My 4D’s Seonbae - Episode #35 “Perang Yang Sebenarnya Akan Segera Dimulai.”

04:40


Episode #35 “Perang Yang Sebenarnya Akan Segera Dimulai.”



Rania masih beradu pandang dengan Luna pada jarak yang lumayan jauh itu. Minhyun yang berdiri di sampingnya pun turut menatap Luna.
Di mejanya, Luna menghentikan aktivitas makan siangnya. Terpaku menatap Rania yang tiba-tiba muncul bersama Minhyun. Teman-teman yang duduk satu meja dengannya saling berkasak-kusuk.
“Harus kah aku mengundang mereka kemari?” Jisung bertanya dengan suara lirih. “Kalau untuk dua orang saja, masih cukup.”
“Kalau dia mau, dia pasti ke sini.” Jawab Luna sembari kembali fokus pada makanannya. Semua pasang mata yang ada di meja itu tertuju padanya.
“Dia sedang bersama Minhyun, pasti sungkan untuk bergabung.” Sungwoon berkomentar sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Kalau sungkan ya biarin aja.” Luna acuh. Semua pun diam menatapnya.

“Kamu mau gabung di meja Luna?” Minhyun bertanya pada Rania.
Rania yang masih menatap Luna berjingkat. “Nggak. Cari tempat lain aja.” Ia berjalan memimpin lalu duduk di salah satu bangku dari meja yang hanya di huni dua murid saja. Keduanya murid laki-laki yang tak dikenalinya.
Minhyun mengikuti Rania. Ia pun duduk di samping kanan Rania. Posisi keduanya membelakangi meja tempat Luna makan bersama teman-temannya. “Nggak papa begini?”
Rania bergumam dan menganggukkan kepala.

“Rania udah nggak jadi Gadis Celana Olah Raga lagi ya? Bagus lah. Kalian nggak sedang berantem kan?” Sungwoon kembali bersuara.
“Kami tadi berangkat bareng kok.” Daniel menjawab pertanyaan Sungwoon. “Tapi, Rania Seonbae lebih banyak diam.”
“Jangan-jangan semalam terjadi sesuatu. Luna dan Rania berantem di rooftop.” Woojin menggoda.
“Berantemnya gara-gara Minhyun?” Jisung menyambung ejekan Woojin.
“Kalian cowok-cowok demen banget sih bergosip!” Luna angkat bicara.
“Bentar lagi juga pasti bakalan rame diomongin seantero sekolah.” Jisung membela diri.
“Bener banget. Apalagi tentang Luna dan Minhyun. Sudah pasti heboh. Atau, ini rencanamu juga?” Sungwoon menebak. Semua mata pun tertuju pada Luna.
“Melibatkan Minhyun tidak masuk dalam daftar rencanaku tahu!”

Rania hanya fokus pada makanannya. Ia makan dan makan, tanpa memedulikan sekitarnya. Lebih tepatnya, ia berusaha mengabaikan sekitarnya.
Minhyun yang melihat tingkah Rania menghela napas pelan. “Maaf. Ini pasti membuatmu nggak nyaman.”
“Makan aja. Cepat selesai lebih baik!” Jawab Rania tanpa mengangkat kepala. Kenapa gue jadi merasa nggak enak gini sih? Harusnya gue tadi duduk gabung sama Kucing, kan? Kalau sikap gue kayak gini, jelas kami jadi sorotan. Bego banget sih gue! Wajar kan kalau reaksi Kucing kaget liat gue jalan dua-duaan sama Minhyun. Rania menelan sisa makanan dalam mulutnya.
Sial banget sih gue! Makanan ini rasanya hambar semua! Bisa nggak sih mereka nggak liatin gue kayak gitu? Nggak bisik-bisik kayak gitu! Rania menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dengan kasar.
“Mereka pergi.” Ujar Minhyun lirih.
Rania mengangkat kepala, melihat Luna, Sungwoon, dan Woojin berjalan menuju pintu keluar. Ia perlahan menoleh, di meja tempat Luna sebelumnya makan siang ada Jisung, Linda, Daniel, dan Guanlin. Ia segera kembali pada posisinya ketika menyadari Jisung memperhatikannya. Sialan! Ntar Jisung pasti mikir macem-macem soal gue sama Kucing! Ia mengumpat dalam hati.

“Daniel, kamu yakin Luna dan Rania nggak sedang bertengkar? Barusan Rania noleh ke sini lho!” Usai melihat tingkah Rania, Jisung langsung bertanya pada Daniel.
Daniel yang posisi duduknya membelakangi Rania pun menoleh. Ia melihat punggung Rania yang membungkuk saat makan. “Aku rasa mereka baik-baik aja.”
“Mereka baik-baik aja kok. Kami pergi bersama untuk belanja keperluan penampilan Persatuan Murid Asing.” Linda mendukung jawaban Daniel.
“Tapi, sikap mereka bisa membuat orang yang melihatnya salah paham.”
“Iya juga sih.” Linda membenarkan pendapat Jisung.
“Luna nggak akan peduli juga. Sepertinya fokusnya hanya pada surat ancaman.” Guanlin ikut bicara.
“Tolong bantu Luna ya. Kalau ada informasi, sekecil apa pun itu.” Jisung memohon.
Linda dan Guanlin kompak menganggukkan kepala. Sedang Daniel bersikap acuh. Ia sibuk menghabiskan makan siangnya.
***

