My 4D's Seonbae - Episode #20 "Mencintai Itu Butuh Keberanian."
05:34
Episode #20 "Mencintai Itu Butuh Keberanian."
Senin
pagi yang cerah. Daniel sudah menunggu Luna seperti tempo hari. Saat Luna
muncul menuruni tangga, ia tersenyum lebar menyambutnya.
“Good morning, my couple!”
Daniel menyapa Luna.
Luna
hanya tersenyum dan menggeleng menanggapinya. Mereka pun berjalan beriringan.
Hidung
Daniel menangkap bau segar yang menguar sejak Luna berjalan di sampingnya. Ia
pun mengendus bau itu untuk memastikan. Bahkan ia sampai mendekati rambut Luna
untuk memastikan darimana bau itu berasal. “Jeruk? Udah ya ritualnya?” Celetuknya
setelah yakin bau segar buah jeruk itu berasal dari Luna.
Luna
mengangguk.
“Cepat
sekali?”
“Kata
oppaku kan kalau bisa secepatnya. Jadi tadi pagi aku mandi pakai air campuran
tujuh jenis jeruk. Nggak boleh dibilas pakek sabun pula. Jadi gini deh. Untung
aja jeruk. Masih seger baunya. Nggak kebayang kalau yang lain.”
“Syukurlah.”
“Makasih
ya.”
Daniel
tersenyum dan mengangguk. “Eh, jadi numpang mandi di rumah Jihoon?”
“Ngawur!”
Tangan Luna melayang memukul lengan kiri Daniel. “Semalam mengantar sayur untuk
ibu kecil. Ternyata ibu kecil punya bathup.
Aku minta izin numpang mandi dan aku jelasin semua. Ibu kecil dengan senang
hati meminjamkan bathup-nya.”
“Nggak
ditanya kenapa harus mandi air jeruk?”
“Iya.
Aku bilang untuk kesehatan kulitku karena kandungan vitamin C yang tinggi pada
buah jeruk. Untungnya ibu kecil percaya.”
Daniel
lagi-lagi tersenyum. “Maaf ya, Couple.
Tapi, aku jadi penasaran. Sebenarnya mandi air jeruk itu untuk apa?”
“Kata
oppaku sih untuk membuang energi negatif yang menyelimuti aku. Mungkin karena
belakangan aku stres juga. Jadi, energi negatif yang muncul dominan. Aroma
jeruk bagus juga buat rileksasi kan.”
“Oh.”
Daniel menganggukkan kepala.
Mereka
tiba di halte. Lalu, masuk ke dalam bus yang cukup padat penumpang. Seperti
hari Senin kebanyakan yang mereka jalani, Daniel dan Luna harus berdiri di bus.
Seperti sebelumnya pula, Daniel berdiri di belakang Luna demi melindungi gadis
itu. Walau berangkat lebih pagi, mereka tetap mendapat bus yang padat penumpang
sampai harus berdiri.
Saat
bus tiba di halte dekat sekolah, Luna turun lebih dulu. Daniel menyusul di
belakangnya. Bus kembali melaju.
Daniel
berdiri di samping kanan Luna. Ia tersenyum pada Luna. “Bisa kita jalan bareng?”
Luna
heran mendengar ajakan Daniel. Biasanya pemuda itu akan memintanya berjalan
lebih dulu.
Daniel
menghela napas. “Semalaman aku berpikir, tentang kita. Lalu, aku sudah
memutuskan. Aku tidak akan sembunyi lagi. Kita ini kan pasangan gombal. Jadi,
aku tidak akan meninggalkan pasanganku sendirian.” Ia kembali tersenyum pada
Luna.
“Dasar
tukang gombal! Pagi-pagi udah menggombal!” Luna kemudian berjalan.
“Aku
serius!” Daniel menyusul Luna dan berjalan di samping kanan Luna.
“Oke.
Kalau udah muncul ke permukaan, nggak boleh sembunyi lagi.”
“Oke.”
Daniel tersenyum riang. “Lagi pula udah banyak yang tahu kalau kita satu
kelompok di EC.”
“Masih
ada rasa khawatir rupanya.”
“Iya
lah. Penggosip itu mengerikan. Diabaikan bisa makin menjadi.” Daniel melihat
Linda berjalan sendirian dari arah berlawanan. Sama-sama mendekati gerbang
sekolah. “Hi, Linda!” Ia menyapa sambil melambaikan tangan pada Linda.
Linda
yang sebelumnya berjalan dengan kepala tertunduk pun mengangkat kepalanya.
Senyum terkembang di wajah manisnya, tapi segera sirna ketika ia melihat Daniel
berjalan beriringan dengan Luna.
Dengan
jarak yang lumayan dekat itu, Luna menangkap perubahan ekspresi Linda. Ia
menduga Linda menyukai Daniel. Ia pun tersenyum. “Aku duluan ya!” Ia pamit dan
berjalan cepat meninggalkan Daniel.
Daniel
tidak bisa menahan Luna. Ia pun berhenti di depan gerbang untuk menunggu Linda.
Saat Linda tiba di depan gerbang, ia menghampiri teman sekelasnya itu dan
berjalan beriringan masuk kelas.
“Sekarang
udah berani terang-terangan nih?” Linda melirik Daniel yang berjalan di samping
kanannya.
“Terang-terangan
apanya?” Daniel pura-pura nggak paham.
“Halah!
Nggak usah pura-pura! Kamu itu sebenernya suka kan ke Luna Seonbae?”
Senyum
tetap terkembang di wajah Daniel. Tapi, ia diam. Tidak menjawab pertanyaan
Linda.
“Nggak
takut pada Park Jihoon apa? Dia kan pacarnya Park Jihoon.”
Daniel
menghela napas. “Cinta itu butuh keberanian dan pengorbanan. Setidaknya aku
udah mencoba. Jadi, aku nggak akan menyesal. Apa pun hasilnya nanti, biar waktu
yang menjawabnya.”
Linda
mengangkat kepala, menoleh ke kanan, menatap Daniel. Ia pun tersenyum. “Aku
mengagumi orang yang benar.” Gumamnya.
“Mm?”
Daniel menoleh, menatap Linda yang menatapnya. Gadis itu tersenyum dan
mengalihkan pandangan ke depan.
“Good luck, Kang Daniel!” Linda
menyemangati.
“Gomawo.”
Linda
tersenyum dan mengangguk. Ia menghela napas dan kembali mengembangkan sebuah
senyuman di wajah manisnya.
***
Luna
terkejut ketika membuka locker-nya.
Beberapa kertas jatuh ke lantai. Ada kertas putih yang dilipat, ada kertas
berwarna, dan ada beberapa amplop. Luna berjongkok dan memungut kertas-kertas
itu.
Sungwoon
masuk ke dalam kelas lewat pintu belakang. Ia melihat Luna sedang berjongkok
memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai. Ia pun bergegas mendekati
Luna untuk membantu.
“Ini
apa?” Sungwoon berhasil mengumpulkan beberapa kertas.
“Nggak
tahu. Pas buka locker langsung
berjatuhan.”
Sungwoon
melihat-lihat kertas yang berhasil ia kumpulkan. Ia membuka salah satu kertas
warna merah yang dilipat. “Tolong aku. Aku menyukai seorang gadis kelas X. Bisa
jadi mak comblang buat kami?” Ia membaca tulisan dalam kertas itu.
Luna
menoleh, menatap Sungwoon dengan ekspresi bingung. Ia bangkit dan menutup locker-nya. Membawa kertas yang berhasil
ia kumpulkan ke bangkunya.
Sungwoon
menyusul Luna. Duduk di bangku di depan Luna. “Ini surat-surat yang sengaja di
selipin ke locker kamu.”
“Kayaknya
iya.” Luna membuka salah satu amplop, mengeluarkan isinya, dan membacanya. Bangsat! Aku suka Han Joohee!
Berani-beraninya kamu bantu Lee Daehwi! Luna terkejut membacanya. “Lihat ini.” Ia
memberikannya pada Sungwoon.
Sungwoon
menerima kertas pemberian Luna dan membacanya. “Bangsat! Aku suka Han Joohee?” Ia
pun kaget dengan isi surat itu.
Karena
kelas masih kosong, Luna dan Sungwoon memanfaatkan momen itu untuk membaca
surat-surat yang entah bagaimana tiba-tiba berada di dalam locker milik Luna. Ada sebelas surat yang isinya random. Ada
permintaan bantuan untuk dicomblangi dengan orang yang disukai. Ada yang
memaki. Selasai dengan membaca surat-surat itu, Luna merapikannya satu per
satu. Sedang Sungwoon sibuk dengan ponselnya.
“Ternyata
ini penyebabnya.” Sungwoon menunjukkan ponselnya pada Luna.
Luna
menerima ponsel Sungwoon dan membaca apa yang ditemukan teman satu kelompoknya
itu. Seorang netizen memposting potongan video saat Daehwi menyatakan cinta
pada Joohee di Hongdae. Rupanya salah satu murid SMA Hak Kun menemukannya dan
mempostingnya di komunitas sekolah.
“Surat-surat
ini sepertinya sengaja dikirim padamu. Karena kamu ada dalam video itu.”
Sungwoon mengutarakan pendapatnya.
“Kenapa
aku? Bukan kamu? Eh, coba lihat locker
kamu!” Luna menatap Sungwoon dengan antusias.
“Nggak
mungkin aku dapat. Yang tenar karena membantu Bae Jinyoung siapa? Kamu kan?
Tadi ada di salah satu surat kan? Yang isinya ancaman itu. Jangan sok peduli pada orang lain atau kamu akan celaka. Gitu kan
tadi?”
Luna
menghela napas dan menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Melihat ekspresi
Luna yang berubah murung, Sungwoon pun khawatir. Tapi, ia tak tahu harus
mengatakan apa untuk menghibur Luna.
Luna
tiba-tiba bergerak, meraih ponselnya, lalu sibuk dengan ponsel itu. Tapi,
kemudian ia menghentikan aktivitasnya. “Kalau Jihoon, Daehwi, dan Joohee nggak
menghubungi aku, apa itu artinya mereka baik-baik aja? Trus, aku nggak usah
menghubungi mereka? Aku harus gimana? Ha Sungwoon?” Ia menatap Sungwoon.
Ketika
Luna tiba-tiba menatapnya dengan ekspresi putus asa itu, jantung Sungwoon
seolah terjun bebas ke lantai kelas. Luna tak pernah menatapnya dengan fokus
penuh seperti itu. Ditambah ekspresi putus asa itu, membuat dada Sungwoon
terasa sesak. Ia senang sekaligus sakit.
Sungwoon
membuka mulutnya, hendak berkomentar. Tapi, pintu belakang kelas terbuka.
Woojin datang dan berjalan ke arahnya dan Luna. Sungwoon mengatupkan bibirnya.
“Udah
tahu apa yang heboh di komunitas sekolah?” Woojin sampai di dekat meja Luna. Ia
kemudian menatap kertas-kertas yang bertumpuk di meja Luna. “Apa ini?” Ia
meraih kertas-kertas itu dan mulai membacanya.
Luna
dan Sungwoon sama-sama diam. Tidak mencegah tindakan Woojin. Sungwoon menatap
Luna yang kini menatap keluar jendela kelas.
“Ini
apa-apaan? Orang gila mana yang tega nglakuin ke kamu?” Woojin menatap Luna. “Kamu
nemuin ini di mana? Siapa yang ngasih ke kamu?”
“Di
locker Luna.” Sungwoon menjadi juru
bicara Luna.
“CCTV!
CCTV!” Woojin antusias.
Luna
dan Sungwoon kompak menatap Woojin. Mereka seolah mendapat pencerahan. Mereka
kompak bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas. Woojin pun tak kalah
antusias. Mereka bertiga menuju ruang petugas keamanan untuk memeriksa rekaman
CCTV di kelas X-E.
Woojin,
Luna, dan Sungwoon berjalan dengan langkah pelan. Ekspresi ketiganya, terlebih
Luna lesu. Rekaman CCTV di kelas XI-E ada. Tapi, ketiganya tidak bisa
menemukan titik terang. Hari Sabtu dan Minggu kelas XI-E digunakan untuk
kegiatan klub. Ada dua klub yang memakai kelas XI-E secara bergantian pada hari
Sabtu dan Minggu. Dalam salah satu rekaman, posisi locker tertutup kerumunan siswa. Sedang pada rekaman lainnya, locker tertutup layar OHP dan banyak
siswa di sekitar layar. Terlebih mereka melihat rekaman CCTV terburu-buru.
Jadi, tidak bisa berkonsentrasi penuh untuk mengawasi para murid dalam rekaman
CCTV.
“Rencana
selanjutnya apa?” Sungwoon memecah keheningan. “Apa melapor saja pada Tim Tata
Tertib?”
“Kamu
yakin mau lapor ke Tim Tata Tertib?” Luna memastikan.
“Iya
lah! Kasus kamu ini nggak bisa dianggap sepele Luna. Ada surat ancamannya lho!
Ini masalah serius!” Sungwoon berapi-api.
“Aku
setuju! Lagian kita emang diperbolehkan mengeluh dan komplain kan? Kejadian ini
di sekolah. Tim Tata Tertib punya tugas melindungi murid juga.” Woojin setuju
dengan Sungwoon.
“Apa
nggak sebaiknya konsultasi ke OSIS dulu?”
“Minhyun??”
Sungwoon dan Woojin kompak. Membuat Luna terkejut.
“Lee
Taemin Seonbae. Ketua OSIS kita.” Luna memperjelas maksudnya untuk menghapus
salah paham kedua teman satu kelompoknya itu. “Aku bisa minta tolong Song Hyuri
Seonbae.”
“Memangnya
lapor ke Tata Tertib harus lewat OSIS ya?” Woojin balik bertanya.
“Nggak
tahu.” Luna mengangkat kedua bahunya. “Nggak usah lapor Tata Tertib deh.
Masalah gini aja lapor?”
“Luna!”
Sungwoon berhenti di depan Luna. Membuat gadis itu pun berhenti mendadak.
Woojin pun ikut menghentikan langkah.
“Ini
bukan masalah gini aja. Tapi, ada ancaman. Kita nggak bisa menganggapnya
remeh.” Sungwoon kembali menekankan tentang beberapa surat yang berisi ancaman
untuk Luna.
“Tapi,
bukan masalah gede juga.” Luna menyangkal pendapat Sungwoon.
“Luna
ada benernya sih.” Woojin mendukung pendapat Luna. “Kasus Bae Jinyoung contohnya.
Malah di lempar ke murid. Murid juga yang suruh nyelesaiin.”
Sungwoon
menghela napas. “Trus, kamu maunya kita gimana?” Ia pun menyerah pada Luna.
Luna
tersenyum pada Sungwoon. “Kamu kan preman sekolah. Coba kerahkan anggotamu buat
nyari informasi. Kita selidiki sendiri masalah ini.”
“Wah!
Ide bagus!” Woojin lagi-lagi mendukung Luna.
“Lagi
pula aku punya kalian. Ha Sungwoon, Park Woojin, Yoon Jisung, Ong Seongwoo
dalam squad Moon Kingdom. Aku yakin
kalian pasti mau bantu.”
Sungwoon
diam. Menimbang permintaan Luna. “Baiklah. Tapi, kita harus kasih tahu Jisung
dan Seongwoo tentang surat-surat ini.” Ia menunjukkan kertas di tangannya.
Luna
mengangguk setuju. Mereka pun kembali ke kelas dengan langkah penuh percaya
diri.
