Fly High! - Enam
04:22Fly High!
- Enam -
Al dan Arwan duduk berdampingan di bangku yang berada di
dekat taman kecil di samping gedung perpustakaan. Al mengajari Arwan cara
mengoperasikan kamera milik Meyra.
“Oh, jadi gini ya.” Arwan mempraktekan
cara yang diajarkan Al. “Eh! Waduh! Salah ya? Gimana, gimana?”
Al pun mengulangi dari awal. Arwan
kembali menyimak. Lalu, mencoba mengoperasikan kamera milik Meyra.
“Wah! Begini ya? Oke. Oke. Inshaa
ALLOH bisa.” Arwan senang karena akhirnya bisa mengoperasikan kamera milik
Meyra.
“Pokoknya pilih yang kualitas HD ya.
Makasih. Maaf udah ngrepotin.” Al masih merasa sungkan.
“Nggak papa. Gini ya, ntar aku rekam
pakek hapeku juga. Ntar sapa tahu yang dari kamera aku nggak bisa bagus
ngambilnya. Baru pertama pegang, nggak pede.”
“Terserah kamu deh. Asal bisa aja
rekam pakek kamera ini dan hape kamu.”
“Bisa lah. Ntar aku minta tolong
temen.”
Al tersenyum dan mengangguk. Suasana
berubah hening. Sejak tahu Arwan ada hati padanya, Al sering merasa canggung
jika berada di dekat pemuda itu. Terlebih jika berdua saja seperti saat ini.
Dalam hati Al terus menyebut nama Oi. Berharap sahabatnya itu segera muncul.
“Udah siap ya buat besok?” Arwan
memulai obrolan. “Kata Jia, penampilan kalian makin bagus. Tapi, dia nggak mau
bilang kalian mau nampilin apa. Aku jadi penasaran.”
“Lumayan lah. Semoga aja besok aku
nggak gugup dan nggak ngrusak penampilan. Kami sama-sama gugup buat besok. Oi
walau keliatannya tenang dan pede, gugup juga dia.”
“Wajar lah. Comeback setelah lima tahun vakum. Tapi, aku yakin kalian pasti
bisa nampilin yang terbaik. Di Smule suara
kalian bagus lho!”
“Di Smule ada filter segala macem yang bikin suara jelek jadi bagus.
Beda sama versi live.”
“Sama aja. Di filter kalau suaranya
ancur ya tetep aja ancur. Suara kamu tuh cute.
Beneran. Aku suka.”
Al merasakan panas di wajahnya. Ia
pun tersipu.
“Besok anggep aja kalian lagi di
dalam ruang karaoke. Abaikan juri. Anggep aja mereka monitor di ruang karaoke.”
“Lumayan juga idenya.”
Al dan Arwan tertawa bersama.
“Dua-duaan di sini awas ada yang
cemburu!” Oi datang bersama Nurul.
“Siapa yang cemburu? Oh! Al udah
punya gebetan ya? Pacar?” Arwan menebak.
“Umak
lah. Pacar Al kan aku!” Oi duduk di samping kiri Al dan merangkul sahabatnya
itu. “Umak pasti punya banyak fans,
kan? Umak kan cakep. Udah gitu
anggota OSIS pula. Anggota OSIS kan selalu punya nilai plus. Heran plusnya di
mana. Padahal biasa aja sih.”
Al tersenyun mendengar ocehan Oi.
Benar yang dikatakan Oi, pasti banyak yang mengidolakan Arwan. Pemuda itu
berwajah tampan, kulitnya bersih, penampilannya selalu rapi, dan wangi.
Tipe-tipe cowok metroseksual karena Arwan sangat memperhatikan penampilannya.
Selain itu, sikapnya juga sangat lemah lembut. Walau Oi sering menyebut Arwan
kurang manly, Al tetap mengagumi
pemuda itu.
“Fans opo? Nggak ada. Aku tuh nggak ada fans. Malah Al tuh yang banyak
yang ngidolain. Cantik, pinter pula.” Arwan menyangkal.
“Cantikan mana sama Eri? Eri naksir
kamu ya? Makanya dia benci banget sama Al karena Al deket sama kamu.” Oi
tiba-tiba menyerang. Al merasa sungkan, tapi Oi terkesan cuek dan tidak peduli
pada bahasa tubuh yang ditunjukan Al.
“Nggak. Eri kan pacaran sama mantan
ketua PMR. Masa kalian nggak tahu sih? Payah banget. Padahal satu organisasi.” Arwan
menggelengkan kepala karena heran.
Al dan Oi juga tergabung dalam
ekstrakurikuler PMR. Ini pun mengikuti jejak Meyra di masa lalu. Saat SMA,
Meyra juga bergabung dalam ekstrakurikuler PMR. Saat masuk ke SMA Wijaya
Kusuma, SMA yang juga tempat Meyra menuntut ilmu, Al dan Oi sepakat bergabung
ekstrakurikuler PMR. Setelah naik ke kelas XI dan berstatus sebagai senior, Al
dan Oi jarang aktif di PMR.
“Tahu. Tapi, pacaran bukan berarti
saling suka kan? Bisa pacaran sama ketua PMR bisa naikin gengsi, plus sapa tahu
bisa bikin kamu cemburu.” Oi terus menggoda Arwan.
“Nggak mungkin ya Eri naksir aku.
Aku lebih goblok dari dia, mana mau dia?”
“Mas Argo bukan cowok pinter sih
walau anak IPA. Prestasinya biasa aja. Nggak cakep-cakep amat juga.”
“Cakep itu relatif, Oi. Nggak cakep
di mata kamu, tapi cakep di mata Eri.” Nurul menyahut.
“Betul itu!” Arwan membenarkan.
“Mas Argo emang biasa aja, tapi dia
bersahaja. Mungkin itu daya tariknya yang bikin Eri kepincut.” Al turut
mengutarakan pendapat.
“Kok kita jadi bahas Eri sih?” Oi
mengerutkan kening.
“Kan umak yang mulai. Yapo se?”
Al menatap Oi dengan sebal.
“Ya sih. Sorry ye. Pulang yuk!” Oi bangkit dari duduknya. “Arwan masih sibuk
ya? Nyiapin buat audisi besok.”
“He’em.” Arwan menganggukan kepala.
Al bangkit dari duduknya. “Makasih
ya. Maaf udah ngrepotin. Tolong jaga kamera Mbak Mey baik-baik.”
“Siap!” Arwan tersenyum manis dan
tulus. “Sampaikan salamku pada Mbak Mey. Makasih udah percayain kameranya ke
aku.”
“Moga aja hasilnya nggak jelek.
Jujur aku nggak yakin sama umak.
Tapi, cuman umak harapan kami.” Oi
mengolok.
“Ngenyek arek iki! Liat aja hasilnya
besok.” Arwan menyombongkan diri.
Oi pun tertawa. “Suwun ya, Wan. Kami pulang dulu. Selamat
lembur!” Ia berterima kasih pada Arwan.
Oi, Al, dan Nurul pun pulang.
Meninggalkan Arwan yang masih duduk di bangku taman. Arwan menghela napas,
menatap kamera Meyra di berada di tangannya. Ia pun tersenyum, dan bangkit dari
duduknya kemudian beranjak pergi.
***
“Jangan minum es!” Nurul memperingatkan Oi yang hendak
memesan es degan. “Besok kalian audisi. Jangan minum es. Nggak baik buat suara
kalian. Minum air putih aja!”
Oi terbengong, namun kemudian
menuruti apa kata Nurul. Karena lapar, Oi mengajak Al dan Nurul mampir ke
warung bakso favorit mereka di terminal. Tiga porsi bakso pun tersaji. Demi
menghormati Al dan Oi, Nurul pun tak memesan es sebagai minuman. Walau sore itu
cukup gerah. Gadis bertubuh mungil itu mengambil tiga gelas air mineral kemasan
untuk dirinya sendiri, Al, dan Oi.