Jinyoung yang tidak menyukai keramaian seperti biasanya memilih untuk menyendiri. Setelah makan siang bersama Jaehwan, ia memilih memisahkan diri dan menyendiri di tempat favoritnya yang berada di dekat gedung olah raga lawas yang kini digunakan sebagai gudang. Di dekat gedung olah raga itu ada sebuah taman yang jarang dikunjungi murid karena letaknya yang cukup jauh dari bangunan utama sekolah. Gedung olah raga lawas itu selalu terkunci walau sedang dalam jam aktif sekolah. Kadang-kadang gedung olah raga itu di buka ketika ada kegiatan yang membutuhkan sesuatu yang ada dalam gedung yang sudah beralih fungsi itu. Di lorong samping kiri gedung itu digunakan untuk meletakkan bangku dan meja yang sudah tidak digunakan. Di sanalah biasanya Jinyoung menghabiskan waktunya. Walau kini image-nya sudah berubah, Jinyoung masih belum bisa meninggalkan kebiasaan lamanya itu.
Jinyoung merebahkan tubuhnya di atas tiga buah meja yang di tata berjajar di lorong. Dengan menggunakan tangan kanannya sebagai bantal, ia diam menatap langit yang sedikit mengintip dari balik langit-langit bagian luar gedung olah raga lawas. Pikirannya mulai melayang. Ia melamun.
Tiba-tiba timbul suara yang membuyarkan lamunan Jinyoung. Ia pun bangkit dan duduk. Posisinya yang tertutup tumpukan meja dan bangku tidak terlihat dari ujung lorong. Ia pun mengintip. Dua orang siswa berada di ujung lorong. Satu siswa menyandarkan punggungnya pada tembok gedung olah raga lawas. Satu siswa lainnya berdiri di hadapannya.
Jinyoung menyipitkan mata, mengamati dua siswa yang tiba-tiba muncul dan mengganggu kesendiriannya itu. Lee Taemin Seonbaenim? Dan, Lee Taeyong? Apa yang mereka lakukan? Batinnya setelah mengenali dua siswa yang berada di ujung lorong.
Jinyoung diam sejenak, lalu ia mengeluarkan ponsel dalam sakunya. Diam-diam merekam apa yang sedang dilakukan Taemin dan Taeyong. Karena, sepanjang ia menghabiskan waktu menyendiri di lorong, ia tak pernah melihat keduanya berkunjung ke lorong ini. Kemunculan mereka yang secara tiba-tiba, tentu saja membuatnya curiga.

“Hyung! Aku harus bagaimana?” Lee Taeyong menatap Taemin dengan cemas.
Taemin yang menyandarkan punggungnya pada tembok gedung olah raga hanya diam.
“Hyung!” Taeyong mendesak. “Hyung tidak mendengarnya? Surat ancaman itu adalah tindakan kriminal! Bisa diperkarakan secara hukum!”
Jinyoung terkejut mendengarnya. Walau posisinya cukup jauh dari Taemin dan Taeyong, karena suasana di sekitarnya sepi, ia bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Taeyong. Surat ancaman? Luna? Jinyoung kembali memperhatikan Taemin dan Taeyong.
“Bagaimana kalau aku ketahuan? Sungwoon dan teman-temannya sangat serius mencari pelakunya!” Taeyong gusar.
Taemin tiba-tiba menoleh ke arah kiri, menatap pada tumpukan bangku yang di letakan pada ujung lorong yang buntu. Taeyong ikut menoleh, turut memperhatikan tumpukan bangku dalam lorong. Ia merasa ngeri karena keheningan di dalam lorong itu.
Taemin kembali menatap Taeyong. “Kita bicarakan nanti. Di sini terlalu berbahaya.”
“Nanti?! Apa aku bisa bertahan?! Mereka sudah memeriksa CCTV. Dan, katanya sudah mencurigai seseorang. Bagaimana jika itu aku? Hyung!”
“Karena itu, kita tidak boleh membicarakannya. Aku yakin kamu pasti bisa bertahan.” Taemin menepuk kedua pundak Taeyong.
Taeyong yang tampak putus asa menatap Taemin dalam diam selama beberapa detik. Ia kemudian menghela napas dengan kasar. “Baiklah! Aku akan bertahan.”
Taemin kembali menepuk pundak Taeyong. “Sekarang pergilah!”
Taeyong mengangguk dan berjalan meninggalkan lorong.
Taemin menghela napas panjang. Diam dan menundukkan kepala. Ia kembali menoleh ke arah kiri, menatap tumpukan bangku selama beberapa detik. Ia menggeleng pelan dan berjalan menyusul Taeyong. Meninggalkan lorong yang berada di samping kiri gedung olah raga.

