My 4D’s Seonbae - Episode #30 “Sudah Jatuh Tertimpa Tangga.”

04:37


Episode #30 “Sudah Jatuh Tertimpa Tangga.”



Grup SMA Hak Kun ada dua. Satu resmi dari SMA Hak Kun dan berada di web SMA Hak Kun. Hanya murid dan guru SMA Hak Kun yang bisa bergabung di sana. Komunitas siswa di web sekolah memiliki ruang chat sendiri. Di sana semua murid yang masih aktif bersekolah di SMA Hak Kun biasa berinteraksi. Grup SMA Hak Kun lainnya dibuat oleh pihak sekolah juga di Facebook. Namun bersifat umum karena diperuntukan tidak hanya bagi murid aktif, tapi juga bagi para alumni. Walau grup itu dibuat tertutup, siapa saja bebas mengajukan permintaan bergabung. Dan, karena setiap member bisa menambahkan permintaan anggota, banyak akun anonim atau akun palsu yang bisa bergabung ke dalam grup itu. Dalam grup itu lah kekacauan sering terjadi karena postingan pun tidak membutuhkan saringan dari admin. Kadang chat murid aktif di web sekolah sampai bocor ke grup umum di Facebook pun karena ulah murid-murid yang tidak bertanggung jawab.
Postingan Luna dan Jihoon sebelumnya diposting di web resmi sekolah. Tapi, ada yang menyebarkannya ke grup Facebook. Namun, keduanya mendapat banyak dukungan dari anggota grup. Walau tak sedikit pula yang membenci keduanya. Dari pihak Jihoon, fans sempat terkejut ketika mendengar rumor Jihoon pacaran. Tetapi, menyimak kisah kasih di sekolah yang dijalin Jihoon, banyak fans yang mendukung. Mereka mendukung Jihoon yang menjalani masa remajanya secara normal.
Foto-foto Daniel dan Luna tersebar di grup komunitas murid SMA Hak Kun di Facebook. Foto-foto saat Luna mencoba bekerja paruh waktu di cafe tempat Daniel bekerja paruh waktu. Banyak komentar membanjiri postingan itu. Tatapan Daniel masih terfokus pada ponsel Hami. Ia kemudian melirik Luna yang berdiri di samping kirinya. Beberapa detik lalu gadis itu memang terdengar menghela napas dengan kasar. Daniel sempat menduga ekspresi Luna pasti tak jauh beda darinya. Campuran antara kaget dan panik. Tapi, ia salah. Wajah Luna datar saja. Hampir sama ketika ia usai mendengar sandiwara gadis itu bersama Jihoon di ruang fotocopy.
“Memang salah ya? Bahkan, kami pergi bersama ke taman hiburan. Aku, Hami Seonbae, Luna Seonbae, dan Daniel.” Guanlin buka suara. Memecah kebisuan. “Luna Seonbae punya banyak teman laki-laki. Kupikir Seonbae tahu tentang hal itu.”
“Bagiku apa pun tentang Luna tidak menarik. Kenapa aku harus cari tahu?” Siswi yang sebelumnya menegur Luna masih bersikap angkuh.
“Tapi, postingan itu sepertinya menarik bagi Seonbae. Menjatuhkan Luna Seonbae yang tenar ini memang memberikan kepuasan tersendiri ya.” Guanlin tersenyum mencibir.
“Ya! Kau!” Senior itu geram.
“Begini susahnya jadi orang tenar. Aku belum sempat mengunggah apa pun tentang pengalamanku mencoba kerja paruh waktu di Korea. Tapi, sudah bocor.” Luna mengangkat kedua bahunya dengan santai. “Kira-kira harapannya apa ya? Dengan menyebar foto-foto itu? Luna selingkuh dengan Kang Daniel? Lalu, fans Park Jihoon marah dan menyerang Luna. Walau klise, itu memang menyenangkan.”
“Ya! Luna-ya! Semua itu memang akan terjadi! Kamu masih bisa tenang?” Hami menegur Luna yang menanggapi dengan santai postingan di grup Facebook.
“Aku memang sedang jatuh dan tertimpa tangga. Tapi, aku tidak salah dalam hal ini.” Luna masih dengan santainya.
“Nggak salah? Ya! Foto itu menegaskan kalau kamu selingkuh!” Siswi senior itu kukuh memojokkan Luna.
“Nah, kan? Benar yang aku duga. Memang itu yang diharapkan.”
“Semua itu tidak benar! Park Jihoon ada bersama kami di sana. Dia menemani Luna Seonbae.” Daniel ikut bicara.
Mwo??” Mulut siswi teman seangkatan Luna itu membulat.
Daniel merogoh ponsel di saku celananya dan mengotak-atiknya. Ia kemudian mengangkat ponselnya, menunjukkan foto dirinya bersama Jihoon dan Luna pada seniornya.