***
Jinyoung
mencari-cari sesuatu hingga membuka tasnya. Tapi, apa yang ia cari tidak ia
temukan. Rania tiba-tiba menoleh, membuatnya terkejut.
“Kenapa?”
Rania berbisik.
“Penghapusku
nggak ketemu.” Jinyoung turut berbisik.
Rania
kembali menghadap depan. Jinyoung diam memperhatikan gadis yang duduk tepat di
depannya itu. Rania kembali menoleh, dan lagi-lagi membuat Jinyoung terkejut. Rania
tersenyum melihat reaksi Jinyoung. Ia meletakkan sebuah penghapus di meja
Jinyoung, lalu kembali menghadap ke depan. Jinyoung menatap penghapus pemberian
Rania. Ia tersenyum samar, meraih penghapus itu, dan memakainya.
Jam
istirahat tiba. Jaehwan menghampiri meja Rania. “Kemarin ikut ke kebun Kakek
Sungwoon ya?”
“Kok
tahu?” Jawab Rania santai.
Minhyun
dan Jinyoung turut menyimak dalam diam.
“Seongwoo
udah pamerin foto-fotonya tuh.”
“Wah,
udah di pos ya sama Seongwoo.” Rania berseri.
“Pasti
seru ya. Kapan-kapan main ke tempatku lagi yuk! Kita bakar-bakar ikan. Mau kan?
Minhyun sama Jinyoung ikut juga ya?”
Minhyun
dan Jinyoung sama-sama terlihat kikuk.
“Ajak
Luna juga ya!” Rania antusias.
Minhyun
menyipitkan mata mendengar permintaan Rania. Sedang Jinyoung langsung menatap
gadis itu dengan ekspresi heran.
“Beres.
Dia pasti mau!” Jaehwan meyakinkan. Kemudian ia memiringkan kepala dan merasa
ada yang janggal. “Rania, kamu udah kenal baik sama Luna?”
Minhyun
dan Jinyoung kompak menatap Rania. Penasaran dengan jawaban gadis itu.
“Karena
kemarin itu. Dia asik juga ternyata. Hehehe.”
“Hwang
Minhyun!” Sungwoon berdiri di ambang pintu belakang kelas XI-B. Menyita perhatian
beberapa murid yang masih berada di dalam kelas.
“Ngapain
itu preman ke sini?” Jaehwan bergumam.
“Kok
preman?” Rania berbisik.
“Julukannya
preman. Preman budiman.”
“Oh…”
Rania menatap Sungwoon ekspresi penasaran. Preman
budiman?
Minhyun
berjalan menuju pintu untuk memenuhi panggilan Sungwoon. “Ada apa?” Saat ia
sampai di depan Sungwoon.
Sungwoon
menarik Minhyun untuk keluar kelas. Ia membawa Minhyun ke dekat jendela di
koridor. Setelah mengawasi sekitar dan merasa posisinya aman, tak terekam CCTV,
Sungwoon mulai berbicara dengan lirih. “Pagi ini Luna dapat surat ancaman.”
Kening
Minhyun berkerut mendengarnya.
“Kami
mencoba melacaknya dengan bertanya ke ruang petugas keamanan. Tapi nggak nemuin
titik terang. Jadi, nggak ada rekaman tentang siapa yang naruh surat ancaman di
locker Luna.”
“Surat
ancaman? Luna?” Jaehwan berjalan mendekati Sungwoon dan Minhyun.
“Pelanin
suaramu juragan ikan!” Sungwoon menegur.
“Luna
kenapa?” Jaehwan mengabaikan teguran Sungwoon.
“Trus,
kenapa kamu bilang ke aku soal itu?” Minhyun menyambung pertanyaan Jaehwan.
“Kamu
kan Wakil Ketua OSIS. Kali aja bisa menyampaikan aspirasi murid biasa kayak aku
gini. Surat ancaman itu bisa jadi bukan main-main lho! Ada sebelas surat yang
masuk ke locker Luna. Nggak semuanya
surat ancaman sih. Tapi, tetep aja ini bukan masalah yang bisa disepelekan.”
“Luna
dapat surat ancaman?” Jaehwan merasa salah dengar.
“Kami
udah liat di rekaman CCTV. Masalahnya kelas kami digunakan untuk kegiatan klub
pada hari Sabtu dan Minggu. Dan, kami tidak menemukan titik terang.” Sungwoon
mengabaikan Jaehwan.
“Kamu
maunya apa?” Minhyun masih dengan ekspresi datar.
“Ini
salah satu surat ancamannya.” Sungwoon menunjukkan kertas yang ia bawa pada
Minhyun.
Minhyun
menerima kertas itu. Jaehwan yang penasaran ikut membaca tulisan dalam kertas
itu.
“Wah,
dia tahu kalau Luna bantuin Bae Jinyoung.” Jaehwan setelah selesai membaca
kertas di tangan Minhyun. “Luna yang minta bantuan Minhyun?”
“Bukan.
Ini inisiatifku sendiri. Aku yang ingin membantu Luna. Menemukan pelaku.
Minhyun kan wakil ketua OSIS. Siapa tahu bisa membantu. Aku butuh salinan
rekaman CCTV pada hari Sabtu dan Minggu di kelasku. Tadi, kami buru-buru
melihatnya. Sebelumnya, saat menangani kasus Bae Jinyoung, kalian pernah
melakukan penyelidikan di sana kan? Di ruang petugas. Untuk memeriksa rekaman
CCTV. Aku benar-benar minta tolong padamu, Minhyun. Karena aku sangat
mengkhawatirkan Luna.”
Jaehwan
menatap Sungwoon, lalu Minhyun. Ia bingung, tak tahu harus berkomentar apa.
“Terima
kasih. Maaf sudah mengganggu waktumu.” Sungwoon pun pergi.
Jaehwan
masih menatap Minhyun yang berdiri diam di tempatnya. “Kamu nggak mau bantuin
Luna? Eh, Sungwoon?”
Minhyun
menghela napas. Dan berjalan pergi. Jaehwan mengejarnya.
Di
dalam kelas XI-B, Rania dan Jinyoung terdiam usai menguping obrolan Minhyun,
Sungwoon, dan Jaehwan.
“Luna,
dapat surat ancaman gara-gara aku.” Jinyoung merasa bersalah. Wajahnya semakin
redup.
“Sungwoon
bilang ada sebelas surat. Aku rasa bukan karena kamu aja.” Rania berusaha
menenangkan.
“Apa
karena peristiwa itu?”
“Peristiwa
apa?”
“Kamu
nggak liat postingan di komunitas sekolah?”
Rania
menggeleng.
“Ada
netizen unggah video Lee Daehwi nembak Han Joohee di Hongdae. Salah satu murid
sekolah kita nemuin unggahan itu dan dibagikan ke komunitas sekolah. Ada Luna,
Jihoon, dan Sungwoon juga di sana. Apa karena itu?”
Rania
memiringkan kepala. “Emang salah ya jadi mak comblang? Nggak kan? Trus, kenapa
Luna dapat surat ancaman?”
“Karena
Sungwoon mungkin?”
“Preman
sekolah tadi? Emang dia hobi ngebully murid? Ha Sungwoon?”
“Nggak
sih. Malah kadang belain murid yang dibully. Makanya dia disebut preman
budiman.”
“Wah,
masuk akal juga. Trus, kamu mau bantuin Luna?”
“Aku
bisa apa?” Jinyoung putus asa.
“Iya
juga sih. Apalagi aku. Lagian udah kubilang berulang kali, rasa penasaran itu
nggak harus semuanya dituruti. Dia bandel!”
Jinyoung
terkejut mendengar ocehan Rania. “Dia? Siapa?”
“Eh.
Nggak. Anu... kita makan siang yuk? Aku udah laper.”
Jinyoung
menatap Rania yang wajahnya dihiasi semburat warna merah. Ia pun tersenyum,
lalu menganggukkan kepala. Mereka pun keluar kelas dan berjalan bersama menuju
kantin.