Jinyoung mengakhiri rekaman video dalam ponselnya. Ia tercenung. Mencerna kejadian yang baru saja ia perhatikan dari tempat persembunyiannya. Ditatapnya kembali layar ponselnya. Apa mungkin Taemin Seonbae... Ia segera menggelengkan kepalanya.
Tapi, rumor tentang Taemin Seonbae yang ditolak Luna sempat beredar luas. Apa karena itu? Jinyoung memeringkan kepalanya. Ia masih belum bisa mencerna apa yang baru saja ia lihat. Luna! Ya! Aku harus menemui Luna.
Jinyoung menoleh ke kanan. Memastikan di ujung lorong aman. Tidak ada siapapun di sana. Kakinya sudah bergerak turun, bahkan ia sudah berdiri. Namun, ia kembali duduk dan menatap ponsel di tangannya.
***

Sepanjang sisa jam pelajaran Jinyoung tak bisa berhenti memikirkan kejadian yang ia temui di sisa jam istirahat. Pertemuan diam-diam Taemin dan Taeyong di tempat yang hampir tak terjamah oleh murid SMA Hak Kun. Kejadian itu berulang-ulang muncul dalam ingatannya. Ia pun menjadi was-was dan terus mengamati Rania, Minhyun, dan Jaehwan. Banyak dugaan muncul dalam otaknya, hingga membuatnya kualahan dan hampir meledak.
Di jam pelajaran, diam-diam Jinyoung memainkan ponselnya. Ia hendak mengirim pesan pada Luna. Meminta waktu untuk bertemu. Ia sudah mengetik pesan itu, namun jari-jari tangannya berhenti mengetik. Ia memiringkan kepala, menimbang apa yang akan ia lakukan. Ia pun menggeleng dan menghapus pesan yang sudah ia ketik.
Jinyoung melirik ke depan sejenak, untuk memastikan guru yang mengajar di depan sana tak menyadari apa yang ia lakukan. Setelah yakin aman, ia kembali memainkan ponselnya. Mengetik pesan untuk Woojin dan mengirimkannya. Ia telah memutuskan untuk bertemu Woojin saja, bukan Luna. Jinyoung mendesah pelan setelah pesannya terkirim. Ia pun menyimpan ponselnya dan kembali menyimak guru yang sedang menyampaikan materi di depan kelas.
Setelah jam pelajaran berakhir, Jinyoung merasa lega. Namun, ia tak terlihat sibuk merapikan barang-barang seperti teman-teman sekelasnya. Ia duduk dan terus memperhatikan Minhyun yang sibuk merapikan barang-barangnya. Saat Minhyun berpamitan pada Rania, ia mengerutkan kening. Ia memperhatikan Minhyun yang keluar kelas lebih dulu.
“Jinyoung nggak berberes?” Tanya Rania yang tiba-tiba membalikkan dan menghadap pada Jinyoung yang duduk tepat di belakangnya.
Jinyoung tak terkejut. Sudah kebiasaan sejak Rania duduk di depannya, gadis itu pasti akan menyapanya saat akan pulang. Sebuah senyuman samar, hanya itu yang ia berikan pada Rania sembari merapikan peralatannya.
Rania mengamati ekspresi Jinyoung. “Kamu kenapa?”
“Bukannya ekspresinya selalu begitu?” Jaehwan menyahut. “Kamu mau kumpul sama Klub Vokal?” Ia menghampiri Rania yang segera mengangguk. “Kita barengan, yuk?”
“Boleh. Jinyoung, kami duluan ya.” Rania pamit pada Jinyoung, kemudian pergi bersama Jaehwan.
Jinyoung menghela napas. Hanya ada dirinya di dalam kelas. Setelah merapikan peralatannya, ia memeriksa ponselnya. Woojin membalas pesannya dan bersedia bertemu. Tak mau membuang waktu, Jinyoung pun bangkit dari duduknya, menyambar tasnya, dan keluar dari kelas.

Jinyoung dan Woojin bertemu di lapangan sepak bola sekolah. Keduanya duduk di tribun yang jauh dari murid-murid yang berkumpul untuk menonton permainan Klub Sepak Bola. Woojin yang memilih tempat itu. Menurutnya bertemu di tempat ramai jauh lebih baik daripada bertemu diam-diam di tempat sepi.
Jinyoung memberikan ponselnya pada Woojin. Ia langsung menunjukkan rekaman video yang ia buat siang tadi. Woojin yang menonton video itu ternganga
“Bagaimana ini bisa terjadi?” Woojin tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Aku juga kaget. Bagaimana bisa? Tadinya aku ingin menemui Luna langsung. Tapi, aku pikir itu kurang tepat. Jadi, aku memilih bertemu denganmu saja.”
“Apa menurutmu ini benar?” Woojin menatap Jinyoung yang duduk di samping kirinya. Pemuda itu menatap murid-murid yang bermain sepak bola di lapangan.
“Itu yang harus kita pastikan.” Jinyoung menoleh ke kanan. Ia bertemu pandang dengan Woojin. “Apa kamu melihat Lee Taeyong dalam rekaman CCTV?”
“Rekamannya ada pada Sungwoon. Nanti aku bisa minta padanya untuk melihat ulang.”
“Aku berpikir sangat jauh setelah melihat kejadian itu. Apa mungkin Minhyun terlibat?”
“Minhyun?? Kenapa begitu??”
“Bisa saja ia bekerja sama dengan Lee Taemin, kan? Yang aku dengar, mereka punya hubungan baik karena sama-sama menjadi OSIS.”
“Lalu, apa yang mendorong Minhyun berbuat jahat pada Luna?”
“Aku hanya menduganya. Bukankah saling tidak menyapa menahun hanya karena tugas yang hilang itu tidak masuk akal?”
“Iya juga sih.”
“Kau juga pasti tahu jika hari ini Minhyun dan Rania jadi bahan obrolan murid-murid.”
“Aku di sana saat mereka berdua masuk kantin. Sepertinya Luna juga kaget.” Woojin teringat kejadian di kantin saat makan siang. Kedua mata sipitnya melebar. “Kamu pikir Minhyun mulai memanfaatkan Rania?” Ia menebak isi kepala Jinyoung.
Jinyoung mengangguk. Membenarkan tebakan Woojin. “Bukan kah itu masuk akal?”
Woojin menghela napas. “Kenapa jadi begini rumit?”
“Tolong rahasiakan ini dulu dari Luna juga yang lain. Dan, tolong pastikan apa Lee Taeyong ada dalam rekaman CCTV yang disimpan Sungwoon.”
“Kau punya rencana?”
“Sementara itu dulu.”
Woojin mengangguk paham.
“Bagaimanapun Luna harus tahu. Karena dia otak dari ini semua kan?”
Woojin kembali menoleh dan menatap Jinyoung.
“Dia selalu membuat skenario panjang untuk menangkap targetnya. Jika kali ini targetnya benar adalah Lee Taemin, sangat di luar dugaan.”
Woojin lagi-lagi menghela napas. Ia kembali menatap murid-murid yang bermain sepak bola di lapangan. Baik ia maupun Jinyoung sama-sama terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing.
***

