My 4D’s Seonbae - Episode #32 “Semua Orang Gemar Bermain Teka-teki.”

05:18


Episode #32 “Semua Orang Gemar Bermain Teka-teki.”


Luna diam dalam posisinya ketika Daerin maju selangkah lebih dekat padanya sembari mengucap sebuah ancaman. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi takut sedikitpun. Jihoon yang berdiri di samping kanannya memberengut menatap Daerin. Sedang Seongwoo yang berdiri di samping kanan Daerin dibuat serba salah. Luna dan Daerin adalah teman baiknya. Ia tak tahu harus membela siapa.

“Tenangkan dirimu.” Luna meminta Daerin meredam emosinya.
Mwo?! Tenang?! Kau minta aku tenang?!” Daerin setengah berteriak. Ia mulai dibuat frustrasi melihat sikap Luna.
“Ssh!” Luna meletakkan jari telunjuk tangan kanannya di bibir. Lalu, ia berjalan menuju pintu basecamp yang sedikit terbuka.
Daerin yang sudah diselimuti rasa kesal sampai ke ubun-ubun hanya bisa mengehentakkan kedua kakinya. Jihoon mengerutkan kening melihat tingkah Luna. Seongwoo menatap Luna, lalu Daerin berulang-ulang.
Luna membuka pintu dan melongokkan kepala keluar. Ia menengok situasi di luar basecamp. Setelah yakin situasi aman, ia kembali masuk dan mengunci pintu dari dalam. Saat berjalan kembali menuju tempat ketiga rekannya berada, Luna sibuk dengan ponselnya.
“Daehwi, maafkan aku. Hari ini aku merasa kurang enak badan. Bagaimana kalau kita belanja besok saja? Mm, bisa kan? Maafkan aku. Iya, Jihoon bersamaku. Dia akan mengantarku pulang. Mm, oke. Terima kasih. Tolong sampaikan maafku pada Joohee. Mm, sampai ketemu besok.” Luna mengakhiri obrolannya dengan Daehwi. Kemudian ia kembali berdiri di depan Daerin.
“Dasar psikopat!” Daerin bergumam mengumpat.
Luna menyunggingkan senyum mendengarnya. “Sudah. Kamu mau ngomong apa sekarang? Tapi, jangan keras-keras. Kalau ada yang dengar bisa bahaya.”
“Kau ini!” Daerin geram. Ia menatap Luna selama beberapa detik. Kemudian ia menghela napas panjang sembari merenggangkan kedua tangannya yang terkepal. “Kenapa kau tidak membalas semua pesanku? Kau tahu betapa khawatirnya aku? Bagaimana bisa kau menyeret Daniel dalam masalah ini?” Walau masih terdengar ketus, namun Daerin sudah bisa menurunkan volume suaranya.
“Maaf. Kemarin memang kacau. Tapi, semua sudah terkendali, kan?”
Kening Jihoon berkerut semakin dalam melihat interaksi Luna dan Daerin. Sedang, Seongwoo makin dibuat kebingungan. Ia masih saja menatap Luna dan Daerin secara bergantian.
“Sudah kubilang jangan sentuh dia!” Nada suara Daerin masih dipenuhi emosi.
“Kapan kau bilang begitu? Bukannya kau memintaku membantunya? Karena kau tidak bisa menyentuhnya.” Luna membantah.
Daerin ingin bicara, namun urung. Ia kembali menghela napas. Kali ini terdengar kasar. “Sudah kubilang, tidak semua yang kau inginkan harus kau lakukan. Kau tahu apa resikonya jika Jihoon tidak bertindak?”
Jihoon mengerjapkan mata ketika Daerin menyebut namanya. Tersirat sebuah rasa lega dalam nada bicara Daerin.
“Aku tahu dia akan melakukannya. Karena rasa sukanya padamu tidak main-main. Dari awal aku sudah memberi tahumu, kan?!”
Kening Jihoon kembali berkerut saat menatap Daerin. Ia merasa bingung dengan semua yang diucapkan seniornya itu.
“Maaf, menyela. Sebenarnya apa yang terjadi? Di antara kalian.” Seongwoo yang kebingungan akhirnya bersuara untuk menyela.
“Daerin adalah teman rahasiaku.” Jawab Luna tanpa keraguan.
Bukan hanya Seongwoo yang terkejut ketika mendengarnya. Jihoon pun menunjukkan reaksi yang sama.
“Kalian ingat kasus Bae Jinyoung? Yang merekam pertemuan kami adalah Daerin. Daerin melakukan banyak hal untukku.”
Jadi, Daerin Seonbae tidak melakukan bullying pada Luna? Jihoon berbicara dalam hati.
“Kak-kalian berteman? Sejak kapan?” Seongwoo seperti orang linglung. Masih kaget karena mendapati fakta bahwa Daerin dan Luna yang tak pernah bertegur sapa itu ternyata berteman.
“Sejak pertama kali kami bertemu di sekolah ini. Sebelum hari pertama sekolah. Kami bertemu di depan gerbang sekolah.” Giliran Daerin yang menjelaskan. “Aku hanya ingin melihat bagaimana sekolah SMA ku. Luna juga datang untuk itu. Dia yang menyapaku lebih dulu.”
“Dia sempat mengacuhkanku. Tapi, ketika aku mendekati pos satpam dan melakukan negosiasi, sepertinya dia mulai tertarik.” Luna menyambung penjelasan Daerin.
“Dia berhasil mendapatkan izin untuk masuk. Dia membawa surat bukti bahwa dia diterima di sekolah ini. Dan, dengan senyum sok akrabnya itu dia menudingku dan mengatakan pada satpam bahwa aku temannya. Kami janjian untuk bersama melihat sekolah sebelum hari pertama masuk sekolah. Aku heran kenapa satpam itu percaya dan mengizinkan kami masuk.”
“Walau sempat gengsi, akhirnya dia ikut masuk juga.”
“Walau rasanya canggung, dia tetap mengajakku ngobrol. Bahkan, ia berani meminta nomer ponselku.”
“Entah kenapa dia memberiku nomer ponselnya.”
“Dia berjanji akan menghubungiku saat kami akan berpisah di depan gerbang. Kupikir hanya basa-basi. Tapi, dia benar-benar melakukannya.”
“Walau terkesan ketus, dia tetap membalas pesanku.”
“Dan, kalian menemukan kecocokan satu sama lain?” Seongwoo menyela. “Dari sanalah pertemanan kalian dimulai. Dan, kalian merasa lebih nyaman berteman secara diam-diam seperti itu. Membicarakan segala sesuatunya dalam tulisan. Menyimpan semua rahasia itu dalam ponsel.” Ia dibuat merinding tentang fakta bagaimana Luna dan Daerin menyembunyikan status pertemanan mereka selama setahun lebih.
Jihoon hanya diam. Namun, ia pun merasakan hal yang sama seperti Seongwoo. Ia memang sempat menduga jika Luna punya sekongkolan lain selain dirinya. Tapi, ia tak menyangka jika itu Daerin.
“Sejauh mana kalian saling tahu satu sama lain?” Seongwoo merasa ngeri ketika kembali menatap Daerin dan Luna.
“Bayangkan saja selama setahun, apa saja yang bisa dibicarakan para gadis?” Luna balik bertanya.
“Astaga! Aku benar-benar merinding.” Seongwoo mengusuk kedua lengannya sendiri.
Daerin menatap Jihoon yang tetap bungkam. “Kau mengatakan kau jatuh hati pada Luna sejak kau pertama kali melihatnya saat bunga sakura berguguran, kan?”
Jihoon terkejut mendengar pertanyaan Daerin.
“Tidak usah terkejut seperti itu.” Daerin mengibaskan tangannya di udara. “Bayangkan saja selama setahun, apa saja yang bisa dibicarakan para gadis?” Ia mengulangi ucapan Luna. “Jalan Simni Cherry Blossom. Luna berlibur ke sana denganku. Aku tahu kau berulang kali mengambil foto kami. Bukan, tapi foto Luna. Tapi, aku mengabaikannya. Kalaupun aku katakan, Kucing Hitam ini nggak akan percaya.”
Jihoon berusaha mengingatnya. Tapi, yang ia tahu, Luna sendirian di sana. Ia benar-benar tidak tahu jika Daerin ada di sana.
“Di sana kau memang bisa bergerak bebas. Tapi, aku tahu siapa kamu. Aktor Park Jihoon. Ketika tahu kau masuk ke sekolah ini, aku sempat berniat memberi tahu Luna tentang momen di Jalan Simni Cherry Blossom. Aku punya bukti berupa foto saat kau diam-diam memotret Luna dengan kameramu. Tapi, aku tak mewujudkan niat itu. Kupikir, untuk apa? Tapi, tiba-tiba dia mengatakan jika dia menawarkan sebuah kerjasama dan kau menerimanya. Bagaimana bisa kau mau pura-pura jadi pacar Kucing Hitam?”
Kedua mata sipit Jihoon melebar mendengar pertanyaan yang mengakhiri ocehan Daerin. Dia tahu soal itu? Ia menoleh ke arah kiri. Menatap Luna. Menuntut penjelasan.
“Pura-pura?” Seongwoo kembali dibuat syok. “Jad-jadi… Jihoon dan Luna hanya pura-pura pacaran?”
Queen!” Luna menegur Daerin.
“Ya! Berhenti memanggilku dengan kata itu!” Daerin tak terima.