“Jangan makan sambal!” Nurul kembali
mengeluarkan larangannya ketika Oi akan mengambil sambal. “Kalau sampai panas dalam
dan tenggorokan sakit, besok kamu nggak bisa tampil maksimal!”
Oi menghela napas dan meletakan
kembali tempat sambal yang sudah ia angkat.
“Hari ini aja tolong niru Al. Makan
baksonya beningan aja. Tanpa saos, tanpa sambel. Oke?” Nurul tersenyum manis
pada Oi.
“Al kan emang nggak suka pedes. Apa
rasanya bakso ini tanpa sambel, tanpa kecap, tanpa saos.” Oi menatap iba
mangkok berisi bakso di hadapannya.
“Kecap nggak papa.” Nurul
menyodorkan kecap ke depan Oi.
“Bakso beningan enak kok. Asin dan
gurih.” Al tersenyum melihat ekspresi lesu Oi.
“Tanpa sambel dunia terasa hampa.” Oi
mengaduk bakso dalam mangkok di hadapannya.
“Hari ini aja lho. Kalau udah
audisi, bebas lagi kamu mau makan sambel semangkok nggak bakalan aku larang.
Aku nggak mau aja apa yang udah kamu siapin selama dua minggu ancur cuman
gara-gara semangkok bakso pedes dan segelas es degan.”
“Makasih ya udah care ke Oi.” Al berterima kasih dengan
tulus.
Oi pun tersenyum. “Nuwus[1]
ya Rul.” Ia turut berterima kasih. “Hah… bakso tanpa sambel bak dunia tanpa
musik. Hampa.” Keluhnya usai menyeruput kuah bakso dalam sendok di tangan
kanannya.
“Sabar ya. Ini ujian.” Nurul
menertawakan.
Ketiga gadis itu pun menikmati bakso
panas dalam mangkok di hadapan masing-masing.
“Rul, nurut kamu kenapa sih Eri kok kesannya
benci banget sama kita?” Oi membuka obrolan.
“Mm, apa ya? Kadang aku juga mikir
kenapa? Apa sebabnya? Kita lho nggak pernah bahas tentang Korea dan India di
depan dia dengan heboh. Aku juga heran kenapa dia selalu ngatain kita pecinta
plastik dan udel. Apa yang salah sih dari suka Korea dan India?”
“Oi tuh yang sering heboh.” Al
menuding Oi dengan ujung garpu di tangan kirinya.
“Tapi kan nggak tiap hari Al.
Palingan kayak pas dapet album debut Wanna
One itu.” Nurul membela Oi. “Itu pun hebohnya di bangku kalian. Nggak di
depan kelas buat sengaja pamer.”
“Aku juga heran kok. Padahal Eri itu
cantik, pinter. Apa pula yang bikin dia sakit hati atau iri dari kita?” Al
turut berkomentar tentang Eri.
“Cantikan kamu lah Al. Secara fisik
kamu lebih dari Eri. Lebih cantik, lebih tinggi, lebih—”
“Lebih gendut juga.” Al menambahkan,
memotong ucapan Nurul. “Oi tuh banyak lebihnya.”
“Kamu tuh nggak gendut. Tapi, sintal
tau. Kayak body-body artis India.
Iya, nggak Rul?” Oi meminta persetujuan Nurul.
“Kamu tuh terlalu rendah diri, Al.
Padahal fisik kamu sempurna. Kalau aku yang dibandingin sama Eri emang nggak
ada apa-apanya. Fisik juga kalah jauh. Aku lebih pendek dari Eri. Tampangku
juga gini aja. Tapi, kalau kamu sama Eri, andai kamu mau pakek make up tipis kayak Eri, kamu nggak
kalah cantik dari dia. Kamu tuh cantiknya alami, Al. Soal body, aku setuju sama Oi. Eh, nyadar nggak sih kalian, kalau figur
kalian tuh kayak orang India sama orang Korea? Satu tinggi besar, mata belo.