Luna mengantar Rania. Taksi sudah menunggu gadis itu dan siap membawanya kembali pulang usai beberapa hari menginap di rooftop Luna.
“Besok gue ke sini lagi.” Rania memasukan tasnya ke dalam taksi. “Kira-kira kalau ada yang liat gue nginep sini trus kemarin tau peristiwa di kantin dan hari ini tau gue pergi, dia bakalan bikin gosipan apa lagi ya?”
“Harusnya kamu angkat kaki tadi malem. Biar lebih dramatis.”
Rania tersenyum mendengarnya. “Makasih ya, Cing. Suer kemarin gue kira loe marah liat gue jalan sama Prince.”
“Apa hakku buat marah?”
“Dia kan mantan loe!”
Luna tersenyum dan menggeleng. “Sebenarnya, bagiku sampai sekarang dia tetap teman baikku.”
“Loe baper karena gue semalem cerita tentang obrolan gue sama Prince?”
“Bukan aku yang baper, tapi kamu.”
Deg! Jantung Rania seolah terjun bebas ketika mendengar celetukan Luna. Sialan! Gue kenapa sih?!
“Ntar kalian latihan, kan?”
“Napa? Loe mau ikut?”
“Aku punya jadwal Sabtuan sendiri.”
“Dih. Sabtuan. Ya udah, gue cabut.” Rania masuk ke dalam taksi. Ia membuka kaca jendela taksi. “Cing, kalau besok gue nginep sini lagi boleh?”
“Kamu nambahin jatah pengeluaran hidupku aja.”
Rania tergelak. “Kita semua nginep tempat loe seru kali ya?”
“Kayaknya ntar mendekati festival bakalan kayak gitu deh.”
“Gue pengen nginep sama Linda. Dia mau nggak ya?”
“Udah pulang dulu sana. Bentar lagi aku ada jadwal!”
Rania berdecak. “Ya udah gue cabut.” Ia menutup kaca jendela taksi.