Luna suka memanggil Daerin dengan nama panggilan Queen. Baginya Daerin itu cantik bak ratu dalam dongeng. Bahkan di ponselnya, ia menyimpan kontak Daerin dengan nama My Queen. Walau Daerin tidak menyukai nama panggilan itu, Luna tetap memakainya. Sedang Daerin memanggil Luna dengan sebutan Kucing Hitam karena Luna menggunakan gambar Luna si Kucing Hitam dalam anime Sailormoon sebagai foto profil di semua akun sosial medianya.
“Toh rahasia kita sudah terbongkar. Lagi pula, Seongwoo tidak akan menyebarkan fakta ini. Jika dia melakukannya, aku akan membunuhnya!” Daerin menyanggupi.
“Kalian berdua psikopat.” Seongwoo bergidik ngeri.
“Kau penasaran hubunganku dengan Daniel?” Daerin kembali menatap Jihoon. “Kang Daniel adalah saudara sepupuku. Ayahnya adalah saudara ayahku.”
Jihoon tampak tak terkejut. Tapi, Seongwoo kembali dibuat ternganga dengan fakta yang diungkap Daerin.
“Ayah dan Ibu Daniel berpisah. Hak asuh Daniel ada pada ibunya. Sejak saat itu aku tidak pernah berhubungan lagi dengannya. Berhubungan dengan baik seperti sebelumnya. Lebih tepatnya begitu. Kami sempat menghabiskan masa kecil bersama. Ketika tahu orang tua Daniel berpisah, aku sedih. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terlalu takut, bahkan untuk tetap menjadi teman baginya.
“Ketika aku tahu dia juga bersekolah di sini, aku senang. Akhirnya dia bisa kembali ke sekolah. Tapi, tetap saja aku tidak bisa melakukan apa-apa. Saat Luna cerita tentang Daniel yang menolongnya dari anjing bernama Bogi, aku memintanya untuk tetap menjadi teman bagi Daniel. Baginya, menemukan seorang teman yang bisa menerimanya bukanlah hal mudah. Aku percaya Luna bisa menjadi teman baginya. Teman yang benar-benar teman tanpa memandang kami siapa. Karena, itu pula yang aku dapatkan darinya.
“Tapi, aku telat menyadari jika sebenarnya Daniel menyukai Luna. Aku tahu kamu dan Luna hanya berpura-pura pacaran. Jadi, kupikir tak mengapa. Aku pun tak tahu hati Luna untuk siapa. Maafkan aku. Aku turut andil dalam kerumitan ini. Maaf karena aku justru meminta Luna tetap tinggal di sisi Daniel, sedang aku tahu ada kamu yang berharap padanya.”
Jihoon menghela napas panjang mendengar penjelasan Daerin.
Ige mwoya?” Seongwoo memegang kepala dengan kedua tangannya. Otaknya seolah akan meledak karena tak mampu mencerna informasi rumit yang bertubi-tubi meresap masuk ke dalamnya.
“Semua ini terjadi karena aku pun mengiyakan. Aku pun minta maaf.” Luna pun meminta maaf pada Jihoon.
Seongwoo mengamati satu per satu orang yang ada bersamanya di basecamp Klub Teater. “Aku bisa gila.” Gumamnya.
“Tolong jangan menjadi gila dulu, Seonbae.” Jihoon meminta Seongwoo untuk kembali pada kesadarannya. “Sekarang kita adalah sekongkolan.”
“Sebenarnya untuk apa skenario ini kalian buat?” Seongwoo menatap Daerin, lalu Luna. “Kalian senang bisa menipu semua orang?”
“Apa maksudmu?” Daerin balik bertanya.
“Kalian saling mengenal, mengetahui rahasia satu sama lain. Tapi, di depan orang kalian berpura-pura tak saling kenal. Demi apa? Apa yang kalian cari dari itu semua? Kalian senang bisa membodohi orang seperti ini?”
“Ya! Seongwoo-ya! Kau ini bicara apa?”
“Kau pikir kami menipumu? Tentang apa?” Luna ikut menegur Seongwoo.
Seongwoo beradu pandang dengan Luna selama beberapa detik. Ia kemudian menghela napas dengan kasar dan memilih untuk menjauh. Duduk di salah satu bangku di dalam basecamp.
“Cue, maksudku Rania mulai mencurigaimu. Semalam dia membagi kecurigaannya padamu denganku.” Luna kembali fokus pada Daerin. “Dia curiga kau membully aku.”
“Wah! Bagus dong? Aku sukses membawakan peran antagonis seperti bagaimana orang melabeli diriku.”
Mian. Karena semua jadi begini kacau.”
“Maaf juga aku sempat meledak tadi. Padahal aku sudah tahu Jihoon sudah ambil tindakan. Tapi, rasanya tetap ingin meluapkan kekesalanku padamu.”
“Nggak papa. Aku pantas mendapatkannya.”
Daerin beralih menatap Jihoon. “Apa dia juga mengabaikanmu semalam? Tsk! Padahal aku sudah mengirim semua informasi tentang apa yang kau lakukan untuknya. Masa iya Kucing Hitam ini sama sekali nggak tersentuh hatinya. Apa hatimu itu terbuat dari batu?” Ia beralih menatap Luna. “Aku salut padamu, Jihoon. Aku yakin andai kau mau, kau bisa pergi kapan saja darinya. Tapi, kau tetap bertahan di sisinya.”
Jihoon tersenyum. “Batu yang keras, akan lunak juga jika setiap hari diberi tetesan air.”
Daerin berdecak. “Luna bukan berhati batu. Tapi, dia berkepala batu. Lihat berapa kali dia terlibat masalah hanya karena kepalanya yang sekeras batu itu!”
Jihoon hanya tersenyum menanggapinya.
“Bagaimanapun juga, terima kasih.” Daerin berterima kasih dengan tulus. “Tindakanmu turut menyelamatkan Daniel.”
Queen.” Luna meminta perhatian Daerin.
Mwo?!” Daerin kembali ketus.
Aniya.
“Wae?”
“Apa kau tidak mengambil kesempatan ini untuk menemui Daniel?”
Daerin tercenung. Diam menatap Luna.
“Hubungan darah itu lebih kuat dari apa pun. Aku yakin dia tidak akan mengabaikanmu.”
Daerin bergeming.
“Lakukan saja seperti apa yang kau lakukan padaku. Marah padanya. Karena dia terlibat masalah denganku dan Jihoon. Tapi, jangan katakan bahwa kita berteman.”
“Tapi…” Jihoon hendak menyela. Namun, Luna tiba-tiba memegang lengannya.
“Mengambil kesempatan untuk memperbaiki sebuah hubungan, aku rasa tidak apa-apa.”
“Apa itu artinya kau akan membuat sebuah kebohongan baru? Skenario baru?” Seongwoo menyahut.
Anee.” Daerin membantah. Ia memutar badannya dan menghadap pada Seongwoo yang duduk jarak tiga langkah saja darinya. “Kenapa kau terus memojokkan kami seperti itu?”
Luna tersenyum ketika menatap Seongwoo. “Dia benar-benar tidak tahu tentang kita.”
Mwo? Tentang kita?” Daerin beralih menatap Luna. “Ada apa dengan kalian? Omo! Jangan katakan jika sebenarnya kalian menjalin hubungan? Kau menjalin hubungan dengan Seongwoo tanpa bilang tentang aku?”
“Ya!” Seongwoo bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Daerin. “Kamu ngomong apa sih?!” Protesnya saat sampai di depan Daerin.
“Bisa aja, kan? Lagian nggak papa kalau kalian saling suka. Itu wajar kok. Jika itu benar, daebak! Bukan Jihoon atau Daniel, tapi Ong Seongwoo. Daebak!
“Dari dulu aku hanya menyukaimu, Kang Daerin!” Seongwoo tiba-tiba mengutarakan isi hatinya.
Mata bulat Luna melebar mendengar pengakuan Seongwoo yang secara tiba-tiba. Jihoon pun sama terkejutnya. Namun, yang paling syok adalah Daerin. Gadis itu tecengang menatap Seongwoo yang berdiri dekat di depannya.
“Iya. Dari dulu aku menyukaimu. Tapi, aku tahu, hanya Jisung yang ada di matamu. Jika hari ini semua membuka kedok masing-masing, apa aku salah jika aku mengakui rasa sukaku padamu?”
“Ya! Michyeosseo??” Daerin dengan nada sedikit meninggi.
“Iya. Aku gila. Karena kamu. Semua kenyataan yang aku terima barusan, membuatku gila. Tapi, kau lah yang paling membuatku gila.”
Michyeo!” Daerin berjalan menuju pintu. Membuka kuncinya dan keluar.
Napas Seongwoo terengah-engah usai ia menyatakan perasaannya pada Daerin. Luna dan Jihoon kompak terdiam. Seongwoo menoleh dan menatap Luna. “Apa aku salah?” Ia meminta persetujuan Luna.
Anee.” Luna menggeleng.
“Lalu, sekarang apa yang harus aku lakukan?”
“Kau suka dia? Kejar dia.”
“Bagaimana kalau dia menolakku?”
“Momennya memang tidak tepat. Tapi, tidak apa-apa. Memang waktumu adalah sekarang. Kejar dia. Dan, jadilah  Seongwoo yang selalu menggangunya walau dia sedang kesal. Bukan kah Seongwoo selalu ada untuk Daerin dalam situasi apa pun? Jangan berubah. Karena Seongwoo seperti itu lah yang tulus menyukai Daerin.”
Seongwoo tersenyum. Ia pun berlari dan mengejar Daerin.

Seketika hening di dalam basecamp Klub Teater setelah Daerin dan Seongwoo pergi. Luna menghela napas, lalu bergerak untuk mengambil tasnya. “Kita pulang.” Luna menyangklet tas punggungnya.
Jihoon tersenyum dan mengedarkan pandangan. Sekilas menerawang ruang basecamp.
Wae?” Luna yang sudah membawa tas milik Jihoon di tangan kanannya menghampiri Jihoon.
“Dari sini kita memulai hubungan kita. Walau itu hanya pura-pura.” Jihoon mengalihkan fokusnya pada Luna. “Hari ini mungkin akan menjadi awal bagi Seongwoo Seonbaenim dan Daerin Seonbaenim.”
“Aku tidak yakin pada mereka. Seperti yang dikatakan Seongwoo, di mata Daerin hanya ada Jisung. Kenapa cinta itu sangat rumit? Padahal kita masih SMA. Harusnya biarkan saja berjalan simpel. Ketika satu hati memilih satu hati lainnya. Hati yang terpilih itu pun memiliki rasa yang sama. Sesimpel itu.”
“Bagaimana dengan hatimu?”
“Hatiku?”
“Mm!” Jihoon menganggukkan kepala. “Apa hatimu benar-benar tak tergerak sedikitpun? Setelah apa yang kita lalui bersama?”
“Aku…” Luna terkejut. Tak bisa melanjutkan kalimatnya karena Jihoon tiba-tiba membungkam bibirnya dengan sebuah ciuman.
Jihoon membungkam bibir Luna dengan bibirnya. Kali ini tidak ingin mendegar apa pun itu yang akan Luna ucapkan. Karena apa pun itu yang akan dikatakan Luna tidak akan merubah keputusannya untuk tetap tinggal.
Rasa hangat itu perlahan berubah menjadi panas yang menjalari tubuh Luna. Ia melepaskan tangan kanannya yang menggenggam tas Jihoon. Namun, tak bisa bergerak untuk menolak ciuman Jihoon. Ia pun memejamkan kedua matanya. Karena ia seolah tak memiliki tenaga untuk lepas dari dekapan Jihoon.
Jihoon mengakhiri ciumannya. Kedua tangannya masih memegang wajah Luna. Ia pun tersenyum. “Ayo, kita pulang!” Ia meraih tasnya yang tergeletak di atas lantai. Lalu, menuntun Luna. Berjalan bersama meninggalkan basecamp.
Luna yang seolah dalam pengaruh sihir. Hanya diam dan mengikuti langkah Jihoon.
***

Rania berada di dalam basecamp Klub Vokal. Tiga teman satu klubnya, Yena, Exy, dan Rina menyambut seperti tempo hari. Ketiga temannya itu bersimpati pada apa yang ia alami. Mereka sempat memojokkan Luna. Tapi, setelah Rania memberi penjelasan, tiga gadis itu pun akhirnya memaklumi tindakan Luna yang menyembunyikan status persahabatannya dengan Rania. Mereka pun bersimpati pada apa yang menimpa Luna sekarang. Keempatnya kompak menutup mulut saat Daerin masuk ke dalam basecamp.
Seperti tempo hari, Daerin masuk tanpa memberi salam pada anggota lain. Ia pun langsung duduk di kursi kebesarannya—yang sebenarnya adalah kursi untuk ketua klub saat rapat. Anggota yang lain pun enggan menyapa Daerin. Mereka memilih diam, sambil sesekali mencuri pandang untuk memperhatikan Daerin, lalu saling berkasak-kusuk.

“Kadang aku heran untuk apa dia bergabung Klub Vokal. Dia jarang, bahkan hampir tidak pernah bicara.” Yena berbisik.
“Sama. Aku juga merasa gitu.” Rina setuju.
“Apa Daerin pernah terlibat bullying?” Rania menyela. Membuat Yena, Rina, dan Exy terkejut.
“Dia emang super jutek banget. Karena itu murid lain males ngobrol sama dia. Tapi, kalau kasus bullying atau dia menindas murid lain, aku belum pernah dengar.” Yena menjawab. Mereka masih berbisik-bisik.
“Jadi, pada males bertemen sama dia karena dia super jutek?” Rania memperjelas maksud Yena. Yena, Rina, dan Exy kompak mengangguk.
“Ya, kenapa kamu tanya gitu?” Exy balik bertanya pada Rania.
Rania tersenyum. “Kupikir murid lain takut sama Daerin karena dia hobi menindas.”
“Bukannya takut. Tapi, malas saja berhubungan dengannya.” Yena meralat.
Rania tersenyum dan menganggukkan kepala.

Pertemuan hari itu lancar. Sungwoon memimpin jalannya diskusi dengan baik. Daerin pun langsung meninggalkan basecamp ketika diskusi berakhir. Sepanjang waktu bersama di dalam basecamp, Rania terus memperhatikan Daerin. Benar yang dikatakan Yena, Daerin diam sejak masuk ke basecamp hingga diskusi berakhir. Rania menjadi ragu pada kecurigaannya sendiri. Sementara ia menyimpulkan, mungkin saja Daerin tidak menindas Luna.
“Kamu pulang ke rooftop Luna?” Sungwoon membuyarkan lamunan Rania.
“Eh? Iya.” Rania tergagap.
“Masih mencurigai Daerin ya?”
Rania tersenyum lalu menggelengkan kepala. “Entahlah. Dia bukan tipe penindas. Hanya sosok yang angkuh hingga membuat yang lain enggan mendekatinya.”
“Begitulah.”
“Lalu, bagaimana dengan Raja Kingkong?”
“Eh?”
“Anu, maksudku Kim Jiyoon Seonbaenim.”
“Tadi itu apa? Bahasa Indonesia, kan? Raj-ja?”
“Bukan apa-apa.”
“Julukan buat Kim Jiyoon Seonbaenim ya?”
“Hehehe.”
“Belum ada perkembangan. Sebenarnya julukan Raja Preman Sekolah itu hanya julukan. Aku payah, kan?” Sungwoon tersenyum canggung.
“Nggak papa. Di atas langit masih ada langit. Mungkin Kim Jiyoon Seonbaenim satu level di atasmu. Hingga kau agak sulit menjamahnya. Tapi, bukan berarti tidak mungkin, kan? Kamu hanya perlu menaikkan levelmu saja.”
Gomawo.”
“Apa dia sebegitu ditakuti?”
“Dia nggak segan main tangan sih.”
“Ke siapa aja?”
Sungwoon mengangguk.
“Dasar Raja Kingkong!” Rania mengumpat pelan.
“Kamu punya ide?”
“Belum.” Rania menggeleng. “Kenapa ini begitu rumit? Siapa musuh Kucing sebenarnya?”
“Kenapa?” Sungwoon menanggapi gumaman Rania.
“Nggak. Nggak papa. Eh, Kucing udah selesai juga kali ya. Aku mau nyusul dia ke basecamp Klub Teater.” Rania merapikan tasnya.
“Aku temani.”
“Oke.” Rania dan Sungwoon pun meninggalkan basecamp bersama.

Rania dan Sungwoon berjalan bersama menyusuri koridor menuju basecamp Klub Teater. Sungwoon menahan langkah Rania karena dari kejauhan ia melihat Daerin keluar dari basecamp Klub Teater. Mereka pun kompak bersembunyi. Saat mengintip, keduanya melihat Daerin berjalan dengan langkah lebar-lebar meninggalkan basecamp Klub Teater.
“Jangan-jangan terjadi sesuatu sama Kucing!” Rania hendak keluar dari persembunyian. Namun, Sungwoon menahannya.
“Jangan dulu!” Sungwoon memegang erat tangan kanan Rania.
“Kalau terjadi sesuatu pada Kucing gimana?”
“Luna nggak mungkin sendirian. Aku, Jisung, Seongwoo, dan Woojin udah sepakat bergantian menemani Luna. Luna nggak boleh sendirian di sekolah. Jadi, kamu tenang ya.”
“Yakin?”
Sungwoon mengangguk yakin. Rania pun tak lagi melawan. Mereka mendengar pintu terbuka. Mereka pun kembali mengintip. Kali ini mereka menemukan Seongwoo yang keluar dari basecamp Klub Teater. Pemuda itu berlari. Sepertinya untuk mengejar Daerin.
“Apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana?” Rania berbisik.
“Coba hubungi Luna.”
“Ya ampun! Bego banget sih gue! Nggak kepikiran hape. Yah, gue ngapain ngomong pakek Bahasa Indonesia sama lo!”
Sungwoon hanya tersenyum menanggapi ocehan Rania yang kemudian sibuk dengan ponselnya.
Rania menelpon Luna. Tersambung. Rania pun menunggu. Cukup lama. Tapi, Luna tak kunjung menerima panggilannya. “Kok nggak diangkat sih!” Rania menatap kesal layar ponselnya dan kembali melakukan panggilan. Tersambung. Namun, seperti sebelumnya. Luna tak menerima panggilan itu. Rania mengulangi kembali panggilannya.
“Apa yang kalian lakukan?”
Suara itu mengejutkan Rania dan Sungwoon. Keduanya kompak menoleh dan menemukan Minhyun sudah berdiri di belakang mereka entah sejak kapan. Rania membalikkan badan, lalu menurunkan tangan kanannya yang memegang ponsel. Mengakhiri panggilan pada Luna. Sungwoon pun turut membalikkan badan. Keduanya kini menghadap pada Minhyun.
***

Di ruang OSIS hanya tersisa Minhyun,Taemin, Myungsoo, dan Hyuri setelah rapat berakhir. Karena mereka berempat mendapat tugas piket di hari yang sama, maka mereka lah yang kebagian tugas merapikan kantor OSIS yang baru saja digunakan untuk rapat anggota.

“Eh, bagaimana perkembangan latihan proyek globalnya?” Hyuri memecah kebisuan usai meletakkan setumpuk buku ke dalam rak.
“Proyek global?” Myungsoo menertawakan kekasihnya yang sedang sibuk menata buku-buku di atas rak.
“Iya, kan? Anggota OSIS murid asli Korea dan murid asing. Apa kalau bukan global?”
“Sabtu nanti sih baru latihan lagi.” Taemin menjawab pertanyaan Hyuri.
“Minhyun canggung tidak berpasangan dengan teman baik Luna? Sabtu kemarin belum tahu sih ya. Tapi, Sabtu nanti?”
“Ya. Kenapa kau bertanya tentang itu? Itu kan personal. Ck!” Myungsoo berdecak. Menegur kekasihnya karena sungkan pada Minhyun.
“Aku yakin Minhyun bisa mengatasinya. Dia kan profesional.” Taemin tersenyum bangga.
“Setuju. Undiannya memilih orang tepat.” Hyuri mendukung. “Kalau canggung, pasti denganmu. Kan gosipnya, kamu pria yang tertolak oleh Luna.” Ia ganti mengolok Taemin.
Taemin tergelak. “Iya, ya. Bagaimana semua itu bisa terjadi?”
“Nah, itu kan ceritamu. Bagaimana kamu nggak tahu? Emang kamu pernah suka sama Luna? Trus ungkapin rasa itu?”
“Siapa sih yang nggak suka Luna? Dia cantik dan baik. Tapi, aku tidak pernah mengatakan padanya kalau aku suka dia.”
Hyuri melirik Minhyun. Pemuda itu tetap sibuk dengan tugasnya merapikan bangku-bangku. “Iya. Bahasan tentang dia memang selalu menarik. Termasuk yang lagi panas-panasnya. Bagaimana mereka bisa menuduh Luna selingkuh dengan Kang Daniel? Sedang di sana ia bersama Jihoon. Dasar orang kurang kerjaan dan sirik! Minhyun, apa hubungan kalian jadi buruk karena salah paham seperti itu? Maaf ya. Tapi, aku jadi ingin tahu.”
Jagiya!” Myungsoo kembali menegur Hyuri. Tapi, gadis itu mengabaikannya.
“Padahal sayang banget kalau teman baik berakhir putus. Setiap kali aku nanya tentang kamu, Luna selalu memuji lho! Minhyun itu 100% baik. Nggak ada cacatnya. Dia masih menyesal soal tugas kalian.”
Minhyun tersenyum canggung menanggapi serangan Hyuri.
“Iya. Sayang banget. Kalau kalian masih berteman, aku yakin kalian akan jadi couple leader seperti Hyuri dan Myungsoo.” Taemin menyambung ocehan Hyuri.
“Kami bukan leader ya! Dan, kami pacaran. Bukan teman baik!” Myungsoo meralat. Membuat Taemin tergelak.
“Setidaknya sama-sama terkenal sebagai couple.” Taemin setelah puas menertawakan sanggahan Myungsoo. “Eh, kayaknya aku ingat deh darimana gosip tentang aku dan Luna bermula.”
Hyuri, Myungsoo, dan Minhyun kompak menaruh perhatian pada Taemin. “Darimana?” Buru Hyuri penasaran.
“Kalau nggak salah sih karena peristiwa itu.Tapi, masa iya sih gara-gara itu?” Jari telunjuk tangan kanan Taemin mengetuk-ngetuk pelan dagunya.
“Peristiwa apa sih? To the point aja!” Hyuri tak sabar.
“Saat Luna masih kelas X. Aku melihatnya berhenti di dekat gerbang. Sepertinya enggan masuk. Padahal sudah mendekati waktu bel masuk. Aku perhatikan dia tidak memakai rompi sweater seragam sekolah kita. Aku menghampirinya dan bertanya kenapa ia di sana. Katanya, karena terburu-buru, ia lupa pada rompi sweaternya. Aku menawarkan rompiku untuknya. Agar ia tidak dihukum. Tapi, Luna menolak.”
“Masa gara-gara itu?”Hyuri serius menanggapi.
“Bisa jadi, kan? Orang yang hanya melihat, tanpa mendengar bisa mengambil kesimpulan seperti itu.” Myungsoo ikut berkomentar.
“Iya juga sih. Apalagi di gerbang yang pasti banyak yang melihat. Walau sebenarnya nggak masuk akal menyatakan perasaan di gerbang, pagi-pagi pula.” Hyuri membenarkan pendapat Myungsoo. “Lagian, kamu ngapain sok pahlawan gitu di depan Luna?”
“Aku khawatir aja. Bukan karena petugas Tata Tertib. Tapi, karena ada Kim Jiyoon dan rekan-rekannya yang sedang tertangkap petugas Tata Tertib.”
“Wah! Ada dia?”
Minhyun mengerutkan keningnya. Walau hanya diam, dia menyimak obrolan ketiga seniornya.
“Iya. Karenanya, aku khawatir. Tapi, Luna memilih masuk. Dia jadi satu-satunya siswi yang dihukum hari itu.” Taemin melanjutkan.
“Aku ingat! Itu sempat heboh, kan? Murid asing dengan nilai Matematika nyaris sempurna membuat onar dan dihukum.” Hyuri teringat pada kehebohan yang pernah terjadi ketika Luna ketahuan dihukum petugas Tata Tertib sekolah.
“Dan, setelah itu rumor tentang Taemin ditolak Luna beredar. Jadi, kemungkinannya 98% benar. Rumor itu karena ada yang melihat Taemin dan Luna di gerbang.” Myungsoo menyambung.
“Nah, iya kan? Wah, pandai sekali yang membuat rumor.” Taemin terkagum-kagum.
“Itu kejam! Bukan pandai.” Hyuri tidak terima Taemin memuji orang yang sengaja mencemarkan nama Luna.
“Kepandaian yang digunakan secara salah.” Myungsoo meralat pernyataan Taemin.
“Nah! Itu!” Taemin setuju.
“Lalu, siapa yang memulai rumor itu? Bisa jadi masih berhubungan dengan peristiwa sekarang. Karena korbannya sama, yaitu Luna. Kamu tahu nggak sih kalau Luna jadi menderita setelah rumor kamu ditolak Luna beredar?” Hyuri sudah duduk di salah satu bangku yang mengitari meja.
“Menderita?” Taemin merasa salah dengar.
“Iya. Kamu termasuk siswa populer di kalangan senior. Nah, senior-senior yang tergila-gila padamu menindas Luna.”
“Luna dibully?” Myungsoo pun merasa salah dengar. “Kenapa kamu baru cerita?”
“Aku saja tahu dari Hami karena Hami keceplosan. Hami nggak sengaja memergoki Luna sedang dibully. Tapi, Luna meminta kami tenang. Dia bisa mengatasinya. Lagi pula, waktu itu apa yang bisa aku perbuat untuk membantu Luna?”
“Wah! Aku nggak nyangka di sekolah kita ada bullying lho!” Taemin menggeleng heran.
“Syukurlah sudah berlalu dan Luna sepertinya baik saja.”
“Sepertinya? Lepas darimu dia malah pacaran sama Jihoon. Apa bedanya? Dia tidak lepas dari cyber bullying.”
“Sudah. Sudah. Kenapa kita jadi membicarakan Luna sih? Aku sudah mengatakan padanya, kalau butuh bantuan jangan sungkan untuk meminta. Jika, dia tidak meminta, anggap saja dia baik-baik saja. Karena, kita tidak punya hak untuk mencampuri urusan pribadinya.” Myungsoo yang dari awal sudah merasa sungkan pada Minhyun segera menutup topik obrolan.
“Maafkan aku jika ini membuatmu nggak nyaman, Minhyun.” Hyuri pun segera meminta maaf.
“Tidak apa-apa Seonbae.” Minhyun tersenyum manis.
“Aku dan Hyuri pulang dulu ya.” Myungsoo pamit. Bersama Hyuri, ia meninggalkan kantor OSIS.
Taemin merapikan barang-barangnya. Sedang Minhyun diam dalam posisinya dan tampak melamun. “Kamu nggak pulang?” Taemin sudah bangkit dari duduknya. Bersiap pergi.
Lamunan Minhyun buyar. Ia mengangkat kepala dan menatap Taemin. “Sebentar lagi.”
Taemin tersenyum. “Tidak apa-apa. Ambil sisi baiknya. Mungkin ada hikmah di balik datangnya Rania dalam hidupmu.”
Kening Minhyun berkerut mendengar ungkapan Taemin.
“Kadang memang dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuat kita sadar. Jika waktumu tiba, jangan menghindar lagi. Kesempatan kadang tidak datang dua kali. Aku pulang!” Taemin pun meninggalkan kantor OSIS.

Minhyun berjalan sendirian menyusuri koridor. Kata-kata yang dilontarkan Taemin terus berputar-putar di otakknya. Ia memilih meninggalkan Luna demi keamanan gadis itu. Walau kenyataan berkata lain, ia enggan kembali untuk berkata jujur pada Luna. Namun, tiba-tiba saja Rania muncul di antara dirinya dan Luna. Ia pun sempat memikirkan dan terus bertanya-tanya tentang hal itu. Namun, ia belum menemukan jawaban. Minhyun merasa terpilihnya ia dan Rania bukanlah sebuah kebetulan biasa.
Langkah Minhyun memelan ketika ia menemukan Rania dan Sungwoon yang bertingkah aneh. Keduanya sepertinya sedang bersembunyi dan mengamati sesuatu. Sebenarnya ia tak mau peduli. Tapi, dari tempat Rania dan Sungwoon berada, mereka bisa mengintai basecamp Klub Teater. Kening Minhyun berkerut. Ia penasaran pada apa yang sedang dilakukan Rania dan Sungwoon. Jika benar mereka mengintai basecamp Klub Teater, pasti ada hubungannya dengan Luna.
Dengan langkah pelan, Minhyun bergerak untuk lebih dekat pada Rania dan Sungwoon. Rania dan Sungwoon saling berbisik. Kemudian Rania sibuk dengan ponselnya. Tak tahan dengan rasa penasarannya, ia pun bertanya, “Apa yang kalian lakukan?”
Rania dan Sungwoon terkejut. Lalu, keduanya kompak membalikkan badan dan menghadap padanya. Namun, Minhyun memilih diam. Menunggu dua teman seangkatannya itu memberi jawaban.
“Kami hendak menyusul Luna.” Sungwoon menjawab dengan santai. “Kenapa kami sembunyi? Karena, kami melihat Daerin keluar dari basecamp Klub Teater.”
Kening Minhyun berkerut ketika mendengar tentang Daerin.
“Nggak lama setelah itu, Seongwoo keluar dari ruang yang sama. Berlari. Sepertinya mengejar Daerin. Aku nggak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Karenanya, aku minta Rania coba hubungi Luna.”
Rania diam, menatap Minhyun yang sepertinya belum puas dengan jawaban Sungwoon. “Aku curiga Daerin menindas Kucing. Anu, maksudku Luna.” Ia pun turut buka suara.
“Wajar kan jika Rania curiga? Karena sikap Daerin yang ya kau tahu lah bagaimana. Dia memang sedikit menyebalkan. Kadang-kadang.”
Minhyun masih bungkam. Namun, fokusnya terganggu ketika melihat Luna dan Jihoon keluar dari basecamp Klub Teater.
Menyadari perubahan Minhyun, Rania dan Sungwoon kompak mengikuti arah perubahan fokus Minhyun dari menatap mereka. Jihoon berjalan menuntun Luna yang berjalan dengan menundukkan kepala. Rania pun bergegas mendekati Luna.
“Cing! Loe baik aja, kan?” Rania berjalan cepat menuju Luna.
Jihoon menghentikan langkahnya. Begitu juga Luna yang juga mengangkat kepalanya. Ia tak menolak ketika Jihoon menggenggam tangannya semakin erat.
“Cue?” Luna terlihat seperti orang ling-lung.
“Ya ampun! Loe kenapa, Cing? Kesambet? Gue telpon, napa nggak loe angkat?” Rania berhenti tepat di depan Luna.
Minhyun dan Sungwoon masih bertahan di tempatnya berdiri. Diam dan menonton adegan pertemuan Rania dan Luna. Sungwoon kembali dibuat kecewa karena ulah Jihoon dan Luna. Sedang Minhyun, ia justru terfokus pada Rania yang mengomeli Luna menggunakan Bahasa Indonesia.
“Eh? Kamu telpon?” Luna masih kebingungan.
“Makanya hape tuh jangan dikasih getar doang! Lagian loe kenapa sih, Cing? Diapain loe sama Daerin sampai loe linglung kayak gini?”
Luna mengerjapkan kedua matanya. Rasa hangat itu masih terasa di tubuhnya. Baru ia menyadari genggaman erat Jihoon di tangan kanannya. Ia pun buru-buru melepasnya. “Daerin?” Luna mulai kembali pada kesadarannya.
“Iya. Gue liat dia keluar dari basecamp Klub Teater. Ngapain dia di sana?”
“Nggak kok. Nggak papa.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Emang bener Daerin nggak ngapa-ngapain Kucing?” Rania beralih pada Jihoon. “Yelah! Ngapain gue ngomong pakek Bahasa Indonesia sama loe!”
“Kita pulang!” Luna meraih lengan Rania dan menyeretnya untuk pergi.
“Eh! Bentar! Sungwoon! Makasih ya!” Rania melambaikan tangan pada Sungwoon.

Sungwoon tersenyum dan mengangkat tangan kanannya sebagai balasan untuk Rania. Ia menghela napas panjang. Melihat Luna berjalan menyeret Rania dan Jihoon berjalan di belakangnya. Kemudian, ia kembali menatap Minhyun yang masih menatap pada rombongan Luna yang menjauh.
Minhyun menyimak bagaimana interaksi Rania dan Luna. Baginya, hal itu terlihat sangat menarik. Apa sebenarnya maksud di balik ini semua? Batinnya.
“Minhyun-aa!”
Minhyun mengalihkan pandangan pada Sungwoon.
“Apa menurutmu Daerin ada hubungannya dengan kasus Luna?”
“Kenapa kau bertanya padaku?”
“Karena kau yang lebih dulu mengenal Luna. Jauh sebelum kami.”
Minhyun diam. Tidak ada keinginan untuk pergi demi menghindari pertanyaan tentang Luna.
“Menurutmu, apa mungkin Luna bisa bermasalah dengan Daerin?”
Minhyun diam selama beberapa detik. “Tidak.” Kemudian ia pun memberi jawaban. “Luna bukan tipe orang yang gemar membuat masalah. Tapi, kadang ia membuat dirinya terseret dalam masalah seseorang.”
“Seperti masalah Bae Jinyoung?”
Minhyun mengangguk.
“Apa dia selalu peduli seperti itu pada orang lain? Sampai rela membuat dirinya sendiri kerepotan?”
“Tidak juga. Dia menyebutnya, hanya untuk yang terkoneksi denganku.”
“Terkoneksi denganmu?”
“Bukan denganku. Tapi, dengan diri Luna sendiri.”
“Oh!” Sungwoon mengangguk-anggukan kepala. “Jadi, ia hanya membantu orang yang menarik minatnya.”
“Iya.”
“Baiklah. Terima kasih.” Sungwoon tersenyum, lalu pergi meninggalkan Minhyun yang masih bertahan di tempatnya berdiri.
Segala hal tentang Rania dan Luna kembali berputar-putar di otaknya. Minhyun menghela napas panjang. Ia pun kembali berjalan untuk pulang.
***

Daniel sibuk mencuci peralatan makan di dapur cafe. Karena merasa tak nyaman, ia memilih tugas mencuci peralatan daripada melayani pelanggan di depan. Bukan hanya sekedar perasaannya saja, tapi hari ini cafe memang lebih ramai dari biasanya. Saat diam dan mencuci seperti itu, ia kembali teringat tentang dirinya, Luna, dan Jihoon. Kita jalani saja seperti skenario yang ada saat ini. Kau adalah pacar Luna dan aku teman baiknya. Daniel tersenyum kecut mengingat ucapannya sendiri pada Jihoon saat bertemu di ruang fotocopy.
“Dan aku teman baiknya? Haruskah selamanya seperti itu?” Daniel bergumam.
“Ya ampun! Ada apa dengan hari ini?” Rekan kerja Daniel membawa satu nampan peralatan kotor ke tempat cuci piring.
Daniel sekilas saja mengalihkan perhatiannya dari peralatan yang ia cuci pada gadis yang kini sudah berdiri di samping kirinya.
“Padahal dia lagi vakum, kan? Sudah begini ramai. Bagaimana kalau masih aktif. Hebatnya kekuatan seorang idola.” Gadis itu menggeleng heran.
Noona lelah?” Daniel tersenyum menanggapi ocehan rekan kerja yang cukup dekat dengannya itu. “Aku tidak salah merekomendasikan orang, kan?”
“Eh, tadi ada yang nanya tentang kamu juga lho! Apa kamu masuk kerja hari ini. Itu fansnya Jihoon gila ya? Masa rata-rata nanya, pas di sini Jihoon duduk di mana? Ya ampun!”
Daniel terkekeh.
“Kalau kelak kamu yang jadi terkenal, jangan-jangan bakalan banyak yang melamar kerja di sini.”
Daniel tergelak. “Terkenal karena apa? Sekarang sudah terkenal karena merebut pacar Jihoon?”
“Nggak lah! Eh, bukannya kamu menyukai gadis itu ya? Bagaimana bisa?”
“Aku juga nggak tahu.”
“Sial sekali kamu.”
“Tapi, masih punya harapan, kan? Mereka bisa saja putus.”
“Ya! Bagaimana nasib gadis itu kalau kamu sampai berakhir jalan sama dia. Ck!”
Daniel tersenyum kecut.
“Tapi, kalau jodoh pasti ada jalan. Cinta itu kan misteri. Kita nggak pernah bisa menebaknya.”
Noona mendukungku atau bagaimana?”
Noonamu ini akan selalu mendukungmu. Mendoakan yang terbaik untukmu. Bersabarlah. Jika dia memang untukmu, dia pasti akan jadi milikmu.”
Gomawo.”
Daniel dan rekan kerjanya kompak tertawa.
“Ya, Kang Daniel.” Seorang pemuda berjalan mendekat. Ia sama-sama pekerja paruh waktu seperti Daniel. “Biar aku gantikan tugasmu.”
Wae?” Gadis rekan kerja Daniel bertanya. “Bos meminta Daniel melayani pelanggan di luar?”
“Bukan. Ada yang mencari Kang Daniel. Sini biar aku selesaikan. Ini perintah Bos.”
“Perintah Bos? Ya, Kang Daniel. Ini pasti penting. Segera tinggalkan tugasmu!”
“Tapi, aku harus ke mana? Dan, melakukan apa?” Daniel sembari mengeringkan tangannya.
“Bos menunggumu di ruangannya.”
“Bos?? Ada apa sebenarnya??”
Daniel mengangkat kedua bahunya dan menggeleng.
“Kamu lekas pergi sana. Daripada aku yang kena marah.” Pemuda itu sudah mengambil alih tugas Daniel.
Daniel menatap Noona-nya sejenak. Gadis itu tersenyum dan menganggukkan kepala. Daniel membalas senyum, lalu pergi meninggalkan dapur.
“Semoga saja bukan hal yang buruk.” Gadis itu berdoa dengan tulus. Ia pun meninggalkan dapur untuk kembali melayani pelanggan.

Sepanjang perjalanan menuju ruangan bosnya, Daniel terus memikirkan segala kemungkinan yang menjadi alasan ia dipanggil bosnya. Karena insiden fotonya dan Luna, bisa saja ia mendapat masalah serius seperti diberhentikan dari kerja paruh waktunya. Ia yakin pengunjung yang membludak hari ini rata-rata adalah fans Jihoon. Ia juga yakin tak semuanya datang dengan niat baik. Ia harus siap jika benar itu yang terjadi. Ia dipanggil karena akan diberhentikan dari pekerjaannya.
Daniel sampai di depan ruangan bosnya. Ia menatap pintu kayu berwarna coklat tua di hadapannya. Setelah menghela napas, ia pun mengangkat tangan kanannya dan mulai mengetuk pintu itu. “Permisi. Ini saya, Kang Daniel.”
***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews