Fly High! - Tiga
03:53
Fly High!
- Tiga -
Al duduk di kursi ruang tamu. Ia tampak gusar. Sesekali
menatap keluar jendela. Hujan masih belum reda. Sedang langit sudah berubah
gelap. Lagi-lagi ia menghela napas panjang.
Oi yang duduk di atas karpet dan
menonton video dalam laptopnya sesekali melirik Al. “Ojo galau tah. Mukamu jelek kalau cemberut gitu.” Ujar Oi usai
melirik Al.
“Katanya hari ini pulang. Selalu
gitu deh. Kalau males keluar damang aja, mager di rumah. Sekalinya keluar nggak
pulang-pulang.” Al kembali menatap keluar jendela.
“Unik ya? Bebas banget hidupnya.
Bikin ngiri. Happy banget gitu. Enjoy. Nikmatin hidup. Kayak nggak ada
beban.”
Al tersenyum lesu. “Cover-nya aja gitu. Dalemnya siapa
tahu.”
“Tiap orang punya masalah. Keren
kalau bisa nyembunyiin masalah dan tampak happy
aja di depan orang. Bagus itu. Jangan biarin orang lain tahu kesedihanmu.
Karena, sebagian besar dari mereka pasti seneng liat kamu terpuruk. Aku males
banget liat kamu cemberut mulu sejak kamu nantangin Eri.”
“Aku kan nggak bisa pura-pura baik
gitu. Nggak kayak kamu. Kamu emang setipe sama Mbak Mey.”
Oi tersenyum, kembali menatap
laptopnya. Gantian Al yang melirik Oi. Sahabatnya itu sedang menonton video reality show Wanna One.
“Nggak bosen apa? Nonton Wanna One lagi.” Al mengomentari apa
yang dilakukan Oi.
“Lagi kangen sama mereka. Makin
ditonton makin kangen, makin sedih. Masih ngarep mereka nggak bubar.”
“Gitu susahnya ngefans grup
sementara. Pas kita lagi sayang-sayangnya, mereka disband. Nyesek banget tuh pastinya.”
“Kamu kan bukan Wannable. Tahu apa kamu soal rasa nyesek itu?”
Al tersenyum. Dia memang bukan Wannable—sebutan untuk fans Wanna One, tapi karena Oi, dia jadi suka
Wanna One. Ketika boy band itu bubar, ia pun sempat merasa
sedih.
Suara motor yang berhenti di halaman
depan menyita perhatian Al dan Oi. Keduanya langsung melihat keluar jendela.
Keduanya tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum ketika melihat sosok yang
dibungkus jas hujan warna hitam itu menuntun masuk motor bebeknya.
“Akhirnya!” Al bangkit dari duduknya
dan beranjak menuju belakang.
Oi yang tersenyum menggelengkan
kepala. Ia pun sibuk dengan laptopnya.
Al dan Oi duduk di atas kasur tanpa
ranjang. Memperhatikan Meyra yang sedang sibuk membongkar tas ranselnya. Gadis
berambut ikal yang dicat dark burgundy
itu tak merasa canggung walau ditatap oleh dua orang remaja yang menungguinya
dengan ekspresi tak sabar.
“Tiga hari ini Eonni ke mana aja?” Oi memecah keheningan.
“Nginep di kosan temen. Dia lagi
libur. Minta ditemenin mbolang di Malang. Tadi nobar. Lumayan dapat tiket
nonton gratis. Gantinya cuman suruh review
filmnya aja.” Jawab Meyra yang akhirnya selesai membongkar isi ranselnya.
“Oya, Oi seneng dapat albumnya?
Masih bagus kan kondisinya? Dikerjain sama Al ya? Al sengaja berangkat pagi
biar nggak barengan sama kamu. Katanya, dia seneng liat kamu heboh di kelas.
Caper banget ya si Al. Lagi naksir sapa sih dia?” Meyra lanjut mengoceh.
“Masih segel kok Eonni. Makasih ya.” Oi berterima kasih
dengan tulus. “Gimana nggak heboh, satu-satunya yang aku buru dan akhirnya
dapet. Happy banget dong aku. Yang
bereaksi si Eri.”
“Oh, si Duri Cantik itu ya?” Meyra
teringat bagaimana Al menyebut teman sekelasnya itu. Eri dalam bahasa Jawa
berarti duri. Karena itu Al memanggil Eri dengan sebutan si Duri Cantik.
“Nggak cantik, Eonni.” Oi mengibaskan tangannya di udara. “Cantikan Al jauh lah.
Eri tuh nyebelin yang ada.”
Meyra tersenyum. “Aku yakin emang
lebih cantik adik-adikku ini. Yang satunya rambutnya coklat dan bergelombang,
yang satu rambutnya lurus hitam legam. Satu matanya belo, satu sipit. Kalian
tuh perfect. Cuman nggak modis aja.
Kurang famous juga.”
“Mbak sendiri modis apa?” Al melirik
Meyra.
“Aku suka gaya kasual. Favorit
banget itu.” Meyra membela diri.
“Eonni
walau style-nya kasual masih terkesan
modis kok.” Oi memuji penampilan Meyra.
“Nah tuh! Oi aja paham. Btw, kamu kenapa Al? Aku perhatiin kayak
lagi bete gitu. Ada apa sih?”
Al dan Oi saling memandang dalam
diam. Dengan bahasa tubuh itu saling menuding untuk bicara pada Meyra. Meyra
memperhatikan keduanya dan diam menunggu.
“Anu Eonni…” setelah hening beberapa detik, Oi pun bicara.
“Kenapa? Kalian lagi ada masalah?”
“Itu, Al yang lagi ada masalah.”
“Kita berdua kan!” Al meralat
pernyataan Oi.
“Ono
opo se? Kok jadi saling tuding. Udah ngomong aja. Masalahnya apa?”
“Al nantangin Eri buat ikutan audisi
SMA Wijaya Kusuma Mencari Bakat.” Oi menjelaskan dengan cepat.
Meyra terbengong menatap Al selama
beberapa detik. Lalu, ia tersenyum. “Bagus dong! Akhirnya kalian comeback juga.” Wajah Meyra berseri.
Merasa senang karena Al dan Oi akan kembali ke panggung hiburan.
Ketika Al dan Oi masih kecil, Meyra
sering menjadikan keduanya sebagai boneka untuk mewujudkan ide di kepalanya. Al
dan Oi sering naik pentas membawakan dance
yang diajarkan Meyra. Namun, sejak masuk SMP, dua gadis itu selalu menolak
kalau Meyra meminta mereka naik pentas ketika ada pentas seni di sekolah.
Pertunjukan terakhir Al dan Oi adalah saat pentas perpisahan ketika mereka SD.
“Audisi itu untuk mencari
bakat-bakat sempurna yang akan ditampilkan pada pentas seni sebagai puncak acara
ulang tahun SMA Wijaya Kusuma kan?” Meyra penasaran.
“Itu semua gara-gara Mbak Mey!” Al
sewot.
“Eh? Kok gara-gara aku?” Meyra
menatap Al dengan ekspresi bingung. Kemudian, ia beralih menatap Oi. Berharap
gadis itu mau memberi penjelasan.
Oi menghela napas. “Jadi gini Eonni, anu sebelumnya maaf ya. Oi nggak
bermaksud nyinggung perasaan Eonni.”
Meyra semakin penasaran. Ia pun
membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Siap mendengar penjelasan Oi.
“Dua hari yang lalu, di ruang ganti,
Al berantem sama Eri.”
“Tumben? Biasanya cuman ngedumel aja
sehabis di bully si Duri Cantik. Kok sampek berantem sih?” Meyra semakin
penasaran.
“Anu, itu Eri kayak biasanya ngolok
kami pecinta plastik dan udel.”
Meyra tersenyum mendengarnya. “Masih
masalah itu ya? Gara-gara kalian suka Korea dan India?”
Oi mengangguk.
“Bukannya udah biasa diolok kayak
gitu? Trus, kenapa Al sampai berantem? Eri ngolok Taemin? Ngatain Taemin homo?”
Meyra menduga-duga. Menurutnya mungkin saja Al marah karena Eri mengolok
Taemin, member boy band SHINee yang
diidolakan Al.
“Fangirl
garis keras biasanya marah kalau ultimate
biasnya diolok.” Meyra menambahkan. Bias adalah sebutan untuk aktor atau idola
yang jadi favorit fangirl Kpop
yang merujuk pada individu atau perorangan, bukan grup. Sedangkan ultimate bias adalah bias utama. Idola
yang paling dicintai.
“Karena udah jadi bucin biasnya.
Budak cinta si bias. Makanya kalau biasnya diolok, pasti marah. Aku dulu juga
pernah di masa alay kayak gitu. Zaman awal-awal kenal Mas Jeje.” Meyra
tersenyum mengenang zaman awal ia mengidolakan Kim Jae Joong yang lebih sering
ia sebut dengan panggilan Mas Jeje.
“Tapi, kalau urusannya sama non fans
kayak Eri, emang bisa runyam. Kamu bakalan dikatain aneh, lebay, ngebelain
idola sampai kayak gitu. Padahal Taemin bukan apa-apa kamu. Kenal juga nggak. But it’s OK. Being weird is awesome.” Meyra
tersenyum manis.
Al menatap Meyra dengan sedikit
memicing. Ia kesal pada ocehan panjang Meyra. Namun, ia tak bisa berbicara
langsung pada Meyra alasan kenapa ia sampai menantang Eri.
Meyra mengedipkan kedua mata
bulatnya. Heran melihat reaksi Al usai ia mengoceh panjang lebar. “Aku salah
ngomong ya?”
Oi yang melihat keduanya pun
menghela napas pelan. “Bukan Taemin yang bikin Al marah ke Eri. Tapi, anu, itu Eonni.”
“Eh? Kok aku??” Meyra menatap Oi
dengan ekspresi kaget.
“Anu, itu si Eri waktu ngolok kami
bawa-bawa Eonni.”
Meyra semakin bingung. “Bawa-bawa
aku gimana tho? Sek sek, aku ora mudheng.” Ia benar tak paham.
“Aku kesel karena Eri ngatain Mbak
Mey yang nggak kunjung nikah karena ngehalu ngarep dapat suami kayak Mas Jeje.
Hal yang nurut dia nggak mungkin bakalan terjadi. Mana ada cowok Indonesia yang
tampan kayak Kim Jae Joong? Sebelnya dia pakek nyebut kata perawan tua. Sakit hatiku
dengernya.” Al berbicara dengan lancar. Napasnya terengah-engah karena emosi.
Bahkan, kedua matanya berkaca-kaca.
Oi melongo menatap Al. Ia kaget
karena Al langsung bercerita dengan lancar ketika mengungkapkan rasa kesalnya
pada Meyra.
Meyra terkejut. Ia hanya menatap Al
dalam diam. Sejenak tak bisa berkata apa-apa. Ia terkejut sekaligus terharu. Al
marah pada Eri karena Eri menghinanya. Meyra benar-benar dibuat terharu.
“Padahal dia sendiri kan belum pasti
hidupnya ntar bakalan lebih baik dari Mbak Mey. Lagian tahu apa dia tentang
Mbak Mey yang masih sendiri hingga sekarang. Aku kesel banget Mbak. Sampai aku
dorong dia, aku cengkeram bajunya. Untung Oi melerai. Kalau nggak mungkin udah
habis aku jambak, aku tamparin itu Eri.
“Mana dia tahu tentang Mbak Mey dan
Mas Jeje. Mana dia tahu tentang Mas Jeje yang menginspirasi Mbak Mey sampai
Mbak Mey jadi kayak sekarang. Mana dia tahu sebenarnya seorang Elmeyra
Zakiyyatul Adeera itu siapa. Aku sakit hati banget Mbak denger dia nyebut kata
perawan tua. Emang kenapa kalau Mbak Mey nggak nikah? Nggak salah, kan? Takdir
orang beda-beda. Keliatannya aja pinter, tapi otak masih kayak TK. Sama sekali
nggak terbuka. Kolot!” Al lanjut meluapkan isi hatinya.
Oi diam dan menyimak. Ia
memperhatikan ekspresi Meyra usai mendengar ocehan panjang Al.
Meyra tercenung sejenak. Lalu, ia
tersenyum sembari meraih tangan Al. “Makasih ya Al. Jadi terharu aku.” Ia
mengelus tangan Al yang ia pegang. Akan sulit bagi kita untuk membuat orang
lain memahami posisi kita. Karena, pada dasarnya setiap orang itu maunya
dimengerti, tapi nggak mau mengerti. Jadi, kita yang harus memaklumi mereka.
“Seringnya orang itu hanya menilai
berdasarkan apa yang mereka lihat. Hanya dengan melihat atau mendengar sedikit
saja, mereka sudah membuat penilaian. Padahal seharusnya hal kayak gitu kan
nggak boleh. Manusia menilai sesama manusia, itu nurut aku nggak boleh. Itu
bukan porsi kita sebagai manusia. Karena yang berhak nilai hanya Tuhan.
“Wajar kalau kamu marah ke Eri. Dan,
aku makasih banget buat itu. Artinya kamu sayang sama aku. Makasih ya Al. Makasih
juga masih bisa nahan emosi. Kalau kamu sampai pukulin Eri cuman gara-gara dia
ngatain aku perawan tua kan gawat. Aku inget zaman kamu SD. Kamu berantem sama
temen cowokmu gara-gara temenmu itu ngatain paklek tukang judi. Temenmu sampai
ketakutan karena kamu ngamuk, nendang dia, nempeleng dia. Al kalau marah serem
ya. Nggak kebayang kalau Eri yang ada di posisi temen cowokmu itu.” Meyra
tersenyum pada Al.
“Maaf ya Mbak. Karena Eri benci sama
aku, mbak jadi dibawa-bawa.” Al meminta maaf dengan tulus.
“It’s
OK, honey. Kalau kata BIP di lagu
Korslet, sirik tanda tak mampu, tak mampu jadinya sirik. Eri sirik aja ke
kamu. Karena kamu cantik, pinter, dan punya banyak temen. Iya, kan?”
“Atau, jangan-jangan sebenernya Eri
naksir Arwan? Karena tahu Arwan suka Al, makanya Eri jadi sirik ke Al.” Oi
tiba-tiba menyela. Mengungkap dugaannya.
“Siapa itu Arwan?” Tanya Meyra.
“Temen sekelas kami. Dia naksir Al.
Tapi, Al kayak nggak ada feeling ke
Arwan. Padahal Arwan cakep lho Eonni.
Sebentar.” Oi segera sibuk dengan ponselnya. “Ini lho yang namanya Arwan.” Ia
menunjukkan foto Arwan pada Meyra.
“Eh ganteng lho!” Meyra memuji
ketampanan Arwan usai melihat fotonya. “Dedek emesh banget nih. Cowok Indo rasa
idol Korea. Kenapa nggak mau sih Al?”
“Aku pengen kayak Mbak Mey, nggak
akan pacaran dulu sebelum umur 23. Masa SMA tuh enaknya dinikmati dengan
berteman dengan siapa aja. Karena kalau udah pacaran trus putus, hubungan nggak
akan baik lagi. Aku kaget sih waktu Aning bilang Arwan suka aku. Tapi, sampai
detik ini aku hanya pengen temenan aja sama dia.” Al tersenyum. Ia terlihat
lebih rileks usai mengutarakan perasaannya pada Meyra.
“Baguslah kalau gitu. Masa SMA emang
enaknya buat seneng-seneng, berteman sama siapa aja. Tapi, kalau kamu suka sama
Arwan dan pengen menjalin hubungan, ya nggak papa lho. Asal nggak ganggu
pelajaran kamu.”
“Aku yang nggak setuju Eonni. Pasti aku bakalan sering dicuekin
kalau Al jadian sama Arwan.” Oi keberatan.
“Tenang aja. Aku nggak bakalan
pacaran. Baik itu sama Arwan, atau sama yang lain. Pacaran bukan hal yang
menarik buatku.” Al menyanggupi.
“Kalau Taemin yang ngajak pacaran,
gimana?” Meyra menggoda.
“Nggak bakalan nolak lah.” Al tanpa
ragu.
Al, Meyra, dan Oi tertawa bersama.
“Trus, kalian mau ngapain buat audisi?
Oi bakalan bantuin Al kan?” Meyra bertanya tentang rencana Al dan Oi.
“Terpaksa sih Eonni. Aku kan patner sejati. Nggak bakalan biarin Al menderita
sendirian.” Oi pura-pura terbebani.
Meyra tersenyum melihat tingkah Oi.
“Trus mau apa? Dance?”
“Eonni
kan tahu kami nggak bisa dance.” Oi
menolak.
“Bisa. Buktinya dulu bisa.”
“Kan gerakannya simpel. Beda sama dance cover. Kalau dance cover kan kudu sama koreografinya sama yang asli. Lagian ada
ekskul dance. Mereka pasti tampil
juga.”
“Nggak papa tho. Kan beda. Mereka dari ekskul, kalian individu. Atau yang
paling gampang, nyanyi aja. Kita kan sering nyanyi bareng di Smule.”
“Itu kan di Smule. Kita bisa baca liriknya. Kayak karaoke.”
“Hafalin dong liriknya. Buktinya Oi
kalau denger lagu Wanna One juga auto ikutan nyanyi. Tinggal benerin
hafalannya aja.”
Al dan Oi saling memandang.
“Kalian diejek Eri karena suka Korea
dan India, kan? Tunjukin dong kalau lagu Korea dan India itu sebenernya keren.
Masalah spelling liriknya nggak papa.
Lidah orang Indonesia yang belajar otodidak dari lagu jelas nggak bisa disamain
sama yang serius kursus bahasa Korea.”
Al dan Oi masih diam. Menimbang
usulan Meyra.
“Buktinya lagu Black Pink yang Ddu Du Ddu Du
bisa jadi menjamur di masyarakat, didengerin hampir semua kalangan. Bukan
kalangan kpop fans aja. Itu artinya orang
enjoy dengernya walau nggak tahu isi
lagu sebenarnya apa. So cuek aja.
Asal kalian bisa milih lagu yang tepat dan bawain sebaik mungkin sesuai
kemampuan kalian, aku yakin juri pasti terkesan. Toh cuman buat gugurin
tantangan ikut audisi kan?”
“Kalau misal ntar lolos audisi
gimana?” Tanya Oi.
“Ya nggak papa. Berarti rezeki
kalian buat tampil di pensi ultah sekolah. Al dan Oi mengukir sejarah di SMA
Wijaya Kusuma. Yang penting kalian udah usaha, sisanya serahin aja sama Tuhan.
Tenang aja, Tuhan Maha Asik kok. Dia pasti ngasih apa yang kalian butuhkan.”
Al dan Oi saling memandang. Lalu,
sama-sama tersenyum.
“Eonni
ada usul? Kita bagusnya nyanyi lagu apa buat audisi?” Oi bersemangat.
“Kita lihat file kita di Smule yang
bagus apa.” Meyra mengotak-atik ponselnya. Kemudian sibuk memutar rekaman
kolabarasinya bersama Al dan Oi di aplikasi Smule.
Berikutnya, ketiga gadis itu pun larut dalam diskusi santai membahas penampilan
yang akan dibawakan Al dan Oi saat audisi.
***
0 comments