu yang akan dilakukan
Luna.
“Eh, aku udah nonton lho video yang
diunggah Mbak Luna. Pas kita belanja bareng sama Jihoon, Daehwi, dan Joohee.
Kurang editan ya Mbak?” Linda bertanya pada Luna.
“Kurang konsentrasi aja semalem.
Trus, buru-buru pengen upload. Ya
udah kayak gitu aja.” Luna tak bersemangat.
“Tapi, bagus kok. Makasih juga udah
pos foto kita bertiga di akun Mbak Luna. Follower
Instagram-ku jadi nambah.”
“Yang ketularan femes happy banget!” Rania mengolok Linda
“Nggak happy juga kali. Orang ada yang komen kasar juga. Nyebut aku geng
Mbak Luna yang demen bikin rusuh sekolah.”
“Maafin aku ya, Linda. Kamu jadi
kena imbasnya.” Luna meminta maaf dengan tulus.
“Nggak papa kok Mbak. Hidup gitu
sih. Nggak mungkin semua suka sama kita. Haters
itu pasti ada aja.”
“Bijak banget ini anak. Bakalan
lebih heboh kalau haters tahu kisah
cinta loe ya. Luna jadi nenek sihir lagi deh. Rebut cowok inceran temen sesama
dari Indonesianya. Serakah!” Rania memuji sekaligus mengolok Linda.
“Nah, bener tuh. Aku jadi dapat
banyak simpati dong. Trus, di rekurt jadi ketua grup pembenci Mbak Luna.”
“Kalian klop banget deh. Duet bikin
tulisan bagus tuh.” Luna mengomentari ocehan Rania dan Linda.
“Nah, ide bagus tuh. Siapa tahu
viral, trus dilirik penerbit, dibukuin. Best
seller. Kaya dong kita!” Linda mengiyakan usul Luna.
“Ya kita bikin trio aja. Ntar
royalti bagi tiga.” Rania ikut berkomentar. Lalu, ia tertawa bersama Luna dan
Linda. Ketiganya kemudian diam. Menatap langit senja yang begitu teduh.
“Gue nggak nyangka aja pas dateng ke
Korea dan nemuin fakta kehidupan sohib gue di sini lebay banget. Drama banget.
Dan, gue masih nggak habis pikir sama ini semua.” Rania mengungkap isi
kepalanya dengan kedua mata masih terfokus menatap langit senja.
“Hidup ini berat Nyisanak!” Linda mengomentari curahan
hati Rania. “Pasti ada alasannya. Semua pasti ada alasannya.”
“Ya gue tahu. Alasan itu apa? Sampai
Kucing idupnya ruwet kayak gini. Miris gue!”
Luna tersenyum mendengarnya. “Maaf
ya. Bentar lagi kayaknya bakalan ketahuan deh. Kalau aku ngomong tanpa bisa
buktiin, ntar takutnya jadi fitnah.”
“Nah, betul itu!” Linda membenarkan
ucapan Luna.
“Loe di pihak sapa sih Lin?” Rania
protes.
“Pihak diri gue sendiri dong!”
Luna tertawa mendengar cek-cok
antara Rania dan Linda. “Aku jadi kangen Wirog. Biasanya kan kamu cek-cok kayak
gini sama Wirog, Cue.”
“Eh, kok serem sih Mbak? Wirog itu
tikus kan?” Linda bergidik ngeri.
“Iya. Mas Dinar nyebut geng kami
geng Kebun Binatang. Walau nama geng kami Pretty
Soldier ala-ala Sailormoon, tapi
nama panggilan kami nama hewan semua. Aku, Kucing. Rania, Cue. Santi, Wirog.
Cheryl, Siput. Dan, Firna, Onyet alias Monyet. Aku jadi kangen mereka.”
“Kalau aku masuk, aku jadi apa
dong?” Linda bermaksud bercanda.
“Sailor
Pluto! Nickname-nya Beo.
Keliatannya aja diem. Tapi, bawel.” Rania menyahut.
“Eh, Sailor Pluto cantik lho! Cocok buat Linda. Tapi, jangan Beo dong.” Luna
menolak usulan Rania.
“Trus apa dong?”
“Burung pipit?”
“Siapa juga yang mau gabung geng
kalian.” Linda menyela.
“Kan kamu tadi.”
“Kan loe.”
Luna dan Rania hampir bersamaan.
“Aku kan guyon. Nggak serius!” Linda bergaya sok jual mahal.
Luna melirik Rania. Pun sebaliknya.
Mereka sama-sama menyeringai.
“Loe nggak akan keluar dari sini
dengan selamat!” Ujar Rania yang kemudian menyerang Linda dengan menusukkan
jari telunjuknya ke pinggang Linda.
“Auw!” Linda berjingkat karena
kaget, geli, dan sakit.
Rania bertubi-tubi menyerang Linda.
Linda pun tak mau kalah. Selain bertahan, ia juga melakukan serangan balik pada
Rania. Luna tertawa melihat tingkah kedua temannya. Menyadari reaksi Luna,
Linda dan Rania kompak mengalihkan serangan pada Luna. Ketiganya riuh bercanda.
Puas saling menyerang, mereka kompak merebahkan diri di atas bangku tempat
mereka duduk. Menatap langit yang sudah berubah gelap.
“Di Korea, pergantian siang ke malam
nggak kerasa ya.” Rania tersenyum menatap langit malam. “Nggak kayak di
Indonesia.”
“Karena di Indonesia ada adzan yang
jadi tanda pergantian sore ke malam.” Jawab Linda.
“Makasih ya. Makasih karena kalian
tetep mau tinggal, jadi temenku walau aku selalu nyusahin kalian.” Luna
berterima kasih dengan sungguh-sungguh.
“Aku sih terpaksa. Karena, di SMA
Hak Kun cuman ada kalian yang dari Indonesia.” Linda lagi-lagi bercanda.
“Ragil ini bener-bener deh!” Rania
mengomentari ungkapan Linda. Lalu, ia tertawa. Linda pun turut tertawa.
Luna yang berbaring di tengah meraih
tangan kiri Rania dan tangan kanan Linda. Ia menggenggamnya keduanya dengan
erat. “Aku senang, karena aku nggak sendirian lagi di sini.”
Rania dan Linda sama-sama menoleh
dan menatap Luna. Keduanya tersenyum. Membiarkan Luna menggenggam erat tangan
mereka. Lalu, mereka kembali menatap langit malam dalam diam.
Pukul tujuh malam, Luna mengantar
Rania dan Linda turun. Rania tak jadi menginap. Ia memilih pulang dengan Linda.
Keduanya menyempatkan diri berpamitan pada Ibu Kecil. Luna, Rania, dan Linda
masih mengobrol setelah keluar dari rumah Ibu Kecil. Luna hendak menelpon taksi
untuk Rania dan Linda. Namun, kedunya menolak. Mereka lebih memilih naik bus
karena belum terlalu larut.
“Ya udah kalau nggak mau naik taksi.
Untung dong aku nggak jadi bayarin kalian!” Luna menyimpan kembali ponselnya.
“Lin, beneran lho ya kapan-kapan
kita nginep sini rame-rame.” Rania memastikan janji Linda.
“Iya. Sabtu depan deh kalau aku
dibolehin sama ortu.” Linda menyanggupi.
“Oke.”
Luna tersenyum melihat kedua
temannya. Lalu, sepasang mata bulatnya menangkap dua sosok pemuda yang berjalan
menuju ke arahnya. Keduanya tak asing. Luna bisa mengenali mereka adalah Daniel
dan Jihoon. Yang membuat kening Luna berkerut adalah cara keduanya berjalan.
Daniel dan Jihoon berjalan berdampingan, namun ada yang aneh dengan langkah
mereka. Keduanya tampak sempoyongan. Mendapati Luna berdiri tertegun, Rania dan
Linda mengikuti arah pandangan Luna. Mereka menemukan Daniel dan Jihoon.
“Eh, itu kan Daniel sama Jihoon.” Rania
menuding dua pemuda yang semakin mendekat. “Kenapa mereka jalannya kayak gitu?”
“Ya ampun! Daniel!” Linda berseru
dan berlari mendekati Daniel ketika menyadari ada yang tak beres pada pemuda
yang ia sukai itu. Wajah Daniel babak belur. Begitu juga dengan Jihoon.
“Cing! Mereka babak belur!” Rania
yang juga menyadari sesuatu yang tak lazim pada Daniel dan Jihoon menoleh pada
Luna. Sahabatnya itu berdiri diam dan tertegun. Rania heran melihatnya. “Cing!
Jihoon sama Daniel babak belur tuh!”
“Daniel! Daniel! Kamu kenapa? Kenapa
babak belur gini?” Linda sampai di samping kiri Daniel. Ia khawatir melihat
wajah Daniel yang babak belur.
“Sialan ini Kucing Psiko!” Rania
bergegas mendekati Daniel dan Jihoon. Membiarkan Luna yang masih berdiri
tertegun di tempatnya.
“Bawa Jihoon ke tempat Luna. Aku
akan pulang.” Daniel memberi perintah pada Linda.
“Ap-apa?” Linda bingung. Daniel
sendiri babak belur, tapi dia malah memintanya membawa Jihoon pada Luna.
“Aku bawa Jihoon!” Rania berhenti di
samping kanan Jihoon.
“Ayo! Aku obati kamu.” Linda
menuntun Daniel.
“Kamu bisa jalan sendiri?” Rania
bertanya pada Jihoon.
Jihoon mengangguk dan berjalan
menyusul Daniel dan Linda.
Rania melihat Luna sudah berjalan
menaiki tangga. “Psikopat itu!” Gumamnya yang kemudian menyusul Jihoon.
***
Jihoon diam-diam pergi ke tempat
Luna. Ia bahkan tak memberi tahu Luna lebih dulu. Ia mendapat kabar tentang
latihan hari ini dari Daehwi. Setelah Daehwi memberitahunya jika hanya tersisa
Rania dan Linda di tempat Luna, ia pun pergi untuk menemui Luna. Sengaja pergi
sendiri, naik bus. Tanpa ditemani sopir pribadinya seperti tempo hari.
Di tengah perjalanan menuju tempat
Luna, Jihoon mendengar keributan. Suara seperti orang sedang berkelahi.
Penasaran, Jihoon pun mencari sumber suara berasal. Ia sampai pada satu gang
buntu dan melihat enam orang pemuda sedang berkelahi. Lima orang pemuda
mengeroyok satu orang pemuda. Pemuda yang dikeroyok berusaha melawan, tapi
sia-sia. Berulang kali pemuda itu terkena pukulan para pemuda yang
mengeroyoknya.
Mata sipit Jihoon melebar ketika ia
bisa melihat dengan jelas siapakah pemuda yang sedang dikeroyok. Daniel
berusaha melawan, tapi sia-sia. Melihat hal itu, bukannya lari atau menelpon
untuk mencari bantuan, Jihoon justru maju berusaha melerai.
“Ya!” Jihoon masuk ke dalam gang
buntu itu. Menyita perhatian lima pemuda yang sedang mengeroyok Daniel.
“Siapa kau? Pergi sana! Ini bukan
urusanmu! Pergi sana kalau kau mau selamat!” Salah satu pemuda memperingatkan
Jihoon yang berdari jarak empat langkah saja darinya.
Jihoon menatap Daniel yang babak
belur dan jatuh berlutut. “Lepaskan dia.” Ia memperingatkan.
“Mwo?”
Pemuda yang memperingatkannya mencibir. “Memangnya kau ini siapa?”
“Kau tidak tahu aku siapa?” Jihoon
balik bertanya.
“Apa penting bagiku untuk tahu?”
“Aku Park Jihoon. Dan, dia adalah
temanku!”
Daniel mengangkat kepala dan menatap
Jihoon saat pemuda itu menyebut bahwa dirinya adalah temannya. “Jihoon-aa,
pergilah!” Suara Daniel hampir tak terdengar.
“Siapa Park Jihoon? Apa peduliku?
Pergi saja sebelum kau jadi seperti dia!” Pemuda yang sedari awal berbicara
menuding Daniel. Sepertinya dialah ketua dari kelompok itu.
“Aku tidak akan pergi, tanpa
membawanya.” Jihoon kembali menatap Daniel. Daniel menggeleng, memberi isyarat
agar ia pergi. Namun, Jihoon mengabaikannya.
“Baiklah, Jagoan! Mari kita lihat
bagaimana kemampuanmu.” Pemuda itu melakukan gerakan peregangan. Ia mulai
mendekati Jihoon. Empat rekannya pun mengikutinya. Mengabaikan Daniel.
Kelima pemuda itu maju dan mengepung
Jihoon. Mereka pun mulai menyerang. Perkelahian pun tak bisa dihindari. Jihoon
melawan lima pemuda yang sebelumnya mengeroyok Daniel. Daniel mengumpulkan sisa
tenaganya. Kembali bangkit dan membantu Jihoon. Kekacauan kembali terjadi di
gang buntu itu.
Dua lawan lima tentu tak seimbang.
Terlebih lima pemuda itu lebih jago dalam urusan berkelahi dibanding Daniel dan
Jihoon. Daniel dan Jihoon jatuh terduduk. Lima pemuda yang mengeroyok mereka
berjalan mendekat. Ketika mereka hendak menyerang, seorang pria yang tiba-tiba
entah muncul dari mana menghalau serangan itu.
“Pergilah!” Ujar pria berpakaian
serba hitam dengan topi berwarna senada yang wajahnya tidak bisa dilihat dengan
jelas oleh Daniel dan Jihoon. Pria itu menghalau serangan lima pemuda yang
mengeroyok Daniel dan Jihoon.
“Pergi!” Pria itu membentak.
Jihoon bergegas berdiri. Ia membantu
Daniel untuk bangkit. Saling menopang dengan Daniel, Jihoon berjalan bergegas
meninggalkan gang buntu. Ia membawa Daniel menuju rooftop Luna.
***
Tangan Luna gemetar saat membalurkan
obat pada luka gores di wajah Jihoon. Sampai detik ini, ia tak mampu berkata
apa-apa. Ketika ia menyadari wajah Jihoon dan Daniel babak belur, ia justru
berdiri terpaku di tempatnya. Seolah tak mempunyai tenaga untuk berjalan
mendekati keduanya. Detub jantungnya seketika meningkat. Ia ketakutan.
Beruntung ada Linda dan Rania bersamanya. Dua temannya itu lah yang berlari
mendekat demi membantu Daniel dan Jihoon. Saat itu yang terpikir olehnya adalah
kotak P3K. Karenanya, ia bergegas menaiki tangga demi menyiapkan kotak P3K
untuk merawat luka Daniel dan Jihoon.
Luna selesai mengobati luka Jihoon.
Ia menoleh ke kanan, memperhatikan Linda yang sedang merawat Daniel. Linda
sedang mengobati luka gores di wajah Daniel. Luna mengalihkan pandangan, lalu
membersihkan peralatan yang baru ia gunakan untuk merawat luka Jihoon.
Rania keluar dengan membawa es dalam
mangkok. Ia juga membawa minuman dingin dari dalam kulkas. Ia meletakkannya di
bangku teras, tempat Jihoon dan Daniel dirawat. “Esnya cuman dikit. Pakek air
dingin nggak aja ya.” Ujarnya sembari meletakkan es ke atas sapu tangan dan
membungkusnya. Lalu, ia memberikannya pada Luna.
Luna yang masih bungkam menerima es
yang dibungkus sapu tangan pemberian Rania. Ia mulai mengompres luka memar di
wajah Jihoon. Sama seperti saatia mulai mengoles luka gores di wajahnya, Jihoon
berjingkat kaget karena sensasi sakit yang muncul.
Rania membawa satu es yang ia
bungkus dalam sapu tangan lainnya pada Linda. Linda menerimanya dan mulai
mengompres memar di wajah Daniel.
Jihoon dan Daniel mengompres memar
di wajah masing-masing. Rania membagikan air mineral untuk mereka. Luna dan
Linda membersihkan peralatan dalam diam.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” Rania
berdiri, berkacak pinggang, menatap Jihoon lalu Daniel. “Kalian berantem? Sama
siapa?”
Linda kembali ke sisi Daniel. Ia
masih merasa khawatir melihat kondisi Daniel.
“Aku dikeroyok. Entah bagaimana,
Jihoon tiba-tiba muncul dan mau nolongin aku. Lima lawan dua, jadilah kami
kayak gini.” Daniel memberi penjelasan.
Luna yang sedang merapikan kotak
obat terkejut mendengar penjalasan Daniel. Sampai-sampai ia menjatuhkan salah
satu botol obat yang hendak ia masukan ke dalam kotak obat.
“Dikeroyok? Sama siapa?” Linda
memekik.
“Nggak tahu. Mereka tiba-tiba
muncul. Menghadangku dan bertanya apa aku Kang Daniel. Saat aku jawab iya,
mereka menyeretku ke gang buntu dan mulai memukuli. Aku berusaha melawan, tapi
sia-sia. Sampai Jihoon datang.”
“Kamu punya musuh? Pernah berantem
kayak gini sebelumnya?” Rania memberondong Daniel dengan pertanyaan.
“Nggak pernah. Aku benar-benar nggak
tahu mereka siapa.”
“Trus, kamu ngapain sok jagoan
belain Daniel sampai babak belur gini? Kalau ketahuan fansmu, Daniel dan Luna
yang bakalan jadi sasaran kemarahan fans!” Rania beralih menatap Jihoon.
Jihoon diam, tak menjawab pertanyaan
Rania.
“Bisa gila aku! Baru aja masalah
tuduhan selingkuh itu kelar, sekarang kalian babak belur kayak gini. Besok
bagaimana di sekolah? Bisa-bisa kalian dikira berantem karena rebutan Luna.” Rania
menghela napas dengan kasar. Tatapannya terhenti pada Luna yang belum mengucap
sepatah katapun sejak melihat Daniel dan Jihoon babak belur. Ia paham tentang
apa yang dirasakan sahabatnya itu sekarang. Pasti Luna merasa bersalah juga
takut. Ia pun tak ingin mengasihani Luna di depan teman-temannya yang lain.
“Linda, kita pulang.” Rania mengajak
Linda pulang.
Linda mengangkat kepala, kaget pada
ajakan Rania. “Tapi, Mbak.”
“Rumah Daniel deketan sini. Bentar
lagi dia pulang. Kalau Jihoon, dia bisa telpon sopirnya buat jemput. Gue nggak
tahu apa yang terjadi. Tapi, gue yakin mereka butuh bicara.”
Linda tampak enggan, tapi ia pun
menganggukkan kepala. Ia pun bangkit dari duduknya. “Aku pulang duluan ya.” Ia
berpamitan pada Daniel.
“Makasih ya. Maaf udah bikin kamu
khawatir.” Daniel tersenyum tulus.
Linda membalas senyum. Lalu, ia
menatap Luna yang seolah kehilangan jiwanya. “Mbak Luna, aku pulang dulu.”
“Biarin aja dia. Dia cuman butuh
sendiri.” Rania memperingatkan Linda.
“Beneran kayak gitu Mbak? Mbak Luna
keliatan syok gitu.”
“Gue lebih ngenal dia daripada loe.”
“Iya sih.”
“Kami pulang dulu.” Rania pamit pada
Jihoon dan Daniel, juga Luna. Ia pun menuntun Linda yang masih enggan pergi.
Bersama Linda, ia pulang. Meninggalkan Luna bersama Daniel dan Jihoon.
Hening setelah Rania dan Linda
pergi. Tidak ada yang memulai obrolan. Daniel yang merasa canggung meletakkan
sapu tangan berisi es di mangkok yang di tinggalkan Rania di atas bangku. Sama
seperti Rania, ia merasa harus pergi. Ia tahu Luna mengkhawatirkannya dan
Jihoon. Bertiga seperti ini tentu membuat Luna serba salah. Karena itu ia
memutuskan untuk pergi. Memberi ruang untuk Luna dan Jihoon. Walau tak
mengatakannya, ia yakin Luna pun sangat mengkhawatirkannya.
“Aku pulang dulu.” Daniel bangkit
dari duduknya. Memecah keheningan.
Luna dan Jihoon kompak menoleh ke
arah kiri dan menatapnya.
Daniel tersenyum saat menatap Luna.
Ia pun tersenyum pada Jihoon. “Gomawo,
Jihoon-aa. Aku sangat berterima kasih padamu.” Ia membungkukkan badan. Mengucap
terima kasih dengan tulus pada Jihoon.
Jihoon menatap Daniel. “Aku pun
tidak tahu kenapa tadi aku bersikap begitu. Mari bersama berdoa agar hal buruk
tidak menimpa kita lagi.”
Daniel yang sudah menegakkan badan
mengangguk. “Aku tidak tahu siapa mereka dan kenapa mereka tiba-tiba
menyerangku. Tapi, aku yakin, kita pasti akan menemukan jawaban.”
Jihoon mengangguk tanda setuju. “Jangan
memikirkan esok. Istirahat saja. Esok biarlah menjadi rahasia. Apa pun itu,
kita hadapi saja.”
Gantian Daniel yang mengangguk.
Tanda setuju. Ia kembali menatap Luna yang kini menundukkan kepala. Masih
bungkam. Sekarang justru ia yang merasa khawatir melihat sikap diam Luna. Tapi,
tak ada yang bisa ia lakukan. “Aku pergi.” Ia pamit dan berjalan pergi.
Jihoon menatap Daniel sampai pemuda
itu menghilang setelah menuruni tangga. Ia menghela napas panjang dan beralih
menatap Luna. “Kenapa kau diam saja? Luna-ya. Kau lihat? Aku baik-baik saja.
Daniel pun sama. Tolong jangan diam begini. Itu membuatku takut.”
Luna masih bungkam. Duduk dengan
kepala tertunduk.
“Dalam sebuah film yang aku tonton,
tokoh utama wanita akan memberikan sebuah ciuman pada tokoh utama pria setelah
ia merawat luka pada wajah tokoh pria. Romantis sekali bukan?” Jihoon menggoda
Luna. Namun, gadis itu tetap bergeming.
Jihoon kembali menghela napas
panjang. “Aku mendengar keributan dan penasaran. Aku mencari sumber suara,
ternyata ada perkelahian di gang buntu itu. Pemuda yang sepertinya ketua dari
kelompok itu sudah memperingatkan aku untuk pergi. Tapi, karena tahu itu
Daniel. Aku tidak bisa pergi begitu saja. Entah itu benar atau tidak, Daniel
penting bagimu. Aku tidak bisa mengabaikan apa yang penting dalam hidup Luna
begitu saja. Karena, apa yang penting bagi Luna, penting juga bagiku.”
Hening. Daniel yang masih berada di
tangga mendengar semua yang dikatakan Jihoon. Ia menunduk. Merasa bersalah
karena membuat Jihoon terseret dalam masalahnya.
“Baboya?”
Suara Luna serak.
Jihoon menoleh ke arah kanan,
menatap Luna. Ia tersenyum karena akhirnya Luna bersuara.
“Tahu apa kau tentang apa yang
penting bagiku? Jika begini, aku harus bagaimana? Kau harus bagaimana?
Bagaimana kau pulang ke rumah dengan wajah babak belur seperti itu? Bagaimana
kau harus menghadapi orang tuamu? Bagaimana jika esok fansmu tahu? Seperti yang
dikatakan Rania. Bagaimana?”
Emosi Luna meledak. Membuat Jihoon
tak bisa berkata apa-apa. Benar yang dikatakan Luna, bagaimana ia harus
menghadapi orang tuanya? Alasan apa yang bisa ia berikan?
Jihoon tersenyum. Ia mendapat pencerahan.
“Tidak perlu khawatir. Kau tahu kenapa aku dijuluki cute monster? Karena aku pemuda berwajah cute yang menghajar teman-temanku karena mereka menghina orang
tuaku. Aku pulang dengan wajah babak belur, bukan pertama kali ini. Jadi,
jangan khawatir. Palingan Omma akan mengomel.
Dan, Appa akan menasehatiku setelah
situasi kembali normal.”
“Ini semua salahku. Kalian jadi
begini karena aku. Ini semua salahku!” Luna menutup muka dengan kedua
tangannya. Ia menangis.
Jihoon merengkuh Luna dalam
pelukannya. “Bukan. Ini bukan salahmu.” Ia berbisik lembut demi menenangkan Luna.
Luna tak memberontak. Ia menangis,
menumpahkan air matanya dalam pelukan Jihoon.
Di tangga, Daniel menyandarkan
punggungnya ke tembok. Ia mendongak, menatap pekatnya langit malam. Ia merasa
lega, tapi juga cemburu. Ia berharap dirinya lah yang berada di sana dan
menenangkan Luna. Tapi, mengingat apa yang dilakukan Jihoon untuknya, ia pun
merasa bersalah. Daniel menundukkan kepala, menghela napas. Ia kembali berjalan
menuruni tangga. Benar-benar pergi meninggalkan Luna dan Jihoon.
***
0 comments