My 4D’s Seonbae - Episode #34 “Siapapun Punya Hak Untuk Jatuh Cinta.”
05:23
Episode #34 “Siapapun Punya Hak Untuk Jatuh Cinta.”
Jihoon diam dalam posisinya. Dekapan
Luna terasa hangat. Ia ingin membalas dekapan Luna, tapi gadis itu melarangnya membalikkan
badan.
“Gomawo.”
Luna kembali mengucap rasa terima kasih. “Terima kasih untuk tetap tinggal di
sisiku, melindungku. Maafkan aku yang egois.”
Jihoon menelan ludah. Rasa sakit
menghujam hatinya ketika mendengar Luna mengucapkan rasa terima kasih dan
permintaan maaf itu. “Apa kau benar-benar tidak bisa menyukaiku?” Tak menolak
keinginannya, Jihoon pun mengutarakan pertanyaan di benaknya.
Jihoon bisa merasakan Luna
menyandarkan kening di punggungnya. Ia pun tersenyum kecut. Ia yakin hingga
saat ini Luna tidak bisa menyukainya. Ia yakin yang ada di hati Luna adalah Daniel.
“Jujur aku tidak tahu.”
Jihoon terkejut mendengar jawaban
Luna. “Tid-tidak tahu?”
Luna bergumam mengiyakan. “Kehadiranmu
kadang membuat jantungku berdetub kencang. Tapi, aku tidak tahu apakah itu rasa
suka atau yang lainnya.”
Mulut Jihoon terbuka, hendak
mengatakan, Apa kau juga merasakan itu
saat Daniel bersamamu? Tapi, ia urungkan. Ia pun mengatupkan bibirnya
kembali.
“Mian.”
Jihoon kembali tersenyum kecut. “Mungkin
yang kau butuhkan hanya waktu. Waktu untuk mendapatkan jawaban dari apa yang
kau rasakan. Jangan khawatir. Aku tidak akan pergi dari sisimu. Maafkan aku
jika aku keterlaluan. Seperti ketika aku tiba-tiba menciummu. Maaf karena aku
tidak bisa menahan diri. Kadang aku merasa kita benar-benar seperti sepasang
kekasih. Bukan kah mencium kekasih sendiri itu wajar? Walau sebenarnya itu pun
butuh persetujuan dari kekasihmu. Maafkan atas semua itu. Aku akan lebih
berhati-hati dan menahan diri saat di dekatmu.”
Perlahan Luna menarik kedua
tangannya yang melingkari pinggang Jihoon. “Selamat malam, Jihoon-aa.”
Jihoon membalikkan badan. Ia melihat
Luna sudah berjalan menjauhinya, lalu masuk ke dalam rooftop, tanpa menoleh. Jihoon masih menatap pintu rooftop yang tertutup rapat. Ia kembali
membalikkan badan dan berjalan menuruni tangga.
Saat Jihoon duduk di kursi tengah
dalam mobilnya yang besar, ia merasakan ponselnya bergetar. Ia meraih ponsel
itu dan melihatnya. Pesan dari Rania masuk. Menepati janjinya, Rania mengirim
foto masa kecilnya bersama Luna.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi
terima kasih telah menjaganya dengan baik. Harapanku, yang terbaik untuk
kalian.
Jihoon tersenyum membaca pesan
Rania. Ia menghela napas panjang dan meminta sopirnya melajukan mobil.
***
Tatapan Luna yang sedang berdiri
menyandarkan punggung ke daun pintu tertuju pada Rania yang duduk di atas sofa.
Ia menatap tajam pada Rania.
Sadar dirinya diamati, Rania pun
bertanya, “Ngapain loe diem di depan pintu kayak gitu?” Walau berusaha santai,
Rania masih terlihat canggung.
“Ngintip, bintitan tahu rasa kamu!” Ujar
Luna sembari berjalan menuju dapur.
“Gue nggak…” Rania tak melanjutkan
pembelaannya. Ia menghela napas dan memperhatikan Luna yang sedang meneguk air
mineral di dapur. “Nggak papa kok, Cing. Semua orang berhak jatuh cinta.
Siapapun itu. Termasuk loe.”
Luna selesai dengan gelas berisi air
mineral di tangganya. Ia berjalan menuju sofa dan duduk di samping Rania,
membuat Rania canggung. Namun, ia hanya diam. Tak merespon ucapan Rania.
Rania memperhatikan Luna yang duduk
di samping kanannya. “Maafin gue. Habisnya loe lama banget di teras. Loe
beneran nggak baper sama sikap Jihoon? Gue rasa cewek manapun pasti bakalan
baper.”
“Jadi, detub jantung yang meningkat
itu cuman bawaan baper ya? Bukan jatuh cinta?”
Rania terdiam. Ia teringat momen
ketika Minhyun memintanya untuk mengabaikan kasak-kusuk murid saat di kantin.
Saat itu pun detub jantungnya tiba-tiba meningkat. “Iya. Kayaknya baper gegara
cogan doang.”
Luna menghela napas panjang. “Syukurlah
kalau cuman baper doang.” Ia merasa lega. “Tapi, baper bisa jadi awal cinta
nggak sih?”
Rania serta merta menoleh ke arah
kanan. Tiba-tiba ia merasa ngeri. Ngeri jika perubahan detub jantung yang ia
rasakan pun bisa berubah jadi rasa suka, lebih parahnya lagi cinta. “Mak-maksud
loe apa?”
Luna pun menoleh ke kiri. Ia bertemu
pandang dengan Rania. “Ekspresi kamu kenapa gitu, Cue?”
“Ekspresi gue kenapa?”
“Wajahmu memerah.” Luna memiringkan
kepala. Mencoba memahami arti dari ekspresi yang ditunjukkan Rania. Ia tak
berkata apa-apa lagi, bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar.
Rania menghela napas panjang. Lalu
menangkup pipi dengan kedua tangannya. Wajahnya memanas.
“Terakhir aku liat wajahmu memerah
gitu, pas kita berhasil buktiin kamu nggak salah lho! SD kelas berapa itu?” Kepala
Luna melongok keluar dari pintu kamar. Membuat Rania berjingkat kaget.
“Apaan sih loe, Cing! Bikin kaget
gue aja!” Rania bersungut-sungut karena kesal.
Luna menyeringai. “Nggak papa kok,
Cue. Semua orang berhak jatuh cinta. Siapapun itu. Termasuk loe.” Ia menirukan
apa yang dikatakan Rania padanya beberapa menit yang lalu.
“Siapa yang jatuh cinta! Dasar
kucing edan!” Rania bangkit dari duduknya dan bergegas menuju kamar Luna.
Namun, dengan cepat Luna menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
“Buka woy!” Rania menggedor pintu
kamar Luna.
“Ogah. Aku takut kamu smackdown.”
“Badan loe lebih gede dari badan
gue, Cing!”
“Do amat!”
“Ih! Nggak nyambung! Jawaban apaan
tuh?”
Luna tertawa. Ia menyadarkan
punggungnya pada daun pintu, seolah takut Rania akan mendobrak pintu kamarnya
yang terkunci. “Beneran kamu lagi jatuh cinta?”
“Siapa bilang?”
“Nggak ada. Cuman kenapa reaksimu
gitu banget waktu aku niruin ucapanmu?”
“Itu…” Rania tak melanjutkan
perkataannya. Ia diam dan menggigit bibir bawahnya.
“Apa pun itu, semoga kau dibuat
tersipu oleh orang yang tepat. Atau, sesuatu yang tepat, jika itu bukan karena
seseorang.”
Suasana berubah hening. Luna yang
berada di dalam kamarnya diam, menunggu balasan Rania. Namun, Rania yang berada
di luar kamar pun diam. Ia berusaha memahami tentang perasaannya sendiri.
***
“Kucing Hitam pergi bersenang-senang
dengan dua teman Indonesianya hari ini. Menyenangkan sekali bisa bergerak bebas
seperti itu.” Daerin menatap layar ponselnya dengan iri.
Seongwoo yang duduk di kursi
seberang tepat di hadapannya pun segera menatapnya. “Lagian ngapain kamu sama
Luna sembunyiin status pertemanan kalian?”
Daerin meletakkan ponsel di atas
meja. “Awalnya karena kami sama-sama canggung saat bertatap muka. Kemudian jadi
kebiasaan yang berguna.”
“Kebiasaan yang berguna?”
“Kebiasaan yang membawa keuntungan
bagi kami. Kami bisa membantu satu sama lain secara diam-diam.”
Seongwoo tersenyum mendengarnya. “Sebenarnya
aku penasaran tentang Luna dan Jihoon. Tapi, membahasnya di tempat umum seperti
ini bukan ide yang baik.”
Daerin melirik Seongwoo sekilas, saat
menyeruput matcha green tea latte
pesanannya.
“Terima kasih, karena masih
memberiku ruang untuk tetap berada di sisimu.”
“Karena sekarang seolah kamu
satu-satunya teman nyata yang aku miliki.”
Seongwoo tercenung sejenak, lalu ia
tersenyum. “Aku senang menjadi satu-satunya teman yang nyata itu.”
Daerin mencibir, lalu kembali
menikmati matcha green tea latte
miliknya.
“Aku berharap, suatu saat kita bisa
keluar sama-sama. Aku, kamu, Jisung, dan Luna.”
“Jisung sudah pernah pergi sama
Kucing Hitam!” Ada rasa kesal dalam ucapan Daerin.
“Iya? Kapan?”
“Bukannya fotonya diunggah sama
Jisung di komentar postingan yang nuduh Kucing Hitam selingkuh sama Daniel?”
Seongwoo diam sejenak,
mengingat-ingat isi kolom komentar yang ia baca. “Oh, itu ya.”
“Demi Guanlin dan Song Hami, katanya.
Lalu, ada Linda juga di sana. Tega sekali Kucing Hitam mengatakan semua padaku.
Bahkan, mengirim foto kebersamaan mereka padaku. Bukan hanya itu, Kucing Hitam
juga pernah mengirim foto Jisung dan Linda pulang bersama. Itu menyebalkan sekali!”
Seongwoo mengerjapkan kedua matanya.
Tak biasanya Daerin berbicara selancar itu tentang apa pun yang sedang
dirasakannya.
“Tahu dia bilang apa? Agar kau sadar bahwa Jisung tidak
menyukaimu!”
Seongwoo tersenyum samar. Dalam hati
ia membenarkan alasan Luna. “Jisung bukannya tidak menyukaimu. Hanya saja, dia
tidak bisa membalas rasa suka lebih dari rasa suka sebagai teman yang kamu
miliki untuknya. Jisung tetap menyukaimu, sebagai teman.”
Daerin menatap Seongwoo dengan
ekspresi kesal masih melekat di wajah ayunya. Walau menyakitkan, apa yang
dikatakan Seongwoo benar adanya.
Tak kuasa menerima tatapan tajam
Daerin, Seongwoo pun mengalihkan pandangannya. “Kang Daniel kenapa belum muncul
juga?” Ia mengamati Counter Desk yang
sedang dikerumuni beberapa pengunjung cafe.
“Kata Kucing Hitam, sejak foto itu
diunggah, Daniel lebih memilih jadi tukang cuci piring daripada melayani di
depan.”
“Pasti jadi beban. Harusnya dia
lebih percaya diri. Lalu, bagaimana? Kamu mau menemuinya dengan minta bantuan
pelayan cafe?”
“Nggak.”
“Trus, ngapain kita ke sini?
Duduk-duduk dan minum sambil ngobrol aja kayak gini?”
Daerin tertunduk. Jari-jari
tangannya mengelus gelas berisi matcha
green tea latte di hadapannya.
“Nggak papa. Aku senang kok bisa
nemenin kamu kayak gini. Tiap malam ke sini pun aku mau. Asal sama kamu.”
“Gombal!”
Seongwoo terkekeh. “Eh! Itu Kang
Daniel.” Ia menuding Daniel yang tiba-tiba muncul membawa nampan berisi pesanan
pengunjung cafe.
Daerin mengangkat kepala dan
mengikuti arah pandangan Seongwoo. Ia melihat Daniel sedang menyajikan pesanan
pengunjung ke atas meja. Ia tersenyum melihat bagaimana Daniel melayani
pengunjung dengan senyum dan keramahan di wajahnya. Selesai dengan itu, Daniel
kembali menghilang ke area khusus karyawan. Daerin menghela napas dan kembali
menghadap pada Seongwoo.
“Apa dia nggak mengenali kita?”
“Di antara padatnya pengunjung kayak
gini?”
Seongwoo menunjukkan senyum
polosnya.
“Berhenti berlagak sok polos
begitu!”
“Aku memang polos”
“Dih!”
Seongwoo terkekeh. Ia menghela napas
dan menatap Daerin yang kembali mengacuhkannya. “Kenapa kamu ragu?”
“Nggak ragu.”
“Kalau nggak, kenapa nggak langsung
nemuin Daniel?”
Daerin bergeming.
“Kalian saudara yang pernah
menghabiskan masa kecil bersama. Jika tidak ada yang memulai, aku rasa hubungan
kalian akan begini terus.”
Daerin masih bergeming.
“Mungkin, kau hanya belum siap.”
“Kapan aku bisa siap?”
“Hanya kau yang tahu.”
Daerin kembali diam.
“Atau, minta bantuan Luna saja.
Bagaimana? Luna kan dekat sama Daniel.”
Daerin mengangkat kepala, kembali
menatap Seongwoo.
“Bukannya aku tidak bisa. Tapi, aku
rasa lebih baik itu Luna.”
“Siapa juga yang mau minta
bantuanmu!”
“Kadang kita butuh perantara untuk
berbicara dengan seseorang. Itu wajar kok.” Seongwoo tersenyum manis.
Daerin diam. Namun, ia menimbang usul
Seongwoo. Mungkin, ia memang butuh bantuan Luna untuk menyambung kembali
hubungannya dengan Daniel.
***
Rania lebih banyak diam dalam
perjalanan ketika berangkat sekolah. Pagi ini Jihoon tidak muncul. Ia berangkat
bersama Luna dan Daniel. Hari ini pertama kalinya ia melepas celana olah raga
yang biasa ia kenakan bersama seragam sekolah. Luna membantu membuat rok
seragamnya menjadi sedikit lebih panjang dengan membawanya ke tukang jahit. Hal
itu pula yang Luna lakukan untuk membuat rok seragamnya tampak lebih panjang.
Rania diam bukan karena canggung tak
mengenakan celana olah raga lagi. Tapi, ia masih sibuk memahami tentang detub
jantungnya yang tiba-tiba meningkat ketika Minhyun berusaha menenangkannya. Ada
Jaehwan dan Jinyoung juga bersamanya. Tapi, hanya Minhyun yang menyadari
perubahan emosinya.
Masa iya Prince perhatiin gue? Nggak! Nggak mungkin! Mungkin
aja. Dia kan duduknya tepat di depan gue! Tapi, masa iya sih? Dia kan tipikal
cuek. Eh? Nggak juga sih. Bukannya kata Kucing dia orang yang baik dan perhatian.
Tapi, ini gue lho! Sohibnya Kucing. Masa iya dia perhatian ke sohib mantan
teman dekatnya yang sampai saat ini dia diemin? Mikir apa sih loe? Rania menggelengkan kepala. Ketika ia menoleh ke kiri, ia
mendapati Luna sedang fokus menatapnya. Ia mendesah dan kembali memalingkan
wajah. Kucing ngapain juga liatin gue
kayak gitu? Ia kembali bergumam dalam hati.
Ketika berjalan memasuki area
sekolah, Rania lebih banyak menundukkan kepala. Walau Luna membisikkan jika
banyak pasang mata yang memperhatikannya, Rania enggan mengangkat kepala sampai
kaki-kaki itu menghentikan langkahnya. Tiga pasang kaki bercelana.
Kening Rania berkerut. Kaki si Raja Kingkong? Batinnya. Ia
mengangkat pun kepala. Bukan Kim Jiyoon dan gengnya yang berdiri menghadangnya.
Tapi, tiga siswa senior yang ia ketahui sebagai pendukung Luna.
“Luna, apa benar kau mendapat surat
ancaman?” Seonbae yang berada paling
tengah menyapa Luna.
“Surat ancaman?” Luna terlihat tak
paham.
Rania mengerutkan kening.
“Iya. Aku dengar ada yang mengirim
surat ancaman ke dalam lokermu. Apa itu benar? Gila apa?! Mereka pikir kita ini
sedang syuting drama Boys Over Flowers
apa?”
“Apa surat itu seperti dalam drama Boys Over Flowers?” Sambung seonbae yang berdiri di samping kanan seonbae yang berdiri di tengah.
“Atau surat yang benar-benar berisi
ancaman?” Giliran seonbae yang berdiri
di sebelah kiri seonbae yang berdiri
di tengah berbicara.
Luna diam dan masih terlihat
bingung. Daniel yang berdiri di samping kanannya diam dan menyimak. Begitu pula
Rania yang berdiri di samping kirinya.
“Kami menerima sebuah pesan tentang
itu.” Seonbae yang berdiri paling
tengah berbicara dengan sedikit berbisik. “Ada di satu ruang chat yang
membahasnya.”
Kening Luna berkerut.
“Tidak apa-apa. Kami akan selalu
mendukungmu. Katakan apa yang bisa kami lakukan untukmu? Tapi, katanya
pelakunya sudah ketahuan ya?”
Luna bergeming.
“Keep
strong Mezzaluna! Kami akan membantumu sebisa kami.”
“Seonbae
bisa menemukan pelakunya?” Rania tiba-tiba angkat bicara.
Seonbae yang berdiri
paling tengah diam sejenak, terlihat jelas jika ia sedang berpikir sebelum
menjawab pertanyaan Rania. Lalu ia pun bergumam tak jelas. “Itu tidak mudah.
Tapi, sekecil informasi apa pun, akan aku sampaikan pada Luna.”
“Kamsahamnida,
Seonbaenim.” Luna menunduk sopan. “Kami sampai memeriksa rekaman CCTV.
Tapi, belum bisa yakin pada pelakunya. Butuh penyelidikan lebih lanjut.”
Rania dan Daniel kompak menoleh,
menatap Luna yang dengan lancar membocorkan proses penyelidikan.
“Wah… kalian sampai memeriksa
rekaman CCTV?” Seonbae itu terkesima.
Luna menganggukkan kepala. “Ha
Sungwoon dan teman-teman dalam Squad Moon
Kingdom sangat mengkhawatirkan aku. Mereka yang melakukannya. Bukan kah itu
terlalu berlebihan?”
“Anio!
Surat ancaman bisa diperkarakan secara hukum. Ayahku seorang pengacara. Ketika
tahu tentang surat ancaman itu semalam, aku langsung bertanya-tanya padanya.
Itu sama saja dengan tindakan membahayakan keselamatan orang lain. Pelaku bisa
dituntut atas tuduhan pengancaman itu.”
“Daebak!”
“Seonbae,”
Rania menyela. “Di ruang chat mana tentang surat ancaman itu dibahas?”
Seonbae yang berdiri di
tengah mencondongkan tubuh ke depan. “Sebenarnya, aku membuat grup khusus yang
isinya para pendukung Luna. Semalam, ada anggota yang membahas tentang surat
ancaman itu. Para anggota ribut dan geram. Mereka berjanji akan membantu.”
Rania terkejut mendengar penjelasan seonbae-nya. “Loe punya fansclub, Cing!”
Daniel pun sama terkejutnya.
Mulutnya sampai ternganga. Hanya Luna yang terlihat biasa saja mendengar hal
itu.
“Kau tenang saja, Luna. Kami akan
membantumu. Sebisa kami.” Seonbae
yang berdiri di tengah menyanggupi.
“Kamsahamnida,
Seonbaenim.” Luna kembali berterima kasih.
Seonbae itu tersenyum
puas. “Semoga harimu menyenangkan, Luna.” Ia pun pergi diikuti kedua temannya.
“Cing, kali ini apa lagi?” Rania
menghadap Luna setelah tiga seonbae
itu pergi.
“Apanya?” Luna balik bertanya.
Daniel diam dan menyimak dua gadis
yang ngobrol dengan menggunakan bahasa negara asal mereka itu.
“Fansclub
itu! Trus tentang surat ancaman yang kesebar, loe sengaja? Loe sama sekali
nggak kaget denger itu semua. I know
loe emang paling pinter pura-pura, tapi kali ini apa lagi?”
“Semoga harimu menyenangkan, Cue!” Luna
meninggalkan Rania bersama Daniel.
“Apa-apaan sih Kucing!” Rania kesal.
Ia lalu menatap Daniel yang masih berdiri di tempatnya. Ia menghela napas
dengan kasar, kemudian berjalan pergi meninggalkan Daniel.
Daniel masih di tempatnya berdiri.
Ia menatap punggung Luna yang sudah semakin jauh darinya. Lalu, beralih pada
Rania yang berjalan beberapa langkah di belakang Luna. Ia pun tersenyum dan
menggeleng pelan. Lalu kembali berjalan menuju kelasnya.
***
Rania terkejut saat memasuki
kelasnya. Minhyun sudah duduk di kursinya. Ia menoleh saat Rania masuk ke dalam
kelas. Senyum canggung terkembang di wajah Rania saat ia bertemu pandang dengan
Minhyun. Tanpa ia duga, Minhyun membalasnya dengan sebuah senyuman tulus.
Minhyun mengamati Rania yang masih
berdiri di dekat pintu. “Wah, bukan Nona Celana Olah Raga lagi ya?” Ia
mengomentari penampilan baru Rania.
Rania tersipu. Berjalan menuju
tempat duduknya dengan malu-malu. “Berkat Kucing. Eh, Luna.” Ujarnya saat ia
duduk di atas bangkunya.
“Dia selalu menemukan solusi ya.”
“Begitulah.”
Suasana hening selama beberapa
detik.
“Aku harap kamu nggak akan merasa
sungkan di depanku.” Minhyun kembali bicara. “Karena, yang lebih pantas merasa
sungkan adalah aku.”
Rania mengerjapkan mata. Lalu,
menatap Minhyun yang memutar posisi duduknya hingga menghadap padanya. Prince kesurupan apa ya? Kenapa dia jadi
banyak omong gini? Ia membatin keheranan.
“Kalau boleh jujur, tentang aku dan
Luna, aku lah yang paling pantas disalahkan.”
Baru nyadar loe ya? Perkara tugas ilang aja ngambeknya
tahunan. Padahal tugasnya udah diganti sama Kucing. Dia kan udah tanggung
jawab. Loenya aja yang sok! Jadi cowok gitu banget sih! Rania merapatkan bibirnya. Walau ia mengoceh dalam hati,
ada rasa bersalah usai melontarkan isi pikirannya.
Minhyun menghela napas. “Memang aku
yang bersalah. Dan, jujur saja aku merasa nggak enak setiap kali berhadapan denganmu.
Tapi, mau bagaimana lagi? Kita sedang terlibat proyek kerjasama yang nggak bisa
kita hindari. Kenapa Tuhan mengaturnya demikian? Apa kamu nggak punya
pertanyaan seperti itu juga?” Ia menatap Rania lebih serius.
Hanya sebuah anggukan kepala yang
diberikan Rania sebagai jawaban.
Minhyun kembali mendesah. “Apa ini
solusi yang diminta Luna pada Tuhan?” Ia memiringkan kepala. “Tapi…” ia tak
melanjutkan.
Tapi, apa? Rania
hanya bersuara dalam hati.
“Tapi, apa dia punya keinginan untuk
berbaikan denganku?” Minhyun akhirnya menyelesaikan kalimatnya.
Rania terkejut mendengar pernyataan
Minhyun. Yang ia tahu tentang sosok Minhyun adalah seorang pemuda yang tidak
mudah akrab terlebih dengan orang asing. Tapi, pagi ini sikapnya berubah. Tiba-tiba
banyak bicara dan terlalu jujur. Hal itu membuat Rania heran. Bersamaan dengan
itu, detub jantungnya kembali meningkat.
Sialan! Apaan lagi sih ini? Wajar lah dia curcol soal
Kucing. Kan Kucing sohib kentel gue! Terang aja dia curcol masalah tahunan dia
sama sohib gue ke gue. Tapi, kenapa gue jadi deg-degan gini? Rania menggigit bibir bawahnya.
“Ngapain kalian duduk berduaan di
kelas?” Jaehwan masuk ke dalam kelas. Jinyoung ada di belakangnya.
Minhyun menanggapi dengan datar.
Rania pun berusaha cuek, tapi wajahnya tak mau kompromi. Ia merasakan panas di
wajahnya. Ia yakin pasti wajahnya kini bersemu merah.
Jaehwan serta merta berhenti di
dekat Rania dan mengamati gadis itu. “Wah, benar! Sudah bukan Gadis Celana Olah
Raga lagi.” Ia berkomentar sama dengan Minhyun.
“Apaan sih!” Rania merasakan panas
di wajahnya semakin meningkat.
“Kau membuatnya malu. Berhenti
menggodanya.” Jinyoung menegur Jaehwan.
“Murid-murid ramai membicarakannya.
Kan aku jadi penasaran. Ternyata benar.” Jaehwan membela diri.
“Kamu cowok kenapa demen dengerin
gosip sih?” Rania mengkritik pembelaan Jaehwan.
“Aku nggak mau dengar. Tapi, hampir
semua murid ngomongin kamu sama Luna.”
“Soal surat ancaman itu, beneran
ya?” Jinyoung langsung bertanya pada Rania.
Rania menganggukan kepala.
“Aku heran pada salah satu anggota
di ruang chat itu. Dia nggak pernah aktif. Sekalinya aktif, langsung membahas
tentang surat ancaman.” Jaehwan seolah berbicara dengan dirinya sendiri.
Membuat Minhyun, Rania, dan Jinyoung kompak menatapnya.
“Ruang chat?” Tanya Minhyun.
“Kamu gabung grup itu?” Rania
menyambung.
“Grup apa?” Jinyoung beralih menatap
Rania.
“Fansclub
Luna.”
“Fansclub
Luna? Ada ya? Dan, Jaehwan bergabung?” Jinyoung ganti menatap Jaehwan.
Jaehwan menghela napas. “Hanya
penasaran. Kenapa ada ruang chat itu? Kupikir isinya para pembenci Luna.
Ternyata benar-benar pendukungnya. Rania, kamu kok tahu? Kamu gabung juga?”
Jaehwan menatap Rania.
“Tadi pagi pendirinya mencegat kami.
Itu seonbae yang selalu mendukung
Kucing, eh Luna.” Rania berkata jujur.
“Emang dia sih yang buat.” Jaehwan
membenarkan. “Sayang web sekolah sekarang sedikit longgar. Murid bisa pakai ID
bukan nama asli. Kan susah melacaknya.”
Murid-murid mulai memasuki kelas. Membuat
kelompok kecil yang merupakan teman Luna itu merasa tak nyaman untuk lanjut
mengobrol. Terlebih beberapa teman sekelas mereka terang-terangan menatap penuh
selidik pada mereka. Minhyun, Jaehwan, dan Jinyoung pun memilih untuk kembali
ke tempat duduk mereka.
Rania meraih ponselnya, namun batal
menghubungi Luna. Sebenernya, permainan
apa lagi yang loe buat, Cing? Siapa sih yang loe kejar? Ia bergumam dalam
hati.
***
Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan
Woojin berkumpul di sekitar Luna yang sudah duduk di bangkunya. Jisung baru
saja selesai mengoceh, mengomeli Luna perihal menyebarnya berita tentang surat
ancaman yang selama ini berusaha mereka rahasiakan.
“Ya, kenapa harus takut? Luna punya
buktinya. Kalau pihak Tata Tertib memanggil Luna karena rumor di antara murid
itu, Luna tinggal tunjukkan buktinya, kan? Menurutku mereka nggak akan ambil
tindakan.” Sungwoon mementahkan kekhawatiran Jisung. Jisung khawatir pihak
sekolah akan memanggil Luna karena tersebarnya tentang surat ancaman itu.
“Palingan mereka akan ambil tindakan
kalau dirasa merugikan sekolah. Selama hanya di kalangan murid, sekolah pasti
tidak akan menanggapi serius. Apalagi hanya untuk murid asing tanpa prestasi
mengharumkan nama sekolah sepertiku. Jadi, jangan terlalu khawatir.” Luna turut
menenangkan.
“Sesekali kita yang melempar umpan
untuk lawan kan nggak papa. Siapa tahu kali ini kita beruntung.” Woojin turut
memberi dukungan. “Tapi, apa benar ruang chat khusus untuk mendukungmu itu
ada?” Ia kembali fokus pada Luna.
“Buktinya ada.”
“Kira-kira yang mulai menyebarkan
rumor di sana siapa ya?” Sungwoon penasaran.
“Jadi, itu bukan ulah kalian?” Jisung
menatap Sungwoon, lalu Woojin.
“Kami baru saja merencanakannya,
tapi tiba-tiba pagi ini sudah heboh.”
Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan
Woojin kompak menatap Luna. Walau diserang tatapan yang menuntut kebenaran itu,
Luna tetap tenang.
“Diam dan tunggu saja bagaimana
reaksinya. Tapi, tetap pasang mata dan telinga dengan tajam. Jika ada
pergerakan aneh, tolong awasi lebih lanjut. Aku membutuhkan bantuan kalian.” Luna
memohon.
Jisung menghela napas. “Semoga rencana
kita kali ini berhasil.”
“Aku merinding.” Seongwoo mengelus
kedua lengannya. “Kita seperti detektif yang akan mengungkap sebuah kasus
saja.”
“Memang begitu kan?” Woojin
menyeringai.
“Eh, Seongwoo. Kamu kan anak Klub
Fotografi, rasanya nggak aneh kalau kamu kemana-mana bawa kamera dan memotret
apa aja. Inget soal foto candid kita
di kebun Kakek Sungwoon? Kamu dapat banyak pujian, kan?” Luna fokus pada
Seongwoo.
“Kamu mau aku melakukannya lagi?”
Luna mengangguk antusias.
“Obyeknya?”
“Apa pun yang menurutmu mencurigakan.
Turuti saja instingmu.”
“Apa aku bisa?”
“Pasti bisa!”
“Baiklah.” Seongwoo tersenyum lebar.
Ia merasa percaya diri dan bersemangat karena Luna memberinya tugas khusus.
“Jisung, Sungwoon, dan Woojin lebih
paham pada apa yang harus dilakukan, kan?”
“Aku akan menggunakan telingaku
untuk mencari informasi.” Jisung menyanggupi.
“Terima kasih, teman-teman.” Luna
tersenyum tulus.
Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan
Woojin membalas senyum. Mereka membubarkan diri saat murid-murid mulai memasuki
kelas. Keempatnya kembali ke tempat duduk masing-masing. Luna menghela napas
panjang. Ia menatap pemandangan di luar jendela.
***
Jihoon sedang sibuk dengan ponselnya
ketika Daehwi dan Joohee menghampirinya di kelas.
“Tentang surat ancaman itu benar?
Kamu tahu? Atau nggak?” Daehwi langsung memberondong Jihoon dengan pertanyaan.
Jihoon mengangkat kepala, menatap
Daehwi dalam diam.
“Ya! Jihoon-aa! Kamu nggak khawtir
apa? Noona dapat surat ancaman. Tega
sekali. Siapa pelakunya? Katanya sudah diketahui, tapi masih menunggu bukti lebih
lanjut untuk ditangkap ya?”
Jihoon masih diam.
“Seonbaenim
di ruang chat mengatakan itu bisa diperkarakan secara hukum. Kalau Noona menemukan bukti, dia bisa menyeret
pelaku ke ranah hukum.”
“Kalian berpikir sejauh itu?” Jihoon
tak terlihat terkejut.
Daehwi menghela napas dengan kasar.
“Aku yakin kamu pasti sudah tahu. Kamu nggak khawtir apa?”
“Apa rasa khawatir harus ditunjukkan
ke semua orang?”
“Iya juga sih.” Daehwi membenarkan
ucapan Jihoon. “Bagaimanapun juga, aku akan membantu sebisaku untuk menemukan
pelaku. Kau, tolong jaga Noonaku
dengan baik!” Daehwi kemudian pergi dari kelas Jihoon.
Joohee masih bertahan di tempatnya
berdiri. Jihoon menatapnya, lalu berkata, “Jangan khawatir. Semua baik-baik
saja.”
Joohee tersenyum tulus. “Saya
percaya Park Jihoon bisa menjaga Luna Seonbae
dengan baik. Walau tidak bisa membantu apa-apa, saya akan terus berdoa agar
pelaku segera ditemukan.”
Jihoon membalas senyum. “Gomawo.”
Joohee kembali tersenyum. Lalu,
berjalan menuju bangkunya.
Jihoon menghela napas panjang. Kenapa masalah itu harus dibawa ke ruang
publik? Kali ini apa rencanamu? Ia bergumam dalam hati.
Dikelasnya, Daniel, Linda, dan
Guanlin duduk berkumpul menunggu jam pelajaran pertama dimulai. Sama seperti
murid kebanyakan, mereka pun membahas tentang surat ancaman yang diterima Luna
dan tiba-tiba dibawa ke ruang publik. Ketiganya berharap pelaku bisa segera
ditemukan dan Luna tidak mendapatkan masalah lebih serius lagi.
***
Luna duduk di taman ditemani Woojin.
Mereka hanya duduk dan mengamati murid-murid di sekitar mereka.
“Sungguh aku berharap ada yang
datang dan memaki-makiku setelah rumor itu dibawa ke ruang publik.” Luna
memecah keheningan.
Woojin tersenyum. “Kalau semudah
itu, aku pasti sangat senang. Masalah itu dikaitkan dengan persoalan hukum,
yang ada pelaku semakin takut.”
“Aku nggak tahu kalau Seonbae itu anak pengacara.”
“Kamu kurang jeli dalam mengumpulkan
informasi.”
“Benar sekali.”
“Lalu, siapa yang menyebarkan rumor
itu di ruang chat pendukungmu?”
“Kalau aku katakan itu aku, apa kamu
bakal percaya?”
“Bisa aja sih. Tapi, kapan kamu
punya waktu luang untuk bermain-main di ruang chat itu?”
“Bisa aja kalau dipaksakan. Untung
saja ID untuk masuk ruang chat bisa pakai nama samaran.”
“Jadi itu kamu?”
“Bukan. Aku malas berlama-lama
menyimak obrolan orang.”
“Aku tahu itu bukan kamu.”
Luna tersenyum. Sepasang matanya menangkap
Jaehwan dan Jinyoung yang pergi bersama. “Cue nggak sama mereka?” Ia bergumam.
“Kenapa?” Woojin pun mengikuti arah
pandangan Luna. “Oh, Rania ya?”
Luna mengangguk.
“Aku yakin kamu pasti sudah
memperhitungkan semuanya sebelum benar-benar mengambil jalan ini. Harusnya kamu
nggak perlu khawatir. Setelah melihat Rania waktu itu, aku yakin dia bisa
menjaga dirinya dengan baik.”
“Hanya saja dia belum paham betul
bagaimana SMA Hak Kun.”
“Luna-ya, jangan meremehkan Rania.
Dia bukan anak kecil lagi.”
Luna menghela napas panjang. “Benar
sekali. Dibanding ini semua, yang membuatnya paling tertekan aku rasa adalah ia
sekelas dengan Minhyun.”
Woojin ikut menghela napas panjang.
“Aku setuju denganmu. Kapan Minhyun akan berhenti bersikap kekanak-kanakan
seperti itu? Hanya gara-gara tugas dia ngambek tahunan.”
Luna tersenyum kecut. “Selalu ada
alasan di balik sebuah alasan.”
Woojin menoleh ke arah kiri demi
melihat wajah Luna yang duduk di sampingnya.
“Seringnya, apa yang kita ucapkan
bukanlah apa yang benar-benar kita rasakan. Semua orang pernah melakukannya.
Membuat satu alasan demi menutupi alasan lainnya agar kenyamanan yang mereka
harapkan. Kita semua, pasti pernah melakukannya. Walau hanya sekali.”
Woojin mengamati Luna yang menatap
lurus ke depan namun terlihat kosong. Menerawang jauh entah kemana. Ia berusaha
menyelami apa yang tersembunyi di balik ekspresi Luna itu.
“Ah! Aku lapar. Ayo kita makan!”
Luna bangkit dari duduknya.
“Tidak apa-apa jika melakukannya
sekali saja. Terkadang kita memang butuh berpura-pura. Tapi, jangan sampai itu
menjadi sebuah kebiasaan. Membuat satu alasan demi menutupi alasan lainnya.
Bukan kah itu sama artinya dengan hidup dalam kebohongan?”
Luna tersenyum. “Benar sekali. Tapi,
kadang sebuah kebohongan memang dibutuhkan demi menemukan kebenaran yang
sebenarnya. Ah, kenapa aku jadi lapar sekali?” Luna mulai berjalan.
Woojin menatap punggung Luna yang
berjalan meninggalkannya. Ia tersenyum, lalu bangkit dari duduknya, dan berlari
mengejar Luna. “Kalau kebohongan itu demi sebuah kebaikan, mari kita lakukan
sama-sama.” Ujarnya saat berhasil mengimbangi langkah Luna.
“Bohong itu salah lho! Katanya lebih
baik jujur walau sangat menyakitkan.”
“Tapi, kadang menjadi jujur malah
nggak memberi solusi.”
“Kita ngomongin apa sih?”
Luna dan Woojin tertawa bersama.
Sambil terus berjalan menuju kantin.
Sesampainya di kantin, Luna dan
Woojin mengantre untuk mendapatkan makan siang. Kantin memang sudah agak sepi,
tapi untuk mendapatkan makan siang, keduanya masih harus berbaris mengantre.
Selesai mendapatkan makanan, Luna melihat dua orang pemuda yang duduk di pojok
dan melambaikan tangan padanya. Luna mengajak Woojin menuju tempat Jisung dan
Sungwoon duduk.
“Seongwoo mana?” Tanya Luna saat ia
duduk bergabung.
“Sibuk sama tugas yang kamu beri?” Sungwoon
menebak.
“Palingan sibuk sama Daerin.” Gantian
Jisung menjawab.
Luna tersenyum mendengar jawaban
Jisung.
“Kalian berdua dari mana?” Gantian
Sungwoon bertanya pada Luna dan Woojin.
“Duduk saja di taman sambil mengamati
sekitar. Aku nggak percaya kami melakukannya selama setengah jam.” Woojin
menggeleng heran.
“Bisa juga ya kamu duduk anteng?
Padahal biasanya kamu nggak bisa diem.” Jisung mengomentari jawaban Woojin.
“Demi Luna, apa sih yang nggak.” Woojin
tersenyum lebar hingga gigi gingsulnya kelihatan.
“Woy! Dia udah punya pacar. Sadar!”
Sungwoon tersenyum kecut sambil
melirik Luna.
“Teman-teman, baru aja aku
menyadari, betapa bahayanya kita tadi ngobrol di kelas. Tentang rencana kita.
Di kelas kan ada CCTV.” Jisung mengubah topik.
“Di sini juga ada tahu!” Woojin yang
pertama merespon.
“Bagaimana kalau pelaku juga
memeriksa rekaman CCTV untuk mengetahui gerak-gerik kita?”
“Jisung-ssi, kamu berlebihan
sekali.” Gantian Sungwoon yang memberi respon.
“Kalau itu terjadi, aku malah
bersyukur.” Luna yang terakhir memberi respon dan sukses membuat ketiga
rekannya kompak menatapnya.
“Kok malah bersyukur sih?” Jisung
heran dengan jawaban Luna.
“Setelah memeriksa rekaman CCTV, aku
terus kepikiran. Dua kali aku merepotkan petugas di ruang pengawasan. Pertama
untuk kasus Jinyoung, kedua untuk masalahku sendiri. Satu sore aku mengunjungi
ruang pengawasan untuk minta maaf dan berterima kasih. Kalian tahu apa kata
Ajushi yang bertugas?”
Jisung, Sungwoon, Woojin semakin
fokus menaruh perhatian pada Luna.
“Ya, baiklah. Pergi sana!”
Jisung, Sungwoon, dan Woojin kompak
menunjukkan ekspresi kesal mendengarnya.
“Kupikir dia akan berkata tentang
hal manis padamu seperti, Tak apa Nak.
Datang lah kembali kalau kau butuh bantuan. Ternyata hanya, Ya, Baiklah. Pergi sana! Tsk! Apa itu?” Jisung
meluapkan kekecewaannya.
“Besoknya, Ajushi sengaja menungguku
usai kegiatan.” Luna melanjutkan bercerita. “Dia berkata, Hey, Nak! Istriku menyumai makanan asal Indonesia yang kau beri.
Ramennya enak sekali. Terima kasih ya. Kalau butuh bantuan, katakan saja. Ya?
Itu sama sekali tidak mengangguku.”
Jisung, Sungwoon, Woojin kembali
seperti dikomando. Kompak menatap Luna. Kali ini mereka menunjukkan ekspresi
tak percaya.
“Jeongmalo?”
Sungwoon tak percaya.
“Kamu nggak hanya ingin menghibur
kami, kan?” Jisung pun sama.
“Bagaimana makanan bisa merubahnya?”
Woojin pun menunjukkan reaksi yang sama.
“Ada kalanya untuk mendapatkan hati
seseorang, kita perlu merawat perutnya dengan baik. Hanya makanan dari
Indonesia yang aku punya. Aku pikir itu tidak akan berhasil, tapi itu bekerja.
Tuhan berpihak padaku.”
“Wah. Apa itu artinya pertanda baik
bagi kita?” Sungwoon dengan wajah berseri.
“Aku harap begitu. Tadi pagi aku
menyempatkan diri mengunjungi beliau. Aku katakan apa yang terjadi. Lalu, aku
benar-benar minta tolong pada beliau. Jika nanti ada yang meminta rekaman CCTV
kelas kita, beliau akan melaporkannya padaku.”
“Woa! Luna, kamu benar-benar…” Jisung
menggelengkan kepala lalu memberikan dua jempolnya untuk Luna.
“Bagaimana kau berpikir sejauh itu?”
Woojin penasaran.
“Tidak ada. Aku hanya berterima
kasih dan meminta maaf. Tidak menduga jika akan begini berguna bagi kita. Jika
rumor itu tersebar, termasuk tentang kita yang memeriksa rekaman CCTV, tidak
menutup kemungkinan jika pelaku penasaran pun akan melakukan hal yang sama.
Untuk memastikan apakah dia benar-benar terekam kamera. Atau, bisa jadi dia
sudah bertindak sebelum kita. Tapi, Ajushi mengatakan hanya kita yang memeriksa
rekaman CCTV di kelas kita.”
“Kamu ada bakat jadi detektif ya?”
Jisung terkagum. “Eh, itu Linda. Linda!” Jisung mengangkat tangannya dan
melambaikannya. Ketika Linda melihatnya, ia meminta gadis itu bergabung di
mejanya. “Nggak papa kan?” Ia baru meminta persetujuan ketiga rekannya usai
mengundang Linda.
“Biarin aja. Dia lagi kasmaran.” Luna
meminta Sungwoon dan Woojin mengizikan Linda bergabung.
“Lagi pula gadis itu bersama Daniel
dan Guanlin. Bagaimana kami bisa menolak?” Balas Sungwoon.
Luna hanya tersenyum menanggapinya.
Linda yang makan siang bersama
Daniel dan Guanlin pun akhirnya duduk bergabung di meja Jisung. Senior dan
junior itu pun makan siang bersama.
“Eh? Rania makan siang sama
Minhyun?” Jisung kembali berceletuk. Membuat semua yang ada di mejanya
mengangkat kepala dan menatap ke arah pintu masuk. Minhyun dan Rania berjalan
bersama memasuki kantin, kemudian bergabung dalam barisan untuk mengambil makan
siang.
***
Kelas sudah kosong, tapi Rania
enggan beranjak dari tempat duduknya. Ia menolak ajakan Jaehwan dan Jinyoung
untuk makan siang bersama. Ia memilih tetap di kelas, duduk di bangkunya
sembari menatap keluar jendela. Segala sesuatu tentang Luna memenuhi
pikirannya.
Sebenernya siapa sih yang mau loe tangkep, Cing? Waktu loe
belain gue, loe juga bikin skenario panjang sampai pelaku masuk jebakan loe dan
ngaku kalau dia yang nyuri uang dan fitnah gue. Rania menghela napas panjang. Saat ia menghadap ke depan,
ia berjingkat karena kaget. Minhyun sudah duduk di kursi tepat di depannya dan
menatapnya.
Ini orang kenapa tiba-tiba di sini sih?! Rania mengumpat dalam hati.
“Melamun itu bikin nggak fokus.” Ujar
Minhyun.
Rania tersenyum kikuk.
“Kamu nggak makan siang?”
“Ntar aja.”
“Kepikiran Luna ya?”
Rania menatap Minhyun dalam diam. Ini orang kenapa hari ini bahas Luna mulu
sih?
“Bukankah dia seharusnya berhenti
bersikap seperti itu? Membuat dirinya sendiri kerepotan demi orang lain.”
Rania masih bungkam. Hanya kedua
matanya yang bergerak, sesekali berkedip saat menatap Minhyun.
“Mianhae.
Sepertinya sikapku mengganggumu.”
“Anee.
Hanya sedikit aneh melihatmu jadi sedikit banyak bicara.”
“Aku hanya ingin membuat suasana
lebih akrab di antara kita.”
“Demi proyek itu ya? Tenang aja.
Kita pasti bisa rileks saat di panggung nanti.”
“Yakin?”
Rania diam sejenak. “Nggak sih.”
Minhyun tersenyum samar. “Makanya
kita harus membangunnya mulai sekarang.”
Oh, jadi karna proyek itu? Sialan! Kenapa jantung gue malah
deg-degan? Kegeeran sih loe! Rania
melirik sinis. “Tentang Kucing, anu maksudku Luna, bukankah dia udah berusaha
memberi penjelasan ke kamu? Jadi, sebenernya yang nggak mau baikan itu kamu apa
Kucing? Eh, Luna!”
Minhyun tertegun karena serangan
tiba-tiba yang dilancarkan Rania.
“Tadi pagi, bukannya kamu ngomong,
apa Luna punya keinginan baikan sama kamu. Sebenernya, yang nggak punya
keinginan baikan itu kamu apa Kucing?” Rania tak lagi meralat bagaimana ia
memanggil Luna.
“Itu…”
“Kalau nggak mau baikan ya nggak
papa sih! Toh ini cuman karena proyek, kan? Jadi, nggak usah bawa-bawa Kucing.
Dia nyantai aja kok. Dia lega karena aku dapat pasangan kamu. Kata dia, kamu
orang baik yang nggak akan jahatin aku.”
Mulut Minhyun masih membulat karena
ucapannya yang belum terselesaikan, sebab Rania tiba-tiba memotongnya. Ia pun
mengatupkan bibirnya. Ia tak tahu harus berkata apa pada Rania. Tujuan awal ia
mulai mengakrabi Rania adalah karena proyek duet mereka. Tapi, langkah yang ia
ambil kurang tepat dan membuat Rania salah paham.
Rania bangkit dari duduknya.
“Kamu mau ke mana?”
“Ke kantin. Makan. Ngobrol sama kamu
aku jadi laper.”
Minhyun turut bangkit dari duduknya.
“Kita makan siang bareng.”
Rania menatap Minhyun. Heran pada
sikap pemuda itu. Tapi, ia memilih untuk masa bodo dan membiarkan Minhyun
berjalan di sampingnya.
Sepanjang perjalanan menuju kantin,
Minhyun dan Rania menjadi pusat perhatian. Bahkan, Rania sempat mendengar
kasak-kusuk di sekitarnya. Tapi, ia berusaha keras untuk bersikap cuek dan
tetap memposisikan kepalanya lurus menatap ke depan. Tidak menunduk.
Apa yang loe lakuin sih Cue? Caper? Duh! Tapi, ini kan nggak
salah. Gue sama Prince teman sekelas. Kalau gue makan siang bareng sama dia
wajar, kan? Nggak wajar karena kita berdua aja. Nggak ada Jaehwan dan Jinyoung. Rania menghela napas pelan. Ia memasuki kantinnm dengan
tenang. Sudah tidak terlalu ramai. Tapi, masih harus berbaris untuk mengambil makanan.
Minhyun berdiri di belakang Rania
dalam antrian mengambil makanan. Rania selesai dengan menu yang ia pilih. Ia
berdiri membawa nampan dan mengamati sekitar. Mencari tempat duduk yang kosong.
Sebenarnya banyak kursi kosong, ia hanya mencari tempat yang nyaman. Saat
itulah tatapannya berhenti pada meja yang dikerumuni Luna dan teman-temannya.
Saat ia menatap ke arah itu, Luna sedang menatapnya.
Luna tidak sendiri. Ada Jisung,
Sungwoon, dan Woojin. Selain itu ada Daniel, Linda, Guanlin juga. Rania terpaku
di tempatnya berdiri. Masih beradu pandang dalam jarak yang cukup jauh itu
dengan Luna.
“Sudah?” Minhyun berdiri di samping
kanan Rania. Mengetahui Rania berdiri tertegun, Minhyun pun mengikuti arah
pandangan Rania. Ia menemukan Luna yang sedang duduk bersama teman-temannya.
Luna menatap lurus pada Rania. Minhyun menghela napas pelan. Menyadari saat ini
kesalahpahaman baru telah terjadi.
***
0 comments