Luna tersenyum menatap taksi yang mulai bergerak menjauh, membawa Rania pergi. Ia pun menghela napas. Diam di tempatnya berdiri, masih menatap taksi yang berjalan menjauh sampai tak terjangkau oleh jarak pandangnya. Ia kembali menghela napas dan berbalik. Luna berjingkat kaget saat berbalik. Daniel sudah berdiri dekat di belakangnya.
“Bikin kaget aja!” Luna mundur selangkah.
“Harusnya kalau nggak mau Rania pergi, tahan dia!” Daniel menggoda.
Luna berdecak dan berjalan menaiki tangga. Daniel mengikuti di belakangnya.
“Kamu yakin nggak mau bikin video di sini aja?” Tanya Daniel yang berjalan di belakang Luna.
“Ada yang berbaik hati meminjamkan studionya untuk kita membuat video.” Luna menjawab sambil terus melangkah.
“Siapa? Park Jihoon?” Daniel sudah sampai di ujung tangga teratas. Masih berjalan di belakang Luna.
“Iya.”
“Beneran dia?” Daniel beralih ke depan Luna. Membuat gadis itu serta merta menghentikan langkahnya. Daniel menatap Luna, ia benar penasaran.
Luna tersenyum melihat ekspresi Daniel. Ia bergeser ke sebelah kiri dan membuka pintu rooftop, lalu masuk ke dalamnya.
“Luna-ya.” Daniel menyusul masuk.
“Kamu mau minum apa?”
“Aku nggak haus.”
“Kamu udah makan siang?”
“Udah. Eh, beneran Jihoon yang pinjemin studio buat kita?”
“Nggak lah. Aku sengaja nyewa. Buat kita.”
Daniel melongo. “Niat banget?” Ia memperhatikan Luna yang masuk ke dalam kamarnya. Ia pun duduk di sofa. Menunggu.
Luna keluar dan membawa sebuah kaos yang masih terbungkus plastik. “Mau pakai ini nggak buat bikin video nanti?” Ia memberikannya pada Daniel.
Daniel menerima pemberian Luna dan membukanya. “Wah, kaos?”
“Produknya oppaku. Sengaja aku minta kirim buat kamu pakai. Kalau kamu mau sih. Kalau nggak ya nggak papa.”
“Mau lah.” Daniel tiba-tiba melepas jaketnya.
“Eh! Ganti bajunya jangan di sini dong! Kamar mandi sana!” Luna langsung membalikkan badan, membelakangi Daniel.
Daniel tersenyum. Ia melepas kaos putih yang ia kenakan dan menggantinya dengan kaos hitam pemberian Luna. “Sudah selesai!” Ia bangkit dari duduknya dan berdiri.
“Beneran?”
“He’em.”
Luna pun membalikkan badan. Ia mengamati Daniel yang kini sudah mengenakan kaos yang tak lain adalah produk milik Aro, kakak sulungnya. Kaos dengan gambar tengkorak itu terlihat pas di tubuh Daniel.
Daniel mengamati dirinya sendiri, karena Luna hanya diam menatapnya. Ia merasa ada yang salah pada dirinya, hingga ia turut mengamati dirinya sendiri. Ia mengelus gambar tengkorak pada kaos yang ia kenakan. “Gambarnya beda dari kebanyakan yang pernah aku liat.”
“Maaf kalau kamu nggak suka. Itu desain oppaku sendiri. Itu kaos lukis, bukan sablon.” Luna membanggakan produk kakak sulungnya. Kaos berwarna hitam itu dihiasi lukisan tengkorak berwarna putih yang dipadu warna hijau hingga memiliki kesan mistis.
“Benar kah? Wah! Pantesan beda. Makasih ya. Aku suka kok.”
Luna tersenyum. Ia meraih tas ranselnya yang ada di sofa. “Kita berangkat sekarang?”
“Oke.” Daniel kembali mengenakan jaketnya. Kemudian mengikuti langkah Luna.

Luna dan Daniel berjalan berdampingan menuju halte bus. Selama perjalanan, mereka membahas konsep video yang akan mereka buat. Tak menunggu lama, bus pun datang. Keduanya bergegas naik. Melanjutkan obrolan di dalam bus. Perjalanan selama 30 menit itu tak membuat keduanya merasa bosan karena mereka terus membahas tentang konsep video.
Dari halte tempat bus berhenti, Luna dan Daniel kembali berjalan kaki menuju studio dance yang akan digunakan untuk membuat video. Lima belas menit berjalan kaki, mereka pun sampai di studio dance yang sudah disewa Luna. Luna memimpin masuk. Seorang pemuda menyambut keduanya. Lalu, mengantar mereka menuju studio dance yang sudah di booking lebih dulu.
Daniel terkesima ketika memasuki studio dance bernuansa coklat itu. Ia merasa berada di rumah kayu bernuansa modern. Lantai, dinding, dan langit-langit studio itu seolah terbuat dari kayu. Daniel tersenyum takjub.
Setelah mendengar penjelasan dari pemuda yang mengantarnya, Luna berjalan menghampiri Daniel yang terkagum-kagum mengamati studio dance tempatnya berada. Ia tersenyum melihat bagaimana ekspresi Daniel.
“Kita hanya punya waktu dua jam. Sulit sekali mencari jadwal kosongnya di akhir pekan seperti ini.” Luna berbicara demi mendapat perhatian Daniel.
“Tempat ini mewah sekali. Pasti mahal. Apalagi untuk akhir pekan.” Daniel yang selesai mengamati sekitar menghadap pada Luna.
“Benar sekali. Karenanya, ayo kita manfaatkan dengan baik.” Luna berjalan ke pinggir untuk meletakkan tas punggungnya.
Pemuda yang sebelumnya menyambut Luna kembali masuk. Ia meminta izin untuk memasang kamera yang akan digunakan untuk merekam video dance Luna dan Daniel.
Daniel buru-buru mendekati Luna. “Kenapa nggak pakek peralatan kamu sendiri?” Ia berbisik.
“Nggak sebagus punya mereka. Lagian ini udah sepaket kok. Aku dapat diskon.” Luna turut berbisik.
“Jangan-jangan kamu menghabiskan banyak uang untuk ini.”
“Tentu saja. Tempatnya aja sebagus ini. Demi kamu.”
Daniel tertegun mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Luna. Demi kamu. Kata itu kembali terngiang di telinganya. Membuatnya tersenyum tersipu.
Daniel terkejut ketika Luna tiba-tiba memasang sesuatu di kepalanya. Kedua matanya bergerak, sebuah topi warna hitam sudah menutupi kepalanya. Ia melepas topi itu dan mengamatinya. Topi dengan warna dasar hitam dan aksen gambar warna putih pada bagian crown-nya.
“Itu produk dari oppaku juga. Gambarnya sengaja dibuat mirip batik. Khas Indonesia.” Luna menjelaskan motif pada bagian utama topi.
Daniel tersenyum. “Ceritanya, kita promoin produk oppamu, nih?”
“Iya dong! Siapa tahu ntar kamu terkenal. Wah, Kang Daniel pernah pakai barang dari Indonesia lho! Kan aku bisa bangga.” Luna mengenakan topi pada kepalanya. Ia mengamati bayangannya di cermin. Yang membedakan topi yang ia kenakan dengan milik Daniel hanyalah pada motif.
Daniel kembali mengenakan topinya dan berdiri di samping kanan Luna. “Kita beneran couple, ya hari ini.” Ia turut mengamati bayangannya di cermin. Senada dengannya, Luna pun mengenakan kostum serba hitam. Kaos dan celana hitam. Sebenarnya Luna hanya memintanya memakai celana berwarna hitam, tanpa menyebut atasan yang harus dikenakan. Baru Daniel paham tentang permintaan itu. Luna telah mempersiapkan segalanya. Kaos hitam yang dikenakan Luna pun dihiasi gambar tengkorak.
Daniel tersenyum saat kembali menatap bayangan dirinya bersama Luna di dalam cermin. “Andai ini nyata.”
“Ini memang nyata.”
“Bukan. Tapi, kita. Andai kita benar-benar sebagai couple.”
Luna terdiam. Ia paham jika apa yang dikatakan Daniel adalah apa yang ada di dalam hatinya. Pemuda itu berharap mereka adalah pasangan yang nyata. Kemudian, Luna pun tersenyum. “Kita kan emang couple. Gombal couple.” Ia pergi dari sisi Daniel. Berjalan menuju pemuda yang sedang sibuk menyiapkan kamera.
Daniel tersenyum pada bayangannya sendiri. “Setidaknya, hari ini kita benar-benar couple.” Ia membetulkan topi yang menutupi kepalanya.
“Daniel, kita latihan dulu sebelum rekaman ya?” Luna bertanya dari tempatnya berada.
“Oke.”

