My 4D's Seonbae - Episode #20 "Mencintai Itu Butuh Keberanian."

05:34


Episode #20 "Mencintai Itu Butuh Keberanian."



Senin pagi yang cerah. Daniel sudah menunggu Luna seperti tempo hari. Saat Luna muncul menuruni tangga, ia tersenyum lebar menyambutnya.
“Good morning, my couple!” Daniel menyapa Luna.
Luna hanya tersenyum dan menggeleng menanggapinya. Mereka pun berjalan beriringan.
Hidung Daniel menangkap bau segar yang menguar sejak Luna berjalan di sampingnya. Ia pun mengendus bau itu untuk memastikan. Bahkan ia sampai mendekati rambut Luna untuk memastikan darimana bau itu berasal. “Jeruk? Udah ya ritualnya?” Celetuknya setelah yakin bau segar buah jeruk itu berasal dari Luna.
Luna mengangguk.
“Cepat sekali?”
“Kata oppaku kan kalau bisa secepatnya. Jadi tadi pagi aku mandi pakai air campuran tujuh jenis jeruk. Nggak boleh dibilas pakek sabun pula. Jadi gini deh. Untung aja jeruk. Masih seger baunya. Nggak kebayang kalau yang lain.”
“Syukurlah.”
“Makasih ya.”
Daniel tersenyum dan mengangguk. “Eh, jadi numpang mandi di rumah Jihoon?”
“Ngawur!” Tangan Luna melayang memukul lengan kiri Daniel. “Semalam mengantar sayur untuk ibu kecil. Ternyata ibu kecil punya bathup. Aku minta izin numpang mandi dan aku jelasin semua. Ibu kecil dengan senang hati meminjamkan bathup-nya.”
“Nggak ditanya kenapa harus mandi air jeruk?”
“Iya. Aku bilang untuk kesehatan kulitku karena kandungan vitamin C yang tinggi pada buah jeruk. Untungnya ibu kecil percaya.”
Daniel lagi-lagi tersenyum. “Maaf ya, Couple. Tapi, aku jadi penasaran. Sebenarnya mandi air jeruk itu untuk apa?”
“Kata oppaku sih untuk membuang energi negatif yang menyelimuti aku. Mungkin karena belakangan aku stres juga. Jadi, energi negatif yang muncul dominan. Aroma jeruk bagus juga buat rileksasi kan.”
“Oh.” Daniel menganggukkan kepala.

Mereka tiba di halte. Lalu, masuk ke dalam bus yang cukup padat penumpang. Seperti hari Senin kebanyakan yang mereka jalani, Daniel dan Luna harus berdiri di bus. Seperti sebelumnya pula, Daniel berdiri di belakang Luna demi melindungi gadis itu. Walau berangkat lebih pagi, mereka tetap mendapat bus yang padat penumpang sampai harus berdiri.
Saat bus tiba di halte dekat sekolah, Luna turun lebih dulu. Daniel menyusul di belakangnya. Bus kembali melaju.
Daniel berdiri di samping kanan Luna. Ia tersenyum pada Luna. “Bisa kita jalan bareng?”
Luna heran mendengar ajakan Daniel. Biasanya pemuda itu akan memintanya berjalan lebih dulu.
Daniel menghela napas. “Semalaman aku berpikir, tentang kita. Lalu, aku sudah memutuskan. Aku tidak akan sembunyi lagi. Kita ini kan pasangan gombal. Jadi, aku tidak akan meninggalkan pasanganku sendirian.” Ia kembali tersenyum pada Luna.
“Dasar tukang gombal! Pagi-pagi udah menggombal!” Luna kemudian berjalan.
“Aku serius!” Daniel menyusul Luna dan berjalan di samping kanan Luna.
“Oke. Kalau udah muncul ke permukaan, nggak boleh sembunyi lagi.”
“Oke.” Daniel tersenyum riang. “Lagi pula udah banyak yang tahu kalau kita satu kelompok di EC.”
“Masih ada rasa khawatir rupanya.”
“Iya lah. Penggosip itu mengerikan. Diabaikan bisa makin menjadi.” Daniel melihat Linda berjalan sendirian dari arah berlawanan. Sama-sama mendekati gerbang sekolah. “Hi, Linda!” Ia menyapa sambil melambaikan tangan pada Linda.
Linda yang sebelumnya berjalan dengan kepala tertunduk pun mengangkat kepalanya. Senyum terkembang di wajah manisnya, tapi segera sirna ketika ia melihat Daniel berjalan beriringan dengan Luna.
Dengan jarak yang lumayan dekat itu, Luna menangkap perubahan ekspresi Linda. Ia menduga Linda menyukai Daniel. Ia pun tersenyum. “Aku duluan ya!” Ia pamit dan berjalan cepat meninggalkan Daniel.
Daniel tidak bisa menahan Luna. Ia pun berhenti di depan gerbang untuk menunggu Linda. Saat Linda tiba di depan gerbang, ia menghampiri teman sekelasnya itu dan berjalan beriringan masuk kelas.
“Sekarang udah berani terang-terangan nih?” Linda melirik Daniel yang berjalan di samping kanannya.
“Terang-terangan apanya?” Daniel pura-pura nggak paham.
“Halah! Nggak usah pura-pura! Kamu itu sebenernya suka kan ke Luna Seonbae?”
Senyum tetap terkembang di wajah Daniel. Tapi, ia diam. Tidak menjawab pertanyaan Linda.
“Nggak takut pada Park Jihoon apa? Dia kan pacarnya Park Jihoon.”
Daniel menghela napas. “Cinta itu butuh keberanian dan pengorbanan. Setidaknya aku udah mencoba. Jadi, aku nggak akan menyesal. Apa pun hasilnya nanti, biar waktu yang menjawabnya.”
Linda mengangkat kepala, menoleh ke kanan, menatap Daniel. Ia pun tersenyum. “Aku mengagumi orang yang benar.” Gumamnya.
“Mm?” Daniel menoleh, menatap Linda yang menatapnya. Gadis itu tersenyum dan mengalihkan pandangan ke depan.
Good luck, Kang Daniel!” Linda menyemangati.
“Gomawo.”
Linda tersenyum dan mengangguk. Ia menghela napas dan kembali mengembangkan sebuah senyuman di wajah manisnya.
***

Luna terkejut ketika membuka locker-nya. Beberapa kertas jatuh ke lantai. Ada kertas putih yang dilipat, ada kertas berwarna, dan ada beberapa amplop. Luna berjongkok dan memungut kertas-kertas itu.
Sungwoon masuk ke dalam kelas lewat pintu belakang. Ia melihat Luna sedang berjongkok memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai. Ia pun bergegas mendekati Luna untuk membantu.
“Ini apa?” Sungwoon berhasil mengumpulkan beberapa kertas.
“Nggak tahu. Pas buka locker langsung berjatuhan.”
Sungwoon melihat-lihat kertas yang berhasil ia kumpulkan. Ia membuka salah satu kertas warna merah yang dilipat. “Tolong aku. Aku menyukai seorang gadis kelas X. Bisa jadi mak comblang buat kami?” Ia membaca tulisan dalam kertas itu.
Luna menoleh, menatap Sungwoon dengan ekspresi bingung. Ia bangkit dan menutup locker-nya. Membawa kertas yang berhasil ia kumpulkan ke bangkunya.
Sungwoon menyusul Luna. Duduk di bangku di depan Luna. “Ini surat-surat yang sengaja di selipin ke locker kamu.”
“Kayaknya iya.” Luna membuka salah satu amplop, mengeluarkan isinya, dan membacanya. Bangsat! Aku suka Han Joohee! Berani-beraninya kamu bantu Lee Daehwi!  Luna terkejut membacanya. “Lihat ini.” Ia memberikannya pada Sungwoon.
Sungwoon menerima kertas pemberian Luna dan membacanya. “Bangsat! Aku suka Han Joohee?” Ia pun kaget dengan isi surat itu.
Karena kelas masih kosong, Luna dan Sungwoon memanfaatkan momen itu untuk membaca surat-surat yang entah bagaimana tiba-tiba berada di dalam locker milik Luna. Ada sebelas surat yang isinya random. Ada permintaan bantuan untuk dicomblangi dengan orang yang disukai. Ada yang memaki. Selasai dengan membaca surat-surat itu, Luna merapikannya satu per satu. Sedang Sungwoon sibuk dengan ponselnya.
“Ternyata ini penyebabnya.” Sungwoon menunjukkan ponselnya pada Luna.
Luna menerima ponsel Sungwoon dan membaca apa yang ditemukan teman satu kelompoknya itu. Seorang netizen memposting potongan video saat Daehwi menyatakan cinta pada Joohee di Hongdae. Rupanya salah satu murid SMA Hak Kun menemukannya dan mempostingnya di komunitas sekolah.
“Surat-surat ini sepertinya sengaja dikirim padamu. Karena kamu ada dalam video itu.” Sungwoon mengutarakan pendapatnya.
“Kenapa aku? Bukan kamu? Eh, coba lihat locker kamu!” Luna menatap Sungwoon dengan antusias.
“Nggak mungkin aku dapat. Yang tenar karena membantu Bae Jinyoung siapa? Kamu kan? Tadi ada di salah satu surat kan? Yang isinya ancaman itu. Jangan sok peduli pada orang lain atau kamu akan celaka. Gitu kan tadi?”
Luna menghela napas dan menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Melihat ekspresi Luna yang berubah murung, Sungwoon pun khawatir. Tapi, ia tak tahu harus mengatakan apa untuk menghibur Luna.
Luna tiba-tiba bergerak, meraih ponselnya, lalu sibuk dengan ponsel itu. Tapi, kemudian ia menghentikan aktivitasnya. “Kalau Jihoon, Daehwi, dan Joohee nggak menghubungi aku, apa itu artinya mereka baik-baik aja? Trus, aku nggak usah menghubungi mereka? Aku harus gimana? Ha Sungwoon?” Ia menatap Sungwoon.
Ketika Luna tiba-tiba menatapnya dengan ekspresi putus asa itu, jantung Sungwoon seolah terjun bebas ke lantai kelas. Luna tak pernah menatapnya dengan fokus penuh seperti itu. Ditambah ekspresi putus asa itu, membuat dada Sungwoon terasa sesak. Ia senang sekaligus sakit.
Sungwoon membuka mulutnya, hendak berkomentar. Tapi, pintu belakang kelas terbuka. Woojin datang dan berjalan ke arahnya dan Luna. Sungwoon mengatupkan bibirnya.
“Udah tahu apa yang heboh di komunitas sekolah?” Woojin sampai di dekat meja Luna. Ia kemudian menatap kertas-kertas yang bertumpuk di meja Luna. “Apa ini?” Ia meraih kertas-kertas itu dan mulai membacanya.
Luna dan Sungwoon sama-sama diam. Tidak mencegah tindakan Woojin. Sungwoon menatap Luna yang kini menatap keluar jendela kelas.
“Ini apa-apaan? Orang gila mana yang tega nglakuin ke kamu?” Woojin menatap Luna. “Kamu nemuin ini di mana? Siapa yang ngasih ke kamu?”
“Di locker Luna.” Sungwoon menjadi juru bicara Luna.
“CCTV! CCTV!” Woojin antusias.
Luna dan Sungwoon kompak menatap Woojin. Mereka seolah mendapat pencerahan. Mereka kompak bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas. Woojin pun tak kalah antusias. Mereka bertiga menuju ruang petugas keamanan untuk memeriksa rekaman CCTV di kelas X-E.

Woojin, Luna, dan Sungwoon berjalan dengan langkah pelan. Ekspresi ketiganya, terlebih Luna lesu. Rekaman  CCTV di kelas XI-E ada. Tapi, ketiganya tidak bisa menemukan titik terang. Hari Sabtu dan Minggu kelas XI-E digunakan untuk kegiatan klub. Ada dua klub yang memakai kelas XI-E secara bergantian pada hari Sabtu dan Minggu. Dalam salah satu rekaman, posisi locker tertutup kerumunan siswa. Sedang pada rekaman lainnya, locker tertutup layar OHP dan banyak siswa di sekitar layar. Terlebih mereka melihat rekaman CCTV terburu-buru. Jadi, tidak bisa berkonsentrasi penuh untuk mengawasi para murid dalam rekaman CCTV.
“Rencana selanjutnya apa?” Sungwoon memecah keheningan. “Apa melapor saja pada Tim Tata Tertib?”
“Kamu yakin mau lapor ke Tim Tata Tertib?” Luna memastikan.
“Iya lah! Kasus kamu ini nggak bisa dianggap sepele Luna. Ada surat ancamannya lho! Ini masalah serius!” Sungwoon berapi-api.
“Aku setuju! Lagian kita emang diperbolehkan mengeluh dan komplain kan? Kejadian ini di sekolah. Tim Tata Tertib punya tugas melindungi murid juga.” Woojin setuju dengan Sungwoon.
“Apa nggak sebaiknya konsultasi ke OSIS dulu?”
“Minhyun??” Sungwoon dan Woojin kompak. Membuat Luna terkejut.
“Lee Taemin Seonbae. Ketua OSIS kita.” Luna memperjelas maksudnya untuk menghapus salah paham kedua teman satu kelompoknya itu. “Aku bisa minta tolong Song Hyuri Seonbae.”
“Memangnya lapor ke Tata Tertib harus lewat OSIS ya?” Woojin balik bertanya.
“Nggak tahu.” Luna mengangkat kedua bahunya. “Nggak usah lapor Tata Tertib deh. Masalah gini aja lapor?”
“Luna!” Sungwoon berhenti di depan Luna. Membuat gadis itu pun berhenti mendadak. Woojin pun ikut menghentikan langkah.
“Ini bukan masalah gini aja. Tapi, ada ancaman. Kita nggak bisa menganggapnya remeh.” Sungwoon kembali menekankan tentang beberapa surat yang berisi ancaman untuk Luna.
“Tapi, bukan masalah gede juga.” Luna menyangkal pendapat Sungwoon.
“Luna ada benernya sih.” Woojin mendukung pendapat Luna. “Kasus Bae Jinyoung contohnya. Malah di lempar ke murid. Murid juga yang suruh nyelesaiin.”
Sungwoon menghela napas. “Trus, kamu maunya kita gimana?” Ia pun menyerah pada Luna.
Luna tersenyum pada Sungwoon. “Kamu kan preman sekolah. Coba kerahkan anggotamu buat nyari informasi. Kita selidiki sendiri masalah ini.”
“Wah! Ide bagus!” Woojin lagi-lagi mendukung Luna.
“Lagi pula aku punya kalian. Ha Sungwoon, Park Woojin, Yoon Jisung, Ong Seongwoo dalam squad Moon Kingdom. Aku yakin kalian pasti mau bantu.”
Sungwoon diam. Menimbang permintaan Luna. “Baiklah. Tapi, kita harus kasih tahu Jisung dan Seongwoo tentang surat-surat ini.” Ia menunjukkan kertas di tangannya.
Luna mengangguk setuju. Mereka pun kembali ke kelas dengan langkah penuh percaya diri.
***

Jinyoung mencari-cari sesuatu hingga membuka tasnya. Tapi, apa yang ia cari tidak ia temukan. Rania tiba-tiba menoleh, membuatnya terkejut.
“Kenapa?” Rania berbisik.
“Penghapusku nggak ketemu.” Jinyoung turut berbisik.
Rania kembali menghadap depan. Jinyoung diam memperhatikan gadis yang duduk tepat di depannya itu. Rania kembali menoleh, dan lagi-lagi membuat Jinyoung terkejut. Rania tersenyum melihat reaksi Jinyoung. Ia meletakkan sebuah penghapus di meja Jinyoung, lalu kembali menghadap ke depan. Jinyoung menatap penghapus pemberian Rania. Ia tersenyum samar, meraih penghapus itu, dan memakainya.

Jam istirahat tiba. Jaehwan menghampiri meja Rania. “Kemarin ikut ke kebun Kakek Sungwoon ya?”
“Kok tahu?” Jawab Rania santai.
Minhyun dan Jinyoung turut menyimak dalam diam.
“Seongwoo udah pamerin foto-fotonya tuh.”
“Wah, udah di pos ya sama Seongwoo.” Rania berseri.
“Pasti seru ya. Kapan-kapan main ke tempatku lagi yuk! Kita bakar-bakar ikan. Mau kan? Minhyun sama Jinyoung ikut juga ya?”
Minhyun dan Jinyoung sama-sama terlihat kikuk.
“Ajak Luna juga ya!” Rania antusias.
Minhyun menyipitkan mata mendengar permintaan Rania. Sedang Jinyoung langsung menatap gadis itu dengan ekspresi heran.
“Beres. Dia pasti mau!” Jaehwan meyakinkan. Kemudian ia memiringkan kepala dan merasa ada yang janggal. “Rania, kamu udah kenal baik sama Luna?”
Minhyun dan Jinyoung kompak menatap Rania. Penasaran dengan jawaban gadis itu.
“Karena kemarin itu. Dia asik juga ternyata. Hehehe.”
“Hwang Minhyun!” Sungwoon berdiri di ambang pintu belakang kelas XI-B. Menyita perhatian beberapa murid yang masih berada di dalam kelas.
“Ngapain itu preman ke sini?” Jaehwan bergumam.
“Kok preman?” Rania berbisik.
“Julukannya preman. Preman budiman.”
“Oh…” Rania menatap Sungwoon ekspresi penasaran. Preman budiman?

Minhyun berjalan menuju pintu untuk memenuhi panggilan Sungwoon. “Ada apa?” Saat ia sampai di depan Sungwoon.
Sungwoon menarik Minhyun untuk keluar kelas. Ia membawa Minhyun ke dekat jendela di koridor. Setelah mengawasi sekitar dan merasa posisinya aman, tak terekam CCTV, Sungwoon mulai berbicara dengan lirih. “Pagi ini Luna dapat surat ancaman.”
Kening Minhyun berkerut mendengarnya.
“Kami mencoba melacaknya dengan bertanya ke ruang petugas keamanan. Tapi nggak nemuin titik terang. Jadi, nggak ada rekaman tentang siapa yang naruh surat ancaman di locker Luna.”
“Surat ancaman? Luna?” Jaehwan berjalan mendekati Sungwoon dan Minhyun.
“Pelanin suaramu juragan ikan!” Sungwoon menegur.
“Luna kenapa?” Jaehwan mengabaikan teguran Sungwoon.
“Trus, kenapa kamu bilang ke aku soal itu?” Minhyun menyambung pertanyaan Jaehwan.
“Kamu kan Wakil Ketua OSIS. Kali aja bisa menyampaikan aspirasi murid biasa kayak aku gini. Surat ancaman itu bisa jadi bukan main-main lho! Ada sebelas surat yang masuk ke locker Luna. Nggak semuanya surat ancaman sih. Tapi, tetep aja ini bukan masalah yang bisa disepelekan.”
“Luna dapat surat ancaman?” Jaehwan merasa salah dengar.
“Kami udah liat di rekaman CCTV. Masalahnya kelas kami digunakan untuk kegiatan klub pada hari Sabtu dan Minggu. Dan, kami tidak menemukan titik terang.” Sungwoon mengabaikan Jaehwan.
“Kamu maunya apa?” Minhyun masih dengan ekspresi datar.
“Ini salah satu surat ancamannya.” Sungwoon menunjukkan kertas yang ia bawa pada Minhyun.
Minhyun menerima kertas itu. Jaehwan yang penasaran ikut membaca tulisan dalam kertas itu.
“Wah, dia tahu kalau Luna bantuin Bae Jinyoung.” Jaehwan setelah selesai membaca kertas di tangan Minhyun. “Luna yang minta bantuan Minhyun?”
“Bukan. Ini inisiatifku sendiri. Aku yang ingin membantu Luna. Menemukan pelaku. Minhyun kan wakil ketua OSIS. Siapa tahu bisa membantu. Aku butuh salinan rekaman CCTV pada hari Sabtu dan Minggu di kelasku. Tadi, kami buru-buru melihatnya. Sebelumnya, saat menangani kasus Bae Jinyoung, kalian pernah melakukan penyelidikan di sana kan? Di ruang petugas. Untuk memeriksa rekaman CCTV. Aku benar-benar minta tolong padamu, Minhyun. Karena aku sangat mengkhawatirkan Luna.”
Jaehwan menatap Sungwoon, lalu Minhyun. Ia bingung, tak tahu harus berkomentar apa.
“Terima kasih. Maaf sudah mengganggu waktumu.” Sungwoon pun pergi.
Jaehwan masih menatap Minhyun yang berdiri diam di tempatnya. “Kamu nggak mau bantuin Luna? Eh, Sungwoon?”
Minhyun menghela napas. Dan berjalan pergi. Jaehwan mengejarnya.

Di dalam kelas XI-B, Rania dan Jinyoung terdiam usai menguping obrolan Minhyun, Sungwoon, dan Jaehwan.
“Luna, dapat surat ancaman gara-gara aku.” Jinyoung merasa bersalah. Wajahnya semakin redup.
“Sungwoon bilang ada sebelas surat. Aku rasa bukan karena kamu aja.” Rania berusaha menenangkan.
“Apa karena peristiwa itu?”
“Peristiwa apa?”
“Kamu nggak liat postingan di komunitas sekolah?”
Rania menggeleng.
“Ada netizen unggah video Lee Daehwi nembak Han Joohee di Hongdae. Salah satu murid sekolah kita nemuin unggahan itu dan dibagikan ke komunitas sekolah. Ada Luna, Jihoon, dan Sungwoon juga di sana. Apa karena itu?”
Rania memiringkan kepala. “Emang salah ya jadi mak comblang? Nggak kan? Trus, kenapa Luna dapat surat ancaman?”
“Karena Sungwoon mungkin?”
“Preman sekolah tadi? Emang dia hobi ngebully murid? Ha Sungwoon?”
“Nggak sih. Malah kadang belain murid yang dibully. Makanya dia disebut preman budiman.”
“Wah, masuk akal juga. Trus, kamu mau bantuin Luna?”
“Aku bisa apa?” Jinyoung putus asa.
“Iya juga sih. Apalagi aku. Lagian udah kubilang berulang kali, rasa penasaran itu nggak harus semuanya dituruti. Dia bandel!”
Jinyoung terkejut mendengar ocehan Rania. “Dia? Siapa?”
“Eh. Nggak. Anu... kita makan siang yuk? Aku udah laper.”
Jinyoung menatap Rania yang wajahnya dihiasi semburat warna merah. Ia pun tersenyum, lalu menganggukkan kepala. Mereka pun keluar kelas dan berjalan bersama menuju kantin.

Saat tiba di kantin yang masih lumayan padat, Jinyoung dan Rania langsung menjadi pusat perhatian. Jinyoung dengan masa lalu kelam dan Rania si murid pindahan dari Indonesia. Keduanya menyita perhatian murid-murid yang sedang makan siang.
Bukannya tak menyadari hal itu, Rania berpura-pura cuek dan terus berjalan di belakang Jinyoung untuk mengambil makanan. Keduanya membawa nampan masing-masing, lalu mencari meja kosong. Jinyoung yang sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu berjalan santai menuju meja kosong yang berada di pojok. Rania tetap mengekor di belakangnya. Berjalan dengan menundukkan kepala.
Jinyoung dan Rania duduk berhadapan. Keduanya mengabaikan tatapan dan bisik-bisik murid lain yang sama-sama sedang menikmati makan siang di kantin.
“Selamat makan, Rania.” Jinyoung sebelum memulai makan siangnya.
Rania tersenyum manis. “Selamat makan, Jinyoung.”
Jinyoung membalas senyum.
“Kamu manis lho kalau senyum gitu!” Rania memuji. “Sering-seringlah tersenyum. Aku yakin para gadis akan luluh karena senyummu.”
Jinyoung tersipu dan mulai makan.
“Aku nggak membual lho!” Rania pun mulai makan.
“Harusnya kamu nggak ke kantin sama aku. Pasti kamu nggak nyaman banget.”
“Andai kata aku ke kantin sama Luna, aku pasti akan mendapatkan perlakuan yang sama. Tatapan itu, bisik-bisik itu. Jadi, who's care! Suka-suka aku mau makan di kantin sama siapa. Tujuan kita ke kantin untuk makan, kan? Bukan untuk yang lain.”
Jinyoung kembali tersenyum.
“Lagi pula, kita bernasib sama.”
Jinyoung mengangkat kepala, menatap Rania. “Bernasib sama?” Ia bersuara setelah menelan makanan di dalam mulutnya.
“Iya. Saat aku kelas tiga SD, aku difitnah mencuri uang teman sekelasku. Tidak ada yang percaya padaku ketika aku mengatakan bukan aku pelakunya. Semua mempercayai teman yang menuduhku. Aku sangat sedih, dan aku kucilkan.
“Sampai dia mendekati aku dan mengajakku untuk mencari pelaku sebenarnya. Kami mengumpulkan bukti bersama. Dia sih yang lebih banyak bekerja. Akhirnya pelaku sebenarnya ditemukan. Sejak saat itu kami berteman baik, hingga sekarang.
“Di saat teman-teman dekatku hanya bisa bersimpati, bahwa mereka yakin bukan aku pelakunya. Dia datang memberi tawaran berbeda. Melarangku memberikan ganti rugi uang yang hilang. Teman-temanku pun akhirnya berteman baik dengannya. Sampai sekarang, kami berlima berteman baik. Harapanku kami bisa ngumpul lagi.” Rania tersenyum, setelah menyelesaikan ceritanya.
“Dia itu… siapa?”
“Memang nggak separah masalah kamu. Tapi, setidaknya kita pernah sama-sama menjadi kambing hitam. Dikira tersangka kejahatan.” Rania tersenyum manis.
Jinyoung membalas senyum. Walau ia penasaran tentang 'dia' yang disebut Rania, tapi karena gadis itu tak menjawab. Ia pun memilih diam. Lagi pula hari ini ia sedang merasa sangat senang. Karena makan siang tak sendirian. Karena makan siang ditemani seorang gadis manis dan baik hati. Ia merasa dirinya normal dan sama seperti murid laki-laki lainnya. Baginya, itu sudah cukup.
***

Luna ada di koridor kelas X bersama Daehwi, Jihoon, dan Joohee. Karena terus merasa khawatir tentang Daehwi dan Joohee, ia memilih pergi menemui dua adik kelasnya itu. Karena Joohee sekelas dengan Jihoon, pemuda itu pun jadi turut bergabung. Luna menjelaskan maksud kedatangannya menemui adik-adik kelasnya itu.
“Seonbae nggak perlu khawatir. Mereka bisa melebih-lebihkan sesuatu seperti itu. Padahal di postingan aslinya biasa aja. Tapi, masuk komunitas sekolah jadi berlebihan kayak gitu. Apalagi komentar-komentarnya.” Daehwi berusaha meredam kekhawatiran Luna.
“Joohee adalah milikku yang berharga. Aku akan menjaganya dengan baik.” Daehwi berdiri merapat pada Joohee hingga lengan kirinya bersentuhan dengan lengan kanan Joohee. Keduanya kemudian saling tersenyum tersipu.
“Dua makhluk ini benar-benar!” Jihoon mengolok tingkah Daehwi dan Joohee.
“Iri ya?” Daehwi balas mengolok. “Atau cemburu? Kalau cemburu, lekas pulang sana! Samsakmu menunggu! Saat dia cemburu karena melihat Seonbae duduk sama Taemin Seonbae, dia terus memukuli samsak di rumahnya. Dia benar-benar mengerikan.” Daehwi bergidik ngeri.
“Mwoya!” Jihoon geram melihat tingkah Daehwi.
Luna mengabaikan aduan Daehwi dan tingkah Jihoon. “Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang padaku. Terutama kamu, Han Joohee.” Luna menatap lurus Joohee.
“I-iye, Seonbae. Terima kasih atas perhatiannya.” Joohee membungkukkan badan.
Jihoon fokus menatap Luna. Ekspresi gadis itu datar, cenderung dingin. “Apa terjadi sesuatu yang lebih mengerikan dari postingan dalam komunitas sekolah?” Tanpa basa-basi ia bertanya.
“Nggak ada.” Luna membantah.
“Tapi, ekspresi itu?”
Ponsel di tangan Luna bergetar. Nama Sungwoon muncul di layar. “Aku balik.” Ia membalikkan badan dan berjalan pergi.

Dari arah berlawanan Daniel berjalan bersama Linda. Ia tersenyum melihat Luna berjalan ke arahnya. Gadis itu sibuk dengan ponselnya. Entah sedang berbicara dengan siapa. Saat mereka berpapasan, Luna sama sekali tak melihatnya. Senyum di wajah Daniel sirna.
Linda yang memperhatikan kedunya pun heran hingga memiringkan kepala. “Bukannya tadi pagi kalian udah terang-terangan?” Linda dengan lirih. Ia menatap Daehwi dan Joohee yang berjalan bersama, lalu Jihoon yang berjalan di belakang pasangan yang baru go public itu. Jihoon melirik sinis pada Daniel saat berpapasan.
“Jihoon ngeri banget kalau natap kamu.” Linda kembali bersuara. “Kenapa Luna Seonbae mengabaikanmu?”
Daniel menghela napas dan mengangkat kedua bahunya. “Sepertinya terjadi sesuatu.”
“Ada hubungannya sama Daehwi dan Joohee ya? Kok mereka sama-sama.”
“Entahlah.”
“Luna Seonbae sombong juga ya. Ada kamu nggak nyapa. Apa karena ada Jihoon?”
“Mm, dia nggak tahu aku aja kali.”
“Dih! Dibelain mulu nih idolanya.”
Daniel tersenyum manis dan kembali mengangkat kedua bahunya.
***

Pulang sekolah, Luna berkumpul di basecamp Klub Teater. Ada Woojin, Jisung, dan Seongwoo bersamanya. Ia marah setelah mendengar penjelasan Woojin bahwa Sungwoon pergi meminta bantuan pada Minhyun.
“Trus, sekarang Sungwoon mana? Kenapa dia nggak ikut ngumpul di sini?” Luna berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Dia bilang ada pertemuan mendadak sama Klub Vokal.” Seongwoo memberi jawaban.
“Kenapa dia bertindak di luar instruksiku. Dan, Hwang Minhyun!” Luna mendesah kasar.
“Kan kamu bilang dia boleh nyari info karena dia preman sekolah.” Woojin membela Sungwoon.
“Iya. Nyari info sama anak buahnya! Emang Hwang Minhyun anak buah Sungwoon? Bukan, kan? Lagian soal rekaman itu kita bisa minta bantuan yang lain. Aku baru berencana minta tolong Kim Myungsoo Seonbae. Tapi, Sungwoon mengacaukannya!”
“Sabar lah, Luna.” Jisung mencoba menenangkan Luna.
“Kalau aku mau, aku bisa pergi sendiri. Menemui Minhyun. Nggak usah nyuruh Sungwoon. Gitu kan kesannya aku nggak punya nyali. Butuh bantuan, tapi gengsi nggak mau nemuin dia sendiri!”
Jisung, Woojin, dan Seongwoo yang duduk di kursi melongo menatap Luna.
“Lagian surat gaje aja digede-gedein. Lebay banget sih itu anak!” Luna lanjut mengomel dalam bahasa Indonesia.
“Kamu lebih khawatir Minhyun mikir negatif tentang kamu daripada surat ancaman itu?” Seongwoo memberanikan diri berbicara. “Minhyun bukan orang yang kayak gitu kok.”
Luna melirik tajam pada Seongwoo. Membuat pemuda itu segera mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
“Trus sekarang apa yang harus kita lakukan?” Woojin mengalihkan topik.
“Aku mau pulang!” Luna membalikkan badan dan berjalan menuju pintu. Saat ia membuka pintu, Jaehwan ada di luar pintu. Hendak masuk ke basecamp.
“Eh! Luna!” Jaehwan tersenyum lebar menyapa Luna. “Udah di sini. Bentar lagi anggota lain datang. Kamu mau ke mana?”
“Pulang!” Luna ketus.
“Kok pulang? Kan bentar lagi rapat klub. Untuk festival musim panas di sekolah. Luna!” Jaehwan berusaha menahan langkah Luna. Tapi, gadis itu terus berjalan dan mengabaikannya.
“Kenapa sih itu anak?” Saat Jaehwan akan masuk, Woojin dan Seongwoo keluar dari dalam basecamp. Membuatnya kaget. “Kalian kok ada di sini?”
Woojin dan Seongwoo berjalan melewati Jaehwan tanpa berkata-kata.
“Ada apa sih?” Jaehwan masuk ke dalam basecamp dan menemukan Jisung sudah duduk di sebuah kursi. Ia mendekati Jisung dan duduk di dekatnya. “Ngapain Woojin sama Seongwoo ke sini? Trus, Luna kenapa sewot gitu?”
“Lagi PMS kali.” Jisung dengan santainya.
“Trus kalau Luna nggak ikut rapat, kita gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana? Emang rapat nggak bakalan jalan kalau nggak ada Luna?”
Jaehwan menelan ludah menatap Jisung. Selanjutnya dia pun memilih bungkam.
***

Rania sudah berada di basecamp Klub Vokal. Ia duduk di atas karpet bersama Yena, Exy, dan Rina. Tiga gadis yang menyambutnya saat ia pertama kali masuk ke dalam Klub Vokal. Di pertemuan kedua ini, tiga gadis itu kembali menyambutnya dengan ramah. Mereka sedang melihat-lihat foto yang di unggah di akun pribadi Seongwoo. Foto-foto di kebun milik kakek Sungwoon.
Hari ini basecamp Klub Vokal lebih ramai dari sebelumnya. Karena para anggota akan menggelar rapat untuk festival musim panas. Anggota yang sudah datang memisahkan diri dalam kelompok seperti yang dilakukan Rania dan ketiga teman barunya.
Pintu basecamp terbuka. Daerin masuk ke dalam basecamp. Dengan wajah angkuhnya, ia berjalan masuk lalu berhenti di depan meja yang biasa digunakan ketua. Ia mengedarkan pandangan, namun mengabaikan tatapan teman-teman satu klubnya yang tertuju padanya.
“Ha Sungwoon, dia di mana?” Daerin setelah selesai mengawasi seluruh penjuru basecamp.
“Dia mana pernah on-time!” Yena menyahut. Membuat perhatian Daerin teralihkan padanya.
Kening Daerin berkerut. Ia pun mendekati Yena yang duduk di atas karpet bersama tiga gadis lainnya. “Dia di sini?” Masih berdiri dengan tangan terlipat di dada, Daerin menggerakan kepala. Menuding Rania.
“Namanya Rania. Anggota baru kita.” Exy memperkenalkan Rania pada Daerin.
“Eh, Daerin. Kamu kan teman baiknya Seongwoo ya? Kok kemarin nggak di ajak pas dia main ke kebun kakeknya Sungwoon?” Rina mengoceh dengan lugunya.
Yena mendelik pada Rina. Sedang Exy menggeleng pelan. Rania bingung melihat reaksi Yena dan Exy.
“Memangnya kenapa aku harus ikut?” Daerin angkuh.
“Ah iya! Daerin kan bukan anggota squad Moon Kingdom.” Rina manggut-manggut.
“Hagh! Squad bodoh itu!” Daerin mencibir. Kemudian ia melirik Rania. “Selamat bergabung di Klub Vokal. Semoga kamu benar-benar berbakat.” Ia pun berjalan ke meja yang biasa digunakan ketua dan duduk di kursi yang ada di balik meja.
“Rania jangan tersinggung ya. Daerin emang gitu anaknya.” Yena menghibur Rania.
“Nggak papa kok.” Rania tersenyum manis.
“Dia itu juga benci banget sama Luna. Ngomongnya selalu pedes kalau tentang Luna. Nggak sungkan sama sekali ke Sungwoon.” Exy menyambung.
“Sungwoon itu kan kayaknya suka sama Luna.” Rina tak mau kalah.
“Rina!” Yena dan Exy kompak menegur.
“Sungwoon kan emang baik sama siapa aja.” Exy meralat.
“He’em. Preman budiman kita.” Yena mendukung.
Rania tersenyum melihat tingkah teman-teman barunya. Ia kemudian menatap Daerin yang sudah sibuk dengan ponselnya.
***

Luna memilih jalan yang berbeda agar tak bertemu dengan Jihoon. Sialnya jalan yang ia pilih justeru membuatnya bertemu Minhyun. Ia bisa saja berputar balik untuk menghindari Minhyun. Tapi, tindakannya bisa dilihat jelas oleh Minhyun yang berjalan berlawanan arah dengannya.
Luna berusaha berdamai dengan dirinya sendiri. Ia tetap berjalan, namun langkahnya memelan. Tak secepat sebelumnya. Ketika jaraknya semakin dekat dengan Minhyun, detub jantungnya berubah menjadi lebih cepat. Sial! Kenapa aku jadi deg-degan gini sih?! Bego banget kamu, Luna! Kenapa milih jalan ini sih! Luna memaki dirinya sendiri dalam hati.
Luna akhirnya berpapasan dengan Minhyun. Ia berjalan dengan kepala sedikit tertunduk. Tanpa menoleh ataupun melirik pada Minhyun yang melintas di samping kanannya. Ia menghela napas panjang ketika berhasil melewati Minhyun. Laju langkah kakinya kembali meningkat. Buru-buru ia meninggalkan koridor itu.

Minhyun menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. Luna sudah menghilang dari koridor itu. Ia pun menghela napas. Merasa lega. Ia tak menduga jika akan berpapasan dengan Luna dalam kondisi seperti itu. Satu lawan satu. Hal itu membuatnya terkejut dan sedikit panik. Karena tak ada pilihan dan merasa gengsi untuk berbalik, ia pun melanjutkan langkahnya. Ia lega karena Luna berjalan dengan kepala tertunduk. Hingga tak menyadari ketika ia melirik gadis itu.
Minhyun masih bertahan di tempatnya berdiri. Ia diam dan berpikir. Surat ancaman itu… gumamnya dalam hati. Ia pun menggelengkan kepala. Membalikkan badannya, kemudian berjalan dengan langkah cepat.

Luna berjalan menuju halte bus di dekat sekolah. Ia mengabaikan ponselnya yang berulang kali bergetar. Saat sudah sampai di halte dan duduk di sana, ia memeriksa ponselnya. Pesan dari Jihoon membanjir. Ia yakin pemuda itu pasti bertanya kenapa ia tak hadir dalam rapat Klub Teater. Selain pesan Jihoon, ada pesan dari Daehwi juga. Di grup chat Moon Kingdom pun ada beberapa pesan masuk.
Luna menyimpan kembali ponselnya dan menghela napas panjang. Ia menatap ke jalan yang dipenuhi lalu lalang kendaraan. Ia melamun. Memikirkan tentang surat ancaman, juga tindakan Sungwoon yang tiba-tiba meminta bantuan Minhyun.
Saat Luna masih diam seperti itu, bus datang. Ia pun menghela napas dan bangkit dari duduknya. Ia berjalan pelan dan masuk ke dalam bus. Kondisi bus penuh. Semua kursi sudah terisi. Beberapa orang penumpang berdiri. Melihatnya, mood Luna semakin memburuk. Ia pun berjalan dan berdiri di samping seorang penumpang laki-laki. Ia kembali melamun.
Bus yang hampir melaju kembali berhenti hingga membuat kesadaran Luna kembali. Pintu bus kembali terbuka, Daniel masuk ke dalam bus. Ia tersenyum pada Luna. Lalu berjalan mendekati gadis itu.
Luna merasa ada bunga-bunga yang bermekaran di dadanya hanya karena melihat Daniel naik ke atas bus, tersenyum, dan berjalan padanya. Ketika pemuda itu mengambil tempat di antara dirinya dan penumpang pria di samping kanannya, ia merasa hangat dan aman. Luna mengangkat kepala dan menatap Daniel. Ia bertemu pandang dengan pemuda itu. Lalu, sama-sama tersenyum. Bus pun melaju, membawa keduanya menjauh dari area sekolah.
***

Ketika ia sedang berjongkok, Jaehwan yang sedang bercanda tak sengaja menyenggol botol minuman rasa-rasa yang ada di atas meja. Karena botol itu tak tertutup rapat, isi dalam botol tumpah ke kepala Luna. Setelah sempat mengomeli Jaehwan dan Jisung membantu mengelap rambutnya dengan tissu, Luna mengambil handuk dan pamit ke toilet untuk membilas rambutnya.
Luna berjalan sambil menggerutu. Karena ulah Jaehwan, rambutnya jadi basah dan lengket. Ia menyusuri koridor yang tampak sangat panjang karena tak ada seorang pun yang melintas di sana kecuali dirinya. Ia menghentikan langkah ketika melihat seorang siswa baru sedang berdiri di tengah-tengah koridor. Ia bisa mengenalinya sebagai siswa baru dari seragam hitam putih yang dikenakan siswa itu.
Diperhatikannya siswa baru yang membelakangi dirinya itu. Siswa itu maju selangkah, lalu mundur lagi. Terdengar samar gerutuan siswa itu. Membuat Luna bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan siswa itu.
Karena dengan hanya memperhatikan seperti itu tak memberinya jawaban, Luna pun memutuskan untuk bertanya. “Hoobae, kamu kenapa?”
Siswa itu menoleh lalu berjingkat kaget. Kemudian ia tersenyum kikuk.
Luna menatap siswa baru itu dengan ekspresi datar. Namun, pandangannya fokus. “Ada masalah?” Ia menuntut jawaban.
“Eng… anu… itu… Siswa baru itu ragu-ragu.
“Kenapa?”
“Ngengat-ngengat itu. Saya… saya takut pada ngengat-ngengat itu.” Siswa baru itu kembali tersenyum kikuk.
Luna melihat lampu koridor yang menyala dan dipenuhi ngengat. Ada yang terbang mengitari lampu. Ada yang menempel di tembok dan langit-langit. “Saklarnya nggak ada di sini. Jadi, nggak bisa matiin lampunya.”
Siswa baru itu diam di posisinya. Menatap Luna.
Luna teringat handuk yang ia bawa. Ia pun mendekati siswa itu, lalu membuka handuknya. “Sini. Aku bantu.”
“Nee?” Siswa baru itu tampak kebingunan.
“Handuk ini bersih kok. Baru aku ambil dari lemari tadi sebelum berangkat ke sekolah dan belum aku pakai. Aku bantu kamu melewati lampu itu.”
Siswa baru itu tampak enggan. Tapi, ia tak menolak ketika Luna melebarlan handuk dan menutupi kepalanya dengan handuk. Ketika Luna melingkarkan tangan untuk memapahnya pun ia tak menolak.
“Dalam hitungan ketiga, kita mulai jalan, oke?” Luna memberi kode.
Siswa baru yang kepala sudah tertutup handuk warna biru itu mengangguk.
“Baiklah. Satu. Dua. Tiga!” Luna mulai berjalan diikuti siswa baru itu.
Mereka berdua berjalan dengan cepat melewati lampu yang dipenuhi ngengat. Saat melintas di bawah lampu, Luna memastikan tidak ada ngengat yang menempel di handuk ataupun tubuh siswa baru itu. Setelah melewati lampu, mereka berhenti pada jarak yang lumayan jauh dari lampu.
Luna menarik tangannya yang memapah juniornya yang takut ngengat. Lalu, ia mengambil handuk yang menutupi kepala siswa itu. “Everything is fine!” Ia tersenyum manis pada adik kelas yang baru ia bantu.
Siswa itu tertegun sejenak. Lalu membalas senyum. “Kamsahamnida, Seonbaenim.” Ia membungkukkan badan untuk berterima kasih.
Luna hanya tersenyum, lalu melanjutkan perjalanannya menuju toilet untuk membilas rambut.

Luna tersenyum. Mengingat kembali bagaimana pertemuannya pertamanya dengan Daniel. Momen yang sempat sejenak ia lupakan. Jika bukan karena Daniel, ia tak akan mengingat momen pertemuan pertamanya dengan Daniel itu.
Ia bisa saja memilih bungkam saat Daniel bertanya, apakah terjadi sesuatu padanya. Tapi, semua cerita tentang kejadian hari ini malah lancar terucap dari bibirnya. Luna memiringkan kepala. Menatap Daniel yang sedang sibuk membaca kertas-kertas di tangannya. Mereka berdua duduk di bangku di teras rooftop Luna.
“Hanya sepuluh.” Daniel selesai dengan surat-surat yang ditemukan di locker Luna.
“Sungwoon membawanya satu. Ternyata ia gunakan untuk meminta bantuan pada Minhyun. Aku benar-benar ingin menghajar preman sekolah itu!” Luna geram.
Daniel tersenyum melihat ekspresi geram Luna. “Kan tujuannya baik. Membantu kamu.”
“Iya, aku tahu. Tapi, kenapa Hwang Minhyun? Aku kan bisa minta bantuan Kim Myungsoo Seonbae!”
“Merasa harga diri kamu terinjak?”
“Iyalah. Hwang Minhyun, masalahnya Hwang Minhyun!”
“Dia kan bukan musuh bebuyutan kamu.”
“Iya, tapi…” Luna tak melanjutkan ucapannya. Kemudian, ia menghela napas. Hanya teman lama yang tiba-tiba menjauh tanpa sebab yang aku tahu pastinya apa.
“Curiga pada seseorang?”
“Ada sih. Tapi, nggak yakin juga. Karena random. Menyebut Han Joohee, tapi juga Bae Jinyoung.”
“Jadi, kamu tadi menemui Daehwi, Jihoon, dan Joohee karena kamu merasa khawatir pada mereka?”
“Daehwi dan Joohee. Jihoon ikut gabung karena aku mencari Joohee. Dia kan sekelas sama Joohee.” Luna meralat.
Daniel kembali tersenyum. “Jadi, lebih khawatir pada Daehwi dan Joohee daripada diri sendiri?”
“Sekarang lebih khawatir jika Jihoon tiba-tiba datang ke sini. Karena, aku nggak ikut rapat klub.”
“Khawatir dia nemuin kita lagi berdua-duaan kayak gini?”
Luna menganggukkan kepala.
“Dasar tukang gombal!”
Luna tersenyum, tapi wajahnya masih lesu. “Nurut aku surat-surat itu bukan masalah besar. Tapi, bisa jadi masalah besar juga sih. Sungwoon terlalu berlebihan. Kita kan nggak sedang main film horor.”
“Yang namanya surat ancaman, pasti lah bikin khawatir.”
“Jujur aku emang penasaran. Siapa yang ngirim. Otaknya gerak cepat banget. Ada kesempatan langsung diambil. Nggak disia-siakan.”
Daniel menatap Luna sejenak. “Aku nggak tahu harus ngapain. Tapi, kalau butuh bantuan, bilang aja. Aku harus ngapain buat bantu kamu.”
“Kan aku udah minta bantuan.”
“Eh? Jeruk itu ya?”
Luna menggeleng.
Daniel diam. Mengingat-ingat bantuan apa yang diminta Luna padanya. “Oh! Dance?
Luna tersenyum dan mengagguk antusias.
“Mm…” Daniel bergumam. “Maunya dance seperti apa?”
Luna memiringkan kepala. “Aku membayangkan dancer cowok menari sendiri. Lalu, saat part cewek dalam lagu, dancer cewek muncul. Lalu, keduanya menari bersama sampai lagu berakhir.”
Daniel menyimak dan terdiam. Memvisualisasikan ide Luna di dalam otaknya. “Mm! Sepertinya aku dapat gambaran bagaimana gerakannya.”
“Benarkah?” Luna penuh semangat.
Daniel mengangguk penuh keyakinan.
“Kalau begitu, aku akan menunggu.”
Daniel tersenyum dan kembali menganggukkan kepala. “Luna-ya.”
“Mm?”
Daniel menatap Luna dalam diam selama beberapa detik.
“Wae?”
“Anee.” Daniel menggeleng. “Ah! Aku harus pergi! Bahaya kalau Jihoon melihat kita berduaan.” Ia pun bangkit dari duduknya.
“Kenapa kamu ngomong gitu? Kamu kan udah tahu kalau aku dan Jihoon cuman pura-pura pacaran.”
Daniel membuka mulutnya, hendak berbicara. Namun, ia tiba-tiba tersenyum.
“Wae?”
“Nggak ah.”
“Ngomong aja. Nggak papa.”
“Serius nggak papa?”
Luna mengangguk.
“Aku suka kamu, Luna. Kalau liat kamu sama Jihoon, aku cemburu. Cemburu itu bikin dadaku sakit banget. Jadi, sebelum Jihoon datang, aku pamit pergi ya.”
Luna tertegun. Menatap Daniel yang berdiri menjulang jarak satu langkah di depannya.
“Aku nggak minta kamu membalas rasa sukaku ke kamu. Aku ngomong gini, biar kamu tahu kalau aku suka sama kamu. Dan tolong, sikapmu jangan berubah padaku setelah aku ngomong jujur ke kamu. Karena, kita masih punya proyek dance couple. Jadi, jangan tendang aku sebelum proyek itu selesai. Bisa, kan?”
Luna masih tercenung menatap Daniel. Ia seolah kehilangan jiwanya.
“Aku anggap diammu adalah kata sepakat. Terima kasih. Udah kasih aku ruang untuk tinggal. Aku pergi. Sampai ketemu esok pagi, my couple!” Daniel tersenyum, lalu berjalan meninggalkan Luna yang masih duduk tercenung.
***

Luna tak bisa berhenti memikirkan sikap Daniel. Dan setiap kali memikirkan pemuda itu, ia jadi tersenyum tersipu. Berulang kali menggelengkan kepala, ia tak bisa mengusir Daniel dari pikirannya.
“Kamu kenapa sih, Luna? Ayo, sadar!” Luna menepuk-nepuk kedua pipinya.
Ponsel Luna bergetar. Buru-buru ia menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja. Nama Jihoon muncul di layar ponselnya. Sebuah panggilan video. Luna mendesah, enggan menerima panggilan itu. Tapi, akhirnya ia menerima panggilan itu.
Wajah Jihoon muncul di layar ponsel Luna. Pemuda itu tersenyum kecil. Sebuah senyuman malas yang terkesan dipaksakan. “Aku di depan!” Ujar Jihoon.
Mata bulat Luna melebar mendengarnya. Apa yang ia khawatirkan benar adanya. Jihoon datang menemuinya. “Nee. Tunggu sebentar.”
Luna mengakhiri panggilan, dengan malas bangkit dari duduknya di sofa ruang tamu. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya untuk Jihoon. Luna terkejut. Bukan hanya Jihoon yang ada di sana. Tapi, ada Jisung, Jaehwan, dan Daehwi.
“Kenapa kalian ke sini?” Luna tanpa basa-basi.
“Kamu nggak ikut rapat, anak-anak khawatir.” Tangan Jisung bergerak menunjuk Jihoon, Daehwi, dan Jaehwan yang ada di sekitarnya.
Luna menghela napas panjang. Membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan teman-teman satu klubnya itu masuk.

Jisung, Jaehwan, Jihoon, dan Daehwi duduk di ruang tamu. Minuman dan cemilan tersaji di meja. Rooftop Luna yang tadinya hening mendadak bising. Suara Jisung, Jaehwan, dan Daehwi bergantian mengisi ruang tamu.
Luna kembali ke ruang tamu. Ia duduk di samping kiri Jihoon. Lalu, menyerahkan binder yang ia bawa pada Jisung. “Nemu idenya kayak gitu. Baca aja dulu.”
Jisung menerima binder yang diulurkan Luna. Membukanya dan mulai membaca tulisan di halaman awal binder. Daehwi merapat pada Jisung. Ikut membaca tulisan di halaman awal binder.
“Luna, gimana ceritanya kamu bisa dapat surat ancaman itu?” Jaehwan setelah menelan camilan di dalam mulutnya.
Luna mengangkat kepala. Mendelik menatap Jaehwan karena kaget.
“Jihoon dan Daehwi udah tahu.  Jaehwan nanyain soal itu pas Jihoon sama Daehwi masuk basecamp. Jadi, mereka penasaran juga. Aku nggak punya pilihan selain cerita ke mereka.” Jisung dengan santainya. Seolah membocorkan masalah Luna pad Jihoon dan Daehwi bukanlah masalah serius. Ia bahkan tak mengalihkan pandangannya dari binder.
“Jadi, itu alasan kenapa tadi Noona sampai mencariku dan Joohee ke kelas?” Daehwi menatap Luna. Melihat Luna yang menatapnya tajam, ia pun meringis. “Nggak papa kan aku manggil Noona? Kan ini bukan di sekolah.”
Jihoon diam. Menatap Luna yang duduk di samping kirinya.
Luna menghela napas. “Jangan sampai Joohee tahu. Aku nggak mau dia jadi khawatir.”
“Siap!” Daehwi menyanggupi. “Tapi, apa benar ada surat ancaman yang berhubungan dengan Joohee?”
“Jumlah cewek di sekolah dikit. Wajar kalau yang naksir Joohee bukan kamu aja. Apalagi Joohee gadis pendiam yang manis.” Jisung masih fokus pada binder, tapi telinganya ikut menyimak obrolan teman-temannya. Dan, mulutnya menyela obrolan itu.
“Untung aku gerak cepat ya. Dan, untungnya Joohee punya perasaan yang sama padaku.” Daehwi tersenyum puas. Merasa menang dari pertempuran mendapatkan Joohee.
“Mendapatkan itu nggak mudah. Menjaganya yang lebih susah. Perjuanganmu baru dimulai Lee Daehwi!” Jisung memperingatkan.
“Kamu, tahu dari mana kalau aku dapat surat ancaman?” Luna menatap Jaehwan.
“Dia menguping obrolan Sungwoon dan Minhyun.” Jisung kembali menyahut.
“Trus, Rania tahu?”
Mendengarnya, Jisung pun mengangkat kepala dan menatap Luna. Suasana berubah hening di ruang tamu rooftop Luna. Jisung berdehem. “Emangnya Jaehwan bilang dia nguping sama Rania?”
“Bisa jadi dia tahu sih. Waktu Sungwoon datang, di kelas ada kami berempat. Aku, Rania, Minhyun, dan Jinyoung. Waktu aku mendekati pintu untuk nguping, Rania dan Jinyoung masih di tempat mereka. Nggak tahu setelah aku pergi.” Jaehwan mengangkat kedua bahunya.
Luna mendesah dengan kasar. Ha Sungwoon! Kamu mau bantuin apa mau mengacau sih! Ia geram pada Sungwoon yang belum berhasil ia temui.
“Luna, idenya bagus!” Jisung mengalihkan topik obrolan. “Rapat berikutnya kamu harus datang. Aku setuju sama ide ini. Aku yakin yang lain pasti setuju.”
Daehwi membaca halaman pertama binder yang sudah beralih ke tangannya. “Wah, iya. Ini ide bagus. Aku juga suka.”
“Kalau di rapat nanti nggak ada yang kasih ide, kita usulin ide ini aja. Kalau semua setuju, tinggal nentuin para pemerannya.”
“Kalau Noona sama Jihoon yang jadi tokoh utamanya, pasti pada setuju. Aku yakin 100% soal itu.”
Jihoon terkejut mendengar usulan Daehwi. Kemudian ia tersipu dan melirik Luna.
“Setuju!” Jisung mendukung Daehwi. “Lagi pula, Luna belum pernah jadi pemeran utama, kan? Sebenarnya tujuan kamu gabung Klub Teater apa sih Luna? Kok lebih demen jadi orang belakang layar?”
“Nyalurin isi kepalaku.” Nada bicara Luna datar.
“Hari ini pasti bikin kamu capek banget. Maaf ya. Kami tiba-tiba datang begini.” Jisung meminta maaf. “Waktu Jihoon bilang mau jenguk kamu, kami setuju buat gabung. Ikut jenguk kamu. Pergilah kami naik mobil Jihoon.”
“Bilang aja nyari gratisan buat nyampek sini.” Luna mengolok. Jisung nyengir menanggapinya.
“Minhyun udah minta rekaman CCTV-nya. Dia pergi sama Sungwoon. Rekamannya udah dibawa Sungwoon. Kamu nggak usah mikir aneh-aneh. Masalah ini pasti bisa kamu lewati.” Jaehwan bersimpati. Ia yakin ekspresi di wajah Luna adalah perwujudan dari stres yang dialami gadis itu karena tiba-tiba mendapat sebelas surat yang beberapa di antaranya adalah surat ancaman.
Luna tak terkejut mendengar penjelasan Jaehwan. Ia tahu Minhyun pasti akan membantu Sungwoon. Terlebih karena masalah kali ini menyangkut dirinya.
“Kamu nggak mau nitip ucapan terima kasih gitu ke Minhyun?”
“Ngapain harus bilang terima kasih? Kan, bukan aku yang minta bantuan!” Luna ketus.
“Tapi, kan Sungwoon berbuat itu demi bantu kamu.”
“Aku nggak minta dia minta bantuan Minhyun!”
“Udah-udah!” Jisung menengahi. Membuat Jaehwan mengatupkan mulutnya kembali. Batal lanjut mendebat Luna.
“Maaf. Pasti kamu kesel banget hari ini.” Jaehwan pun meminta maaf.
“Kalau gitu, kita pulang duluan yuk! Kita kan udah liat Luna baik aja.” Jisung memberi kode pada Jaehwan dan Daehwi untuk pergi. Meninggalkan Jihoon dan Luna.
“Iya. Aku ada perlu juga. Noona, ini aku bawa ya.” Daehwi membawa botol minumannya.
“Punyaku juga kubawa.” Jisung ikut membawa botol minumannya. Jaehwan pun melakukan hal yang sama. Kemudian, Jisung, Jaehwan, dan Daehwi pun pamit pergi. Meninggalkan Jihoon dan Luna.

Suasana berubah hening setelah Jisung, Jaehwan, dan Daehwi pergi. Luna dan Jihoon tetap dalam posisi mereka. Tapi, sama-sama diam.
“Mian. Mungkin seharusnya aku nggak ke sini. Tapi, karena kamu nggak ikut rapat dan Jisung Seonbae cerita tentang surat ancaman. Aku nggak bisa berhenti mengkhawatirkanmu. Karena itu, aku ke sini. Untuk melihatmu.” Jihoon memecah kebisuan.
“Gomawo.”
“Kamu baik aja, kan?”
“Just a little unwell.”
Jihoon diam. Hanya bisa menatap Luna yang duduk di samping kirinya.
“But, you have no to worry. I'm gonna be ok.”
Jihoon tersenyum dan mengangguk. “Anytime you need help, just call me.”
“Mm.” Luna mengangguk.
“Kalau gitu, aku pamit.” Jihoon bangkit dari duduknya. Meraih tasnya yang tergeletak di sofa. Ia pun berjalan menuju pintu.
“Jihoon-aa.”
Jihoon menghentikan langkah. Ia berbalik, menghadap pada Luna.
“Mian.”
Kening Jihoon berkerut mendengar permintaan maaf Luna.
“Maaf karena telah membuatmu khawatir.”
Jihoon tersenyum manis. “Nggak papa. Aku senang kok dibuat khawatir sama kamu. Bukankah selama ini, kita selalu membagi kekhawatiran kita? Karena itu kita sampai pada titik ini.”
Ruang di dalam dada Luna merasa sesak mendengarnya.
“Sudah. Istirahat sana! Jangan lupa kunci pintunya.” Jihoon berbalik, berjalan menuju pintu, lalu menghilang di balik pintu.
Benar-benar hening di dalam rooftop. Luna mendesah. Menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews