My 4D's Seonbae - Episode #19 "Menjaga Sebuah Rahasia Itu Tidak Mudah"
05:24
Episode #19 "Menjaga Sebuah Rahasia Itu Tidak Mudah"
Jaehwan
duduk di atas sebuah sofa berwarna hitam. Kedua kakinya yang naik ke atas meja
pendek di depan sofa dan berselonjor bergoyang-goyang. Kedua telinganya
tertutup headset. Sedang kedua
tangannya sibuk dengan ponsel.
“Woojin?
Ngajak jalan? Sama Bae Jinyoung dan Minhyun? Malem mingguan bareng?” Jaehwan
bergumam. Pandangannya masih terfokus pada layar ponselnya.
“Boleh
juga. Lama nggak malem mingguan rame-rame.” Ia tersenyum lebar dan segera
membalas pesan Woojin. Jaehwan setuju untuk bergabung dengan Woojin, Jinyoung,
dan Minhyun.
Jaehwan
mendongakkan kepala setelah merasakan ada yang menyentuh pundaknya. Ia melepas headset yang menutupi kedua telinganya.
“Tolong
jaga di depan. Appa mau pipis sebentar.” Ayah Jaehwan melepas tangan kirinya
yang memegang pundak Jaehwan.
“Oke.”
Jaehwan mematikan mp3 dalam ponselnya. Menurunkan kedua kakinya, lalu
meletakkan ponsel di atas meja. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan
meninggalkan ruang istirahat yang nyaman itu.
Jika
tidak ada kegiatan, setiap akhir pekan Jaehwan selalu membantu ayahnya. Ayah
Jaehwan memiliki peternakan ikan air tawar yang menjual langsung produk mereka.
Pekerjaan yang sempat tak ia sukai. Tapi, pemikirannya berubah sejak ia tak
sengaja bertemu Luna di tambak milih ayahnya.
Hari
itu hari Minggu. Seperti sebelumnya, dengan terpaksa Jaehwan membantu ayahnya
di peternakan. Karena ramainya pembeli, Jaehwan sampai harus turut turun tangan
melayani pembeli. Ada sepasang suami istri non Korea menghampirinya. Pasutri
itu ingin membeli ikan gurame. Jaehwan bersiap melayani, tapi kedua matanya
terbelalak ketika seorang gadis menghampiri pasutri itu. Gadis yang ia kenal di
sekolah. Gadis itu adalah Luna.
Jaehwan
hendak menghindar, tapi Luna lebih dulu melihatnya. Luna pun tampak kaget.
Tapi, kemudian tersenyum manis pada Jaehwan. Saat momen canggung itu
berlangsung, ayah Jaehwan datang. Beliau menyambut ramah kedua orang tua Luna
yang merupakan pelanggan tetapnya. Di tengah obrolan basa-basi antar orang tua
itu, Ayah Jaehwan memperkenalkan putranya. Saat itu lah Luna mengaku jika
Jaehwan adalah temannya. Para orang tua itu pun senang. Ayah Jaehwan
meminta Jaehwan menemani Luna berkeliling tambak.
Sepanjang
menemani Luna berkeliling, Jaehwan diam. Sebenarnya ia malu. Karena ketahuan
membantu ayahnya di tambak. Selama ini tak ada satu pun teman sekolahnya yang
tahu jika ia sering membantu di tambak ayahnya. Tak banyak pula yang tahu jika
ayahnya adalah seorang peternak ikan air tawar. Lamunan Jaehwan buyar ketika
Luna tiba-tiba berseru karena menemukan kolam ikan lele. Gadis itu menuding
gambar ikan lele yang berada di papan di atas kolam buatan.
“Aku
pikir di Korea nggak ada ikan lele. Ternyata ada!” Luna dengan wajah berbinar.
“Kamu
suka ikan lele?” Jaehwan dengan hati-hati. Ia khawatir merusak momen bahagia
Luna. Bahagia karena menemukan ikan lele di tambaknya.
“Nggak.”
Luna menggeleng.
Kening
Jaehwan berkerut. “Trus, kenapa ekspresinya gitu banget? Kayak nemu emas.”
“Nggak
nyangka aja di Korea ada ikan lele. Hehehe.”
“Korea
masih di bumi juga. Ikan lele bisa aja ada di sini.”
Dari
penemuan ikan lele di tambak milik ayah Jaehwan itu lah obrolan terus
berlanjut. Jaehwan yang lumayan pandai mencari bahan obrolan membuat tur
keliling tambak bersama Luna tak diisi dengan keheningan. Hingga mereka
membicarakan orang tua masing-masing.
Luna
mengungkapkan jika ayahnya pernah menjadi seorang tukang kebun saat kuliah. Itu
demi menambal biaya kebutuhan sehari-hari sebagai mahasiswa pas-pasan yang berkuliah
di kota besar. Berkat kerja keras ayahnya, kini ayahnya bisa mendapat posisi
baik di perusahaan. Bahkan, sampai membawa Luna berserta keluarganya ke Korea.
Mendengar
Luna yang dengan bangga menceritakan masa lalu ayahnya, Jaehwan merasa malu.
Malu pada dirinya sendiri yang kurang mensyukuri keadaannya yang jauh lebih
beruntung dari masa muda ayah Luna. Sejak saat itu, ia membuang jauh-jauh rasa
gengsi di dalam dirinya. Apa pun keadaannya, ayahnya adalah orang paling
berjasa dalam hidupnya. Yang selalu menjaganya dan membesarkannya dengan baik.
Membiayai segala kebutuhannya dengan baik pula.
Jaehwan
tersenyum. “Kenapa aku tiba-tiba ingat momen itu?” Ia memiringkan kepala dan
kembali tersenyum. “Apa karena aku pakek kaos ini ya?” Ia mengelus kaos pemberian
Luna saat ia terjatuh ke dalam selokan karena dikejar Bogi.
“Permisi!”
Terdengar suara seorang pria. Jaehwan segera melihat siapa yang datang.
“Oh!”
Mulut Jaehwan membulat ketika ia mengetahui siapa yang datang ke tambak milik
ayahnya. “Rania?” Ia kemudian tersenyum lebar.
“Oh!”
Rania pun terkejut melihat Jaehwan. “Kim Jaehwan?”
“Siapa
dia?” Tanya wanita yang berdiri di dekat Rania dengan menggunakan bahasa
Indonesia.
“Temen
sekelas, Ma. Namanya Kim Jaehwan.”
“Wah!
Jadi, temen…”
Rania
mendelik menatap sang ibu. Memberi kode agar ibunya tak melanjutkan kalimatnya.
“Oh!” Ibu Rania tersenyum kikuk. “Senang bertemu
dengan teman Rania.” Beliau pun menyapa Jaehwan dalam bahasa Korea.
“Senang
juga bertemu Tante dan Om.” Jaehwan membalas sapaan ibu Rania dengan bahasa
Indonesia. Membuat ayah dan ibu Rania kaget. “Saya punya teman orang Indonesia
juga. Selain Rania. Namanya Luna. Saya belajar bahasa Indonesia dari Luna.”
Rania
menertawakan logat Jaehwan yang menurutnya lucu saat menggunakan bahasa
Indonesia.
“Silahkan.
Silahkan. Mau mencari ikan apa?” Jaehwan kembali menggunakan bahasa Korea.
Ayah
Jaehwan kembali. Lalu, turut menyambut pelanggan yang datang. Setelah tahu jika
Rania adalah teman sekelas Jaehwan, ia meminta putranya membawa Rania
berjalan-jalan di tambak.
Jaehwan
yang berjalan di samping kanan Rania menundukkan kepala dan tersenyum. Rania
heran melihat tingkah Jaehwan.
“Kenapa
kamu senyum-senyum gitu?” Rania menegur Jaehwan.
“Nggak
papa. Merasa deja vu aja.”
“Deja vu? Ngomong-ngomong kaos kamu bagus.”
“Ini
ya? Dikasih Luna.”
“Dikasih
Luna??”
Giliran
Jaehwan yang heran melihat reaksi Rania. “Kenapa kaget gitu sih?”
“Kamu
deket banget sama Luna? Sampai dikasih kaos segala. Itu kaos merk terkenal di
Indonesia lho! Punya oppanya Luna yang pertama. Kebanyakan yang pakek kaos merk
itu artis. Orang kalangan menengah ke atas lah.” Rania tersenyum bangga.
Jaehwan
melongo. “Kok… kamu tahu?”
Rania
menarik senyumnya. “Ya… ya tahu lah! Luna itu kan jadi selebgram gara-gara
sering disebut sama oppanya yang kedua. Yang jadi artis itu.” Ia menggigit
bibir bawahnya.
“Oh
iya ya.” Jaehwan manggut-manggut. “Di Indonesia pasti tenar banget.”
“Iya
dong! Oppanya Luna yang jadi artis, terkenal juga di kalangan pecinta kpop
Indonesia. Dia kan pernah jadi trainee
salah satu agensi besar Korea.”
“Masa
sih?”
“Emang
Luna nggak pernah cerita?”
“Kayaknya
nggak.”
“Dia
emang kurang akur sih sama Mas Dinar.”
“Mas
Dinar?”
“Itu
nama oppanya Luna yang jadi artis. Dinar Oppa. Bahasa Indonesianya Mas Dinar.”
“Oh.
Rania banyak tahu soal Luna ya.”
Rania
hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahunya.
***
Puas
bermain-main di game zone, Jaehwan,
Woojin, Jinyoung, dan Minhyun makan malam bersama.
“Tadi
Rania ke tempatku lho!” Jaehwan memulai obrolan di tengah makan malam bersama.
Minhyun
langsung berhenti mengunyah makanan di dalam mulutnya. Ia melirik Jaehwan.
“Pasti
beli ikan, kan? Ngapain lagi.” Woojin menebak. Ia terlihat santai. Tak terkejut
sama sekali.
“Hehehe.
Iya.” Jaehwan membenarkan.
Minhyun
menghela napas dan kembali makan.
“Dia
kaget karena aku pakek kaos ini.” Jaehwan lanjut menceritakan pertemuan tak
sengajanya dengan Rania di tambak milik ayahnya.
“Kaget
karena kaos itu pemberian Luna?” Lagi-lagi Woojin menebak.
Minhyun
kembali dibuat kaget hingga berhenti mengunyah makanan di dalam mulutnya. “Luna
ngasih kamu kaos?” Ia penasaran.
“Iya.
Kaos yang dia pakai itu pemberian Luna.” Woojin membenarkan.
“Jangan
salah paham, Minhyun. Nggak seperti yang kamu bayangin kok.” Jaehwan
memperjelas maksud Woojin.
Jinyoung
tersenyum melirik Minhyun. “Minhyun cemburu ya?” Godanya.
“Nggak
kok! Aku dan Luna dulu hanya teman. Nggak lebih dari itu.” Minhyun membantah.
“Sayang
ya kalian putus.” Woojin menimpali. “Padahal kalau temen kan harusnya nggak ada
kata putus. Salah paham antar teman kan bisa diluruskan.”
Jinyoung
dan Jaehwan kompak melirik Minhyun. Woojin melontarkan kalimat yang bisa saja membuat
Minhyun merasa terpojok bahkan marah.
“Maaf.
Aku keterlaluan.” Woojin segera meminta maaf.
“Harusnya
tadi aku ajak Rania ikut ya.” Jaehwan berakting seolah tidak ada ketegangan
beberapa detik lalu. “Dia tahu banyak tentang Luna ternyata.”
“Kan
sama-sama orang Indonesia. Luna lumayan terkenal karena oppanya ada yang jadi
idol itu.” Woojin menanggapi. “Jadi waktu itu kami ke rumah Luna. Aku dan
Jaehwan. Kami bertiga pulang bareng. Di jalan, kami dikejar anjing. Jaehwan
jatuh ke selokan. Karena seragamnya kotor, Luna ngasih dia kaos itu dan celana
training.”
“Luna
takut anjing?” Jinyoung merespon penjelasan Woojin.
“Karena
waktu SD pernah dikejar anjing. Dia jadi trauma.” Minhyun menyahut. Memberi
penjelasan. Membuat ketiga temannya kompak menatapnya. “Bagaimanapun, aku lebih
dulu mengenal Luna daripada kalian,” imbuhnya.
“Jadi,
Luna itu, bagaimana?” Woojin sengaja memberi sedikit jeda saat bertanya pada
Minhyun tentang Luna.
“Ada
yang bilang dia aneh. Kadang aku berpikir anehnya di mana.” Jinyoung
menyambung.
“Wah,
Jinyoung diam-diam memperhatikan ya.” Jaehwan tersenyum jahil pada Jinyoung.
Membuat pemuda super pendiam itu tersipu.
“Kalian
kan juga berteman sama dia. Pasti kalian juga udah tahu dia kayak gimana,” jawab
Minhyun.
“Untung
aja tadi Rania nggak nanya gimana aku dapat kaos ini dari Luna. Kalau nanya kan
aku malu. Masa iya aku bilang gara-gara aku nyemplung selokan?” Jaehwan
berusaha mengalihkan topik.
“Kalau
mau baikan sama Luna, bilang aja ke aku. Aku siap bantu.” Woojin tersenyum
lebar, menunjukkan gigi gingsulnya pada Minhyun.
Minhyun
menghela napas dan menggeleng. Kemudian, mereka melanjutkan makan malam dalam
diam.
***
Luna
tertegun usai Daehwi membuat pengakuan di depannya. Ia sama sekali tak menduga
Daehwi akan mencurahkan semua isi hati yang ia pendam padanya.
“Seonbae?”
Daehwi memanggil Luna karena sepertinya gadis itu melamun usai ia mengungkapkan
semua unek-uneknya.
“Aku
masih di sini kok!” Luna mengerjapkan kedua matanya. “Kenapa cerita ke aku?”
“Mau
ke siapa lagi? Hatiku memilih Seonbae. Seonbae bilang, kalau suka ungkapkan
aja. Hasil akhirnya serahin pada takdir Tuhan.”
“Ya
kenapa ngungkapinnya ke aku? Bukan ke Joohee langsung?”
“Aku…
aku nggak tahu gimana memulainya.”
“Kamu
laki bukan sih? Tinggal ngomong doang, kan?”
“Ngomong
itu bukan perkara gampang,” Jihoon ikut bersuara.
“Nah,
kan? Bener kata Jihoon. Untuk ngungkapin ini semua ke Seonbae aja, aku sampai
bawa Jihoon. Takut dia cemburu sih! Dia kan cemburuan. Ntar kalau dia cemburu
dan marah, aku bisa mampus!”
“Kok
jadi aku yang di bully?” Jihoon tidak terima.
“Trus,
kamu maunya apa?” Luna menyela.
“Tolong,
bantu aku. Untuk bisa mendekati Joohee. Aku ingin dia tahu kalau aku suka dia.
Aku mohon… jebal.” Daehwi memelas.
“Sejauh
ini, apa yang kamu lakuin? Buat nunjukin kalau kamu suka dia?”
“Mmm,
cuman nyapa dan ngobrol singkat sama dia pas dia ke perpustakaan.”
“Nah,
itu bagus.”
“Trus,
aku harus ngapain lagi? Ayolah, Seonbae! Bantu aku. Jebal…”
“Tunggu
aja kesempatan.”
“Menunggu??”
Pekik Daehwi.
“Iya.
Kamu punya rencana?”
“Nggak.
Makanya aku minta bantuan Seonbae.”
“Aku
belum pernah jadi mak comblang lho!”
“Nggak
papa. Aku percaya sama Seonbae. Aku rela jadi kelinci percobaan Seonbae.”
“Idih!
Gitu amat ini anak.”
“Aku
harus minta bantuan ke siapa? Aku anak tunggal. Masa iya aku harus minta
bantuan ommaku?”
Luna
dan Jihoon kompak tersenyum. Menertawakan Daehwi.
“Ya
udah. Jihoon, bantu Daehwi ya.”
“Mwo??
Kok aku??”
“Joohee
satu kelas sama kamu, kan?”
“Satu
kelompok juga!” Daehwi antusias.
“Nah,
jadi ayo kita bantu Daehwi.”
Jihoon
menatap Luna. Sebenarnya ia enggan ikut campur urusan orang lain. Tapi, karena
Luna bersedia membantu Daehwi. Ia pun jadi merasa harus turut membantu Daehwi.
Ia tidak mau membiarkan Daehwi sering-sering berduaan dengan Luna.
“Baiklah.”
Jihoon pun setuju membantu.
“Asik!!”
Daehwi bertepuk tangan karena senang.
“Laporkan
momen apa aja yang udah terjadi antara kamu dan Joohee.” Luna memberi perintah.
“Nee?”
Daehwi merasa salah dengar.
“Udah
lakuin aja. Aku butuh kesempatan dan skenario untuk bantu kamu.”
“Oke.”
Daehwi mengangguk paham.
“Jihoon,
bisa tolong cari informasi tentang Joohee?”
“Akan
aku coba.” Jihoon menyanggupi.
“Baiklah.
Kerjasama dimulai. Ingat, Daehwi. Laporkan setiap momenmu bersama Joohee.
Semoga aja ada kesempatan untuk kalian.”
Luna
tersenyum ketika ia mengingat bagaimana Daehwi meminta bantuan padanya. Jihoon
yang duduk di samping kanannya pun turut tersenyum. Sejak masuk ke dalam mobil,
Luna memang tak berkata sepatah katapun. Tapi, sesekali ia tersenyum dengan
wajah bersemu merah.
“Senang
sekali ya?” Jihoon akhirnya memulai obrolan.
Luna
mengangguk. “Lega sekali karena rencana berjalan lancar. Terima kasih ya.”
Jihoon
tersenyum. “Kalau kamu senang, aku juga senang.”
Luna
terkejut karena Jihoon tidak lagi memanggilnya 'seonbae'.
“Kenapa
kaget gitu? Kita kan seumuran. Di luar sekolah nggak papa kan kalau aku nggak
manggil kamu dengan sebutan seonbae?”
“Walau
seumuran, aku ini tetap seniormu!” Luna pura-pura tak terima.
“Neomu kiyowo!”
Jihoon mengelus puncak kepala Luna.
Luna
kaget ketika Jihoon tiba-tiba mengelus puncak kepalanya. Jantungnya serasa akan
copot. Tubuhnya pun tiba-tiba memanas. Dia
mulai lagi! Sialan! Gumamnya dalam hati.
Jihoon
menurunkan tangannya yang mengelus puncak kepala Luna. Ia senang melihat
semburat warna merah di wajah Luna. Dia
bukan robot. Rona merah itu, mungkin aja dia punya rasa yang sama padaku. Tapi,
malu mengakuinya. Atau, belum menyadarinya.
“Besok
aku mau main ke kebun kakek Sungwoon. Ramai-ramai. Sama Sungwoon, Jisung,
Seongwoo, Woojin, dan Rania.” Luna mengalihkan topik.
“Rania?
Murid baru itu?”
“Mm.
Aku nggak mau pergi cewek sendirian. Buat main-main, bukan ngerjain tugas
sekolah. Risih aja rasanya. Baru juga satu kelompok sama mereka.”
“Kalau
berdua sama aku, nggak risih.”
“Nggak
lah. Kamu kan pacarku.”
Jihoon
tersipu mendengar pengakuan Luna.
“Aku
lagi akting tahu! Ekspresinya nggak usah gitu banget!”
“Akting?
Untuk mengelabuhi siapa?”
“Itu,
Paman Sopir.”
“Dasar!
Ha Sungwoon Seonbae kan udah nggak di sini.”
“Untung
ya ada dia.”
“He’em.”
“Tapi,
aku lega sih temen-temen kamu batal dateng. Aku bisa canggung di depan mereka.”
Jihoon
tersenyum dan mengangguk. “Kira-kira Daehwi sama Joohee, di dalam bus, pulang
bareng, ngobrolin apa ya?”
“Mau
aku telponin?”
“Kamu
ini!” Jihoon menangkup wajah Luna dengan kedua tangannya karena merasa gemas.
Menyentuh wajah Luna, membuatnya merasakan panas yang berpusat di wajahnya.
Jantungnya pun berdetub dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
Lagi-lagi
Luna dibuat terkejut oleh perlakuan Jihoon. Kali ini karena pemuda itu
tiba-tiba menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasakan panas itu
berpusat di wajahnya.
“Kita,
masih dibawah umur.” Kalimat itu keluar dari mulut Luna. Membuat Jihoon tersenyum
dan menurunkan kedua tangannya dari menangkup wajah Luna.
Jihoon
melihat sopir pribadinya tersenyum ketika ia menatap spion. Ia tak marah, tapi
malu. Ia pun membalas senyum sebelum mengalihkan pandangan.
***
Berlari
kecil Luna menaiki tangga menuju rooftop-nya.
Mobil Jihoon sudah pergi. Ia lega karena Jihoon tidak bertingkah berlebihan
seperti saat kencan pertama mereka. Luna memiringkan kepala ketika kata kencan
itu lewat dalam pikirannya.
“Kencan!
Kencan apaan!” Luna memaki dirinya sendiri.
Langkah
Luna terhenti ketika ia sampai di tangga teratas. Ia menemukan seorang pemuda
sedang menari di depan rooftop-nya.
Keningnya berkerut, mencoba mengenali sosok tinggi yang dibalut kostum serba
hitam itu. Kepalanya tertutup topi hoodie. Luna tidak beranjak. Ia tetap berada
di tempatnya berdiri. Pemuda yang sedang asik menari itu membalikkan badan.
Menghadap pada Luna. Gerakannya terhenti.
“Daniel?”
Luna akhirnya bisa mengenali pemuda yang sedang menari di depan rooftop-nya.
“Eh,
Seonbae.” Daniel menyapa dengan canggung sambil membuka topi hoodie yang ia
kenakan.
“Udah
lama?” Luna berjalan menghampiri Daniel.
“Ya,
lumayan.” Daniel tersenyum manis.
Luna
membalas senyum, lalu membuka pintu dan mempersilahkan Daniel masuk.
“Aku
cuman bentar kok.” Daniel enggan untuk masuk. “Lagi pula ini udah malam. Hampir
jam sembilan. Kalau di Indonesia, jam kunjungan malam untuk seorang anak gadis,
maksimal jam delapan kan?”
Luna
menghela napas dan tersenyum. “Maaf ya.”
“Nggak
papa kok. Aku cuman mau bilang, besok ommaku akan membantu mencari jeruk untuk
Seonbae.”
Senyum
di wajah Luna sirna. “Tapi, besok aku ada janji sama squad Moon Kingdom. Mau pergi ke kebun kakek Sungwoon.”
“Nggak
papa. Omma mau membelinya untuk Seonbae. Hari ini udah dapat empat lho! Kurang
tiga.”
“Woa!
Cepat sekali. Aku jadi merepotkan.”
“Nggak
kok. Omma seneng bisa bantuin Seonbae. Hidup sendirian di negara asing pasti
tidak gampang.”
“Makasih
ya. Besok pulang dari kebun kakek Sungwoon, kalau nggak kemaleman, aku mau main
ke tempatmu boleh? Aku pengen ketemu tante langsung dan bilang makasih.”
“Tante?”
“Iya.
Omma kamu.”
“Oh.
Tentu saja boleh.”
“Oke.
Makasih ya.”
Daniel
tersenyum dan mengangguk. “Kalau begitu aku pulang ya.”
“Nee.”
Daniel
pun pamit dan berjalan pergi. Saat akan menuruni tangga, ia menoleh dan
tersenyum pada Luna. Luna membalas senyum. Lalu, Daniel menghilang dari
jangkaun pandangnya. Ia menghela napas dan menutup pintu rooftop.
Luna
selesai membersihkan diri. Ia merebahkan diri dan menatap langit-langit
kamarnya. Ia tersenyum ketika teringat bagaimana Daehwi menyatakan cintanya
pada Joohee. Ia pun menghela napas panjang.
“Sesuatu
yang nyata itu emang indah ya,” Luna berbicara pada langit-langit kamarnya.
Kemudian kembali menghela napas panjang.
Perhatian
Luna teralihkan pada ponselnya yang bergetar. Ia pun meraihnya. Ada sebuah
pesan masuk. Sebuah pesan dari Daniel. Luna tersenyum lebar dan segera
membukanya.
Omma
menunggu kedatangan Seonbae. Beliau siap menyambut Seonbae dengan baik :)
Senyum
Luna semakin lebar usai ia membaca pesan Daniel. Kemudian ia teringat saat
Daniel menari dengan luwes di teras rooftop-nya
yang luas.
Asik! Tolong sampaikan terima kasihku pada Tante
:D Dance kamu tadi keren! ^^b Kenapa nggak ikut Klub Dance aja di sekolah?
Luna mengirim pesan balasan untuk
Daniel dan menunggu Daniel membalasnya.
Omma bilang, tidak sabar ingin ketemu Seonbae
secara langsung ^^
Ingin
gabung, tapi malu T.T
Luna
mengerutkan kening ketika membaca pesan balasan dari Daniel.
Kenapa
malu? Dance kamu oke lho! Luwes banget! Sayang tadi aku liat cuman bentar.
Luna
kembali menunggu.
Waktu SMP pernah gabung b-boy. Pernah ikut kompetisi di Busan juga. Kami pindah ke Seoul
setelah aku lulus SMP. Aku berhenti setahun karena masalah ekonomi. Tahun ini
baru mulai lagi. Jadi, sebenarnya kita seangkatan ^___^
Kedua
mata bulat Luna melebar saat membaca pesan Daniel. “Jadi, sebenarnya dia
seangkatan sama Jisung cs? Lebih tua dari aku dong?”
Keren!
Videonya ada? Aku pengen liat. Hehehe. Kalau boleh sih.
Luna
sengaja tak mengomentari perihal Daniel menunggu selama setahun untuk bisa
melanjutkan pendidikannya. Karena
Daniel tak kunjung membalas pesannya, Luna pun memilih untuk berusaha tidur.
Besok pagi-pagi Sungwoon akan menjemputnya. Mereka akan bersama-sama pergi ke
Ilsan. Tempat kebun kakek Sungwoon berada. Akhirnya Luna pun terlelap. Terbang
ke alam mimpi.
***
Ini.
Kenangan yang aku miliki. Selamat menonton ^^
Luna
tersenyum. Membaca pesan Daniel yang dikirim semalam namun baru ia baca setelah
ia membuka mata keesokan harinya. Tak langsung turun ke ranjang untuk
membersihkan diri, Luna memilih menonton video yang dikirim Daniel padanya.
Luna
tersenyum melihat penampilan Daniel dalam video dance yang ia kirim. Pemuda itu masih terlihat cupu dan sedikit chubby. Performance dance Daniel dalam video itu membuat Luna terpukau.
Yang
terbaru. Versi kamu udah SMA ini ada?
Luna
membalas pesan Daniel. Lalu, ia turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Ia
harus bersiap untuk pergi bersama squad
Moon Kingdom.
Luna
sudah siap pergi. Ia menunggu Sungwoon menjemputnya. Ketika ponselnya bergetar,
ia buru-buru memeriksa. Bukan dari Daniel, melainkan Sungwoon yang memberi tahu
jika ia sudah dekat. Ia pun menyimpan ponsel di saku jaketnya dan berjalan
menuruni tangga dengan langkah malas. Tak lama kemudian mobil Sungwoon muncul.
Sungwoon
turun dari mobil dan menyapa Luna. Ia membuka pintu depan dan mempersilahkan
Luna masuk. Luna menengok ke dalam. Di bangku paling belakang duduk Woojin,
Jisung, dan Seongwoo.
“Semua
squad Moon Kingdom ikut lho!”
Sungwoon membusungkan dada. Merasa bangga karena berhasil mengajak seluruh
anggota kelompoknya.
“Woojin-aa,
aku mau duduk di dekat jendela. Deket kamu!” Luna meminta tempat. Membuat
Woojin yang duduk di sisi kanan dan dekat jendela terkejut.
“Bukannya
kamu mabuk darat kalau duduk di belakang?” Sungwoon juga kaget.
“Kata
siapa?” Luna membuka pintu belakang mobil. Menuding Woojin untuk bergeser.
“Semalam.
Di mobil Jihoon. Kamu minta duduk deket sopir karena mabuk darat.”
“Satu
pindah dong!” Luna menegur tiga pemuda yang masih anteng duduk di kursi
belakang. “Aku mau duduk deket Woojin.”
“Ken-na-pa?
Dek-ket ak-ku?” Woojin kikuk.
“Mau
tanya soal malem mingguan kamu sama Bae Jinyoung!”
“Oh.”
Woojin tersenyum kikuk.
“Ya
udah. Aku aja yang pindah.” Jisung yang duduk di tengah di kursi belakang
pindah duduk ke kursi tengah dekat jendela.
Woojin
begeser ke tengah. Luna pun masuk dan duduk di tempat Woojin sebelumnya duduk.
Sungwoon
menggeleng dan menutup pintu belakang. Ia kemudian naik dan duduk di kursi
depan. “Kita jemput Rania dulu.”
“Jisung,
nanti Rania duduk di dekat jendela ya. Bukan dekat pintu. Itu tempat favorit
dia.” Luna membuat permintaan pada Jisung saat mobil Sungwoon mulai melaju.
Sungwoon,
Jisung, dan Woojin menunjukkan ekspresi heran ketika mendengar permintaan Luna.
“Bagaimana
dia bisa tahu tempat favorit Rania?” Sungwoon bergumam.
“Luna,
tadi Sungwoon cerita. Katanya semalam kamu bantuin Daehwi nembak temannya ya?”
Seongwoo memulai obrolan. Membuat Jisung yang sudah membuka mulut batal
berbicara.
“Dasar
Ha Sungwoon! Ngapain sih gitu diceritain?” Luna langsung menegur Sungwoon.
“Kita
kan satu tim. Jadi, nggak papa kan aku cerita ke anggota tim kita. Lagian
semalem itu misi pertamaku sama kamu kan Luna.” Sungwoon menoleh dan tersenyum
lebar pada Luna.
“Apaan!
Kamu nggak sengaja nongol.”
“Dan,
jadi malaikat penolongmu. Benar kan? Mulai sekarang, aku mau jadi malaikat
penolong untuk Luna.” Sungwoon tersenyum manis.
Luna
mengalihkan pandangan. Menatap keluar jendela. Lalu, secepat kilat ia menoleh
pada Woojin. Teringat jika ia ingin bertanya tentang Bae Jinyoung. “Gimana Jinyoung
bisa ngajak kamu keluar?”
“Aku
yang ngajak dia.” Woojin nyengir.
“Sudah
kuduga. Aneh aja kalau Bae Jinyoung tiba-tiba ngajak kamu jalan.”
“Aku
kan belajar dari kamu. Menulis skenario seperti itu ternyata bikin ketagihan
ya.”
“Itu
sama aja dengan berbohong kan?” Jisung berkomentar. “Kamu bilang ke Jinyoung
kalau Jaehwan dan Minhyun yang ngajak keluar. Tapi, ke lainnya bilang lain
lagi.”
“Kata
Luna, bohong demi kebaikan nggak papa. Asal nggak ketahuan sih. Kalau ketahuan
bisa gawat. Iya kan Luna?” Woojin tersenyum lebar ketika menoleh pada Luna.
Luna
segera membuang muka. Kembali menatap keluar jendela. Dalam hati ia mengumpat. Kenapa harus bahas soal bohong sih? Ia
merasa diadili karena telah berbohong tentang hubungannya dengan Jihoon.
“Jangan-jangan
Luna sama Minhyun jadi berantem karena ketahuan bohong?” Seongwoo menebak.
“Atau
beneran karena ada kisah asmara.” Jisung menimpali.
“Nggak
kok. Kemarin kami godain Minhyun. Bukan perkara asmara.” Woojin membantah.
Luna
bergeming. Tak merubah posisinya sedikitpun. Melihat tingkah Luna, keempat
temannya itu pun menjadi canggung. Saling melempar pandangan.
Woojin
berdehem. “Ngomong-ngomong soal menyatukan dua hati, aku jadi pengen bikin Bae
Jinyoung sama Lucy jadian.”
Jisung
menoleh. Ekspresi kagetnya benar-benar mengerikan. “Kamu habis over dosis obat
ya?”
Seongwoo
juga kaget mendengar pernyataan Woojin. “Mungkin dia kerasukan.” Komentarnya.
“Ide
brilian. Aku nggak bisa bayangin dua manusia super pendiam itu kalau pacaran
gimana.” Di bangku depan Sungwoon tergelak.
Semua
melirik Luna yang masih betah bungkam dengan posisi menatap keluar jendela.
Keempat pemuda itu lagi-lagi saling melempar pandangan. Bibir mereka bergerak
tanpa suara. Saling menyalahkan atas berubahnya sikap Luna.
Mobil
Sungwoon sampai di depan rumah Rania. Melihat rumah itu, Luna menjadi sedikit
gusar. Ia bergerak sampai tak sengaja mendorong Woojin. Hingga membuat pemuda
itu menoleh padanya. Luna pura-pura tak melihat reaksi Woojin. Ia tetap bersikap
cuek.
Rania
sudah berdiri menunggu di depan gerbang rumahnya. Ketika mobil berhenti,
Sungwoon turun untuk menjemput Rania. Ia menawarkan kursi depan untuk Rania,
tapi gadis itu menolak.
Saat
sampai di dekat mobil, Jisung membuka pintu dan turun. Mempersilahkan Rania
naik ke dalam mobil dan duduk di kursi dekat jendela seperi permintaan Luna.
Saat naik ke dalam mobil, tatapan Rania langsung tertuju pada Luna yang duduk
di kursi belakang dekat jendela.
“Kamu
nggak papa duduk di belakang gitu?” Celetuk Rania sambil duduk di kursinya.
Luna
tetap bungkam. Pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Luna. Sedang Woojin
dan Seongwoo tampak bingung. Pada siapa Rania bertanya.
Menyadari
reaksi tiga orang yang duduk di belakang, Rania langsung menghadap ke depan dan
merasa kikuk.
Jisung
dan Sungwoon naik ke dalam mobil hampir bersamaan.
“Baiklah!
Kita berangkat!” Seru Sungwoon penuh semangat. Mobil pun kembali melaju. Menuju
kebun milik kakek Sungwoon.
***
Selama
dalam perjalanan, obrolan di dominasi oleh Sungwoon, Jisung, Seongwoo, dan
Woojin. Para pemuda itu tak pernah kehabisan bahan obrolan. Mereka mengobrol
sambil makan cemilan yang dibawa Rania. Sesekali Rania merespon obrolan para
pemuda itu. Itu pun kalau dia diminta untuk berkomentar. Selebihnya ia banyak
diam. Sedang Luna memilih untuk tidur sambil mendengarkan musik dalam ponselnya
dengan menggunakan headset. Saat
hampir sampai, Luna terbangun.
“Nyenyak
tidurnya?” Woojin menyambut Luna yang terbangun. “Nggak capek apa tidur nyandar
ke jendela gitu? Kamu kan bisa nyandar di bahuku.”
“Park
Woojin! Luna udah ada yang punya lho! Jangan coba merayunya!” Seongwoo menegur
Woojin.
“Betah
banget tidurnya. Apa kamu kalau perjalanan jauh selalu kayak gitu? Wah,
jangan-jangan kamu beneran mabuk? Kayak apa kata Sungwoon?” Jisung mengoceh.
“Dia
emang kebiasaan kayak gitu kalau di mobil. Padahal sebenernya nggak tidur.
Hanya malas untuk bercakap-cakap dalam perjalanan.” Rania merespon ocehan
Jisung.
Pernyataan
Rania kembali membuat teman-teman Luna tercenung. Luna menghela napas dan
menjatuhkan punggung ke sandaran punggung kursi.
Rombongan
sampai di perkebunan kakek Sungwoon. Sang kakek menyambut Sungwoon dan
teman-temannya.
“Rezeki
banget bisa liat perkebunan di Korea.” Rania tersenyum puas.
“Sama
nggak sama di Indonesia?” Jisung penasaran.
“Mirip.”
“Trus
kita ke sini mau ngapain?” Woojin menyela. “Aku sebenernya bingung. Kita main
ke kebun, main apa?” Ia menatap Sungwoon yang sedang bercakap-cakap dengan
kakeknya.
Luna
sibuk mempersiapkan peralatannya. Ia kemudian membuat video, merekam
pemandangan di perkebunan kakek Sungwoon. “Seongwoo bawa kamera?”
“Iya.”
Seongwoo mengangguk.
“Pasti
bisa bersenang-senang di sini ya?”
Sejenak
Seongwoo tampak bingung.
“Liat
sekitar deh!” Luna selesai dengan kameranya.
Seongwoo
menuruti apa yang dikatakan Luna. Ia kemudian tersenyum lebar dan bergegas
mengeluarkan kamera DSLR-nya. Kemudian ia pun dibuat sibuk mengabadikan para
pekerja yang sedang sibuk di perkebunan kakek Sungwoon.
Rombongan
Sungwoon sudah berganti dengan pakaian khas petani Korea. Setelah saling
menertawakan satu sama lain, mereka terjun ke kebun untuk membantu pekerjaan di
kebun. Seongwoo yang seorang anggota Klub Fotografi sengaja tidak dibebani
pekerjaan di kebun. Luna memberinya tugas untuk mengabadikan setiap momen yang
mereka lakukan di kebun. Saat ia ingin di foto, Seongwoo meminta bantuan Luna.
Rania
tanpa sengaja menangkap Sungwoon sedang memperhatikan Luna yang sedang bekerja
sambil sesekali bercanda dengan Woojin.
“Rania,
bantuin aku!” Jisung menegakkan punggungnya. Ia menemukan Rania sedang berdiri
diam memperhatikan Sungwoon. Ia pun mendekati Rania. “Ngapain?”
“Eh?”
Rania kaget. “Itu.” Ia menuding Sungwoon. “Segitunya kalau liat Luna.”
“Banyak
kok cowok yang natap Luna kayak gitu.” Jisung ikut memperhatikan Sungwoon.
“Sayang
ya Luna udah sold out. Nggak nyangka
aja seleranya seorang Park Jihoon.” Rania menggeleng heran.
Jisung
tersenyum. “Beresin kerjaan kita yuk!”
“Oke.”
Rania membantu Jisung mendorong gerobak besi yang berisi rumput yang sebelumnya
mereka cabuti.
Kakek
Sungwoon menyiapkan hidangan untuk makan siang cucu kesayangannya yang datang
berkunjung bersama teman-temannya. Kakek Sungwoon menyediakan ikan air tawar
untuk dipanggang bersama.
“Wah!
Ikan! Kesukaanmu!” Rania mengedipkan mata pada Luna.
“Wah,
seladanya belum ada ya Kek?” Sungwoon memeriksa menu yang tersaji di meja.
“Petik
saja di kebun.” Jawab Kakek Sungwoon santai.
“Siapa
mau bantu?” Sungwoon penuh semangat.
“Aku
bantu!” Karena tidak ada yang merespon, Rania pun menawarkan diri untuk membantu.
“Oke!
Ayo!” Sungwoon melirik Luna sebelum pergi.
Woojin
dan Seongwoo mempersiapkan keperluan untuk memanggang ikan.
“Kakek,
terima kasih untuk ini semua. Maaf kami merepotkan.” Jisung kembali berterima
kasih pada Kakek Sungwoon. Ia merasa sungkan karena mendapat jamuan makan
seperti itu.
“Kalian
sudah bekerja keras untuk membantu di kebun. Nikmatilah. Semua itu bagus untuk stamina
kalian yang masih muda.” Kakek Sungwoon tersenyum puas sambil menatap Luna yang
fokus memperhatikan Woojin menyiapkan api. “Luna, semoga suka sama ikannya.”
Luna
mengangkat kepala dan tersenyum sungkan pada Kakek Sungwoon. “Terima kasih,
Kakek. Maaf merepotkan.”
“Walau
kamu bukan orang Korea, tapi karena Sungwoon menyukaimu. Aku bisa menerima dan
kita pasti bisa beradaptasi.”
“Nee??”
Kedua mata bulat Luna membesar mendengarnya.
Jisung,
Woojin, dan Seongwoo kompak menahan tawa dengan kepala tertunduk saat mendengar
ungkapan Kakek Sungwoon.
“Selamat
menikmati.” Kakek Sungwoon berdehem lalu pergi.
“Eh,
itu tadi maksudnya apa sih?” Luna menyikut Woojin. Tapi, pemuda itu hanya
mengangkat kedua bahunya.
“Orang
tua sering salah paham. Abaikan saja.” Jisung meminta Luna tak memikirkan
ucapan kakek Sungwoon.
Usai
makan siang dan berganti pakaian, Sungwoon dan teman-temannya pamit untuk pulang.
Kakek Sungwoon memberi mereka sayuran segar hasil kebun. Ia tak lupa membungkus
satu paket sayuran khusus untuk Luna. Jisung, Woojin, dan Seongwoo lagi-lagi
kompak cekikikan melihatnya. Perjalanan pulang ke Seoul lebih banyak hening.
Karena mereka kelelahan usai bermain seharian di kebun kakek Sungwoon, mereka
terlelap hampir selama perjalanan.
***
Hari
sudah gelap saat mobil Sungwoon tiba di Seoul. Luna sibuk dengan ponselnya dan
terlihat gusar. Sungwoon mengamatinya dari spion.
“Teman-teman,
bagaimana kalau kita mengantar Luna dulu?” Sungwoon bertanya pada yang lain.
Mendengarnya,
Luna langsung mengangkat kepala. Rania yang duduk di sampingnya di kursi tengah
pun turut menoleh ke arahnya. Di kursi belakang, Woojin, Jisung, dan Seongwoo
pun menatap bagian belakang tubuh Luna.
“Luna
keliatan gusar gitu.” Sungwoon mengutarakan alasannya meminta persetujuan yang
lain untuk mengantar Luna lebih dulu.
“Nanti
malah memutar. Nggak papa antar Rania dulu.” Luna menolak usulan Sungwoon.
“Gusar
kenapa sih Luna? Butuh toilet?” Jisung sampai melongok ke depan.
“Nggak.”
Luna ketus. “Udah, anterin Rania aja dulu. Baru aku. Nggak papa kok.”
“Oke.”
Sungwoon pun setuju.
Luna
menaiki tangga dengan sedikit berlari. Napasnya terengah-engah ketika ia sampai
di tangga teratas. Daniel yang duduk di atas bangku di teras rooftop Luna pun berdiri. Menyambut Luna
yang berjalan ke arahnya.
“Udah
lama?” Luna berhenti jarak satu langkah di depan Daniel.
“Lumayan.”
Daniel tersenyum manis.
“Maaf
ya. Mau masuk dulu?”
“Capek
ya? Mau istirahat dulu?”
“Nggak
sih.”
“Ya
udah kalau gitu kita langsung pergi aja. Omma udah nungguin.”
“Tapi,
aku seharian belum mandi. Kucel gini.”
Daniel
terkejut mendengar alasan Luna. Ia pun tersenyum sambil berujar, “Nggak papa.
Ayo!”
Luna
tersenyum kikuk karena ibu Daniel mengamatinya dari atas ke bawah. Wanita itu
menatapnya dengan senyum terkembang di wajah cantiknya. Karena merasa canggung,
Luna pun menunduk dan baru menyadari jika ia masih membawa tas plastik berisi
sayur pemberian kakek Sungwoon.
“Omma!”
Daniel menegur ibunya.
“Eh
iya. Maaf. Ayo masuk.” Ibu Daniel mempersilahkan Luna masuk.
Luna
yang berdiri di ambang pintu bersama Daniel pun masuk. Luna lebih dulu masuk.
Daniel menyusul di belakangnya lalu menutup pintu.
Ibu
Daniel menyambut dan menuntun Luna untuk duduk di sofa ruang tamu berdampingan
dengannya. “Jadi ini yang namanya Luna.” Ia tersenyum masih menatap Luna.
“Nee.”
Luna masih kikuk. Ini kedua kalinya ia bertemu dengan ibu dari teman
laki-lakinya. Pertama saat ia SMP. Ketika ia di ajak mampir ke rumah Minhyun.
“Cantik
ya.” Ibu Daniel memuji Luna.
Mendengar
pujian ibu Daniel, wajah Luna terasa panas. Ia pun tersipu. Daniel yang duduk
di sofa seberang, tersenyum melihat wajah Luna yang dihiasi rona pink.
“Oiya,
ini tadi saya dari main ke kebun kakek teman saya. Saya dikasih banyak sayuran
segar. Untuk Bibi saja ya.” Luna meletakkan tas plastik berisi sayuran yang ia
bawa ke atas meja.
“Kok
buat ibu?”
“Banyak
banget. Saya nggak pernah masak. Nanti malah busuk.”
“Ibu
Kecil bagaimana?” Daniel menyela.
“Ibu
kecil?” Ibu Daniel bingung.
“Luna
Seonbae memanggil bibi pemilik rooftop
ibu kecil.”
“Oh.
Kalau begitu kita bagi tiga saja ya? Sayurnya banyak sekali.”
“Bagi
dua saja.”
“Kamu?”
“Nanti
saya bisa minta Ibu Kecil kalau butuh.”
Ibu
Daniel tersenyum. “Makasih ya. Oya, ayo ke dapur. Ibu sudah masak untuk
kalian.”
Luna
tercenung. Ia kemudian menatap Daniel. Pemuda itu hanya tersenyum dan
mengangkat kedua bahunya.
“Nak,
bawa sayurnya.” Ibu Daniel memberi perintah pada Daniel. “Ayo, Nak.” Ibu Daniel
kembali menuntun Luna menuju dapur. Di atas meja, sudah tertata hidangan makan
malam.
Daniel
dan ibunya tinggal di salah satu rumah susun yang letaknya tak jauh dari rooftop tempat Luna tinggal. Jaraknya
sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Hunian itu terdiri dari dua kamar tidur,
satu kamar mandi, dan dapur yang juga dijadikan ruang makan, dan sebuah ruang
tamu kecil. Tidak ada ruang keluarga. Tapi, hunian mungil itu sangat bersih dan
rapi.
Ibu
Daniel, Daniel, dan Luna duduk di kursi yang mengitari sebuah meja kecil di
dapur. Ibu Daniel mengambil nasi untuk Daniel, Luna, lalu untuk dirinya
sendiri. Daniel menciumi bau hidangan yang tersaji di meja.
“Daniel!”
Ibu Daniel menegur. Ia tersenyum sungkan pada Luna. “Maaf ya, Nak. Daniel punya
kebiasaan membaui makanan sebelum ia makan.”
“Nggak
papa kok.” Luna tersenyum memaklumi
“Ayo!
Selamat makan!”
Makan
malam sederhana itu berjalan lancar dan hangat. Usai makan, Luna menawarkan
diri untuk mencuci piring. Ibu Daniel sempat menolak, tapi Luna kukuh ingin
mencuci piring. Akhirnya wanita itu pun menyerah. Membiarkan Luna mencuci
piring. Daniel pun membantu Luna. Selesai dengan mencuci piring, Daniel
mengajak Luna kembali ke ruang tamu. Di sana Ibu Daniel sudah duduk menunggu.
Ia meminta Luna duduk di sampingnya.
“Coba
lihat ini. Apa sudah benar?” Ibu Daniel menyodorkan sebuah tas plastik.
Luna
menerimanya, lalu memeriksa isi tas plastik. Di dalamnya berisi buah jeruk
berbagai macam. “Wah! Terima kasih, Tante! Eh!” Luna tersenyum kikuk setelah
sadar menggunakan bahasa Indonesia. “Anu, terima kasih Bibi.” Ia meralat.
Kembali mengucap terima kasih dalam bahasa Korea.
“Itu
tadi ngomong apa?”
“Terima
kasih Bibi dalam bahasa Indonesia. Di Indonesia, kami biasa memanggil ibu teman
kami dengan sebutan tante.”
“Kalau
gitu, nggak papa panggil ibu dengan sebutan itu.”
“Tante?”
“Iya.”
Ibu Daniel tersenyum.
“Baiklah.
Ini banyak banget Tante?”
“Cek
dulu. Sudah benar? Itu tujuh macam buah jeruk.”
Luna
memeriksa jeruk-jeruk dalam kantong plastik. Jumlahnya ada tujuh buah jeruk.
“Kata
Daniel, kamu hanya butuh satu untuk tiap jenisnya. Jadi, ibu belikan
satu-satu.”
“Makasih,
Tante. Maaf jadi merepotkan. Anu, maaf lagi. Ini semuanya berapa ya?”
“Duh!
Kamu ini nggemesin banget jadi anak! Udah itu buat kamu.”
“E??
Gratis, Tante?”
“Iya.”
“Anu,
kok gratis? Saya kan udah ngrepotin Tante. Minta tolong beliin tujuh buah jeruk
ini. Masa iya dikasih gratis.”
Ibu
Daniel tersenyum, lalu mengelus puncak kepala Luna. “Nggak papa. Ibu senang
bisa bantu kamu. Hidup sendiri di Korea, pasti nggak gampang buat kamu. Kalau
butuh apa-apa, bilang aja ke ibu, ya? Kalau ibu bisa, pasti ibu bantu.”
Luna
merasakan rasa hangat menjalari tubuhnya ketika ibu Daniel mengelus puncak
kepalanya. Tiba-tiba ia merasa rindu pada ibunya. Rasa nyaman dan rindu itu
bercampur menjadi satu membuat dadanya merasa sesak. “Terima kasih, Tante. Saya
jadi kangen sama ibu saya.” Luna tersenyum canggung. Berusaha menahan air
matanya agar tidak jatuh.
Ibu
Daniel tiba-tiba memeluk Luna. Membuat gadis itu terkejut, namun tak bisa
menolak perlakuan hangat itu. Luna pun pasrah. Membiarkan ibu Daniel
memeluknya. Ketika ia memejamkan mata, air mata itu menetes menuruni pipinya.
Daniel
tersenyum dan menghela napas. Melihat ibunya memeluk Luna. Ia merasa senang
ibunya dan Luna bisa langsung akrab seperti itu di pertemuan pertama mereka.
Luna
berjingkat kaget ketika ada sesuatu yang berbulu menyentuh kakinya. Ibu Daniel
sampai melepas pelukannya.
“Kucing!”
Luna kaget ketika menemukan seekor kucing bergeliat manja di kakinya.
“Rooney!”
Daniel menghampiri Luna dan menggendong kucingnya yang bergeliat manja di kaki
Luna.
“Kamu
takut kucing, Nak?” Ibu Daniel heran melihat tingkah Luna.
“Anu,
Tante. Geli aja. Aa! Kucing lagi!” Luna sampai mengangkat kakinya karena satu
kucing lainnya menghampirinya.
“Peter!
Sini!” Daniel mengambil satu kucing lainnya dengan tangan kanannya yang bebas.
“Anak
ini benar-benar menggemaskan!” Ibu Daniel kembali mengelus puncak kepala Luna.
***
Daniel
mengantar Luna pulang. Ia membawakan kantung plastik berisi separuh sayuran dan
tujuh buah jeruk. Sejak keluar dari rumahnya, ia dan Luna sama-sama diam.
“Tante
baik banget ya. Aku sampai sungkan. Malu. Baru pertama ketemu udah ngrepotin.”
Luna memecah keheningan.
Daniel
tersenyum manis. “Omma juga seneng ketemu Seonbae.”
“Kalau
di luar jangan manggil seonbae. Sebenernya kamu lebih tua setahun dari aku
kan?”
“Boleh.
Lalu, Luna mau manggil aku oppa?”
“Eh?”
Luna sampai menoleh karena kaget.
Daniel
terkekeh. “Bercanda. Maaf ya.”
Luna
tersenyum. Suasana kembali hening.
“Takut
kucing juga?” Daniel kembali bicara.
“Geli
aja.”
“Ngakunya
Luna si Kucing Bulan. Tapi, kok takut kucing?”
“Nggak
takut! Geli doang tahu!”
Daniel
kembali terkekeh. “Oya, maaf soal kebiasaanku saat makan tadi.”
“Nggak
papa. Lucu sih. Kayak kucing aja kalau mau makan diendus dulu.”
“Lucu?
Beneran? Jadi, mau pelihara aku? Aku juga bisa jadi kelinci.” Daniel
menunjukkan gigi kelincinya dan bertingkah cute.
Luna
tergelak dan memukul pelan lengan Daniel.
“Kami
pernah mengalami masa sulit. Kami tinggal di basement selama seminggu. Kamar mandi kami berada di depan ruangan
kami. Aku selalu mencium bau kamar mandi setiap aku ingin makan dan itu
membuatku ingin muntah. Karena itu semua, aku jadi punya kebiasaan mencium
makanan terlebih dahulu sebelum makan, untuk memastikan apakah baunya enak atau
nggak.”
Mendengar
cerita Daniel, Luna merasa iba. Sekarang ia paham kenapa Daniel memiliki rasa
minder.
“Ketika
aku cerita tentang Seonbae, omma tertarik. Selama ini di sekolah aku sering diejek.
Terlebih sama para gadis.”
“Di
ejek? Maaf, karena kisah hidup kamu?”
“Yap.
Karena orang tuaku bercerai. Dan, kata mereka aku jelek.”
“Jelek??”
Luna menghentikan langkah dan menghadap pada Daniel. Daniel pun ikut berhenti.
“Mereka butuh kacamata tuh. Orang cakep dikatain jelek.”
Daniel
tercenung karena Luna memujinya. Wajahnya bersemu merah karenanya.
“Nggak
usah tersipu gitu. Coba deh ngaca. Kamu itu cakep. Berbakat lagi. Harusnya kamu
nggak sembunyi kayak gini.” Luna tersenyum, lalu menghadap ke depan, dan
kembali berjalan.
Daniel
pun ikut berjalan. Dia masih tersipu-sipu karena pujian Luna.
“Ngomong-ngomong
soal bakat, kita bikin video dance yuk!”
“Kita??”
Daniel mengangkat kepala dan menoleh menatap Luna. Ia kaget mendengar kata
kita.
“Iya.
Kamu dan aku. Kamu pasti bisa ciptain koreografinya kan? Ada satu lagu yang aku
suka. Aku ngebayanginnya pasti bagus kalau dibuat dance couple gitu.”
“Lagu
apa?”
“The Chainsmokers, Closer. Aku suka lagu
itu.” Luna mulai menaiki tangga menuju rooftop
tempat tinggalnya.
“Oh
lagu itu. Aku tahu!” Daniel berjalan di belakangnya.
“He’em.
Ayo kita buat video dance-nya.” Luna
berhenti di depan pintu. Berbalik menghadap Daniel. Ia mengulurkan tangan
kanannya untuk meminta tas plastik di tangan Daniel.
Daniel
memberikan tas plastik di tangannya pada Luna. “Aku nggak janji, tapi akan aku
coba bikin koreografinya. Trus mau latihan di mana?”
“Di
sini? Kayak kamu waktu itu?”
Daniel
mengamati sekitar. “Boleh. Asal seonbae nggka malu aja.”
Luna
memiringkan kepala dan cemberut.
“Oh!
Maaf. Asal kamu nggak malu aja.” Daniel tersenyum lebar.
Luna
membalas senyum. “Makasih ya. Makasih untuk semuanya. Kamu orang baik. Tuhan
pasti membalas semua kebaikanmu. Aku yakin nasib baik pasti akan segera datang
padamu.”
“Terima
kasih, Luna.”
Daniel
dan Luna sama-sama terdiam selama beberapa detik. Mereka hanya saling menatap
satu sama lain.
“Ya
udah. Istirahat sana!” Daniel berbicara lebih dulu.
“Kamu
juga.”
“Udah
masuk sana.”
“Nggak.
Kamu aja pulang dulu sana.”
“Kamu
masuk duluan.”
“Kamu
pulang duluan.”
Daniel
menggeleng pelan. “Baiklah. Aku pulang. Selamat malam, Luna. Selamat istirahat.
Semoga tidurmu nyenyak. Dan, semoga kita bertemu dalam mimpi indah.” Daniel
tersenyum manis, lalu berjalan meninggalkan Luna.
Luna
menatap punggung Daniel yang berjalan semakin menjauhinya. “Aku nggak mau
ketemu dalam mimpi!”
Mendengarnya,
Daniel pun menghentikan langkah dan berbalik menghadap Luna. “Kenapa?”
“Karena
kalau aku bangun, semua akan hilang. Termasuk kamu.”
“Kalau
gitu, aku akan jadi mimpi yang menjelma jadi kenyataan buat kamu. Jadi, aku
akan selalu ada. Untukmu. Baik saat kamu tidur, atau terjaga.”
Luna
merasakan panas di wajahnya. Kemudian ia pun tergelak. “Kita kayak duo
pengombal aja.”
“Bukan.
Tapi, kita couple yang sama-sama suka
ngegombal. Couple!” Daniel menuding
Luna sambil mengerlingkan mata kanannya. Kemudian ia berbalik dan berjalan
cepat menuruni tangga.
Luna
menyandarkan punggung ke daun pintu. Ia masih menatap ke arah yang sama walau
Daniel sudah tak ada di sana.
“Ingat
ya! Kita ini couple!” Daniel
tiba-tiba muncul. Kembali menuding Luna.
Luna
terkejut dibuatnya. Daniel tergelak karena melihat Luna kaget. Kemudian ia
kembali menuruni tangga dan menghilang. Luna menghela napas dan menggeleng
pelan. Ia membuka pintu rooftop dan
masuk ke dalamnya.
Daniel
kembali muncul, menatap pintu rooftop
Luna yang sudah tertutup. Ia tersenyum menatap pintu itu. Setelah menghela
napas panjang, ia pun berjalan menuruni tangga untuk pulang.
***
0 comments