Senior itu mencibir. “Kalian kalah cepat! Siapapun itu sudah lebih dulu dari kalian. Sebentar lagi fans Park Jihoon pasti akan segera bergerak. Aku berharap mereka sudah siaga di depan gerbang.” Ia pun pergi meninggalkan kelas bersama rekannya.
Luna menghela napas setelah rekannya pergi. Bahunya merosot, tak setegar sebelumnya. Ia menghentikan aktingnya yang bersikap sok tegar di depan rekan seangkatannya.
“Tidak apa-apa. Semua pasti akan baik-baik saja.” Hami merangkul Luna dan mengusuk lengan Luna.
“Bagaimana kalau di gerbang benar ada mereka? Membawa telur dan tepung untuk menyerangku? Lalu, Cue… di mana Cue….” Luna menggigil. Di saat seperti itu ia justeru mengkhawatirkan Rania.
Hami mendekap Luna. “Jangan begini! Jebal. Kamu nggak pernah ketakutan seperti ini. Percayalah. Semua akan baik-baik saja.”
Melihat Luna ketakutan, Daniel hanya bisa tertegun. Ia tak tahu harus berbuat apa. “Aku akan melindungimu.” Hanya kalimat itu keluar dari bibirnya.
“Aku pun akan melindungi Luna, tapi masalahnya tidak sesimpel itu.” Guanlin menanggapi. “Luna, apa sebaiknya kamu menghubungi Park Jihoon saja? Hanya dia yang bisa kita andalkan sekarang.”
“Park Jihoon?” Suara Luna bergetar.
“Tapi, sepertinya tidak mungkin fans Jihoon bergerak secepat itu.”
“Fans Jihoon bukan hanya di luar sekolah tahu! Tapi, ada yang di dalam sekolah ini juga. Bisa jadi beberapa dari mereka masih ada di sini.” Hami membantah pemikiran Guanlin.
“Pilihannya hanya menghubungi Jihoon atau bergerak menembus mereka. Itu saja. Jika hanya murid sini, aku rasa kita bisa menghalaunya. Noona lindungi Luna. Aku dan Daniel akan jadi pagar pelindung bagi kalian. Kau setuju?” Guanlin menatap Daniel yang segera menganggukkan kepala. Guanlin menghela napas panjang melihat bagaimana ekspresi Daniel yang terfokus pada Luna. “Ini bukan salahmu, Kang Daniel.”
“Ini salahku.” Luna berbisik lirih.
“Bukan! Kalian nggak salah! Orang yang bikin postingan itu yang salah!” Hami emosi. Ia pun merasakan ketakutan seperti Luna. “Haruskah aku menghubungi Hyuri Eonni dan meminta bantuan?”
“Nggak usah. Lagian kita belum tahu bagaimana kondisi di luar sana. Sebaiknya kita lekas keluar. Karena postingan itu masih hangat, aku rasa situasi di luar belum begitu kacau.” Guanlin yang terlihat paling tenang memberi saran. “Luna, bisa kita pulang sekarang?” Ia bertanya dengan lembut pada Luna.
Luna yang masih berada dalam dekapan Hami menganggukkan kepala. Ia masih tak fokus. Jiwanya seolah terbang entah ke mana. Tak berada di dalam raganya.
Noona, aku rasa sebaiknya kita mengantar Luna sampai rooftop. Melihatnya begini, aku benar khawatir.”
Hami menganggukkan kepala. Setuju dengan permintaan Guanlin. “Ayo, Luna. Kita pulang.” Pintanya dengan lirih.
“Kembalilah berakting tegar Mezzaluna. Jangan biarkan mereka melihatmu rapuh seperti ini.” Guanlin menyemangati.
Luna menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan. Setelah tiga kali melakukannya, ia pun menegakan tubuhnya. “Aku pasti bisa!”
Noona berjalan di sampingku!” Guanlin membawa Hami ke samping kirinya. “Daniel, kau lindungi Luna ya. Kami akan berjalan di depan.”
Daniel mengangguk dan langsung berdiri dekat di samping kanan Luna.
“Guanlin! Kamu lebay banget sih!” Luna berbicara dalam Bahasa Indonesia.
“Bukan lebay. Tapi, tindakan antisipasi!” Guanlin membalas dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Hami yang berdiri di samping kiri Guanlin terkejut. “Kamu bisa Bahasa Indonesia?” Ia menoleh, mendongak menatap Guanlin.
“Sedikit! Ayo!” Guanlin merangkul Hami dan menuntunnya untuk mulai berjalan.
Ada kecanggungan di antara Daniel dan Luna. “Kita pulang.” Daniel yang lebih dulu buka suara.
Jeosonghae.” Luna membalasnya dengan permintaan maaf.