Lagu The Chainsmokers feat. Halsey - Closer memenuhi studio. Luna dan Daniel mulai menari dengan gerakan dance yang dibuat Daniel. Latihan pertama berjalan lancar. Luna langsung meminta pemuda yang membantunya untuk merekam latihan kedua. Sayangnya di tengah dance, ia membuat kesalahan. Pada dance ketiga, ia pun kembali membuat kesalahan. Pada dance keempat, giliran Daniel yang membuat kesalahan. Couple dance berhasil direkam sempurna pada pertunjukkan ketujuh.
Luna terkejut karena Daniel tiba-tiba mengecup pundak kanannya saat gerakan dance pada bagian reff menjelang lagu berakhir. Untung saja ia tak membuat kesalahan karena terkejut, hingga proses rekaman video tak perlu di ulang lagi. Dance di akhiri dengan posisi Luna dan Daniel saling berhadapan, seolah saling berpelukan seperti pada cover lagu Closer.
Pemuda yang membantu proses rekaman bertepuk tangan. Ia memuji kemampuan menari Daniel dan Luna. Luna dan Daniel menjadi canggung satu sama lain. Keduanya tak lupa berterima kasih karena telah dipuji dan telah dibantu. Selama pemuda itu membereskan peralatan rekaman video, Luna dan Daniel duduk di pinggir untuk melepas lelah.
***

Video akan dikirimkan pada Luna melalui Email setelah proses editing. Proses rekaman video berjalan selama satu jam lebih sepuluh menit. Karena masih ada waktu tersisa, Daniel dan Luna masih bertahan di dalam studio yang sudah disewa untuk waktu dua jam itu.
Luna duduk menyelonjorkan kedua kakinya dengan punggung bersandar pada dinding. Lelahnya sudah hilang, tapi ia masih enggan beranjak. Ia tetap duduk seperti itu sedang kedua tangannya sibuk dengan ponsel. Sejak pemuda kru studio dance yang ia sewa pamit pergi, ia memilih menyibukkan diri dengan ponselnya. Berusaha mengalihkan rasa canggungnya pada Daniel.
Daniel juga duduk menyelonjorkan kaki di atas lantai. Ia menghadap Luna yang duduk menyandarkan punggung pada tembok. Ia meneguk sisa air mineral dalam botol yang dibawa Luna untuknya. Selain mempersiapkan kostum untuknya, gadis itu juga membawa bekal berupa air minum untuknya. Daniel sangat berterima kasih pada perlakuan baik Luna padanya. Namun, saat ini situasi terasa sangat canggung. Ia sadar itu terjadi setelah proses rekaman selesai. Setelah ia dengan sengaja mengecup pundak kanan Luna saat gerakan untuk reff menjelang lagu berakhir.
Saat itu Luna berdiri di depannya dengan posisi membelakangi dirinya. Daniel seolah-olah memeluk Luna dari belakang dalam gerakan itu. Terbawa suasana, ia pun tak menolak keinginannya untuk mengecup pundak kanan Luna. Sebuah kecupan kilat yang akhirnya sedikit ia sesali karena situasi berubah jadi begitu canggung.
Gomawo.” Suara Daniel memecah kebisuan di dalam studio. “Mianhae. Aku keterlaluan. Entah kenapa ketika tiba pada bagian on your shoulder, tiba-tiba aku melakukannya. Maafkan aku.” Daniel menatap Luna yang masih sibuk dengan ponselnya.
“Jujur aku kaget.” Jawab Luna. Tangannya yang sibuk memainkan ponsel berhenti.
Daniel menatap Luna dalam diam selama beberapa detik. “Mianhae.” Ia kembali meminta maaf. “Apa kau mau mengulangnya? Pasti akan jadi masalah jika kau menunggahnya.”
“Aku tidak berniat untuk mengunggahnya.”
Mwo?? Lalu untuk apa kau bayar mahal menyewa semua ini?” Daniel bingung.
“Proyek rahasia.”
Mwo??”
“Lagi pula, kalau diunggah, aku rasa nggak akan ada yang tahu itu kita. Wajah kita nggak kelihatan karena topi yang kita pakai, kan?”
Daniel tak bisa berkata-kata. Ia tak bisa paham pada apa yang dilakukan Luna. Tadinya ia berpikir Luna meminta bantuannya membuat video dance demi membuat konten untuk kanal Youtube-nya. Tapi, Luna mengatakan tidak berniat mengunggah video itu. Ia tak habis pikir, untuk apa Luna buang-buang tenaga dan uang demi proyek ini.
Nee? Chakkaman.” Luna berbicara dengan seseorang yang menelponnya. Ia pun bangkit dari duduknya dan berjalan cepat keluar dari studio. Meninggalkan Daniel sendirian.
Daniel menghela napas. Ia kembali mengamati studio tempatnya berada. Ia masih tak habis pikir pada apa yang dilakukan Luna. Menghabiskan uang untuk menyewa studio ini, tapi tak berniat mengunggah video yang mereka buat.

“Daniel, ada yang ingin bertemu denganmu.” Suara Luna membuyarkan konsentrasi Daniel yang sedang bermain game dalam ponselnya. Berada sendirian di dalam studio membuatnya bosan. Harusnya ia merasa senang karena bisa berada dalam studio itu. Hingga ia bisa melalukan dance apa saja karena masih ada waktu yang tersisa. Tapi, entah semangatnya hilang kemana. Ia lebih memilih duduk dan memainkan game saat menunggu Luna yang tiba-tiba pergi meninggalkannya.
Daniel menoleh, ia kaget melihat Luna kembali ke dalam studio bersama Daerin. Ia pun serta merta berdiri sampai hampir jatuh karena terkejut dan terburu-buru berdiri.
“Hati-hati!” Luna segera beralih ke samping kiri Daniel.
Daniel menyeimbangkan tubuhnya. Sedang kedua matanya masih terfokus pada Daerin yang berdiri jarak dua langkah di depannya.
Daerin terpaku di tempatnya berdiri. Akhirnya ia benar-benar bertemu, berhadapan dengan Daniel. Ia merasa gugup, sekaligus senang hingga tak mampu berkata apa-apa. Seongwoo yang sebelumnya berjalan di belakang Luna dan Daerin, maju dan berdiri di samping kanan Daerin. Bermaksud memberi dukungan.
Noon-noona?” Daniel menyapa dengan terbata.
Mendengar Daniel menyapanya lebih dulu, Daerin merasa hangat. Namun, sekaligus membuatnya terharu. “Kenapa kau memanggilku begitu? Kita kan seumuran!” Protesnya. Suaranya bergetar karena menahan tangis. “Sudah kubilang jangan panggil aku noona. Kita kan seumuran!” Daerin menundukkan kepala. Ia tak mampu membendung air matanya lagi.
Daniel pun maju dan memeluk Daerin. “Mianhae, Noona.”
Air mata Daerin tumpah. Ia menangis dalam dekapan Daniel. Meluapkan semua kerinduannya.
***

Luna dan Seongwoo duduk berdampingan. Menghadap pada Daniel dan Daerin yang duduk saling berhadapan. Mereka duduk berkumpul di atas lantai studio dance. Luna dan Seongwoo menonton Daniel dan Daerin yang melepas rindu satu sama lain.
Setelah puas menangis dalam pelukan Daniel, Daerin mengoceh, mengomeli Daniel yang tiba-tiba menghilang dan tak pernah menghubunginya lagi sejak orang tua Daniel berpisah. Daerin juga mengomeli Daniel karena tak menyapanya saat mereka berada di sekolah yang sama. Daerin mengomel masih dengan air mata berderai. Ia pun tak lupa meminta maaf karena tak berusaha menghubungi Daniel setelah perpisahan orang tua Daniel.
Sama seperti Daerin, Daniel pun meminta maaf karena ia tiba-tiba menghilang dan tak menghubungi Daerin. Ia menceritakan bagaimana kehidupan yang ia jalani pasca kedua orang tuanya berpisah. Ia meminta maaf karena terlalu takut untuk menyapa Daerin lebih dulu saat kembali bertemu di sekolah.
Melihat adegan dua saudara sepupu yang bisa kembali bertemu, saling meminta maaf, dan memperbaiki hubungan itu, Seongwoo turut menitikan air mata. Sambil memberinya tisu, Luna menggoda Seongwoo. Seongwoo ribut sendiri, mengomel pada Luna. Membuat Daniel dan Daerin kompak menatapnya. Dua saudara sepupu itu pun kompak menertawakan Seongwoo.
Luna, Seongwoo, Daerin, dan Daniel duduk berkumpul. Daerin menjelaskan bagaimana ia bisa berteman dengan Luna. Sama seperti reaksi Jihoon dan Seongwoo, Daniel pun terkejut. Tak menyangka jika Luna dan Daerin berteman baik.
“Pasti akan sangat menyenangkan jika kita bisa pergi keluar bersama-sama dengan bebas.” Seongwoo mengutarakan keinginannya.
“Sabarlah. Sebentar lagi.” Luna memintanya bersabar.
“Benar. Sedikit lagi. Setelah semuanya beres, aku dan Kucing Hitam sepakat untuk tidak menyembunyikan hubungan kami lagi.” Daerin mendukung jawaban Luna.
“Hubungan? Ya! Bahasamu itu!” Seongwoo protes, namun Daerin mengacuhkannya.
“Selain Seongwoo Seonbae, siapa lagi yang tahu tentang Noona dan Luna?” Daniel penasaran.
“Park Jihoon.” Jawab Daerin.
Daniel sudah menduganya. Karena hubungan palsu Luna dan Jihoon diketahui Daerin, ia yakin Jihoon pun pasti tahu tentang Daerin dan Luna.
“Itu gara-gara noonamu ini melabrakku. Karena insiden selingkuh di cafe itu. Jihoon dan Seongwoo jadi tahu tentang hubungan kami.” Luna segera mengumpat dalam hati. Karena, membicarakan hal itu kembali membuatnya teringat saat Jihoon tiba-tiba menciumnya setelah Daerin dan Seongwoo pergi. Berada bersama Daniel seperti saat ini, memunculkan rasa bersalah pada Jihoon. Ia membenci semua itu.
“Tapi, tidak apa-apa. Begini lebih baik. Aku sering kesepian di sekolah. Kadang aku berpikir ingin menghampirimu saja dan mengabaikan semua. Aku pun ingin seperti Bae Jinyoung yang kau angkat dari lingkaran bernama kesepian.” Daerin mengeluh.
Mianhae, Daerin-aa. Tunggulah sebentar lagi.” Luna meminta maaf dengan tulus. “Tapi, bukannya kau menikmati peranmu?”
“Ya, lumayan karena sukses berperan sebagai sosok antagonis. Tapi, kesuksesan itu membuatku kesepian juga. Manusiawi, kan? Jadi, ayo kita buka topeng kita. Secepatnya.”
Luna tersenyum tulus. “Tentu saja.”
“Nah, mereka mulai berteka-teki. Membuatku merasa bodoh dan nggak berguna.”, Seongwoo lagi-lagi protes.
Daerin dan Luna kompak menertawakannya.
Pemuda kru studio masuk dan memberi tahu jika waktu sewa sudah habis. Luna dan Daniel mempersilahkan Daerin dan Seongwoo pergi lebih dulu. Begitulah mereka mengakhiri pertemuan hari itu. Keluar dari studio dengan terpisah. Bagaimanapun Luna belum bisa membuka status pertemannya dengan Daerin ke publik. Walau pertemuan mereka bukan di sekolah, mereka tetap berhati-hati.
***

Dalam perjalanan pulang, Daniel lebih banyak diam. Tapi, ia juga banyak tersenyum. Luna turut senang melihatnya.
Daniel mengantar Luna sampai depan pintu rooftop. “Aku sangat berterima kasih untuk hari ini.” Ia berterima kasih dengan tulus. “Untuk semuanya. Kaos, topi, studio, juga Daerin. Terima kasih.”
Luna tersenyum dan mengangguk. “Beberapa kali Daerin berkunjung ke cafe, tapi ia tak punya keberanian untuk menyapamu. Ia bahkan tak mengatakannya padaku. Seongwoo yang  menceritakan semuanya. Tadi dia sempat marah saat tahu Seongwoo mengajaknya untuk bertemu dengan kita. Setelah Seongwoo membujuknya, akhirnya dia mau masuk bersamaku untuk bertemu denganmu. Karena itu, aku tadi cukup lama meninggalkanmu. Maaf ya.”
“Kenapa harus meminta maaf? Kamu nggak salah. Ah, Omma pasti sangat senang mendengar semua ini.” Daniel tersenyum karena membayangkan bagaimana ibunya akan bereaksi.
“Salam pada Tante.”
“Jangan hanya kirim salam. Omma selalu bertanya, kapan kau akan berkunjung lagi.”
“Sampaikan maafku karena masih sangat sibuk dengan kegiatan sekolah.”
Daniel tersenyum dan mengangguk. “Sudah masuk sana. Lekas istirahat. Besok masih harus berlatih, lagi kan?”
Luna mengangguk. “Kau akan bekerja setelah ini?”
Daniel mengangguk.
Luna menatap iba pada Daniel. Di saat ia bisa menikmati waktu istirahat setelah lelah karena proyek dance, Daniel masih harus bekerja. “Maaf dan terima kasih untuk hari ini.”
“Sudah masuk sana. Sebentar lagi gelap.”
Luna tersenyum. Ia berbalik, membelakangi Daniel, dan hendak memasukan kunci ke dalam lubang kunci. Luna terkejut hingga kunci di tangannya terjatuh. Daniel tiba-tiba memeluknya dari belakang.
Gomawo, Luna-ya. Saranghae.” Daniel berbisik dekat di telinga kanan Luna. Ia menyandarkan dagu pada bahu kanan Luna.
***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews