My 4D’s Seonbae - Episode #32 “Semua Orang Gemar Bermain Teka-teki.”
05:18
Episode #32 “Semua Orang Gemar Bermain Teka-teki.”
Luna diam dalam posisinya ketika
Daerin maju selangkah lebih dekat padanya sembari mengucap sebuah ancaman.
Wajahnya tak menunjukkan ekspresi takut sedikitpun. Jihoon yang berdiri di samping
kanannya memberengut menatap Daerin. Sedang Seongwoo yang berdiri di samping
kanan Daerin dibuat serba salah. Luna dan Daerin adalah teman baiknya. Ia tak
tahu harus membela siapa.
“Tenangkan dirimu.” Luna meminta
Daerin meredam emosinya.
“Mwo?!
Tenang?! Kau minta aku tenang?!” Daerin setengah berteriak. Ia mulai dibuat
frustrasi melihat sikap Luna.
“Ssh!” Luna meletakkan jari telunjuk
tangan kanannya di bibir. Lalu, ia berjalan menuju pintu basecamp yang sedikit terbuka.
Daerin yang sudah diselimuti rasa
kesal sampai ke ubun-ubun hanya bisa mengehentakkan kedua kakinya. Jihoon
mengerutkan kening melihat tingkah Luna. Seongwoo menatap Luna, lalu Daerin
berulang-ulang.
Luna membuka pintu dan melongokkan
kepala keluar. Ia menengok situasi di luar basecamp.
Setelah yakin situasi aman, ia kembali masuk dan mengunci pintu dari dalam.
Saat berjalan kembali menuju tempat ketiga rekannya berada, Luna sibuk dengan
ponselnya.
“Daehwi, maafkan aku. Hari ini aku
merasa kurang enak badan. Bagaimana kalau kita belanja besok saja? Mm, bisa
kan? Maafkan aku. Iya, Jihoon bersamaku. Dia akan mengantarku pulang. Mm, oke.
Terima kasih. Tolong sampaikan maafku pada Joohee. Mm, sampai ketemu besok.” Luna
mengakhiri obrolannya dengan Daehwi. Kemudian ia kembali berdiri di depan
Daerin.
“Dasar psikopat!” Daerin bergumam
mengumpat.
Luna menyunggingkan senyum
mendengarnya. “Sudah. Kamu mau ngomong apa sekarang? Tapi, jangan keras-keras.
Kalau ada yang dengar bisa bahaya.”
“Kau ini!” Daerin geram. Ia menatap
Luna selama beberapa detik. Kemudian ia menghela napas panjang sembari
merenggangkan kedua tangannya yang terkepal. “Kenapa kau tidak membalas semua
pesanku? Kau tahu betapa khawatirnya aku? Bagaimana bisa kau menyeret Daniel
dalam masalah ini?” Walau masih terdengar ketus, namun Daerin sudah bisa
menurunkan volume suaranya.
“Maaf. Kemarin memang kacau. Tapi,
semua sudah terkendali, kan?”
Kening Jihoon berkerut semakin dalam
melihat interaksi Luna dan Daerin. Sedang, Seongwoo makin dibuat kebingungan.
Ia masih saja menatap Luna dan Daerin secara bergantian.
“Sudah kubilang jangan sentuh dia!” Nada
suara Daerin masih dipenuhi emosi.
“Kapan kau bilang begitu? Bukannya
kau memintaku membantunya? Karena kau tidak bisa menyentuhnya.” Luna membantah.
Daerin ingin bicara, namun urung. Ia
kembali menghela napas. Kali ini terdengar kasar. “Sudah kubilang, tidak semua
yang kau inginkan harus kau lakukan. Kau tahu apa resikonya jika Jihoon tidak
bertindak?”
Jihoon mengerjapkan mata ketika
Daerin menyebut namanya. Tersirat sebuah rasa lega dalam nada bicara Daerin.
“Aku tahu dia akan melakukannya.
Karena rasa sukanya padamu tidak main-main. Dari awal aku sudah memberi tahumu,
kan?!”
Kening Jihoon kembali berkerut saat
menatap Daerin. Ia merasa bingung dengan semua yang diucapkan seniornya itu.
“Maaf, menyela. Sebenarnya apa yang
terjadi? Di antara kalian.” Seongwoo yang kebingungan akhirnya bersuara untuk
menyela.
“Daerin adalah teman rahasiaku.” Jawab
Luna tanpa keraguan.
Bukan hanya Seongwoo yang terkejut
ketika mendengarnya. Jihoon pun menunjukkan reaksi yang sama.
“Kalian ingat kasus Bae Jinyoung?
Yang merekam pertemuan kami adalah Daerin. Daerin melakukan banyak hal
untukku.”
Jadi, Daerin Seonbae tidak melakukan bullying pada Luna? Jihoon berbicara dalam hati.
“Kak-kalian berteman? Sejak kapan?” Seongwoo
seperti orang linglung. Masih kaget karena mendapati fakta bahwa Daerin dan
Luna yang tak pernah bertegur sapa itu ternyata berteman.
“Sejak pertama kali kami bertemu di
sekolah ini. Sebelum hari pertama sekolah. Kami bertemu di depan gerbang
sekolah.” Giliran Daerin yang menjelaskan. “Aku hanya ingin melihat bagaimana
sekolah SMA ku. Luna juga datang untuk itu. Dia yang menyapaku lebih dulu.”
“Dia sempat mengacuhkanku. Tapi,
ketika aku mendekati pos satpam dan melakukan negosiasi, sepertinya dia mulai
tertarik.” Luna menyambung penjelasan Daerin.
“Dia berhasil mendapatkan izin untuk
masuk. Dia membawa surat bukti bahwa dia diterima di sekolah ini. Dan, dengan
senyum sok akrabnya itu dia menudingku dan mengatakan pada satpam bahwa aku
temannya. Kami janjian untuk bersama melihat sekolah sebelum hari pertama masuk
sekolah. Aku heran kenapa satpam itu percaya dan mengizinkan kami masuk.”
“Walau sempat gengsi, akhirnya dia
ikut masuk juga.”
“Walau rasanya canggung, dia tetap
mengajakku ngobrol. Bahkan, ia berani meminta nomer ponselku.”
“Entah kenapa dia memberiku nomer
ponselnya.”
“Dia berjanji akan menghubungiku
saat kami akan berpisah di depan gerbang. Kupikir hanya basa-basi. Tapi, dia
benar-benar melakukannya.”
“Walau terkesan ketus, dia tetap
membalas pesanku.”
“Dan, kalian menemukan kecocokan
satu sama lain?” Seongwoo menyela. “Dari sanalah pertemanan kalian dimulai.
Dan, kalian merasa lebih nyaman berteman secara diam-diam seperti itu.
Membicarakan segala sesuatunya dalam tulisan. Menyimpan semua rahasia itu dalam
ponsel.” Ia dibuat merinding tentang fakta bagaimana Luna dan Daerin
menyembunyikan status pertemanan mereka selama setahun lebih.
Jihoon hanya diam. Namun, ia pun
merasakan hal yang sama seperti Seongwoo. Ia memang sempat menduga jika Luna
punya sekongkolan lain selain dirinya. Tapi, ia tak menyangka jika itu Daerin.
“Sejauh mana kalian saling tahu satu
sama lain?” Seongwoo merasa ngeri ketika kembali menatap Daerin dan Luna.
“Bayangkan saja selama setahun, apa
saja yang bisa dibicarakan para gadis?” Luna balik bertanya.
“Astaga! Aku benar-benar merinding.”
Seongwoo mengusuk kedua lengannya sendiri.
Daerin menatap Jihoon yang tetap
bungkam. “Kau mengatakan kau jatuh hati pada Luna sejak kau pertama kali
melihatnya saat bunga sakura berguguran, kan?”
Jihoon terkejut mendengar pertanyaan
Daerin.
“Tidak usah terkejut seperti itu.” Daerin
mengibaskan tangannya di udara. “Bayangkan saja selama setahun, apa saja yang
bisa dibicarakan para gadis?” Ia mengulangi ucapan Luna. “Jalan Simni Cherry Blossom. Luna berlibur ke sana denganku. Aku
tahu kau berulang kali mengambil foto kami. Bukan, tapi foto Luna. Tapi, aku
mengabaikannya. Kalaupun aku katakan, Kucing Hitam ini nggak akan percaya.”
Jihoon berusaha mengingatnya. Tapi,
yang ia tahu, Luna sendirian di sana. Ia benar-benar tidak tahu jika Daerin ada
di sana.
“Di sana kau memang bisa bergerak
bebas. Tapi, aku tahu siapa kamu. Aktor Park Jihoon. Ketika tahu kau masuk ke
sekolah ini, aku sempat berniat memberi tahu Luna tentang momen di Jalan Simni Cherry Blossom. Aku punya
bukti berupa foto saat kau diam-diam memotret Luna dengan kameramu. Tapi, aku
tak mewujudkan niat itu. Kupikir, untuk apa? Tapi, tiba-tiba dia mengatakan
jika dia menawarkan sebuah kerjasama dan kau menerimanya. Bagaimana bisa kau
mau pura-pura jadi pacar Kucing Hitam?”
Kedua mata sipit Jihoon melebar
mendengar pertanyaan yang mengakhiri ocehan Daerin. Dia tahu soal itu? Ia menoleh ke arah kiri. Menatap Luna. Menuntut
penjelasan.
“Pura-pura?” Seongwoo kembali dibuat
syok. “Jad-jadi… Jihoon dan Luna hanya pura-pura pacaran?”
“Queen!”
Luna menegur Daerin.
“Ya! Berhenti memanggilku dengan
kata itu!” Daerin tak terima.
Luna suka memanggil Daerin dengan
nama panggilan Queen. Baginya Daerin
itu cantik bak ratu dalam dongeng. Bahkan di ponselnya, ia menyimpan kontak
Daerin dengan nama My Queen. Walau
Daerin tidak menyukai nama panggilan itu, Luna tetap memakainya. Sedang Daerin
memanggil Luna dengan sebutan Kucing Hitam karena Luna menggunakan gambar Luna
si Kucing Hitam dalam anime Sailormoon
sebagai foto profil di semua akun sosial medianya.
“Toh rahasia kita sudah terbongkar.
Lagi pula, Seongwoo tidak akan menyebarkan fakta ini. Jika dia melakukannya,
aku akan membunuhnya!” Daerin menyanggupi.
“Kalian berdua psikopat.” Seongwoo
bergidik ngeri.
“Kau penasaran hubunganku dengan
Daniel?” Daerin kembali menatap Jihoon. “Kang Daniel adalah saudara sepupuku.
Ayahnya adalah saudara ayahku.”
Jihoon tampak tak terkejut. Tapi,
Seongwoo kembali dibuat ternganga dengan fakta yang diungkap Daerin.
“Ayah dan Ibu Daniel berpisah. Hak
asuh Daniel ada pada ibunya. Sejak saat itu aku tidak pernah berhubungan lagi
dengannya. Berhubungan dengan baik seperti sebelumnya. Lebih tepatnya begitu.
Kami sempat menghabiskan masa kecil bersama. Ketika tahu orang tua Daniel
berpisah, aku sedih. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terlalu takut,
bahkan untuk tetap menjadi teman baginya.
“Ketika aku tahu dia juga bersekolah
di sini, aku senang. Akhirnya dia bisa kembali ke sekolah. Tapi, tetap saja aku
tidak bisa melakukan apa-apa. Saat Luna cerita tentang Daniel yang menolongnya
dari anjing bernama Bogi, aku memintanya untuk tetap menjadi teman bagi Daniel.
Baginya, menemukan seorang teman yang bisa menerimanya bukanlah hal mudah. Aku
percaya Luna bisa menjadi teman baginya. Teman yang benar-benar teman tanpa
memandang kami siapa. Karena, itu pula yang aku dapatkan darinya.
“Tapi, aku telat menyadari jika
sebenarnya Daniel menyukai Luna. Aku tahu kamu dan Luna hanya berpura-pura
pacaran. Jadi, kupikir tak mengapa. Aku pun tak tahu hati Luna untuk siapa.
Maafkan aku. Aku turut andil dalam kerumitan ini. Maaf karena aku justru
meminta Luna tetap tinggal di sisi Daniel, sedang aku tahu ada kamu yang
berharap padanya.”
Jihoon menghela napas panjang
mendengar penjelasan Daerin.
“Ige
mwoya?” Seongwoo memegang kepala dengan kedua tangannya. Otaknya seolah
akan meledak karena tak mampu mencerna informasi rumit yang bertubi-tubi
meresap masuk ke dalamnya.
“Semua ini terjadi karena aku pun
mengiyakan. Aku pun minta maaf.” Luna pun meminta maaf pada Jihoon.
Seongwoo mengamati satu per satu
orang yang ada bersamanya di basecamp
Klub Teater. “Aku bisa gila.” Gumamnya.
“Tolong jangan menjadi gila dulu, Seonbae.” Jihoon meminta Seongwoo untuk
kembali pada kesadarannya. “Sekarang kita adalah sekongkolan.”
“Sebenarnya untuk apa skenario ini kalian buat?” Seongwoo menatap Daerin, lalu Luna. “Kalian senang bisa menipu semua orang?”
“Sebenarnya untuk apa skenario ini kalian buat?” Seongwoo menatap Daerin, lalu Luna. “Kalian senang bisa menipu semua orang?”
“Apa maksudmu?” Daerin balik
bertanya.
“Kalian saling mengenal, mengetahui
rahasia satu sama lain. Tapi, di depan orang kalian berpura-pura tak saling
kenal. Demi apa? Apa yang kalian cari dari itu semua? Kalian senang bisa
membodohi orang seperti ini?”
“Ya! Seongwoo-ya! Kau ini bicara
apa?”
“Kau pikir kami menipumu? Tentang
apa?” Luna ikut menegur Seongwoo.
Seongwoo beradu pandang dengan Luna
selama beberapa detik. Ia kemudian menghela napas dengan kasar dan memilih
untuk menjauh. Duduk di salah satu bangku di dalam basecamp.
“Cue, maksudku Rania mulai
mencurigaimu. Semalam dia membagi kecurigaannya padamu denganku.” Luna kembali
fokus pada Daerin. “Dia curiga kau membully aku.”
“Wah! Bagus dong? Aku sukses
membawakan peran antagonis seperti bagaimana orang melabeli diriku.”
“Mian.
Karena semua jadi begini kacau.”
“Maaf juga aku sempat meledak tadi.
Padahal aku sudah tahu Jihoon sudah ambil tindakan. Tapi, rasanya tetap ingin
meluapkan kekesalanku padamu.”
“Nggak papa. Aku pantas
mendapatkannya.”
Daerin beralih menatap Jihoon. “Apa
dia juga mengabaikanmu semalam? Tsk!
Padahal aku sudah mengirim semua informasi tentang apa yang kau lakukan
untuknya. Masa iya Kucing Hitam ini sama sekali nggak tersentuh hatinya. Apa
hatimu itu terbuat dari batu?” Ia beralih menatap Luna. “Aku salut padamu,
Jihoon. Aku yakin andai kau mau, kau bisa pergi kapan saja darinya. Tapi, kau
tetap bertahan di sisinya.”
Jihoon tersenyum. “Batu yang keras,
akan lunak juga jika setiap hari diberi tetesan air.”
Daerin berdecak. “Luna bukan berhati
batu. Tapi, dia berkepala batu. Lihat berapa kali dia terlibat masalah hanya
karena kepalanya yang sekeras batu itu!”
Jihoon hanya tersenyum
menanggapinya.
“Bagaimanapun juga, terima kasih.” Daerin
berterima kasih dengan tulus. “Tindakanmu turut menyelamatkan Daniel.”
“Queen.”
Luna meminta perhatian Daerin.
“Mwo?!”
Daerin kembali ketus.
“Aniya.”
“Wae?”
“Apa kau tidak mengambil kesempatan
ini untuk menemui Daniel?”
Daerin tercenung. Diam menatap Luna.
“Hubungan darah itu lebih kuat dari
apa pun. Aku yakin dia tidak akan mengabaikanmu.”
Daerin bergeming.
“Lakukan saja seperti apa yang kau
lakukan padaku. Marah padanya. Karena dia terlibat masalah denganku dan Jihoon.
Tapi, jangan katakan bahwa kita berteman.”
“Tapi…” Jihoon hendak menyela.
Namun, Luna tiba-tiba memegang lengannya.
“Mengambil kesempatan untuk
memperbaiki sebuah hubungan, aku rasa tidak apa-apa.”
“Apa itu artinya kau akan membuat
sebuah kebohongan baru? Skenario baru?” Seongwoo menyahut.
“Anee.”
Daerin membantah. Ia memutar badannya dan menghadap pada Seongwoo yang duduk jarak
tiga langkah saja darinya. “Kenapa kau terus memojokkan kami seperti itu?”
Luna tersenyum ketika menatap
Seongwoo. “Dia benar-benar tidak tahu tentang kita.”
“Mwo?
Tentang kita?” Daerin beralih menatap Luna. “Ada apa dengan kalian? Omo! Jangan katakan jika sebenarnya
kalian menjalin hubungan? Kau menjalin hubungan dengan Seongwoo tanpa bilang
tentang aku?”
“Ya!” Seongwoo bangkit dari duduknya
dan berjalan menghampiri Daerin. “Kamu ngomong apa sih?!” Protesnya saat sampai
di depan Daerin.
“Bisa aja, kan? Lagian nggak papa
kalau kalian saling suka. Itu wajar kok. Jika itu benar, daebak! Bukan Jihoon atau Daniel, tapi Ong Seongwoo. Daebak!”
“Dari dulu aku hanya menyukaimu,
Kang Daerin!” Seongwoo tiba-tiba mengutarakan isi hatinya.
Mata bulat Luna melebar mendengar
pengakuan Seongwoo yang secara tiba-tiba. Jihoon pun sama terkejutnya. Namun,
yang paling syok adalah Daerin. Gadis itu tecengang menatap Seongwoo yang
berdiri dekat di depannya.
“Iya. Dari dulu aku menyukaimu.
Tapi, aku tahu, hanya Jisung yang ada di matamu. Jika hari ini semua membuka
kedok masing-masing, apa aku salah jika aku mengakui rasa sukaku padamu?”
“Ya! Michyeosseo??” Daerin dengan nada sedikit meninggi.
“Iya. Aku gila. Karena kamu. Semua
kenyataan yang aku terima barusan, membuatku gila. Tapi, kau lah yang paling
membuatku gila.”
“Michyeo!”
Daerin berjalan menuju pintu. Membuka kuncinya dan keluar.
Napas Seongwoo terengah-engah usai
ia menyatakan perasaannya pada Daerin. Luna dan Jihoon kompak terdiam. Seongwoo
menoleh dan menatap Luna. “Apa aku salah?” Ia meminta persetujuan Luna.
“Anee.”
Luna menggeleng.
“Lalu, sekarang apa yang harus aku lakukan?”
“Kau suka dia? Kejar dia.”
“Bagaimana kalau dia menolakku?”
“Momennya memang tidak tepat. Tapi,
tidak apa-apa. Memang waktumu adalah sekarang. Kejar dia. Dan, jadilah
Seongwoo yang selalu menggangunya walau dia sedang kesal. Bukan kah
Seongwoo selalu ada untuk Daerin dalam situasi apa pun? Jangan berubah. Karena
Seongwoo seperti itu lah yang tulus menyukai Daerin.”
Seongwoo tersenyum. Ia pun berlari
dan mengejar Daerin.
Seketika hening di dalam basecamp Klub Teater setelah Daerin dan
Seongwoo pergi. Luna menghela napas, lalu bergerak untuk mengambil tasnya.
“Kita pulang.” Luna menyangklet tas punggungnya.
Jihoon tersenyum dan mengedarkan
pandangan. Sekilas menerawang ruang basecamp.
“Wae?”
Luna yang sudah membawa tas milik Jihoon di tangan kanannya menghampiri Jihoon.
“Dari sini kita memulai hubungan kita.
Walau itu hanya pura-pura.” Jihoon mengalihkan fokusnya pada Luna. “Hari ini
mungkin akan menjadi awal bagi Seongwoo Seonbaenim
dan Daerin Seonbaenim.”
“Aku tidak yakin pada mereka.
Seperti yang dikatakan Seongwoo, di mata Daerin hanya ada Jisung. Kenapa cinta
itu sangat rumit? Padahal kita masih SMA. Harusnya biarkan saja berjalan
simpel. Ketika satu hati memilih satu hati lainnya. Hati yang terpilih itu pun memiliki
rasa yang sama. Sesimpel itu.”
“Bagaimana dengan hatimu?”
“Hatiku?”
“Mm!” Jihoon menganggukkan kepala. “Apa
hatimu benar-benar tak tergerak sedikitpun? Setelah apa yang kita lalui
bersama?”
“Aku…” Luna terkejut. Tak bisa
melanjutkan kalimatnya karena Jihoon tiba-tiba membungkam bibirnya dengan
sebuah ciuman.
Jihoon membungkam bibir Luna dengan
bibirnya. Kali ini tidak ingin mendegar apa pun itu yang akan Luna ucapkan.
Karena apa pun itu yang akan dikatakan Luna tidak akan merubah keputusannya
untuk tetap tinggal.
Rasa hangat itu perlahan berubah
menjadi panas yang menjalari tubuh Luna. Ia melepaskan tangan kanannya yang
menggenggam tas Jihoon. Namun, tak bisa bergerak untuk menolak ciuman Jihoon.
Ia pun memejamkan kedua matanya. Karena ia seolah tak memiliki tenaga untuk
lepas dari dekapan Jihoon.
Jihoon mengakhiri ciumannya. Kedua
tangannya masih memegang wajah Luna. Ia pun tersenyum. “Ayo, kita pulang!” Ia
meraih tasnya yang tergeletak di atas lantai. Lalu, menuntun Luna. Berjalan
bersama meninggalkan basecamp.
Luna yang seolah dalam pengaruh
sihir. Hanya diam dan mengikuti langkah Jihoon.
***
Rania berada di dalam basecamp Klub Vokal. Tiga teman satu
klubnya, Yena, Exy, dan Rina menyambut seperti tempo hari. Ketiga temannya itu
bersimpati pada apa yang ia alami. Mereka sempat memojokkan Luna. Tapi, setelah
Rania memberi penjelasan, tiga gadis itu pun akhirnya memaklumi tindakan Luna
yang menyembunyikan status persahabatannya dengan Rania. Mereka pun bersimpati
pada apa yang menimpa Luna sekarang. Keempatnya kompak menutup mulut saat
Daerin masuk ke dalam basecamp.
Seperti tempo hari, Daerin masuk
tanpa memberi salam pada anggota lain. Ia pun langsung duduk di kursi
kebesarannya—yang sebenarnya adalah kursi untuk ketua klub saat rapat. Anggota
yang lain pun enggan menyapa Daerin. Mereka memilih diam, sambil sesekali
mencuri pandang untuk memperhatikan Daerin, lalu saling berkasak-kusuk.
“Kadang aku heran untuk apa dia
bergabung Klub Vokal. Dia jarang, bahkan hampir tidak pernah bicara.” Yena
berbisik.
“Sama. Aku juga merasa gitu.” Rina
setuju.
“Apa Daerin pernah terlibat
bullying?” Rania menyela. Membuat Yena, Rina, dan Exy terkejut.
“Dia emang super jutek banget.
Karena itu murid lain males ngobrol sama dia. Tapi, kalau kasus bullying atau
dia menindas murid lain, aku belum pernah dengar.” Yena menjawab. Mereka masih
berbisik-bisik.
“Jadi, pada males bertemen sama dia
karena dia super jutek?” Rania memperjelas maksud Yena. Yena, Rina, dan Exy
kompak mengangguk.
“Ya, kenapa kamu tanya gitu?” Exy
balik bertanya pada Rania.
Rania tersenyum. “Kupikir murid lain
takut sama Daerin karena dia hobi menindas.”
“Bukannya takut. Tapi, malas saja
berhubungan dengannya.” Yena meralat.
Rania tersenyum dan menganggukkan
kepala.
Pertemuan hari itu lancar. Sungwoon
memimpin jalannya diskusi dengan baik. Daerin pun langsung meninggalkan basecamp ketika diskusi berakhir.
Sepanjang waktu bersama di dalam basecamp,
Rania terus memperhatikan Daerin. Benar yang dikatakan Yena, Daerin diam sejak
masuk ke basecamp hingga diskusi
berakhir. Rania menjadi ragu pada kecurigaannya sendiri. Sementara ia
menyimpulkan, mungkin saja Daerin tidak menindas Luna.
“Kamu pulang ke rooftop Luna?” Sungwoon membuyarkan lamunan Rania.
“Eh? Iya.” Rania tergagap.
“Masih mencurigai Daerin ya?”
Rania tersenyum lalu menggelengkan
kepala. “Entahlah. Dia bukan tipe penindas. Hanya sosok yang angkuh hingga
membuat yang lain enggan mendekatinya.”
“Begitulah.”
“Lalu, bagaimana dengan Raja
Kingkong?”
“Eh?”
“Anu, maksudku Kim Jiyoon Seonbaenim.”
“Tadi itu apa? Bahasa Indonesia,
kan? Raj-ja?”
“Bukan apa-apa.”
“Julukan buat Kim Jiyoon Seonbaenim ya?”
“Hehehe.”
“Belum ada perkembangan. Sebenarnya
julukan Raja Preman Sekolah itu hanya julukan. Aku payah, kan?” Sungwoon
tersenyum canggung.
“Nggak papa. Di atas langit masih
ada langit. Mungkin Kim Jiyoon Seonbaenim
satu level di atasmu. Hingga kau agak sulit menjamahnya. Tapi, bukan berarti
tidak mungkin, kan? Kamu hanya perlu menaikkan levelmu saja.”
“Gomawo.”
“Apa dia sebegitu ditakuti?”
“Dia nggak segan main tangan sih.”
“Ke siapa aja?”
Sungwoon mengangguk.
“Dasar Raja Kingkong!” Rania
mengumpat pelan.
“Kamu punya ide?”
“Belum.” Rania menggeleng. “Kenapa
ini begitu rumit? Siapa musuh Kucing sebenarnya?”
“Kenapa?” Sungwoon menanggapi
gumaman Rania.
“Nggak. Nggak papa. Eh, Kucing udah
selesai juga kali ya. Aku mau nyusul dia ke basecamp
Klub Teater.” Rania merapikan tasnya.
“Aku temani.”
“Oke.” Rania dan Sungwoon pun
meninggalkan basecamp bersama.
Rania dan Sungwoon berjalan bersama
menyusuri koridor menuju basecamp Klub
Teater. Sungwoon menahan langkah Rania karena dari kejauhan ia melihat Daerin
keluar dari basecamp Klub Teater.
Mereka pun kompak bersembunyi. Saat mengintip, keduanya melihat Daerin berjalan
dengan langkah lebar-lebar meninggalkan basecamp
Klub Teater.
“Jangan-jangan terjadi sesuatu sama
Kucing!” Rania hendak keluar dari persembunyian. Namun, Sungwoon menahannya.
“Jangan dulu!” Sungwoon memegang
erat tangan kanan Rania.
“Kalau terjadi sesuatu pada Kucing
gimana?”
“Luna nggak mungkin sendirian. Aku,
Jisung, Seongwoo, dan Woojin udah sepakat bergantian menemani Luna. Luna nggak
boleh sendirian di sekolah. Jadi, kamu tenang ya.”
“Yakin?”
Sungwoon mengangguk yakin. Rania pun
tak lagi melawan. Mereka mendengar pintu terbuka. Mereka pun kembali mengintip.
Kali ini mereka menemukan Seongwoo yang keluar dari basecamp Klub Teater. Pemuda itu berlari. Sepertinya untuk mengejar
Daerin.
“Apa yang sebenarnya terjadi di
dalam sana?” Rania berbisik.
“Coba hubungi Luna.”
“Ya ampun! Bego banget sih gue!
Nggak kepikiran hape. Yah, gue ngapain ngomong pakek Bahasa Indonesia sama lo!”
Sungwoon hanya tersenyum menanggapi
ocehan Rania yang kemudian sibuk dengan ponselnya.
Rania menelpon Luna. Tersambung.
Rania pun menunggu. Cukup lama. Tapi, Luna tak kunjung menerima panggilannya.
“Kok nggak diangkat sih!” Rania menatap kesal layar ponselnya dan kembali
melakukan panggilan. Tersambung. Namun, seperti sebelumnya. Luna tak menerima
panggilan itu. Rania mengulangi kembali panggilannya.
“Apa yang kalian lakukan?”
Suara itu mengejutkan Rania dan
Sungwoon. Keduanya kompak menoleh dan menemukan Minhyun sudah berdiri di
belakang mereka entah sejak kapan. Rania membalikkan badan, lalu menurunkan
tangan kanannya yang memegang ponsel. Mengakhiri panggilan pada Luna. Sungwoon
pun turut membalikkan badan. Keduanya kini menghadap pada Minhyun.
***
Di ruang OSIS hanya tersisa
Minhyun,Taemin, Myungsoo, dan Hyuri setelah rapat berakhir. Karena mereka
berempat mendapat tugas piket di hari yang sama, maka mereka lah yang kebagian
tugas merapikan kantor OSIS yang baru saja digunakan untuk rapat anggota.
“Eh, bagaimana perkembangan latihan
proyek globalnya?” Hyuri memecah kebisuan usai meletakkan setumpuk buku ke
dalam rak.
“Proyek global?” Myungsoo
menertawakan kekasihnya yang sedang sibuk menata buku-buku di atas rak.
“Iya, kan? Anggota OSIS murid asli
Korea dan murid asing. Apa kalau bukan global?”
“Sabtu nanti sih baru latihan lagi.”
Taemin menjawab pertanyaan Hyuri.
“Minhyun canggung tidak berpasangan
dengan teman baik Luna? Sabtu kemarin belum tahu sih ya. Tapi, Sabtu nanti?”
“Ya. Kenapa kau bertanya tentang
itu? Itu kan personal. Ck!” Myungsoo
berdecak. Menegur kekasihnya karena sungkan pada Minhyun.
“Aku yakin Minhyun bisa mengatasinya.
Dia kan profesional.” Taemin tersenyum bangga.
“Setuju. Undiannya memilih orang
tepat.” Hyuri mendukung. “Kalau canggung, pasti denganmu. Kan gosipnya, kamu
pria yang tertolak oleh Luna.” Ia ganti mengolok Taemin.
Taemin tergelak. “Iya, ya. Bagaimana
semua itu bisa terjadi?”
“Nah, itu kan ceritamu. Bagaimana
kamu nggak tahu? Emang kamu pernah suka sama Luna? Trus ungkapin rasa itu?”
“Siapa sih yang nggak suka Luna? Dia
cantik dan baik. Tapi, aku tidak pernah mengatakan padanya kalau aku suka dia.”
Hyuri melirik Minhyun. Pemuda itu
tetap sibuk dengan tugasnya merapikan bangku-bangku. “Iya. Bahasan tentang dia
memang selalu menarik. Termasuk yang lagi panas-panasnya. Bagaimana mereka bisa
menuduh Luna selingkuh dengan Kang Daniel? Sedang di sana ia bersama Jihoon.
Dasar orang kurang kerjaan dan sirik! Minhyun, apa hubungan kalian jadi buruk
karena salah paham seperti itu? Maaf ya. Tapi, aku jadi ingin tahu.”
“Jagiya!”
Myungsoo kembali menegur Hyuri. Tapi, gadis itu mengabaikannya.
“Padahal sayang banget kalau teman
baik berakhir putus. Setiap kali aku nanya tentang kamu, Luna selalu memuji
lho! Minhyun itu 100% baik. Nggak ada cacatnya. Dia masih menyesal soal tugas
kalian.”
Minhyun tersenyum canggung
menanggapi serangan Hyuri.
“Iya. Sayang banget. Kalau kalian
masih berteman, aku yakin kalian akan jadi couple
leader seperti Hyuri dan Myungsoo.” Taemin menyambung ocehan Hyuri.
“Kami bukan leader ya! Dan, kami pacaran. Bukan teman baik!” Myungsoo meralat.
Membuat Taemin tergelak.
“Setidaknya sama-sama terkenal
sebagai couple.” Taemin setelah puas
menertawakan sanggahan Myungsoo. “Eh, kayaknya aku ingat deh darimana gosip
tentang aku dan Luna bermula.”
Hyuri, Myungsoo, dan Minhyun kompak menaruh
perhatian pada Taemin. “Darimana?” Buru Hyuri penasaran.
“Kalau nggak salah sih karena
peristiwa itu.Tapi, masa iya sih gara-gara itu?” Jari telunjuk tangan kanan
Taemin mengetuk-ngetuk pelan dagunya.
“Peristiwa apa sih? To the point aja!” Hyuri tak sabar.
“Saat Luna masih kelas X. Aku
melihatnya berhenti di dekat gerbang. Sepertinya enggan masuk. Padahal sudah
mendekati waktu bel masuk. Aku perhatikan dia tidak memakai rompi sweater
seragam sekolah kita. Aku menghampirinya dan bertanya kenapa ia di sana.
Katanya, karena terburu-buru, ia lupa pada rompi sweaternya. Aku menawarkan
rompiku untuknya. Agar ia tidak dihukum. Tapi, Luna menolak.”
“Masa gara-gara itu?”Hyuri serius
menanggapi.
“Bisa jadi, kan? Orang yang hanya
melihat, tanpa mendengar bisa mengambil kesimpulan seperti itu.” Myungsoo ikut
berkomentar.
“Iya juga sih. Apalagi di gerbang
yang pasti banyak yang melihat. Walau sebenarnya nggak masuk akal menyatakan
perasaan di gerbang, pagi-pagi pula.” Hyuri membenarkan pendapat Myungsoo. “Lagian,
kamu ngapain sok pahlawan gitu di depan Luna?”
“Aku khawatir aja. Bukan karena
petugas Tata Tertib. Tapi, karena ada Kim Jiyoon dan rekan-rekannya yang sedang
tertangkap petugas Tata Tertib.”
“Wah! Ada dia?”
Minhyun mengerutkan keningnya. Walau
hanya diam, dia menyimak obrolan ketiga seniornya.
“Iya. Karenanya, aku khawatir. Tapi,
Luna memilih masuk. Dia jadi satu-satunya siswi yang dihukum hari itu.” Taemin
melanjutkan.
“Aku ingat! Itu sempat heboh, kan?
Murid asing dengan nilai Matematika nyaris sempurna membuat onar dan dihukum.” Hyuri
teringat pada kehebohan yang pernah terjadi ketika Luna ketahuan dihukum
petugas Tata Tertib sekolah.
“Dan, setelah itu rumor tentang
Taemin ditolak Luna beredar. Jadi, kemungkinannya 98% benar. Rumor itu karena
ada yang melihat Taemin dan Luna di gerbang.” Myungsoo menyambung.
“Nah, iya kan? Wah, pandai sekali
yang membuat rumor.” Taemin terkagum-kagum.
“Itu kejam! Bukan pandai.” Hyuri
tidak terima Taemin memuji orang yang sengaja mencemarkan nama Luna.
“Kepandaian yang digunakan secara
salah.” Myungsoo meralat pernyataan Taemin.
“Nah! Itu!” Taemin setuju.
“Lalu, siapa yang memulai rumor itu?
Bisa jadi masih berhubungan dengan peristiwa sekarang. Karena korbannya sama,
yaitu Luna. Kamu tahu nggak sih kalau Luna jadi menderita setelah rumor kamu
ditolak Luna beredar?” Hyuri sudah duduk di salah satu bangku yang mengitari
meja.
“Menderita?” Taemin merasa salah
dengar.
“Iya. Kamu termasuk siswa populer di
kalangan senior. Nah, senior-senior yang tergila-gila padamu menindas Luna.”
“Luna dibully?” Myungsoo pun merasa
salah dengar. “Kenapa kamu baru cerita?”
“Aku saja tahu dari Hami karena Hami
keceplosan. Hami nggak sengaja memergoki Luna sedang dibully. Tapi, Luna
meminta kami tenang. Dia bisa mengatasinya. Lagi pula, waktu itu apa yang bisa
aku perbuat untuk membantu Luna?”
“Wah! Aku nggak nyangka di sekolah
kita ada bullying lho!” Taemin menggeleng heran.
“Syukurlah sudah berlalu dan Luna
sepertinya baik saja.”
“Sepertinya? Lepas darimu dia malah
pacaran sama Jihoon. Apa bedanya? Dia tidak lepas dari cyber bullying.”
“Sudah. Sudah. Kenapa kita jadi
membicarakan Luna sih? Aku sudah mengatakan padanya, kalau butuh bantuan jangan
sungkan untuk meminta. Jika, dia tidak meminta, anggap saja dia baik-baik saja.
Karena, kita tidak punya hak untuk mencampuri urusan pribadinya.” Myungsoo yang
dari awal sudah merasa sungkan pada Minhyun segera menutup topik obrolan.
“Maafkan aku jika ini membuatmu
nggak nyaman, Minhyun.” Hyuri pun segera meminta maaf.
“Tidak apa-apa Seonbae.” Minhyun tersenyum manis.
“Aku dan Hyuri pulang dulu ya.” Myungsoo
pamit. Bersama Hyuri, ia meninggalkan kantor OSIS.
Taemin merapikan barang-barangnya.
Sedang Minhyun diam dalam posisinya dan tampak melamun. “Kamu nggak pulang?” Taemin
sudah bangkit dari duduknya. Bersiap pergi.
Lamunan Minhyun buyar. Ia mengangkat
kepala dan menatap Taemin. “Sebentar lagi.”
Taemin tersenyum. “Tidak apa-apa.
Ambil sisi baiknya. Mungkin ada hikmah di balik datangnya Rania dalam hidupmu.”
Kening Minhyun berkerut mendengar
ungkapan Taemin.
“Kadang memang dibutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk membuat kita sadar. Jika waktumu tiba, jangan menghindar
lagi. Kesempatan kadang tidak datang dua kali. Aku pulang!” Taemin pun
meninggalkan kantor OSIS.
Minhyun berjalan sendirian menyusuri
koridor. Kata-kata yang dilontarkan Taemin terus berputar-putar di otakknya. Ia
memilih meninggalkan Luna demi keamanan gadis itu. Walau kenyataan berkata
lain, ia enggan kembali untuk berkata jujur pada Luna. Namun, tiba-tiba saja
Rania muncul di antara dirinya dan Luna. Ia pun sempat memikirkan dan terus
bertanya-tanya tentang hal itu. Namun, ia belum menemukan jawaban. Minhyun
merasa terpilihnya ia dan Rania bukanlah sebuah kebetulan biasa.
Langkah Minhyun memelan ketika ia
menemukan Rania dan Sungwoon yang bertingkah aneh. Keduanya sepertinya sedang
bersembunyi dan mengamati sesuatu. Sebenarnya ia tak mau peduli. Tapi, dari
tempat Rania dan Sungwoon berada, mereka bisa mengintai basecamp Klub Teater. Kening Minhyun berkerut. Ia penasaran pada
apa yang sedang dilakukan Rania dan Sungwoon. Jika benar mereka mengintai basecamp Klub Teater, pasti ada
hubungannya dengan Luna.
Dengan langkah pelan, Minhyun
bergerak untuk lebih dekat pada Rania dan Sungwoon. Rania dan Sungwoon saling
berbisik. Kemudian Rania sibuk dengan ponselnya. Tak tahan dengan rasa penasarannya,
ia pun bertanya, “Apa yang kalian lakukan?”
Rania dan Sungwoon terkejut. Lalu,
keduanya kompak membalikkan badan dan menghadap padanya. Namun, Minhyun memilih
diam. Menunggu dua teman seangkatannya itu memberi jawaban.
“Kami hendak menyusul Luna.” Sungwoon
menjawab dengan santai. “Kenapa kami sembunyi? Karena, kami melihat Daerin
keluar dari basecamp Klub Teater.”
Kening Minhyun berkerut ketika
mendengar tentang Daerin.
“Nggak lama setelah itu, Seongwoo
keluar dari ruang yang sama. Berlari. Sepertinya mengejar Daerin. Aku nggak
tahu apa yang terjadi di dalam sana. Karenanya, aku minta Rania coba hubungi
Luna.”
Rania diam, menatap Minhyun yang
sepertinya belum puas dengan jawaban Sungwoon. “Aku curiga Daerin menindas
Kucing. Anu, maksudku Luna.” Ia pun turut buka suara.
“Wajar kan jika Rania curiga? Karena
sikap Daerin yang ya kau tahu lah bagaimana. Dia memang sedikit menyebalkan.
Kadang-kadang.”
Minhyun masih bungkam. Namun,
fokusnya terganggu ketika melihat Luna dan Jihoon keluar dari basecamp Klub Teater.
Menyadari perubahan Minhyun, Rania
dan Sungwoon kompak mengikuti arah perubahan fokus Minhyun dari menatap mereka.
Jihoon berjalan menuntun Luna yang berjalan dengan menundukkan kepala. Rania
pun bergegas mendekati Luna.
“Cing! Loe baik aja, kan?” Rania
berjalan cepat menuju Luna.
Jihoon menghentikan langkahnya.
Begitu juga Luna yang juga mengangkat kepalanya. Ia tak menolak ketika Jihoon
menggenggam tangannya semakin erat.
“Cue?” Luna terlihat seperti orang
ling-lung.
“Ya ampun! Loe kenapa, Cing?
Kesambet? Gue telpon, napa nggak loe angkat?” Rania berhenti tepat di depan
Luna.
Minhyun dan Sungwoon masih bertahan
di tempatnya berdiri. Diam dan menonton adegan pertemuan Rania dan Luna.
Sungwoon kembali dibuat kecewa karena ulah Jihoon dan Luna. Sedang Minhyun, ia
justru terfokus pada Rania yang mengomeli Luna menggunakan Bahasa Indonesia.
“Eh? Kamu telpon?” Luna masih
kebingungan.
“Makanya hape tuh jangan dikasih
getar doang! Lagian loe kenapa sih, Cing? Diapain loe sama Daerin sampai loe
linglung kayak gini?”
Luna mengerjapkan kedua matanya.
Rasa hangat itu masih terasa di tubuhnya. Baru ia menyadari genggaman erat
Jihoon di tangan kanannya. Ia pun buru-buru melepasnya. “Daerin?” Luna mulai
kembali pada kesadarannya.
“Iya. Gue liat dia keluar dari basecamp Klub Teater. Ngapain dia di
sana?”
“Nggak kok. Nggak papa.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Emang bener Daerin nggak
ngapa-ngapain Kucing?” Rania beralih pada Jihoon. “Yelah! Ngapain gue ngomong
pakek Bahasa Indonesia sama loe!”
“Kita pulang!” Luna meraih lengan
Rania dan menyeretnya untuk pergi.
“Eh! Bentar! Sungwoon! Makasih ya!” Rania
melambaikan tangan pada Sungwoon.
Sungwoon tersenyum dan mengangkat
tangan kanannya sebagai balasan untuk Rania. Ia menghela napas panjang. Melihat
Luna berjalan menyeret Rania dan Jihoon berjalan di belakangnya. Kemudian, ia
kembali menatap Minhyun yang masih menatap pada rombongan Luna yang menjauh.
Minhyun menyimak bagaimana interaksi
Rania dan Luna. Baginya, hal itu terlihat sangat menarik. Apa sebenarnya maksud di balik ini semua? Batinnya.
“Minhyun-aa!”
Minhyun mengalihkan pandangan pada
Sungwoon.
“Apa menurutmu Daerin ada
hubungannya dengan kasus Luna?”
“Kenapa kau bertanya padaku?”
“Karena kau yang lebih dulu mengenal
Luna. Jauh sebelum kami.”
Minhyun diam. Tidak ada keinginan
untuk pergi demi menghindari pertanyaan tentang Luna.
“Menurutmu, apa mungkin Luna bisa
bermasalah dengan Daerin?”
Minhyun diam selama beberapa detik.
“Tidak.” Kemudian ia pun memberi jawaban. “Luna bukan tipe orang yang gemar
membuat masalah. Tapi, kadang ia membuat dirinya terseret dalam masalah
seseorang.”
“Seperti masalah Bae Jinyoung?”
Minhyun mengangguk.
“Apa dia selalu peduli seperti itu
pada orang lain? Sampai rela membuat dirinya sendiri kerepotan?”
“Tidak juga. Dia menyebutnya, hanya untuk
yang terkoneksi denganku.”
“Terkoneksi denganmu?”
“Bukan denganku. Tapi, dengan diri
Luna sendiri.”
“Oh!” Sungwoon mengangguk-anggukan
kepala. “Jadi, ia hanya membantu orang yang menarik minatnya.”
“Iya.”
“Baiklah. Terima kasih.” Sungwoon
tersenyum, lalu pergi meninggalkan Minhyun yang masih bertahan di tempatnya
berdiri.
Segala hal tentang Rania dan Luna kembali
berputar-putar di otaknya. Minhyun menghela napas panjang. Ia pun kembali
berjalan untuk pulang.
***
Daniel sibuk mencuci peralatan makan
di dapur cafe. Karena merasa tak nyaman, ia memilih tugas mencuci peralatan
daripada melayani pelanggan di depan. Bukan hanya sekedar perasaannya saja,
tapi hari ini cafe memang lebih ramai dari biasanya. Saat diam dan mencuci
seperti itu, ia kembali teringat tentang dirinya, Luna, dan Jihoon. Kita jalani saja seperti skenario yang ada
saat ini. Kau adalah pacar Luna dan aku teman baiknya. Daniel tersenyum
kecut mengingat ucapannya sendiri pada Jihoon saat bertemu di ruang fotocopy.
“Dan aku teman baiknya? Haruskah
selamanya seperti itu?” Daniel bergumam.
“Ya ampun! Ada apa dengan hari ini?”
Rekan kerja Daniel membawa satu nampan peralatan kotor ke tempat cuci piring.
Daniel sekilas saja mengalihkan
perhatiannya dari peralatan yang ia cuci pada gadis yang kini sudah berdiri di
samping kirinya.
“Padahal dia lagi vakum, kan? Sudah
begini ramai. Bagaimana kalau masih aktif. Hebatnya kekuatan seorang idola.” Gadis
itu menggeleng heran.
“Noona
lelah?” Daniel tersenyum menanggapi ocehan rekan kerja yang cukup dekat
dengannya itu. “Aku tidak salah merekomendasikan orang, kan?”
“Eh, tadi ada yang nanya tentang
kamu juga lho! Apa kamu masuk kerja hari ini. Itu fansnya Jihoon gila ya? Masa
rata-rata nanya, pas di sini Jihoon duduk di mana? Ya ampun!”
Daniel terkekeh.
“Kalau kelak kamu yang jadi
terkenal, jangan-jangan bakalan banyak yang melamar kerja di sini.”
Daniel tergelak. “Terkenal karena
apa? Sekarang sudah terkenal karena merebut pacar Jihoon?”
“Nggak lah! Eh, bukannya kamu
menyukai gadis itu ya? Bagaimana bisa?”
“Aku juga nggak tahu.”
“Sial sekali kamu.”
“Tapi, masih punya harapan, kan?
Mereka bisa saja putus.”
“Ya! Bagaimana nasib gadis itu kalau
kamu sampai berakhir jalan sama dia. Ck!”
Daniel tersenyum kecut.
“Tapi, kalau jodoh pasti ada jalan.
Cinta itu kan misteri. Kita nggak pernah bisa menebaknya.”
“Noona
mendukungku atau bagaimana?”
“Noonamu
ini akan selalu mendukungmu. Mendoakan yang terbaik untukmu. Bersabarlah. Jika
dia memang untukmu, dia pasti akan jadi milikmu.”
“Gomawo.”
Daniel dan rekan kerjanya kompak
tertawa.
“Ya, Kang Daniel.” Seorang pemuda
berjalan mendekat. Ia sama-sama pekerja paruh waktu seperti Daniel. “Biar aku
gantikan tugasmu.”
“Wae?”
Gadis rekan kerja Daniel bertanya. “Bos meminta Daniel melayani pelanggan di
luar?”
“Bukan. Ada yang mencari Kang
Daniel. Sini biar aku selesaikan. Ini perintah Bos.”
“Perintah Bos? Ya, Kang Daniel. Ini
pasti penting. Segera tinggalkan tugasmu!”
“Tapi, aku harus ke mana? Dan,
melakukan apa?” Daniel sembari mengeringkan tangannya.
“Bos menunggumu di ruangannya.”
“Bos?? Ada apa sebenarnya??”
Daniel mengangkat kedua bahunya dan
menggeleng.
“Kamu lekas pergi sana. Daripada aku
yang kena marah.” Pemuda itu sudah mengambil alih tugas Daniel.
Daniel menatap Noona-nya sejenak. Gadis itu tersenyum dan menganggukkan kepala.
Daniel membalas senyum, lalu pergi meninggalkan dapur.
“Semoga saja bukan hal yang buruk.” Gadis
itu berdoa dengan tulus. Ia pun meninggalkan dapur untuk kembali melayani
pelanggan.
Sepanjang perjalanan menuju ruangan
bosnya, Daniel terus memikirkan segala kemungkinan yang menjadi alasan ia
dipanggil bosnya. Karena insiden fotonya dan Luna, bisa saja ia mendapat
masalah serius seperti diberhentikan dari kerja paruh waktunya. Ia yakin
pengunjung yang membludak hari ini rata-rata adalah fans Jihoon. Ia juga yakin
tak semuanya datang dengan niat baik. Ia harus siap jika benar itu yang
terjadi. Ia dipanggil karena akan diberhentikan dari pekerjaannya.
Daniel sampai di depan ruangan
bosnya. Ia menatap pintu kayu berwarna coklat tua di hadapannya. Setelah
menghela napas, ia pun mengangkat tangan kanannya dan mulai mengetuk pintu itu.
“Permisi. Ini saya, Kang Daniel.”
***
0 comments