Fly High! - Tujuh
05:04Fly High!
- Tujuh -
Subuh tadi saat jalan pagi bersama, Al mengajak Meyra untuk
ikut datang ke sekolah. Menemaninya audisi. Tapi, Meyra menolak. Katanya, ia
sudah ada jadwal hari Sabtu ini. Al tak bisa memaksa. Ia paham di akhir pekan
Meyra memang sering tak ada di rumah.
Al menghela napas. Ia duduk melamun
di dalam angkot yang membawanya ke terminal di dekat sekolah. Detub jantungnya
tak kunjung mereda. Semakin dekat dengan sekolah, semakin bertalu-talu.
Al mengangkat kepala. Menatap Oi
yang duduk di seberang, berhadapan dengannya. Sahabatnya itu terlihat santai. Headset menutup kedua telinga Oi. Kepala
Oi bergerak-gerak, sedang bibir penuhnya komat-kamit. Al tersenyum melihatnya.
Sahabatnya itu pasti terbawa alunan lagu yang sedang ia dengarkan. Baru Al
sadar, kenapa ia tak melalukan hal yang sama untuk meredam rasa gugupnya? Tapi,
terlambat. Angkot sudah masuk ke dalam terminal.
“Tumben Sabtu ke sekolah, Mbak? Kok
pakek macak[1]
juga?” Tanya kernet angkot saat Oi membayar.
“Ada lomba di sekolah.”
“Oh pantesan. Kok libur-libur ke
sekolah.”
“Padahal kan belum tentu ke sekolah.
Kami pakek baju bebas lho.”
“Iya ya.”
Oi tersenyum melihat tingkah kernet
yang mengenalnya itu.
“Mbak mau ikut lomba?”
“Yo’i.”
“Tak doain menang deh Mbak.”
“Jangan!” Al menolak.
“Lhoh? Kok jangan?” Kernet menatap
Al dengan ekspresi kaget.
“Doain bisa tampil dengan baik aja
Mas. Saya nggak mau menang.”
“Mbak iki lucu!” Kernet itu menatap Al dengan heran.
“Dia emang gitu Mas. Matur nuwun ya doanya.” Oi pamit. Ia
menggandeng Al, lalu berjalan bersama menuju sekolah.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah,
Al dan Oi menjadi pusat perhatian. Sesama pejalan kaki, orang-orang yang
berjualan di sepanjang jalan menuju sekolah, dan orang-orang yang berada di
pinggir jalan menatap keduanya. Sebagian besar dari mereka pasti tahu Al dan
Oi. Karena dua gadis itu sudah hampir dua tahun wira-wiri di jalan itu setiap
pagi dan sore. Yang membuat orang-orang itu memperhatikan Al dan Oi hari ini
adalah karena penampilan keduanya yang berbeda dari biasanya.
“Apa perasaanku aja, kalau orang-orang
tuh kayaknya liatin kita?” Al dengan suara lirih.
“Iya e. Pada liatin kita.” Oi
membenarkan.
“Sudah kubilang, kita pakek
kostumnya di sekolah aja. Kita pasti keliatan aneh.”
“Aneh? Nggak yo! Unik tau! Kita
kayak anak kembar.” Oi tersenyum lebar.
“Anehnya di mana? Ya kalau kita
pakek hanbok atau saree baru keliatan nyeleneh.” Oi
menyebut baju tradisional Korea dan India.
“Aku risih.”
“Cuekin aja! Atau kayak biasanya kamu
aja, jalan sambil nunduk.”
“Emang kamu nggak risih?”
“Dikit sih.”
Al menepuk pelan lengan Oi. Membuat
sahabatnya itu tergelak.
***
Sepuluh menit berjalan kaki lumayan membuat Al dan Oi merasa
gerah. Hari ini mereka berangkat ke sekolah pukul tujuh pagi. Kebetulan hari
itu matahari muncul dan bersinar cerah. Dengan baju lengan panjang yang mereka
kenakan, wajar jika Al dan Oi merasa gerah.
Saat sampai di sekolah, suasana
cukup ramai walau hari libur. SMA Wijaya Kusuma menerapkan sistim full day school. Karenanya, di hari
Sabtu sekolah libur. Walau libur, sering ada kegiatan ekstrakurikuler di hari
Sabtu. Karenanya sekolah tak pernah sepi di hari Sabtu. Terlebih Sabtu ini.
Karena digelarnya audisi SMA Wijaya Kusuma Mencari Bakat, jumlah murid yang
datang ke sekolah lebih banyak dibanding hari Sabtu biasanya.
“Rame banget.” Gumam Al. Tahun
kemarin ia tak ke sekolah saat audisi SMA Wijaya Kusuma Mencari Bakat digelar.
“Kan ada audisi. Gimana sih!” Jawab
Oi santai.
“Al. Oi!” Terdengar suara Nurul
memanggil Al dan Oi. Membuat kedua gadis itu menoleh ke arah kiri. Nurul yang
berada di taman di samping perpustakaan melambaikan tangan.
Al dan Oi pun belok ke arah kiri.
Menuju tempat Nurul berada. Nurul sudah berada di taman bersama Aning dan Jia.
Tapi, yang membuat Al heran adalah keberadaan Lila dan Rina. Dua gadis yang
duduk di bangku tepat di depannya di kelas XI-IPA2 itu tak tergabung
ekstrakurikuler apa pun. Saat ada kegiatan sekolah yang agak bebas keduanya pun
selalu absen. Tapi, hari ini Lila dan Rina datang ke sekolah. Hal yang tak
biasa yang membuat Al bertanya-tanya.
“Lila sama Rina tumben ke sekolah?” Saat
sampai di tempat Nurul berada, Al langsung menyapa Lila dan Rina dengan
melontarkan pertanyaan yang ada di benaknya.
“Aku juga kaget liat mereka. Katanya
sengaja datang bukan dukung kalian.” Jia yang memberi jawaban.
“Wah! Makasih banget.” Al senang.
Lila dan Rina memang lebih akrab dengannya daripada dengan Oi.
“Rina khawatir kalian dateng tanpa
kostum khusus dan make up. Tapi,
ternyata… kalian keren!” Lila kagum melihat penampilan Al dan Oi pagi ini.
“Pasti ini kerjaan Mbak Mey ya?” Nurul
menebak.
“Kostumnya iya. Tapi, make up ini kerjaan Oi.” Jawab Al.
“Oi??” Nurul dan Jia kompak.
“Nggak nyangka Oi bisa macak.” Jia tak percaya dengan apa yang
didengarnya.
“Foto Mbak Mey pakek make up itu kerjaan Oi.”
“Moso?
Suer aku nggak nyangka.”
“Oi sebenernya pinter dandan. Cuman
dia seringnya males rias muka dia sendiri. Mbak Mey yang sering jadi korban.”
“Kupikir itu Mbak Mey sendiri yang make up.”
“Kan di caption udah ditulis make up
by Oi. Ketahuan nggak baca caption
nih.”
“Hehehe.” Jia meringis.
“Lap keringet kalian dan benerin make up yuk.” Rina menyela obrolan.
“Kelas buka nggak sih?” Tanya Oi.
“Buka.” Jawab Aning.
“Eri ada di sana?”
“Kayake dia di UKS deh.” Jia sangsi.
“Ya udah kita ke kelas aja.” Oi
berjalan memimpin. Disusul Nurul, Jia, dan Aning. Lalu Al, Rina, dan Lila.
Di dalam kelas XI-IPA2 ternyata ada
beberapa siswa. Tujuh orang siswa kelas XI-IPA2 yang biasa pergi bermain dengan
Aning.
“Wah! Lapo rek?” Sapa Aning pada tujuh teman sekelasnya itu.
“Sengaja dateng buat dukung Al dan
Oi dong.” Jawab Rifqi.
“Wow!” Jia kagum. Dari lima belas
siswa yang biasa bermain bersamanya, tujuh sengaja hadir untuk memberi dukungan
pada Al dan Oi.
“Kayak gini nih yang bikin Eri ngiri
sama kalian. Nurut aku.” Nurul berbisik. “Ditambah Arwan, dan kalau Fuad juga
dateng, jadi sembilan orang dari geng kita yang dateng buat dukung kalian.”
“Makasih ya. Padahal kalian nggak
bisa masuk aula, kan?” Oi berterima kasih.
“Kan bisa denger dari luar. Nanti nginceng[2]
juga pasti bisa.” Rifqi percaya diri. “Eh, Al sama Oi kayak anak kembar ya
kalau gini.”
Semua yang ada di kelas menatap Al
dan Oi. Keduanya memakai blus ruflle
ribbon bowtie ribbon berwarna kuning pucat. Yang membedakan hanya pita pada
bagian pergelangan tangan, dasi dan, kerah blus. Pada Al berwarna merah maroon, pada Oi berwarna coklat mocca. Al dan Oi memadukannya dengan
celana putih demi menampilkan kesan ceria dan muda. Untuk sepatu, keduanya
memakai flat shoes warna putih.
“Kayak cewek Korea ya?” Jia
tersenyum bangga.
“Iya.” Rifqi mengiyakan.
“Outfit
of the day sponsored by Elmeyra.” Oi membusungkan dada.
“Siapa itu?” Rifqi memiringkan
kepala.
“Mbaknya Al.” Oi berubah sewot
karena Rifqi tak mengenali Meyra.
“Oh.” Rifqi menganggukan kepala.
“Sini aku benerin rambutmu.” Rina
menuntun Al untuk duduk di bangku paling depan dekat pintu. Oi mengikuti.
“Seneng liatnya. Kalian total
banget.” Lila memuji.
“Kata Mbak Mey, melakukan segala
sesuatu itu harus serius dan penuh tanggung jawab. Karena itu adalah pilihan
kita.” Jawab Al yang rambutnya sedang ditata oleh Rina.
“Jadi, kostum kalian hari ini Mbak
Mey yang siapin?” Tanya Nurul.
“Iya. Baju, celana, sepatu. Semua
dia beli buat kami.” Oi membenarkan.
“Wah! Enak dong dapat baru semua.
Aku juga mau!” Jia menggoda.
“Mbak Mey gitu orangnya. Total
banget kalau ngerjain apa-apa.”
“Aku pengen lho ketemu sama Mbak
Mey.” Lila mengungkapkan keinginannya.
“Main ke rumah yuk. Tapi, kalau weekend jarang di rumah dia.” Al
mempersilahkan Lila untuk berkunjung ke rumahnya.
“Kapan-kapan deh kalau Mbak Mey ada di
rumah. Aku main ke rumah kamu. Ya, Rin?” Lila mengajak Rina.
“He’em.” Rina mengiyakan.
“Di tempat Al ada bakso sama rujak
enak. Jangan lupa minta itu kalau kalian ke sana.” Aning mengingatkan soal
kuliner enak yang ada di kampung Al.
“Main bareng aja yuk kita. Kapan
gitu.” Lila mengusulkan untuk bersama-sama mengunjungi rumah Al.
“Aku ikut ya!” Rifqi menyahut.
“Dih! Maunya!” Jia mencibir.
“Penampilan kami aneh nggak sih?”
Tanya Oi. “Al ngerasa penampilan kami aneh.”
“Nggak kok. Kalian keliatan cute.” Jia menyanggah pemikiran Al.
“Beneran?” Al meminta kepastian.
“Bener. Ya, kan?” Jia meminta
persetujuan Aning, Nurul, Lila, dan Rina.
“Keren kok Al. Simpel dan cute.” Lila mendukung Jia.
“Baiklah. Kalau gitu, aku kudu
pede.” Al tersenyum tulus.
“Harus dong!” Nurul menyemangati.
Arwan masuk ke dalam kelas XI-IPA2.
Ia tersenyum lebar melihat Al berada di dalam kelas. “Syukurlah. Kupikir kamu
belum dateng. Kok nggak bales pesanku.” Ia mendekati meja tempat Al dan keenam
gadis lainnya berkumpul.
“Aku belum cek hape. Maaf ya.” Al
meminta maaf.
“Udah bisa pakek kameranya, Wan?” Tanya
Aning.
“Udah.”
“Udah beres! Al dan Oi siap
bertempur.” Ujar Rina usai merapikan rambut Al dan Oi.
“Foto bareng dulu yuk!” Jia usul
untuk foto bersama Al dan Oi.
“Aku ikut!” Rifqi berseru seraya
bangkit dari duduknya.
Al dan Oi pun menyetujui usulan Jia.
Bersama teman-temannya yang hadir hari itu, mereka berfoto di kelas XI-IPA2.
Tak membuang kesempatan, Arwan pun meminta foto berdua saja dengan Al. Walau
mendapat sorakan dari Aning dan Jia, ia tak peduli. Toh memang rata-rata teman
satu gengnya sudah tahu jika ia menyukai Al.
***
Walau dijadwalkan dimulai pada pukul delapan, pembukaan
audisi molor. Pukul setengah sembilan audisi baru dimulai. Al dan Oi mendapat
nomer urut sebelas. Oi kegirangan. Menurutnya ia dan Wanna One benar berjodoh karena mendapat nomer urut sebelas dalam
audisi. Jumlah anggota Wanna One ada
sebelas orang. Hanya karena sama-sama sebelas, Oi percaya diri jika dirinya dan
Wanna One terhubung. Walau Al, Jia,
dan Nurul mengoloknya, Oi tak peduli. Ia tetap percaya mendapat nomer sebelas
bukanlah sebuah kebetulan. Tapi, itu adalah takdir yang unik. Saking girangnya,
Oi sampai memposting tentang hal itu dalam akun sosial media miliknya.
Sebelas. Untukku
dan Wanna One. Kita adalah satu.
Semangat Oi! Semangat Al. #WannaOne
#Wannable #Energetic
Tulis Oi dalam postingan di akun Instagram-nya. Ia mengunggah foto nomer
urut peserta audisi dalam postingan itu.
Sedang Eri, pesaing Al dan Oi
mendapat nomer urut tujuh. Hari itu Eri mengenakan short dress selutut warna merah. Dress itu menggunakan kain mirip kain kebaya yang transparan dengan
motif bunga-bunga. Bagian yang dibiarkan tetap transparan hanya pada bagian lengan.
Karena Eri berkulit putih, memakai kostum berwarna merah membuatnya terlihat
bercahaya. Rambut hitam sepundaknya ia biarkan terurai. Dengan make up yang menghias wajahnya, Eri
terlihat dewasa dan elegan.
Melihat penampilan Eri yang sengaja
mengunjungi kelas demi bertemu Al dan Oi membuat Al minder. Ia merasa penampilannya
jauh lebih buruk dari Eri. Oi dan teman-temannya memberi dukungan pada Al.
“Konsepnya beda. Mungkin Eri
mengusung konsep elegan. Makanya penampilannya gitu. Make up-nya pun tebal. Nah, kamu kan konsepnya simple and chic. Pasti lebih sederhana, tapi tetap modis.” Rina
membesarkan hati Al.
“Bener banget. Lagian nggak mungkin
Mbak Mey asal comot kan soal kostum? Mungkin mempertimbangkan lagu yang akan
kalian nyanyikan, makanya Mbak Mey memilih style
ini.” Nurul mendukung pendapat Rina.
“Al emang minderan. Konsep ini
cenderung ke Wanna One, bukan Black Pink. Makanya Mbak Mey milih
kostum ini buat kita. Pede aja napa Al.” Oi sedikit dibuat kesal karena
semangat Al sedikit down.
“Kelemahan kamu di situ, kurang
pede. Padahal mungkin Eri nggak bermaksud bikin mental kamu down dengan sengaja datang ke sini.
Tapi, kamu sendiri yang merasa lebih rendah dari dia. Masalahnya di kamu, Al.
Jadi, kamu yang harus mengatasinya.” Jia turut menyerang Al.
“Gini lho, kamu ya kamu, dia ya dia.
Kalian emang beda. Mau diapain juga nggak akan sama. Jadi, banggalah sama diri
kamu sendiri. Di mataku, penampilanmu itu sempurna Al.” Aning turut buka suara,
memberi dukungan.
Al menatap satu per satu temannya.
Rina, Lila, Jia, Nurul, Aning, dan Oi. Ia merasa terharu karena perhatian mereka.
“Makasih ya. Maafin aku yang rapuh ini.”
“Pede aja! Ingat, Mbak Mey ngawasin
kita. Mata Mbak Mey ada di tangan Arwan lho!” Oi merangkul Al.
Al tersenyum dan menyikut Oi.
“Hey! Bentar lagi giliran Eri.
Kalian mau ngintip?” Rifqi melongok dari pintu.
“Aku penasaran!” Jia bergegas
bangkit dari duduknya dan keluar.
“Yuk! Yuk kita dengerin Eri nyanyi
apa!” Oi menarik Al agar berdiri.
Al pun bangkit dari duduknya. Lalu,
pergi ke aula untuk mendengarkan penampilan Eri. Aula terletak di depan kelas
XI-IPA2, hingga tak butuh waktu lama bagi Al dan teman-temannya untuk mencapai
aula.
Karena tak bisa masuk, Al dan
teman-temannya berkumpul di dekat pintu masuk aula sebelah barat sisi utara
aula. Eri menyanyikan lagu Stay The Same
milik Joey McIntyre. Walau suaranya
tak begitu merdu, tapi Eri menyanyi dengan lantang. Bahkan nada tinggi dari
lagu itu bisa ia bawakan dengan baik. Lagi-lagi Al merasa kerdil.
Ketika keluar dari aula, Eri
menyunggingkan senyum. Mencibir Al dan teman-temannya yang berkumpul di dekat
pintu masuk aula. Setelah itu ia pergi bersama Diana yang menemaninya hari itu.
Usai penampilan Eri, Al dan
teman-temannya tak memilih kembali ke kelas. Mereka bertahan di dekat pintu
masuk aula untuk menunggu giliran tampil. Setelah tiga penampilan murid, nama
Al dan Oi pun dipanggil.
Dengan gugup Al dan Oi masuk ke
dalam aula. Di depan panggung berjajar beberapa meja tempat dewan juri memberi
penilaian. Murid yang mengikuti audisi tampil di atas panggung di dalam aula.
Arwan menyiapkan dua kursi di atas
panggung untuk Al dan Oi. Tadi di kelas Al dan Oi sempat berunding, bagusnya
menampilkan lagu sambil duduk atau berdiri. Karena mengusung tema akustik, Al
mengusulkan untuk tampil sambil duduk saja. Karena itu Arwan berinisiatif
menyiapkan dua kursi di atas panggung. Sebelum turun dari panggung, Arwan
tersenyum pada Al ketika gadis itu naik ke atas panggung.
Al membalas senyum Arwan. Lalu, ia
berdiri di atas panggung berdampingan dengan Oi. Menghadap pada dewan juri yang
duduk di balik meja di depan panggung. Di belakang dewan juri, anggota OSIS
yang jadi panitia audisi berkumpul. Ada yang duduk di atas kursi plastik, ada
yang berdiri. Arwan pun sudah berdiri di sana. Siap merekam penampilan Al dan
Oi dengan kamera Meyra.
“Arwan jadi fansite kita hari ini.” Oi berbisik pada Al. Mendengarnya, Al pun
tersenyum.
Ada empat guru yang bertindak
sebagai juri. Ketua OSIS dan ketua MPK juga turut menjadi juri.
“Abrianna Alka Tunggadewi dan Oriana
Namira Nadine. Jadi, tahun ini kelas XI-IPA2 mengirim dua perwakilan ya.” Ketua
OSIS yang membuka obrolan antara juri dan peserta audisi. Siswa itu adalah
teman seangkatan Al. Murid kelas XI-IPA1.
“Iya.” Oi berbicara namun lupa tak
menggunakan microphone di tangannya.
“Iya.” Ia pun mengulangi dengan mengangkat tangan kanan yang memegang mic.
“Namanya duo Al and Oi ya? Simpel, tapi bagus.” Ujar Pak Iskandar. Guru kesenian
yang menjadi salah satu juri.
“Sebagai pembina PMR, saya bangga
karena hari ini dua perwakilan kelas XI-IPA2 adalah anggota PMR. Lebih
mengejutkan lagi karena itu Alka dan Oriana.” Pak Pri, guru Matematika yang
juga pembina PMR memberikan dua jempolnya. Ia merasa bangga.
Saat kelas X, Pak Pri adalah wali
kelas Al dan Oi. Selain itu, beliau adalah pembina PMR. Jadi, Pak Pri cukup
akrab dengan Al dan Oi.
“Kenapa mengejutkan, Pak?” Pak
Iskandar iseng bertanya pada Pak Pri.
“Alka dan Oriana ini cenderung
pendiam, Pak. Mereka jarang aktif juga kalau dalam kelas. Di PMR pun sama.
Melihat mereka maju ikut audisi, saya benar terkejut.”
“Begitu ya? Kalau saya sudah pernah
mendengar Alka dan Oriana bernyanyi. Saat kelas X. Suara mereka bagus, hanya
saja kalau nyanyi bisik-bisik. Yang bisa dengar hanya saya. Melihat mereka
muncul di atas panggung, saya jadi penasaran.”
Al dan Oi kompak tersenyum mendengar
obrolan dua guru yang pernah mengajar mereka. Keduanya tak menyangka dua guru
itu memiliki kesan tersendiri pada mereka.
“Kalau boleh tahu, kalian akan
menampilkan apa hari ini?” Tanya ketua MPK yang juga menjadi juri. Siswa itu
juga teman seangkatan Al dan Oi. Murid kelas XI-IPS2.
“Kami akan menampilkan versi akustik
dari tiga lagu.” Jawab Oi. Kali ini tak lupa menggunakan mic.
“Wah, tiga lagu ya?” Ketua MPK
memeriksa kertas di depannya. “Oh! Lagu India dan lagu Korea?” Ia kembali
menatap panggung.
“Iya.” Jawab Oi dengan senyum menghiasi
wajahnya. “Kami suka India dan Korea. Karena itu, kami akan menyanyikan lagu
dari apa yang kami sukai.”
“Mm, nyanyi ya. Tadi ada yang cover dance lagu Korea lho!”
“Jee-na
Jee-na,” Pak Agus, guru Sosiologi yang juga menjadi juri mengucapkan dengan
hati-hati judul lagu India yang akan dibawakan Al dan Oi. “Benar begitu ya?”
“Iya, Pak.” Oi membenarkan.
“Jeena
Jeena, Whistle, dan Energetic.” Pak Agus menyebut tiga judul
lagu yang akan dibawakan Al dan Oi. “Kalau boleh tahu ketiga lagu itu
mengisahkan tentang apa?”
“Tentang rasa suka, rasa cinta pada
seseorang. Intinya seperti itu, Pak.” Lagi-lagi Oi yang menjawab.
“Mm, begitu ya. Baiklah. Silahkan
tampilkan pertunjukan kalian.” Pak Agus mempersilahkan Al dan Oi tampil.
“Terima kasih.” Oi berterima kasih.
Lalu, bersama Al ia membawa kursi untuk sedikit lebih maju. Kemudian keduanya
duduk berdampingan.
“Halo, kami adalah Al,” Al membuka
penampilan.
“Dan, Oi.” Oi menyambung. “Hari ini
kami akan membawakan tiga lagu versi akustik.”
“Selamat menikmati.” Al tersenyum.
Walau berusaha rileks, ia masih terlihat gugup.
Genjrengan gitar pun mulai
terdengar. Intro lagu Jeena Jeena
mulai terdengar. Kemudian Al bernyanyi lebih dulu hingga separuh lagu.
Selanjutnya gantian Oi yang bernyanyi. Bagian dan lirik yang dinyanyikan
keduanya adalah sama.
Setelah Oi selesai bernyanyi, masih
terdengar instrumen dari lagu Jeena Jeena
yang kemudian terputus. Instrumen pun berganti menjadi genjrengan gitar untuk
lagu Black Pink yang berjudul Whistle. Gantian Oi yang membuka penampilan
bernyanyi. Disusul Al yang menyanyikan bagian Rose dan Lisa sekaligus. Dilanjut
rap Jennie yang dibawakan Oi. Oi
membawakan bagian rap dengan baik. Membuat para juri dan anggota OSIS yang
menonton pertunjukan mereka takjub.
Usai Oi mengucap kata Hold up, lagu pun berhenti sejenak.
Lalu, terdengar genjrengan gitar untuk lagu Wanna
One yang berjudul Energetic. Oi
kembali menjadi yang pertama bernyanyi. Kemudian disambung Al. Keduanya
bernyanyi saling bergantian membawakan lagu Wanna
One - Energetic versi gitat akustik.
Al dan Oi sangat menikmati
penampilan mereka. Entah sadar atau tidak, tubuh keduanya bergoyang mengikuti
alunan musik. Oi yang menyanyikan bagian rap
kembali berhasil memukau juri dan anggota OSIS yang berada di dalam aula. Al
yang berhasil membawakan nada tinggi pada part
Jaehwan pun berhasil memukau orang-orang yang menonton pertunjukannya.
Al dan Oi berhasil menampilkan tiga
lagu dengan baik. Tanpa kesalahan nada, pun tanpa lupa lirik seperti saat
latihan. Juri dan anggota OSIS yang menonton segera memberikan tepuk tangan
meriah ketika Al dan Oi selesai bernyanyi.
Di luar aula, teman-teman Al dan Oi
pun turut bergembira. Mereka berhasil membujuk anggota OSIS yang menjaga pintu
masuk aula hingga bisa mengintip pertunjukan Al dan Oi. Bahkan Jia berhasil
masuk ke dalam aula karena beralasan akan memvideokan penampilan Al dan Oi. Jia
mengatakan akan mengunggah penampilan itu ke Youtube. Karena alasan itu Jia diizinkan masuk ke dalam aula.
Dengan napas yang masih
terengah-engah, Al dan Oi tersenyum saat menatap sambutan meriah di depan
mereka. Oi meraih tangan kiri Al yang duduk di samping kanannya dan
menggenggamnya. Al menoleh, ia tersenyum pada Oi dan membalas genggaman
sahabatnya itu. Keduanya lega bisa tampil baik di panggung audisi.
***
0 comments