Saat
tiba di kantin yang masih lumayan padat, Jinyoung dan Rania langsung menjadi
pusat perhatian. Jinyoung dengan masa lalu kelam dan Rania si murid pindahan
dari Indonesia. Keduanya menyita perhatian murid-murid yang sedang makan siang.
Bukannya
tak menyadari hal itu, Rania berpura-pura cuek dan terus berjalan di belakang
Jinyoung untuk mengambil makanan. Keduanya membawa nampan masing-masing, lalu
mencari meja kosong. Jinyoung yang sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu
berjalan santai menuju meja kosong yang berada di pojok. Rania tetap mengekor
di belakangnya. Berjalan dengan menundukkan kepala.
Jinyoung
dan Rania duduk berhadapan. Keduanya mengabaikan tatapan dan bisik-bisik murid
lain yang sama-sama sedang menikmati makan siang di kantin.
“Selamat
makan, Rania.” Jinyoung sebelum memulai makan siangnya.
Rania
tersenyum manis. “Selamat makan, Jinyoung.”
Jinyoung
membalas senyum.
“Kamu
manis lho kalau senyum gitu!” Rania memuji. “Sering-seringlah tersenyum. Aku
yakin para gadis akan luluh karena senyummu.”
Jinyoung
tersipu dan mulai makan.
“Aku
nggak membual lho!” Rania pun mulai makan.
“Harusnya
kamu nggak ke kantin sama aku. Pasti kamu nggak nyaman banget.”
“Andai
kata aku ke kantin sama Luna, aku pasti akan mendapatkan perlakuan yang sama.
Tatapan itu, bisik-bisik itu. Jadi, who's
care! Suka-suka aku mau makan di kantin sama siapa. Tujuan kita ke kantin
untuk makan, kan? Bukan untuk yang lain.”
Jinyoung
kembali tersenyum.
“Lagi
pula, kita bernasib sama.”
Jinyoung
mengangkat kepala, menatap Rania. “Bernasib sama?” Ia bersuara setelah menelan
makanan di dalam mulutnya.
“Iya.
Saat aku kelas tiga SD, aku difitnah mencuri uang teman sekelasku. Tidak ada
yang percaya padaku ketika aku mengatakan bukan aku pelakunya. Semua
mempercayai teman yang menuduhku. Aku sangat sedih, dan aku kucilkan.
“Sampai
dia mendekati aku dan mengajakku untuk mencari pelaku sebenarnya. Kami
mengumpulkan bukti bersama. Dia sih yang lebih banyak bekerja. Akhirnya pelaku
sebenarnya ditemukan. Sejak saat itu kami berteman baik, hingga sekarang.
“Di
saat teman-teman dekatku hanya bisa bersimpati, bahwa mereka yakin bukan aku
pelakunya. Dia datang memberi tawaran berbeda. Melarangku memberikan ganti rugi
uang yang hilang. Teman-temanku pun akhirnya berteman baik dengannya. Sampai
sekarang, kami berlima berteman baik. Harapanku kami bisa ngumpul lagi.” Rania
tersenyum, setelah menyelesaikan ceritanya.
“Dia
itu… siapa?”
“Memang
nggak separah masalah kamu. Tapi, setidaknya kita pernah sama-sama menjadi
kambing hitam. Dikira tersangka kejahatan.” Rania tersenyum manis.
Jinyoung
membalas senyum. Walau ia penasaran tentang 'dia' yang disebut Rania, tapi
karena gadis itu tak menjawab. Ia pun memilih diam. Lagi pula hari ini ia
sedang merasa sangat senang. Karena makan siang tak sendirian. Karena makan
siang ditemani seorang gadis manis dan baik hati. Ia merasa dirinya normal dan
sama seperti murid laki-laki lainnya. Baginya, itu sudah cukup.
***
Luna
ada di koridor kelas X bersama Daehwi, Jihoon, dan Joohee. Karena terus merasa
khawatir tentang Daehwi dan Joohee, ia memilih pergi menemui dua adik kelasnya
itu. Karena Joohee sekelas dengan Jihoon, pemuda itu pun jadi turut bergabung.
Luna menjelaskan maksud kedatangannya menemui adik-adik kelasnya itu.
“Seonbae
nggak perlu khawatir. Mereka bisa melebih-lebihkan sesuatu seperti itu. Padahal
di postingan aslinya biasa aja. Tapi, masuk komunitas sekolah jadi berlebihan
kayak gitu. Apalagi komentar-komentarnya.” Daehwi berusaha meredam kekhawatiran
Luna.
“Joohee
adalah milikku yang berharga. Aku akan menjaganya dengan baik.” Daehwi berdiri
merapat pada Joohee hingga lengan kirinya bersentuhan dengan lengan kanan
Joohee. Keduanya kemudian saling tersenyum tersipu.
“Dua
makhluk ini benar-benar!” Jihoon mengolok tingkah Daehwi dan Joohee.
“Iri
ya?” Daehwi balas mengolok. “Atau cemburu? Kalau cemburu, lekas pulang sana!
Samsakmu menunggu! Saat dia cemburu karena melihat Seonbae duduk sama Taemin
Seonbae, dia terus memukuli samsak di rumahnya. Dia benar-benar mengerikan.”
Daehwi bergidik ngeri.
“Mwoya!”
Jihoon geram melihat tingkah Daehwi.
Luna
mengabaikan aduan Daehwi dan tingkah Jihoon. “Kalau ada apa-apa, jangan sungkan
bilang padaku. Terutama kamu, Han Joohee.” Luna menatap lurus Joohee.
“I-iye,
Seonbae. Terima kasih atas perhatiannya.” Joohee membungkukkan badan.
Jihoon
fokus menatap Luna. Ekspresi gadis itu datar, cenderung dingin. “Apa terjadi
sesuatu yang lebih mengerikan dari postingan dalam komunitas sekolah?” Tanpa
basa-basi ia bertanya.
“Nggak
ada.” Luna membantah.
“Tapi,
ekspresi itu?”
Ponsel
di tangan Luna bergetar. Nama Sungwoon muncul di layar. “Aku balik.” Ia
membalikkan badan dan berjalan pergi.
Dari
arah berlawanan Daniel berjalan bersama Linda. Ia tersenyum melihat Luna
berjalan ke arahnya. Gadis itu sibuk dengan ponselnya. Entah sedang berbicara
dengan siapa. Saat mereka berpapasan, Luna sama sekali tak melihatnya. Senyum
di wajah Daniel sirna.
Linda
yang memperhatikan kedunya pun heran hingga memiringkan kepala. “Bukannya tadi
pagi kalian udah terang-terangan?” Linda dengan lirih. Ia menatap Daehwi dan
Joohee yang berjalan bersama, lalu Jihoon yang berjalan di belakang pasangan
yang baru go public itu. Jihoon
melirik sinis pada Daniel saat berpapasan.
“Jihoon
ngeri banget kalau natap kamu.” Linda kembali bersuara. “Kenapa Luna Seonbae
mengabaikanmu?”
Daniel
menghela napas dan mengangkat kedua bahunya. “Sepertinya terjadi sesuatu.”
“Ada
hubungannya sama Daehwi dan Joohee ya? Kok mereka sama-sama.”
“Entahlah.”
“Luna
Seonbae sombong juga ya. Ada kamu nggak nyapa. Apa karena ada Jihoon?”
“Mm,
dia nggak tahu aku aja kali.”
“Dih!
Dibelain mulu nih idolanya.”
Daniel
tersenyum manis dan kembali mengangkat kedua bahunya.
***
Pulang
sekolah, Luna berkumpul di basecamp
Klub Teater. Ada Woojin, Jisung, dan Seongwoo bersamanya. Ia marah setelah
mendengar penjelasan Woojin bahwa Sungwoon pergi meminta bantuan pada Minhyun.
“Trus,
sekarang Sungwoon mana? Kenapa dia nggak ikut ngumpul di sini?” Luna berdiri
dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Dia
bilang ada pertemuan mendadak sama Klub Vokal.” Seongwoo memberi jawaban.
“Kenapa
dia bertindak di luar instruksiku. Dan, Hwang Minhyun!” Luna mendesah kasar.
“Kan
kamu bilang dia boleh nyari info karena dia preman sekolah.” Woojin membela Sungwoon.
“Iya.
Nyari info sama anak buahnya! Emang Hwang Minhyun anak buah Sungwoon? Bukan,
kan? Lagian soal rekaman itu kita bisa minta bantuan yang lain. Aku baru
berencana minta tolong Kim Myungsoo Seonbae. Tapi, Sungwoon mengacaukannya!”
“Sabar
lah, Luna.” Jisung mencoba menenangkan Luna.
“Kalau
aku mau, aku bisa pergi sendiri. Menemui Minhyun. Nggak usah nyuruh Sungwoon.
Gitu kan kesannya aku nggak punya nyali. Butuh bantuan, tapi gengsi nggak mau
nemuin dia sendiri!”
Jisung,
Woojin, dan Seongwoo yang duduk di kursi melongo menatap Luna.
“Lagian
surat gaje aja digede-gedein. Lebay banget sih itu anak!” Luna lanjut mengomel
dalam bahasa Indonesia.
“Kamu
lebih khawatir Minhyun mikir negatif tentang kamu daripada surat ancaman itu?” Seongwoo
memberanikan diri berbicara. “Minhyun bukan orang yang kayak gitu kok.”
Luna
melirik tajam pada Seongwoo. Membuat pemuda itu segera mengatupkan bibirnya
rapat-rapat.
“Trus
sekarang apa yang harus kita lakukan?” Woojin mengalihkan topik.
“Aku
mau pulang!” Luna membalikkan badan dan berjalan menuju pintu. Saat ia membuka
pintu, Jaehwan ada di luar pintu. Hendak masuk ke basecamp.
“Eh!
Luna!” Jaehwan tersenyum lebar menyapa Luna. “Udah di sini. Bentar lagi anggota
lain datang. Kamu mau ke mana?”
“Pulang!”
Luna ketus.
“Kok
pulang? Kan bentar lagi rapat klub. Untuk festival musim panas di sekolah.
Luna!” Jaehwan berusaha menahan langkah Luna. Tapi, gadis itu terus berjalan
dan mengabaikannya.
“Kenapa
sih itu anak?” Saat Jaehwan akan masuk, Woojin dan Seongwoo keluar dari dalam basecamp. Membuatnya kaget. “Kalian kok
ada di sini?”
Woojin
dan Seongwoo berjalan melewati Jaehwan tanpa berkata-kata.
“Ada
apa sih?” Jaehwan masuk ke dalam basecamp
dan menemukan Jisung sudah duduk di sebuah kursi. Ia mendekati Jisung dan duduk
di dekatnya. “Ngapain Woojin sama Seongwoo ke sini? Trus, Luna kenapa sewot
gitu?”
“Lagi
PMS kali.” Jisung dengan santainya.
“Trus
kalau Luna nggak ikut rapat, kita gimana?”
“Ya
nggak gimana-gimana? Emang rapat nggak bakalan jalan kalau nggak ada Luna?”
Jaehwan
menelan ludah menatap Jisung. Selanjutnya dia pun memilih bungkam.
***
Rania
sudah berada di basecamp Klub Vokal.
Ia duduk di atas karpet bersama Yena, Exy, dan Rina. Tiga gadis yang
menyambutnya saat ia pertama kali masuk ke dalam Klub Vokal. Di pertemuan kedua
ini, tiga gadis itu kembali menyambutnya dengan ramah. Mereka sedang
melihat-lihat foto yang di unggah di akun pribadi Seongwoo. Foto-foto di kebun
milik kakek Sungwoon.
Hari
ini basecamp Klub Vokal lebih ramai
dari sebelumnya. Karena para anggota akan menggelar rapat untuk festival musim
panas. Anggota yang sudah datang memisahkan diri dalam kelompok seperti yang
dilakukan Rania dan ketiga teman barunya.
Pintu
basecamp terbuka. Daerin masuk ke
dalam basecamp. Dengan wajah
angkuhnya, ia berjalan masuk lalu berhenti di depan meja yang biasa digunakan
ketua. Ia mengedarkan pandangan, namun mengabaikan tatapan teman-teman satu
klubnya yang tertuju padanya.
“Ha
Sungwoon, dia di mana?” Daerin setelah selesai mengawasi seluruh penjuru basecamp.
“Dia
mana pernah on-time!” Yena menyahut.
Membuat perhatian Daerin teralihkan padanya.
Kening
Daerin berkerut. Ia pun mendekati Yena yang duduk di atas karpet bersama tiga
gadis lainnya. “Dia di sini?” Masih berdiri dengan tangan terlipat di dada,
Daerin menggerakan kepala. Menuding Rania.
“Namanya
Rania. Anggota baru kita.” Exy memperkenalkan Rania pada Daerin.
“Eh,
Daerin. Kamu kan teman baiknya Seongwoo ya? Kok kemarin nggak di ajak pas dia main
ke kebun kakeknya Sungwoon?” Rina mengoceh dengan lugunya.
Yena
mendelik pada Rina. Sedang Exy menggeleng pelan. Rania bingung melihat reaksi
Yena dan Exy.
“Memangnya
kenapa aku harus ikut?” Daerin angkuh.
“Ah
iya! Daerin kan bukan anggota squad Moon
Kingdom.” Rina manggut-manggut.
“Hagh!
Squad bodoh itu!” Daerin mencibir. Kemudian
ia melirik Rania. “Selamat bergabung di Klub Vokal. Semoga kamu benar-benar
berbakat.” Ia pun berjalan ke meja yang biasa digunakan ketua dan duduk di
kursi yang ada di balik meja.
“Rania
jangan tersinggung ya. Daerin emang gitu anaknya.” Yena menghibur Rania.
“Nggak
papa kok.” Rania tersenyum manis.
“Dia
itu juga benci banget sama Luna. Ngomongnya selalu pedes kalau tentang Luna.
Nggak sungkan sama sekali ke Sungwoon.” Exy menyambung.
“Sungwoon
itu kan kayaknya suka sama Luna.” Rina tak mau kalah.
“Rina!”
Yena dan Exy kompak menegur.
“Sungwoon
kan emang baik sama siapa aja.” Exy meralat.
“He’em.
Preman budiman kita.” Yena mendukung.
Rania
tersenyum melihat tingkah teman-teman barunya. Ia kemudian menatap Daerin yang
sudah sibuk dengan ponselnya.
***
Luna
memilih jalan yang berbeda agar tak bertemu dengan Jihoon. Sialnya jalan yang
ia pilih justeru membuatnya bertemu Minhyun. Ia bisa saja berputar balik untuk
menghindari Minhyun. Tapi, tindakannya bisa dilihat jelas oleh Minhyun yang
berjalan berlawanan arah dengannya.
Luna
berusaha berdamai dengan dirinya sendiri. Ia tetap berjalan, namun langkahnya
memelan. Tak secepat sebelumnya. Ketika jaraknya semakin dekat dengan Minhyun,
detub jantungnya berubah menjadi lebih cepat. Sial! Kenapa aku jadi deg-degan gini sih?! Bego banget kamu, Luna!
Kenapa milih jalan ini sih! Luna memaki dirinya sendiri dalam hati.
Luna
akhirnya berpapasan dengan Minhyun. Ia berjalan dengan kepala sedikit
tertunduk. Tanpa menoleh ataupun melirik pada Minhyun yang melintas di samping
kanannya. Ia menghela napas panjang ketika berhasil melewati Minhyun. Laju
langkah kakinya kembali meningkat. Buru-buru ia meninggalkan koridor itu.
Minhyun
menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. Luna sudah menghilang dari
koridor itu. Ia pun menghela napas. Merasa lega. Ia tak menduga jika akan
berpapasan dengan Luna dalam kondisi seperti itu. Satu lawan satu. Hal itu
membuatnya terkejut dan sedikit panik. Karena tak ada pilihan dan merasa gengsi
untuk berbalik, ia pun melanjutkan langkahnya. Ia lega karena Luna berjalan
dengan kepala tertunduk. Hingga tak menyadari ketika ia melirik gadis itu.
Minhyun
masih bertahan di tempatnya berdiri. Ia diam dan berpikir. Surat ancaman itu… gumamnya dalam hati. Ia pun menggelengkan
kepala. Membalikkan badannya, kemudian berjalan dengan langkah cepat.
Luna
berjalan menuju halte bus di dekat sekolah. Ia mengabaikan ponselnya yang
berulang kali bergetar. Saat sudah sampai di halte dan duduk di sana, ia
memeriksa ponselnya. Pesan dari Jihoon membanjir. Ia yakin pemuda itu pasti
bertanya kenapa ia tak hadir dalam rapat Klub Teater. Selain pesan Jihoon, ada
pesan dari Daehwi juga. Di grup chat Moon
Kingdom pun ada beberapa pesan masuk.
Luna
menyimpan kembali ponselnya dan menghela napas panjang. Ia menatap ke jalan
yang dipenuhi lalu lalang kendaraan. Ia melamun. Memikirkan tentang surat
ancaman, juga tindakan Sungwoon yang tiba-tiba meminta bantuan Minhyun.
Saat
Luna masih diam seperti itu, bus datang. Ia pun menghela napas dan bangkit dari
duduknya. Ia berjalan pelan dan masuk ke dalam bus. Kondisi bus penuh. Semua
kursi sudah terisi. Beberapa orang penumpang berdiri. Melihatnya, mood Luna semakin memburuk. Ia pun
berjalan dan berdiri di samping seorang penumpang laki-laki. Ia kembali
melamun.
Bus
yang hampir melaju kembali berhenti hingga membuat kesadaran Luna kembali.
Pintu bus kembali terbuka, Daniel masuk ke dalam bus. Ia tersenyum pada Luna.
Lalu berjalan mendekati gadis itu.
Luna
merasa ada bunga-bunga yang bermekaran di dadanya hanya karena melihat Daniel
naik ke atas bus, tersenyum, dan berjalan padanya. Ketika pemuda itu mengambil
tempat di antara dirinya dan penumpang pria di samping kanannya, ia merasa
hangat dan aman. Luna mengangkat kepala dan menatap Daniel. Ia bertemu pandang
dengan pemuda itu. Lalu, sama-sama tersenyum. Bus pun melaju, membawa keduanya
menjauh dari area sekolah.
***
Ketika
ia sedang berjongkok, Jaehwan yang sedang bercanda tak sengaja menyenggol botol
minuman rasa-rasa yang ada di atas meja. Karena botol itu tak tertutup rapat,
isi dalam botol tumpah ke kepala Luna. Setelah sempat mengomeli Jaehwan dan
Jisung membantu mengelap rambutnya dengan tissu, Luna mengambil handuk dan
pamit ke toilet untuk membilas rambutnya.
Luna
berjalan sambil menggerutu. Karena ulah Jaehwan, rambutnya jadi basah dan
lengket. Ia menyusuri koridor yang tampak sangat panjang karena tak ada seorang
pun yang melintas di sana kecuali dirinya. Ia menghentikan langkah ketika
melihat seorang siswa baru sedang berdiri di tengah-tengah koridor. Ia bisa
mengenalinya sebagai siswa baru dari seragam hitam putih yang dikenakan siswa
itu.
Diperhatikannya
siswa baru yang membelakangi dirinya itu. Siswa itu maju selangkah, lalu mundur
lagi. Terdengar samar gerutuan siswa itu. Membuat Luna bertanya-tanya ada apa
sebenarnya dengan siswa itu.
Karena
dengan hanya memperhatikan seperti itu tak memberinya jawaban, Luna pun
memutuskan untuk bertanya. “Hoobae, kamu kenapa?”
Siswa
itu menoleh lalu berjingkat kaget. Kemudian ia tersenyum kikuk.
Luna
menatap siswa baru itu dengan ekspresi datar. Namun, pandangannya fokus. “Ada
masalah?” Ia menuntut jawaban.
“Eng…
anu… itu… Siswa baru itu ragu-ragu.
“Kenapa?”
“Ngengat-ngengat
itu. Saya… saya takut pada ngengat-ngengat itu.” Siswa baru itu kembali
tersenyum kikuk.
Luna
melihat lampu koridor yang menyala dan dipenuhi ngengat. Ada yang terbang
mengitari lampu. Ada yang menempel di tembok dan langit-langit. “Saklarnya
nggak ada di sini. Jadi, nggak bisa matiin lampunya.”
Siswa
baru itu diam di posisinya. Menatap Luna.
Luna
teringat handuk yang ia bawa. Ia pun mendekati siswa itu, lalu membuka
handuknya. “Sini. Aku bantu.”
“Nee?”
Siswa baru itu tampak kebingunan.
“Handuk
ini bersih kok. Baru aku ambil dari lemari tadi sebelum berangkat ke sekolah
dan belum aku pakai. Aku bantu kamu melewati lampu itu.”
Siswa
baru itu tampak enggan. Tapi, ia tak menolak ketika Luna melebarlan handuk dan
menutupi kepalanya dengan handuk. Ketika Luna melingkarkan tangan untuk
memapahnya pun ia tak menolak.
“Dalam
hitungan ketiga, kita mulai jalan, oke?” Luna memberi kode.
Siswa
baru yang kepala sudah tertutup handuk warna biru itu mengangguk.
“Baiklah.
Satu. Dua. Tiga!” Luna mulai berjalan diikuti siswa baru itu.
Mereka
berdua berjalan dengan cepat melewati lampu yang dipenuhi ngengat. Saat
melintas di bawah lampu, Luna memastikan tidak ada ngengat yang menempel di
handuk ataupun tubuh siswa baru itu. Setelah melewati lampu, mereka berhenti
pada jarak yang lumayan jauh dari lampu.
Luna
menarik tangannya yang memapah juniornya yang takut ngengat. Lalu, ia mengambil
handuk yang menutupi kepala siswa itu. “Everything
is fine!” Ia tersenyum manis pada adik kelas yang baru ia bantu.
Siswa
itu tertegun sejenak. Lalu membalas senyum. “Kamsahamnida, Seonbaenim.” Ia
membungkukkan badan untuk berterima kasih.
Luna
hanya tersenyum, lalu melanjutkan perjalanannya menuju toilet untuk membilas
rambut.
Luna
tersenyum. Mengingat kembali bagaimana pertemuannya pertamanya dengan Daniel.
Momen yang sempat sejenak ia lupakan. Jika bukan karena Daniel, ia tak akan
mengingat momen pertemuan pertamanya dengan Daniel itu.
Ia
bisa saja memilih bungkam saat Daniel bertanya, apakah terjadi sesuatu padanya.
Tapi, semua cerita tentang kejadian hari ini malah lancar terucap dari
bibirnya. Luna memiringkan kepala. Menatap Daniel yang sedang sibuk membaca
kertas-kertas di tangannya. Mereka berdua duduk di bangku di teras rooftop Luna.
“Hanya
sepuluh.” Daniel selesai dengan surat-surat yang ditemukan di locker Luna.
“Sungwoon
membawanya satu. Ternyata ia gunakan untuk meminta bantuan pada Minhyun. Aku benar-benar
ingin menghajar preman sekolah itu!” Luna geram.
Daniel
tersenyum melihat ekspresi geram Luna. “Kan tujuannya baik. Membantu kamu.”
“Iya,
aku tahu. Tapi, kenapa Hwang Minhyun? Aku kan bisa minta bantuan Kim Myungsoo
Seonbae!”
“Merasa
harga diri kamu terinjak?”
“Iyalah.
Hwang Minhyun, masalahnya Hwang Minhyun!”
“Dia
kan bukan musuh bebuyutan kamu.”
“Iya,
tapi…” Luna tak melanjutkan ucapannya. Kemudian, ia menghela napas. Hanya teman lama yang tiba-tiba menjauh
tanpa sebab yang aku tahu pastinya apa.
“Curiga
pada seseorang?”
“Ada
sih. Tapi, nggak yakin juga. Karena random. Menyebut Han Joohee, tapi juga Bae
Jinyoung.”
“Jadi,
kamu tadi menemui Daehwi, Jihoon, dan Joohee karena kamu merasa khawatir pada
mereka?”
“Daehwi
dan Joohee. Jihoon ikut gabung karena aku mencari Joohee. Dia kan sekelas sama
Joohee.” Luna meralat.
Daniel
kembali tersenyum. “Jadi, lebih khawatir pada Daehwi dan Joohee daripada diri
sendiri?”
“Sekarang
lebih khawatir jika Jihoon tiba-tiba datang ke sini. Karena, aku nggak ikut
rapat klub.”
“Khawatir
dia nemuin kita lagi berdua-duaan kayak gini?”
Luna
menganggukkan kepala.
“Dasar
tukang gombal!”
Luna
tersenyum, tapi wajahnya masih lesu. “Nurut aku surat-surat itu bukan masalah
besar. Tapi, bisa jadi masalah besar juga sih. Sungwoon terlalu berlebihan.
Kita kan nggak sedang main film horor.”
“Yang
namanya surat ancaman, pasti lah bikin khawatir.”
“Jujur
aku emang penasaran. Siapa yang ngirim. Otaknya gerak cepat banget. Ada
kesempatan langsung diambil. Nggak disia-siakan.”
Daniel
menatap Luna sejenak. “Aku nggak tahu harus ngapain. Tapi, kalau butuh bantuan,
bilang aja. Aku harus ngapain buat bantu kamu.”
“Kan
aku udah minta bantuan.”
“Eh?
Jeruk itu ya?”
Luna
menggeleng.
Daniel
diam. Mengingat-ingat bantuan apa yang diminta Luna padanya. “Oh! Dance?”
Luna
tersenyum dan mengagguk antusias.
“Mm…”
Daniel bergumam. “Maunya dance seperti
apa?”
Luna
memiringkan kepala. “Aku membayangkan dancer cowok menari sendiri. Lalu, saat
part cewek dalam lagu, dancer cewek muncul. Lalu, keduanya menari bersama
sampai lagu berakhir.”
Daniel
menyimak dan terdiam. Memvisualisasikan ide Luna di dalam otaknya. “Mm!
Sepertinya aku dapat gambaran bagaimana gerakannya.”
“Benarkah?”
Luna penuh semangat.
Daniel
mengangguk penuh keyakinan.
“Kalau
begitu, aku akan menunggu.”
Daniel
tersenyum dan kembali menganggukkan kepala. “Luna-ya.”
“Mm?”
Daniel
menatap Luna dalam diam selama beberapa detik.
“Wae?”
“Anee.”
Daniel menggeleng. “Ah! Aku harus pergi! Bahaya kalau Jihoon melihat kita
berduaan.” Ia pun bangkit dari duduknya.
“Kenapa
kamu ngomong gitu? Kamu kan udah tahu kalau aku dan Jihoon cuman pura-pura
pacaran.”
Daniel
membuka mulutnya, hendak berbicara. Namun, ia tiba-tiba tersenyum.
“Wae?”
“Nggak
ah.”
“Ngomong
aja. Nggak papa.”
“Serius
nggak papa?”
Luna
mengangguk.
“Aku
suka kamu, Luna. Kalau liat kamu sama Jihoon, aku cemburu. Cemburu itu bikin
dadaku sakit banget. Jadi, sebelum Jihoon datang, aku pamit pergi ya.”
Luna
tertegun. Menatap Daniel yang berdiri menjulang jarak satu langkah di depannya.
“Aku
nggak minta kamu membalas rasa sukaku ke kamu. Aku ngomong gini, biar kamu tahu
kalau aku suka sama kamu. Dan tolong, sikapmu jangan berubah padaku setelah aku
ngomong jujur ke kamu. Karena, kita masih punya proyek dance couple. Jadi, jangan tendang aku sebelum proyek itu selesai.
Bisa, kan?”
Luna
masih tercenung menatap Daniel. Ia seolah kehilangan jiwanya.
“Aku
anggap diammu adalah kata sepakat. Terima kasih. Udah kasih aku ruang untuk
tinggal. Aku pergi. Sampai ketemu esok pagi, my couple!” Daniel tersenyum, lalu berjalan meninggalkan Luna yang
masih duduk tercenung.
***
Luna
tak bisa berhenti memikirkan sikap Daniel. Dan setiap kali memikirkan pemuda
itu, ia jadi tersenyum tersipu. Berulang kali menggelengkan kepala, ia tak bisa
mengusir Daniel dari pikirannya.
“Kamu
kenapa sih, Luna? Ayo, sadar!” Luna menepuk-nepuk kedua pipinya.
Ponsel
Luna bergetar. Buru-buru ia menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja. Nama
Jihoon muncul di layar ponselnya. Sebuah panggilan video. Luna mendesah, enggan
menerima panggilan itu. Tapi, akhirnya ia menerima panggilan itu.
Wajah
Jihoon muncul di layar ponsel Luna. Pemuda itu tersenyum kecil. Sebuah senyuman
malas yang terkesan dipaksakan. “Aku di depan!” Ujar Jihoon.
Mata
bulat Luna melebar mendengarnya. Apa yang ia khawatirkan benar adanya. Jihoon
datang menemuinya. “Nee. Tunggu sebentar.”
Luna
mengakhiri panggilan, dengan malas bangkit dari duduknya di sofa ruang tamu. Ia
berjalan menuju pintu dan membukanya untuk Jihoon. Luna terkejut. Bukan hanya
Jihoon yang ada di sana. Tapi, ada Jisung, Jaehwan, dan Daehwi.
“Kenapa
kalian ke sini?” Luna tanpa basa-basi.
“Kamu
nggak ikut rapat, anak-anak khawatir.” Tangan Jisung bergerak menunjuk Jihoon,
Daehwi, dan Jaehwan yang ada di sekitarnya.
Luna
menghela napas panjang. Membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan
teman-teman satu klubnya itu masuk.
Jisung,
Jaehwan, Jihoon, dan Daehwi duduk di ruang tamu. Minuman dan cemilan tersaji di
meja. Rooftop Luna yang tadinya
hening mendadak bising. Suara Jisung, Jaehwan, dan Daehwi bergantian mengisi
ruang tamu.
Luna
kembali ke ruang tamu. Ia duduk di samping kiri Jihoon. Lalu, menyerahkan binder
yang ia bawa pada Jisung. “Nemu idenya kayak gitu. Baca aja dulu.”
Jisung
menerima binder yang diulurkan Luna. Membukanya dan mulai membaca tulisan di
halaman awal binder. Daehwi merapat pada Jisung. Ikut membaca tulisan di
halaman awal binder.
“Luna,
gimana ceritanya kamu bisa dapat surat ancaman itu?” Jaehwan setelah menelan
camilan di dalam mulutnya.
Luna
mengangkat kepala. Mendelik menatap Jaehwan karena kaget.
“Jihoon
dan Daehwi udah tahu. Jaehwan nanyain soal itu pas Jihoon sama Daehwi
masuk basecamp. Jadi, mereka
penasaran juga. Aku nggak punya pilihan selain cerita ke mereka.” Jisung dengan
santainya. Seolah membocorkan masalah Luna pad Jihoon dan Daehwi bukanlah
masalah serius. Ia bahkan tak mengalihkan pandangannya dari binder.
“Jadi,
itu alasan kenapa tadi Noona sampai mencariku dan Joohee ke kelas?” Daehwi
menatap Luna. Melihat Luna yang menatapnya tajam, ia pun meringis. “Nggak papa
kan aku manggil Noona? Kan ini bukan di sekolah.”
Jihoon
diam. Menatap Luna yang duduk di samping kirinya.
Luna
menghela napas. “Jangan sampai Joohee tahu. Aku nggak mau dia jadi khawatir.”
“Siap!”
Daehwi menyanggupi. “Tapi, apa benar ada surat ancaman yang berhubungan dengan
Joohee?”
“Jumlah
cewek di sekolah dikit. Wajar kalau yang naksir Joohee bukan kamu aja. Apalagi
Joohee gadis pendiam yang manis.” Jisung masih fokus pada binder, tapi
telinganya ikut menyimak obrolan teman-temannya. Dan, mulutnya menyela obrolan
itu.
“Untung
aku gerak cepat ya. Dan, untungnya Joohee punya perasaan yang sama padaku.” Daehwi
tersenyum puas. Merasa menang dari pertempuran mendapatkan Joohee.
“Mendapatkan
itu nggak mudah. Menjaganya yang lebih susah. Perjuanganmu baru dimulai Lee
Daehwi!” Jisung memperingatkan.
“Kamu,
tahu dari mana kalau aku dapat surat ancaman?” Luna menatap Jaehwan.
“Dia
menguping obrolan Sungwoon dan Minhyun.” Jisung kembali menyahut.
“Trus,
Rania tahu?”
Mendengarnya,
Jisung pun mengangkat kepala dan menatap Luna. Suasana berubah hening di ruang
tamu rooftop Luna. Jisung berdehem.
“Emangnya Jaehwan bilang dia nguping sama Rania?”
“Bisa
jadi dia tahu sih. Waktu Sungwoon datang, di kelas ada kami berempat. Aku,
Rania, Minhyun, dan Jinyoung. Waktu aku mendekati pintu untuk nguping, Rania
dan Jinyoung masih di tempat mereka. Nggak tahu setelah aku pergi.” Jaehwan
mengangkat kedua bahunya.
Luna
mendesah dengan kasar. Ha Sungwoon! Kamu
mau bantuin apa mau mengacau sih! Ia geram pada Sungwoon yang belum
berhasil ia temui.
“Luna,
idenya bagus!” Jisung mengalihkan topik obrolan. “Rapat berikutnya kamu harus
datang. Aku setuju sama ide ini. Aku yakin yang lain pasti setuju.”
Daehwi
membaca halaman pertama binder yang sudah beralih ke tangannya. “Wah, iya. Ini
ide bagus. Aku juga suka.”
“Kalau
di rapat nanti nggak ada yang kasih ide, kita usulin ide ini aja. Kalau semua
setuju, tinggal nentuin para pemerannya.”
“Kalau
Noona sama Jihoon yang jadi tokoh utamanya, pasti pada setuju. Aku yakin 100%
soal itu.”
Jihoon
terkejut mendengar usulan Daehwi. Kemudian ia tersipu dan melirik Luna.
“Setuju!”
Jisung mendukung Daehwi. “Lagi pula, Luna belum pernah jadi pemeran utama, kan?
Sebenarnya tujuan kamu gabung Klub Teater apa sih Luna? Kok lebih demen jadi
orang belakang layar?”
“Nyalurin
isi kepalaku.” Nada bicara Luna datar.
“Hari
ini pasti bikin kamu capek banget. Maaf ya. Kami tiba-tiba datang begini.”
Jisung meminta maaf. “Waktu Jihoon bilang mau jenguk kamu, kami setuju buat
gabung. Ikut jenguk kamu. Pergilah kami naik mobil Jihoon.”
“Bilang
aja nyari gratisan buat nyampek sini.” Luna mengolok. Jisung nyengir
menanggapinya.
“Minhyun
udah minta rekaman CCTV-nya. Dia pergi sama Sungwoon. Rekamannya udah dibawa
Sungwoon. Kamu nggak usah mikir aneh-aneh. Masalah ini pasti bisa kamu lewati.”
Jaehwan bersimpati. Ia yakin ekspresi di wajah Luna adalah perwujudan dari
stres yang dialami gadis itu karena tiba-tiba mendapat sebelas surat yang
beberapa di antaranya adalah surat ancaman.
Luna
tak terkejut mendengar penjelasan Jaehwan. Ia tahu Minhyun pasti akan membantu
Sungwoon. Terlebih karena masalah kali ini menyangkut dirinya.
“Kamu
nggak mau nitip ucapan terima kasih gitu ke Minhyun?”
“Ngapain
harus bilang terima kasih? Kan, bukan aku yang minta bantuan!” Luna ketus.
“Tapi,
kan Sungwoon berbuat itu demi bantu kamu.”
“Aku
nggak minta dia minta bantuan Minhyun!”
“Udah-udah!”
Jisung menengahi. Membuat Jaehwan mengatupkan mulutnya kembali. Batal lanjut
mendebat Luna.
“Maaf.
Pasti kamu kesel banget hari ini.” Jaehwan pun meminta maaf.
“Kalau
gitu, kita pulang duluan yuk! Kita kan udah liat Luna baik aja.” Jisung memberi
kode pada Jaehwan dan Daehwi untuk pergi. Meninggalkan Jihoon dan Luna.
“Iya.
Aku ada perlu juga. Noona, ini aku bawa ya.” Daehwi membawa botol minumannya.
“Punyaku
juga kubawa.” Jisung ikut membawa botol minumannya. Jaehwan pun melakukan hal
yang sama. Kemudian, Jisung, Jaehwan, dan Daehwi pun pamit pergi. Meninggalkan
Jihoon dan Luna.
Suasana
berubah hening setelah Jisung, Jaehwan, dan Daehwi pergi. Luna dan Jihoon tetap
dalam posisi mereka. Tapi, sama-sama diam.
“Mian.
Mungkin seharusnya aku nggak ke sini. Tapi, karena kamu nggak ikut rapat dan
Jisung Seonbae cerita tentang surat ancaman. Aku nggak bisa berhenti
mengkhawatirkanmu. Karena itu, aku ke sini. Untuk melihatmu.” Jihoon memecah
kebisuan.
“Gomawo.”
“Kamu
baik aja, kan?”
“Just a little unwell.”
Jihoon
diam. Hanya bisa menatap Luna yang duduk di samping kirinya.
“But, you have no to worry. I'm gonna be ok.”
Jihoon
tersenyum dan mengangguk. “Anytime you
need help, just call me.”
“Mm.”
Luna mengangguk.
“Kalau
gitu, aku pamit.” Jihoon bangkit dari duduknya. Meraih tasnya yang tergeletak
di sofa. Ia pun berjalan menuju pintu.
“Jihoon-aa.”
Jihoon
menghentikan langkah. Ia berbalik, menghadap pada Luna.
“Mian.”
Kening
Jihoon berkerut mendengar permintaan maaf Luna.
“Maaf
karena telah membuatmu khawatir.”
Jihoon
tersenyum manis. “Nggak papa. Aku senang kok dibuat khawatir sama kamu.
Bukankah selama ini, kita selalu membagi kekhawatiran kita? Karena itu kita
sampai pada titik ini.”
Ruang
di dalam dada Luna merasa sesak mendengarnya.
“Sudah.
Istirahat sana! Jangan lupa kunci pintunya.” Jihoon berbalik, berjalan menuju
pintu, lalu menghilang di balik pintu.
Benar-benar
hening di dalam rooftop. Luna
mendesah. Menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
***
0 comments