Satu tinggi kurus, mata sipit.”
“Aku yang kayak orang Korea?” Oi
menuding hidungnya sendiri dan kemudian tergelak. “Orang Korea habis dibakar
ya. Gosong!”
“Nah, itu. Harusnya kulit Al yang
agak gelapan, dan kamu yang agak putihan. Al putih banget, tapi kamu coklat.” Nurul
meringis. Nurul memang bertubuh mungil dan wajahnya sederhana. Tubuhnya pun
sedikit berisi. Penampilannya pun sederhana. Tapi, gadis itu manis.
“Coba tanya Jia, pasti pendapatnya
sama kayak aku. Aning juga. Secara fisik Eri emang kalah dari kalian. Trus, di
kelas, kalian bisa akrab sama hampir seluruh anak di kelas. Geng kita aja ada
berapa anak tuh. Kita cewek berlima, tapi cowoknya hampir separo kelas. Kita
sering main bareng kalau akhir pekan. Nah, Eri? Mentok sama Diana, Tiara, dan
Nesya. Itu aja udah bikin ngiri.” Nurul melanjutkan analisisnya.
“Kita banyakan temen cowok karena
Aning. Dia yang tomboy dan bisa berteman hampir dengan seluruh cowok di kelas.
Terutama cowok yang ya boleh dibilang nakal lah. Jadi, kita punya banyak temen
tuh karena Aning.” Oi mengoreksi analisis Nurul.
“Tapi, tetap aja karena kalian juga.
Kalau mereka nggak nyaman sama kalian, mereka nggak bakalan mau kan deket-deket
kalian walau ada Aning, kan? Kalian nggak pelit juga sih soal ilmu. Soal
pelajaran di kelas. Jadi, aku rasa karena itu cowok-cowok jadi nyaman berteman
dan deket-deket kalian berdua. Karena itu, Eri jadi iri. Dia yang paling pandai
di kelas, tapi justru kalian yang dapat perhatian khusus dari mayoritas cowok
di kelas.”
“Mereka tuh takut mau nyontek PR
atau minta ajarin Eri. Aku pernah nanya soal itu. Ada yang ngaku pernah minta
contekan Eri. Dikasih sih, tapi diceramahin dulu. Suruh belajar bla bla bla.
Kan males tuh. Katanya, Eri tuh kayak emak-emak killer aja.”
“Nah, kan? Kalau Al dan kamu kan
beda. Mereka minta contekan ya udah kalian kasih tanpa ngomel.”
“Aku sih, I don’t care. Mereka mau nyontek trus jadi bodoh ya urusan mereka.
Nggak rugi kok hasil kerjaku dicontek. Kalau nilai mereka bagus, toh itu cuman
nilai. Yang penting kan pemahamnya, ilmunya nyantol. Bukan nilainya.” Al kembali
bersuara.
“Masalahnya yang jadi tolok ukur
emang selalu nilai. Nilai bagus berarti pinter. Padahal ya, bagus kadang hasil
nyontek. Hasil ngerpek.”
“He’em.” Nurul membenarkan pendapat
Oi.
“Eh, kita kok jadi bahas Eri sih?” Lagi-lagi
Oi bertanya kenapa mereka jadi membahas Eri. Seperti satu jam yang lalu saat
duduk di taman bersama Arwan.
“Kan umak yang mulai. Dari tadi gitu ih arek iki! Pura-pura bego!” Al menepuk lengan Oi.
Oi meringis, lalu menyuapkan
sesendok bakso ke dalam mulutnya.
***
Al dan Oi bernyanyi di depan Meyra. Malam itu mereka
menggelar gladi bersih di ruang tengah rumah Meyra. Bukan hanya Meyra yang
menonton pertunjukan Al dan Oi. Tapi, ada ibu Meyra, juga orang tua dan adik
Al.
“Udah bagus!” Meyra memberikan dua
jempolnya untuk Al dan Oi. “Gitu dong Al. Nyanyinya los. Suara dibebasin. Pertahanin
kayak gitu ya besok.”
“Aku jadi ingat waktu Al TK. Dilatih
Mey, Al jadi juara satu lomba menyanyi tingkat kecamatan.” Ibu Al mengenang
masa kanak-kanak Al. “Sekarang mau tampil lagi di sekolah. Ibu bangga, Nak.”
Suasana jadi sedikit haru setelah
Ibu Al mengungkapkan perasaannya.
“Al keren ya, Lek. Padahal waktu itu
nggak ada yang dampingi. Cuman sama Bu Guru. Tapi, Al bisa tampil apik. Bahkan,
jadi juara.” Meyra turut mengenang masa kanak-kanak Al bersama ibu Al.
“Karena kamu itu. Karena kamu
disiplin waktu dampingi Al latihan nyanyi.”
“Bukan, Lek. Itu karena Al sendiri.
Walau aku disiplin, kalau Al nya nggak niat ya nggak bakalan bagus hasilnya.”
“Waktu perpisahan SD, Al dan Oi juga
bagus penampilannya.” Giliran Ayah Al yang mengenang masa kecil Al.
“Itu juga karena Mey yang ngajari
mereka.” Ibu Al kembali mengatakan keberhasilan Al berkat bantuan Meyra.
Meyra tak bisa menahan diri untuk
tidak tersenyum. Ia merasa bangga mendengarnya. Tapi, tak mau takabur. Karena,
bagaimanapun juga keberhasilan yang diraih Al dan Oi adalah karena usaha dan
kerja keras kedua gadis itu. Bukan karena dirinya.
“Pokoknya besok pede aja. Aku yakin
kalian pasti bisa.” Ayah Al menyemangati.
“Aku sih pede aja Paklek. Al tuh
yang nervous. Gugup.” Oi menuding Al.
“Pret! Kamu dewe lho ya gugup. Nggak usah sok pede deh.” Al balas mengolok Oi.
“Kalau aku di posisi kalian, aku pun
pasti gugup. Nggak papa itu normal. Apalagi setelah hampir lima tahun kalian
vakum. Rasa gugup itu pasti ada. Tapi, aku yakin kalian pasti bisa mengatasinya.
Semangat ya!” Meyra menyemangati Al dan Oi.
Malam itu Al merengek ingin tidur
bersama Meyra, tapi Meyra menolak. Kalau mereka tidur bersama, sudah pasti
mereka akan banyak ngobrol dan tidur telat. Meyra tidak mau hal itu terjadi,
karena kurang tidur bisa merusak kualitas suara Al. Meyra pun meminta Al tidur
di kamarnya sendiri dan segera beristirahat. Bahkan, Meyra memastikan Al tak
bermain ponsel. Karena keasikan bermain ponsel pun bisa membuat Al lupa waktu
dan tidur telat.
Memikirkan tentang audisi besok
membuat Al terjaga. Ia ingin menghubungi Oi untuk berbagi keresahan, tapi Meyra
menyita ponselnya. Al pun mendesah. Lalu, memejamkan kedua matanya.
Di kamarnya, Oi pun merasakan hal
yang sama dengan Al; tidak bisa tidur karena memikirkan audisi esok. Ia
mengirim pesan pada Al. Tapi, bukan balasan dari Al yang sampai ke ponselnya.
Melainkan sebuah panggilan video dari Meyra. Meyra meminta Oi lekas istirahat
demi audisi esok. Ajaibnya, setelah mendapat panggilan video dari Meyra, Oi
merasa lebih tenang. Ia pun memejamkan kedua matanya, berusaha untuk tidur.
***
[1]
Terima kasih. Nuwus adalah bahasa walikan (bahasa khas Malangan) dari suwun
yang berarti terima kasih
0 comments