Daniel tersenyum manis. “Seperti kata Hami Seonbae, ini bukan salah kita. Jadi, jangan meminta maaf. Ayo kita hadapi bersama!” Daniel mengulurkan tangan.
Luna membalas senyum, ia meletakkan tangan kanannya pada tangan kiri Daniel yang terulur. Ia menggenggam tangan kiri Daniel. Lalu, ia menariknya kembali. “Ayo!” Ia kembali tersenyum dan berjalan menyusul Guanlin dan Hami.
Daniel menatap tangan kirinya yang masih terulur, kemudian ia tersenyum dan menurunkan tangannya. Ia pun berjalan menyusul Luna.

Guanlin, Hami, Daniel, Luna menyusuri koridor yang panjang dan kosong. Hari ini banyak kegiatan di sekolah, tapi koridor begitu hening. Berjalan dengan rasa was-was di tengah koridor yang panjang dalam keheningan benar-benar membuat keempatnya tak nyaman.
“Kenapa aku merinding ya?” Hami memecah keheningan. “Seperti sedang syuting film horor saja.”
“Iya. Kenapa kita jadi begini tegang?” Guanlin mengamini.
“Karena kita sedang menjalankan misi rahasia. Sialnya, aku juga tidak bisa rileks!” Luna menanggapi obrolan Hami dan Guanlin yang berjalan di depannya.
“Misi menemukan kotak harta karun?” Daniel tak mau kalah.
“Bukan! Misi menangkap hantu!”
“Luna! Jangan menyebut kata itu di tengah situasi seperti ini!” Hami protes.
“Aku lebih baik ketemu hantu daripada ketemu penggemar Park Jihoon yang menggila.” Luna mengungkap isi kepalanya dengan jujur.
“Aku tidak dua-duanya.” Daniel menolak harapan Luna.
Guanlin menghentikan langkahnya. Hami turut berhenti. Otomatis Daniel dan Luna pun turut menghentikan langkah.
“Kenapa berhenti?” Luna berbisik.
“Ada yang berjalan kemari.” Guanlin ikut berbisik. Mereka hampir tiba di ujung koridor kelas X.
“Kan wajar? Banyak kegiatan usai jam sekolah hari ini.”
“Iya ya?” Guanlin memiringkan kepala.
“Lebay banget sih kamu!” Luna kembali menggunakan Bahasa Indonesia.
“Tapi, kamu ikutan berhenti kan?” Guanlin pun menjawab dalam Bahasa Indonesia.
“Kamu berhenti, otomatis ikutan berhenti dong!”
Guanlin tergelak. “Maaf aku sengaja. Habisnya kita tegang banget.” Guanlin kembali menggunakan Bahasa Korea.
“Luna!”
Suara itu menyita perhatian Guanlin, Hami, Daniel, dan Luna. Mereka kompak menatap ke arah sumber suara berasal. Menatap ujung koridor.
“Oh! Dia!” Guanlin bergumam.
“Wah!” Hami tersenyum kagum.
Daniel hanya diam menatap ujung koridor. Ekspresinya tak terbaca. Campuran ekspresi lega, tapi juga kecewa.
Luna berdiri mematung, menatap pada ujung koridor. Merasakan sesak di dadanya. Jihoon yang berdiri di sana usai memanggil namanya pun tersenyum. Melihat senyum itu, dada Luna semakin terasa sesak. Bahkan ia merasakan kedua matanya memanas. Ia hanya bisa berdiri diam di tempatnya ketika Jihoon berjalan terburu-buru ke arahnya. Guanlin dan Hami memberi jalan untuk Jihoon yang kemudian berhenti di depan Luna. Tanpa berkata apa-apa, Jihoon langsung memeluk Luna. Ia lega melihat Luna baik-baik saja.
Sebenarnya Luna sudah mulai bisa menguasai ketakutan yang ia rasakan. Ketika Guanlin iseng, ia semakin rileks. Tapi, melihat Jihoon tiba-tiba muncul. Hatinya yang rapuh mulai goyah. Air mata yang berusaha keras ia bendung pun berontak. Pertahanan Luna tumbang. Ia menangis dalam pelukan Jihoon.
Hami terharu. Ia tersenyum sekaligus menangis karena lega melihat Jihoon tiba-tiba muncul menjemput Luna. Guanlin yang menyadari reaksi Hami pun mendekat dan merangkul Hami.
Daniel berdiri diam. Menatap Luna yang menangis dalam pelukan Jihoon. Ia merasakan gemuruh di dalam dadanya. Ia cemburu. Namun, ia enggan beranjak pergi dari tempatnya berpijak.
***

Jihoon melepas topi yang ia kenakan dan memakaikannya di kepala Luna yang tertunduk. Jihoon menatap Hami dan Guanlin. “Terima kasih sudah menjaga Luna.” Ia tersenyum tulus.
“Aku senang kau ke sini.” Hami mengutarakan isi hatinya.
“Tadi aku menyarankan Luna untuk menghubungimu. Tapi, dia sepertinya tidak fokus. Atau, dia memang menghubungimu?” Guanlin ikut bicara.
“Daehwi yang memberitahuku tentang postingan itu. Dia khawatir terjadi sesuatu pada Luna. Sedang ia tak di sekolah. Setelah membaca pesan Daehwi, aku langsung kembali ke sekolah.”
“Jadi, kamu tadi sudah pulang?” Hami terkejut mendengar pengakuan Jihoon.
“Lebih tepatnya pergi ke suatu tempat.”
Hami mengamati Jihoon dari ujung kepala hingga ujung kaki. Adik kelasnya itu masih mengenakan seragam sekolah. Tapi, sudah tak rapi lagi. Pemuda itu pun tampak seperti usai berkeringat banyak.
“Kalau gitu, kami pulang dulu ya.” Guanlin pamit sambil menuntun Hami.
Hanya tersisa Daniel, Luna, dan Jihoon di koridor. Luna masih tertunduk. Enggan menunjukkan wajahnya yang sembab usai meluapkan tangis dalam pelukan Jihoon. Suasana berubah hening selama beberapa detik.
“Kita pulang!” Jihoon akhirnya bersuara.
“Kalian bisa pulang bersama. Aku akan naik bus.” Daniel menanggapi.
“Kita bertiga, pulang bersama.” Jihoon menolak keputusan Daniel.
“Kenapa kita harus pulang bersama?” Untuk pertama kalinya Daniel membantah.
“Karena itu yang harus kita lakukan sekarang.”
Jihoon dan Daniel kompak menatap Luna. Gadis itu masih tertunduk. Wajahnya tertutup rambutnya yang terurai. Luna mengangkat kepala. Dengan topi milik Jihoon di kepalanya, wajahnya masih tersembunyi walau ia sudah mengangkat kepala.
Daniel menghela napas. Karena itu Luna, ia pun tak bisa menolak. “Baiklah. Terserah mau naik bus atau bagaimana.”
“Naik mobilku saja. Itu lebih aman.” Jihoon memberi saran. Karena Luna tak lagi bersuara, ia pun menganggap semua setuju. “Ayo!” Ia pun berdiri di samping kanan Luna.

Jihoon dan Luna duduk di kursi belakang, sedang Daniel duduk di samping sopir di dalam mobil Jihoon. Luna masih mengenakan topi milik Jihoon. Ia pun masih menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya.
Di gerbang tidak ada fans Jihoon yang berkerumun. Luna merasa lega. Tapi, bukan berarti ia aman. Tantangan terbesar baginya justeru besok. Memikirikan itu semua, tiba-tiba ia ingin melarikan diri saja. Menghilang dari Korea. Tapi, sisi lain dari dirinya mengutuk pemikiran itu. Di saat ia sibuk berperang dengan dirinya sendiri. Jihoon berbicara dan memecah keheningan di dalam mobil.
“Apa yang terjadi hari ini, sungguh di luar dugaan. Perang datang terlalu cepat. Kita kurang persiapan.”
Daniel hanya menyimak apa yang dikatakan Jihoon di kursi belakang.
“Aku sangat berterima kasih pada Daehwi yang memberitahuku tentang postingan itu. Kenapa kau tidak menghubungi aku?” Jihoon menatap Luna yang duduk di samping kirinya.
Mian.” Hanya kata maaf yang bisa Luna ucapkan. Ia benar-benar kacau.
“Ya! Angkat kepalamu. Kalau kau begini, kau terlihat seperti hantu.” Jihoon menggoda Luna.
“Aku setuju.” Daniel menyahut dari kursi depan. “Luna yang seperti itu memang terlihat seperti hantu dalam film.”
“Sadako?” Sopir Jihoon menyahut. Membuat Jihoon dan Daniel kompak menatapnya.
“Kenapa Ajushi menyebut pacarku seperti Sadako? Itu keterlaluan!” Jihoon protes.
“Wajah yang tertutup rambut seperti itu, bukankah mirip Sadako? Sadako modern dengan topi di kepalanya.” Sopir Jihoon terus mengutarakan pendapatnya.
“Sadako modern dengan topi di kepalanya?” Daniel terkekeh dibuatnya.
“Kalau begitu, aku akan menghantui Ajushi!” Luna mendekati kursi sopir yang berada tepat di depannya.
Sopir Jihoon tertawa melihat tingkah Luna.
“Hentikan! Itu benar-benar mengerikan!” Daniel tertawa sekaligus ketakutan.
Jihoon hanya tersenyum melihatnya. Luna kembali menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. Tapi, ia masih tak melepas topi Jihoon yang bertengger di kepalanya. Juga, tak menyibakan rambut panjangnya.
“Terima kasih. Maaf, aku begitu merepotkan kalian.” Luna berusaha membuat dirinya nyaman.
“Kita butuh rencana.” Jihoon dengan ekspresi serius.
Daniel berdehem dan kembali serius.
“Bukannya dari awal kau sudah membuat rencana?” Luna menanggapi pernyataan Jihoon. “Karena itu, aku sangat berterima kasih juga minta maaf. Aku sangat merepotkanmu.”
Jihoon tersenyum pada Luna. Di kursi depan, Daniel memiringkan kepala. Ia tak paham dengan kalimat Luna.
“Maaf, aku baru menyadarinya sekarang.” Luna melanjutkan.
“Sebenarnya aku tidak menduga itu akan menjadi sebuah rencana.” Jihoon menyanggah pendapat Luna.
“Bohong! Tidak mungkin jika kamu tidak memikirkannya masak-masak.”
“Maaf. Kalian membahas apa?” Daniel menyela. “Rencana yang mana? Apa aku terlibat?”
“Kita bertiga pemerannya!” Luna ketus.
Jihoon menyunggingkan bibir. Tersenyum mencibir Daniel.
“Kita pemerannya?” Daniel masih saja tidak paham.
“Sejak Jihoon bergabung dalam rute pulang kita. Aku yakin pasti sudah diperhitungkan. Kau membaca rencananya?” Luna menjawab pertanyaan Daniel sekaligus bertanya pada Jihoon.
“Tidak. Aku hanya cemburu melihatmu dekat-dekat dengan Daniel.” Jihoon membantah. Lalu, suasana berubah hening di dalam mobil.
“Kalau Tuan Muda dan Daniel-gun sama-sama menyukai Luna-yang, bersama-sama saja menjaga Luna-yang.” Sopir Jihoon memecah keheningan. “Tuan Muda dan Daniel-gun sama-sama baik. Saya yakin Luna-yang pasti tidak akan nyaman kalau Tuan Muda dan Daniel-gun bersitegang.”
“Kami baik-baik saja!” Jihoon membantah.
“Cemburu itu awal perseteruan lho!”
Ajushi tahu tentang kami?” Daniel menyela karena penasaran.
Ajushi sudah seperti ayahku sendiri.” Jihoon menjawab pertanyaan Daniel.
“Kami teman baik yang sering berbagi.” Sopir Jihoon tersenyum manis pada Daniel.
“Baiklah. Kalau begitu, saya tidak akan merasa canggung.” Daniel membalas senyum.
“Berani mencintai harus berani patah hati. Karena, seseorang yang kita cintai belum tentu memiliki rasa yang sama dengan kita. Walau rasa suka itu bisa ditanam di hati seseorang, tapi belum tentu rasa itu bisa tumbuh dan berkembang.” Sopir Jihoon tiba-tiba mengutarakan pemikirannya. Daniel, Jihoon, dan Luna kompak terdiam.
“Cinta itu memang kurang ajar. Seenaknya saja tumbuh di hati seseorang. Bahkan, kita tidak bisa memilih untuk mencintai. Cinta yang memilih kita untuk mencintai. Tidak apa-apa. Memperjuangkan rasa cinta kita itu memang harus. Menurut saya begitu. Tapi, jangan sampai dibuat buta hingga kita melukai orang-orang di sekitar kita. Terlebih orang yang kita cintai.”
Daniel, Jihoon, dan Luna masih kompak terdiam setelah sopir Jihoon menyelesaikan kalimatnya. Perjalanan pun berlangsung hening hingga sampai di rooftop Luna.
***


Jihoon duduk di sofa ruang tamu di dalam rooftop Luna. Ia lega Daniel langsung pamit pulang. Tak ikut mengantar Luna. Ia yakin Daniel menyukai Luna. Karena alasan itu ia cemburu dan berusaha tak memberi kesempatan bagi Daniel dan Luna untuk bersama. Tapi, ketika kalimat panjang sopirnya kembali terniang di telinganya, sejenak Jihoon merasa bersalah. Ia menduga-duga, bagaimana jika Luna juga menyukai Daniel. Apa yang ia lakukan sekarang, pasti melukai Luna.
Jihoon menghela napas pelan. Walau ia merasa bersalah, belum ada jalan lain yang bisa ia pikirkan demi menyelamatkan Luna dari efek postingan tidak bertanggungjawab di komunitas sekolah. Ia harus tetap tinggal, demi dirinya sendiri pun demi Luna dan Daniel.
Luna muncul usai berganti baju. Menyita perhatian Jihoon yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. “Kamu udah makan?” Tanyanya sembari berjalan menuju dapur.
“Belum.” Jihoon bertahan di tempat duduknya sambil memperhatikan Luna.
“Aku hanya punya mie instan asal Indonesia di sini. Rania bawa banyak. Ada rasa baru, mie super pedas. Mau coba?”
“Boleh. Aku bantu.” Jihoon bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Ia berdiri di samping kiri Luna yang sedang melihat-lihat koleksi mie instan asal Indonesia. “Banyak juga.”
“Maklum. Anak kos. Mie instan selalu jadi penolong. Tapi, aku jarang makan. Makanya jadi banyak gini. Mau yang direbus, apa yang diseduh aja?”
“Terserah kamu. Yang mana yang enak?”
“Kamu suka pedas?”
“Lumayan. Eh, menurutmu cocok ya untuk situasi sekarang? Makan yang pedas-pedas?” Jihoon memutar tubuhnya, menjadi menghadap pada Luna yang berdiri di samping kanannya.
Luna hanya tersenyum sembari menyiapkan dua cup mie instan asal Indonesia. Jihoon pun turut tersenyum. Selanjutnya ia hanya diam, memperhatikan Luna yang sedang menyiapkan mie instan.

Selesai menyiapkan mie instan, Luna dan Jihoon sepakat untuk memakannya di teras rooftop. Jihoon mengendus aroma mie instan dalam cup yang dibuat Luna untuknya.
“Ah… sepertinya pedas sekali.” Jihoon mengeluh usai mengendus aroma mie instan yang mengepul dari dalam cup.
Oppa-ku yang kedua bilang, pedasnya orang Indonesia sama Korea itu beda. Kalau pedasnya orang Indonesia benar-benar pedas. Dia sudah mencoba semua mie pedas Korea. Menurutnya, semua itu biasa. Berbeda dengan rasa pedas Indonesia.”
“Benarkah?”
Luna mengangguk yakin.
“Kalau gitu aku coba.” Jihoon mulai mengambil mie dengan garpu plastik yang menjadi pelengkap mie instan dalam cup itu.
“Katanya, pada suapan pertama nggak pedes. Tapi, suapan kedua dan berikutnya baru sensasi pedas itu terasa.”
“Masa? Kamu belum coba?”
Luna menggeleng. “Sejak tinggal di Korea, entah kenapa aku jadi seperti trauma pada makanan Indonesia yang terlalu pedas.”
“Wah… sepertinya ini enak. Ini rasa apa?”
“Ayam pedas.” Luna mengamati Jihoon. Menunggu dengan sabar bagaimana reaksi pemuda saat mencicipi mie instan pedas asal Indonesia.
Jihoon menyuapkan mie ke dalam mulutnya. Ia mulai mengunyahnya. “Mm… ini enak.”
Luna tersenyum puas. “Pedas nggak?”
“Tidak terlalu. Ini enak.” Jihoon kembali menyuapkan mie ke dalam mulutnya.
Luna masih memperhatikannya. Tiba-tiba ia menyeringai ketika Jihoon kembali menyuapkan mie ke dalam mulutnya.
“Ah! Pedasnya datang! Ini pedas sekali.” Jihoon mulai menggaruk-garuk kepalanya karena rasa pedas ya g menyerang rongga mulutnya. Susah payah ia berhasil menelan mie instan dalam mulutnya. “Kenapa bisa jadi sepedas ini?” Ia mulai kebingungan. Mengambil sebotol air yang disiapkan Luna dan meminumnya.
Luna tetap tenang dalam duduknya. Tersenyum memperhatikan Jihoon yang kini sudah berdiri lalu melakukan gerakan-gerakan aneh karena rasa pedas yang menguar di dalam mulutnya. Bahkan, Jihoon sampai berlutut dan menitikan air mata karena kepedasan.
“Ini lebih pedas dari ramyeon nuklir yang aku coba.” Jihoon yang masih berusaha mengatasi rasa pedasnya itu kembali duduk di bangku teras. Ia baru menyadari kamera yang diletakan Luna di atas tembok pagar. “Kamu merekamnya?” Ia menuding kamera itu.
Luna tersenyum dan mengangkat kedua bahunya. “Hanya penasaran pada bagaimana reaksi Park Jihoon ketika memakan mie pedas asal Indonesia.” Ia tersenyum penuh kemenangan.
“Ya! Kau…” Jihoon tak melanjutkan ucapannya. Melihat senyum Luna yang tulus itu, ada rasa membuncah di dalam dadanya. Ia pun tersenyum dan kembali meneguk air demi mengusir rasa pedas yang masih tersisa di mulutnya.
“Makan ini saja.” Luna menyerahkan mie dalam cup miliknya pada Jihoon. “Tidak pedas kok. Kalau ini pedesnya emang setan. Enak sih. Tapi, aku males kalau disuruh makan mie ini lagi. Nggak kuat sama pedasnya.” Ia memungut cup mie di hadapan Jihoon.
“Jadi, kamu udah pernah makan?”
Luna mengangguk.
“Curang!”
Jihoon dan Luna saling melempar senyum, lalu tertawa bersama.

Usai makan, Luna dan Jihoon masih duduk-duduk di teras. Keduanya sama-sama terdiam.
“Bagaimanapun, terima kasih.” Luna memecah keheningan.
Jihoon tersenyum. “Aku melakukannya untukku juga.”
“Andai kau tetap diam, kau pun tidak akan rugi. Tapi, aku tidak memungkiri jika aku mengharap suaka darimu.”
“Itu memang kesepakatan kita dari awal kan? Menjadi suaka satu sama lain.”
“Maafkan aku.”
Jihoon bergeming.
“Kenapa masih bertahan? Jika kau mau, kau bisa saja pergi, kan? Bagaimanapun aku tetaplah pacarmu yang selingkuh. Di mata orang.”
Jihoon menghela napas. “Saat SMP aku  berteman dengan seorang gadis. Ayahnya orang Amerika dan ibunya Korea. Kami sama-sama menyukai seni. Dia pandai melukis. Sedang aku menekuni seni peran. Aku menyukai gadis itu. Dia gadis yang menyenangkan. Suatu ketika, ia tiba-tiba mengatakan akan pindah. Pulang ke negara ayahnya, Amerika.”
Jihoon diam sejenak. Luna pun diam. Menunggu Jihoon melanjutkan ceritanya.
“Saat gadis itu meninggalkanku, dia bilang, seni itu bukan tentang bertahan hidup, seni itu tentang mengekspresikan dengan hati sejatimu.” Jihoon kembali terdiam. Ia kemudian tersenyum. “Entah kenapa kalimat itu begitu membekas dalam pikiranku. Apa mungkin waktu itu aku menyukainya dan menyesal? Atau karena alasan lain?”
Luna masih bergeming.
“Jika rasa suka atau cinta itu adalah bagian dari seni, maka apa yang aku lakukan sekarang adalah ekspresi dari hatiku. Aku telah melakukan sesuatu hal yang benar. Karena aku tidak ingin kehilangan gadis yang aku sukai.”
Kembali hening. Jihoon dan Luna sama-sama terdiam. Tiba-tiba terdengar suara derap langkah menaiki tangga. Jihoon dan Luna kompak menatap ke arah tangga. Menunggu siapakah yang akan muncul dari bawah sana.
“Hah! Loe udah di sini?!” Rania muncul dan langsung mengomel. “Kenapa matiin hape segala sih loe, Cing! Mas Dinar panik sampai mau terbang ke Korea gara-gara loe!” Ia sudah berdiri berkacak pinggang di hadapan Luna yang tertegun menatapnya.
***

Jihoon pulang setelah ia sempat bergabung dengan video call Dinar lewat ponsel Rania. Ia sempat mengobrol dengan kakak kedua Luna yang berprofesi sebagai artis itu. Jihoon menyanggupi akan menjaga Luna dengan baik. Tidak hanya dengan Dinar, Jihoon pun sempat ngobrol dengan Aro dan ibu Luna. Ia merasa senang bisa menyapa keluarga Luna walau lewat sebuah panggilan video.
Rania tetap tinggal karena sudah membawa barang-barang untuk menginap di rooftop Luna. Karena Luna selalu menolak untuk diajak meningap di rumahnya, ketika Luna mendapat masalah seperti saat ini, ia berinisiatifu untuk menginap demi menemani sahabatnya itu. Beruntung mamanya mendukung. Rania pun bergegas pergi dan menginap di rooftop Luna.

“Kalau hape udah full, buruan nyalain gih. Loe udah baca komenan di postingan yang isinya kalian berdua? Loe sama Daniel?” Rania menyambut Luna yang keluar kamar dengan membawa ponsel.
Luna menggeleng dan berjalan melenggang ke dapur.
“Gue yakin itu hape nggak lowbat. Tapi, emang sengaja loe matiin biar loe tenang.” Rania yang duduk di sofa terus mengoceh. “Tapi, mikir nggak sih loe gimana khawatirnya keluarga loe di Indonesia? Mereka tahu gimana seremnya fans bintang Korea macem Jihoon. Walau dia vakum, dia masih punya fans fanatik. Mikir nggak sih loe? Egois banget jadi orang!”
Luna membawa dua cangkir coklat hangat, lalu duduk bergabung dengan Rania. Namun, ia masih bungkam.
Squad Moon Kingdom juga belain loe mati-matian di komentar. Jisung posting foto waktu loe main ke taman hiburan sama dia, Linda, Song Hami, Guanlin, dan Daniel. Seongwoo sama Sungwoon posting foto kita pas main ke kebun Kakek Sungwoon. Woojin posting foto kita pas main ke tambak Jaehwan. Daehwi juga nggak mau kalah. Dia posting foto kalian pas bantuin dia nembak Joohee. Ternyata loe banyak yang dukung juga. Selain mereka ada yang belain loe.”
“Kalaupun aku nongol di komentar, nggak guna juga. Aku merasa sial banget tahu. Bahkan aku belum share pengalamanku kerja paruh waktu di cafe. Tapi, udah keduluan.” Luna buka suara.
“Loe masih khawatir soal itu?” Rania mendelik.
“Itu yang aku jual tau! Emang dari mana aku dapet duit? Dari vlog yang aku bikin di Korea, kan?”
“Ya kan, tapi…” Rania menghela napas dengan kasar. Tak melanjutkan kalimatnya. “Kayaknya loe emang lagi sial, Cing.”
“Kayaknya sejak kamu dateng ke Korea deh.”
“Hey!” Rania kembali mendelik.
Luna tersenyum. Wajahnya terlihat polos ketika tersenyum seperti itu.
Rania mendekat dan memeluk Luna. “Loe tahu nggak itu tandanya apa? Tandanya loe harus sudahi semua. Hidup dalam entah skenario apa yang loe buat itu. Sekarang ada gue di sini. Jangan takut lagi. Kita hadapi berdua. Nggak berdua sih. Loe punya Sungwoon juga.”
Luna melepaskan diri dari pelukan Rania. “Kok bawa-bawa Sungwoon sih?” Ia memprotes ungkapan Rania.
“Bukan berarti dia nggak lakuin apa-apa buat loe, kan? Gatau kenapa gue suka banget liat loe sama Sungwoon. Bahkan gue ngarep loe pacaran aja sama dia.”
“Cue!”
“Gue emang baru beberapa hari di Korea. Tapi, gue yakin Sungwoon cowok baik.”
Whatever!
Rania tergelak. “Lagian apa enaknya sih pacaran ama Jihoon? Eh, kalian cuman pura-pura sih ya? Cuman karena dia femes? Cakep? Sungwoon juga cakep lho!”
Luna melerok. Meraih mug favoritnya yang beiris coklat yang sudah berubah hangat. Ia menyeruputnya.
Rania turut meraih mugnya dan menyeruput coklat yang sudah hangat. Ia kembali meletakkannya di meja, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. “Loe nggak kepo apa soal perkembangan postingan itu? Terakhir aku liat, Song Hami komentar di situ juga. Dia di bash sama antis yang benci loe. Trus ada Song Hyuri belain. Mereka masih sodara ya? Bentar gue cek lagi. Loe liat dari akun gue aja.”
Luna seolah acuh, sibuk dengan mug berisi coklat hangatnya. Tapi, ia menyimak apa yang dikatakan Rania.
“Eh? Eh? Ini apaan?”
Luna yang sedang menyeruput coklat hangat melirik Rania.
“Liat ini deh, Cing!” Rania menarik lengan kiri Luna. Membuat coklat dalam mug yang dipegang Luna hampir tumpah.
“Apaan sih, Cue!” Luna meletakkan mug ke atas meja, malas-malasan menanggapi kehebohan Rania.
“Ada yang posting foto loe sama Jihoon di cafe. Dia membantah tuduhan selingkuh dari postingan sebelumnya. Liat nih!” Rania menyodorkan ponselnya.
Luna yang penasaran pun ikut menatap layar ponsel Rania. Dalam postingan disertakan beberapa foto dirinya dan Jihoon yang berada di cafe tempat Daniel bekerja. Ada foto saat Jihoon merekam kegiatannya. Ada foto saat ia dan Jihoon berinteraksi. Bahkan, ada foto saat dirinya ada bersama Jihoon dan Daniel. Foto bertiga dengan senyum lepas yang alami. Melihat postingan itu, Luna kembali merasakan sesak di dadanya. Ia terdiam, masih memandangi ponsel Rania. Menatap satu per satu foto yang menyertai postingan terbaru yang langsung membuat heboh grup komunitas sekolah itu.
“Nama akunnya Sam K? Sopo iku?” Suara Rania terdengar dekat di telinga kiri Luna hingga membuat lamunannya buyar. Luna pun menoleh dan menggelengkan kepala.
Rania menghela napas panjang. “Ada-ada bae. Ngedrama aja mereka ini.” Ia melirik Luna yang sudah kembali fokus menatap ponselnya. “Loe penasaran, Cing?”
Luna mengangguk.
“Palingan juga Jihoon.” Rania menarik tangannya yang mengulurkan ponsel dekat pada Luna dan menyimpannya. “Atau Sungwoon?”
Luna melerok mendengar Rania kembali menyebut nama Sungwoon. Rania terkekeh, sembari meraih mugnya. Ia kembali menyeruput coklat dan sudah dingin. Selanjutnya hening. Luna dan Rania sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
***


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews