Istri Untuk Anakku
05:16
Istri
Untuk Anakku
Ketika hati mencintai seseorang,
namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
“Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu
yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah. Dari belum kawin menjadi kawin. Aku
memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak
gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih
pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di
wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan
keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini
amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi
suamiku.”
***
Cemburu dan Akhir
dari Pelarian.
Kesehatan Lasmi semakin menurun. Bukan
hanya karena faktor usia, tapi juga karena terus-terusan memikirkan cucu
kesayangannya; Galih.
"Aku rasa, yang Nyonya butuhkan
hanyalah cahaya kebahagiaannya kembali ke rumah ini. Aku yakin, jika cahaya itu
kembali, Nyonya bisa sembuh tanpa bantuan obat." Dokter keluarga itu
tersenyum pada Karyo, lalu pamit pergi.
Puspita dan Pandu turut keluar dari
kamar Lasmi.
"Sebaiknya kamu panggil mereka
untuk kembali." Pinta Pandu pada Puspita saat melepas kepulangan dokter
keluarga mereka di teras. Puspita adalah orang kedua setelah Lasmi yang masih
berhubungan dengan Galih.
"Mauku juga gitu. Tapi, aku ragu.
Apa itu akan menjamin mereka aman? Kalau mereka balik ke sini. Eyang juga
pernah ngomongin ini Mas. Tapi, Eyang khawatir Bapak masih marah. Walau udah
tiga bulan Galih pergi."
Pandu menghela napas panjang. "Aku
takut jika Eyang tiba-tiba pergi ninggalin kita."
Karyo tak sengaja mendengar obrolan putra sulung dan putri
keduanya. Setelah berdiam selama beberapa saat, ia pun kembali berjalan.
Karyo berada di dalam ruang kerjanya.
Ia sengaja membiarkan ruangan itu tetap gelap. Ia memikirkan masalah pelik
dalam keluarganya yang belum bisa ia selesaikan. Karyo menghela napas panjang.
Ia menelpon orang kepercayaan yang ia beri tugas untuk mengejar Galih. Ia
meminta orang itu untuk kembali.
***
Wajah Galih selalu berseri-seri ketika
ia menceritakan tentang Livia. Livia, Livia, dan Livia. Galih tak pernah absen
membahas gadis itu. Setiap hari. Galuh selalu menjadi pendengar setia cerita
Galih. Walau sering ia merasa bosan dan muak, ia tetap diam dan mendengarkan
setiap kali Galih bercerita tentang Livia.
Galuh cemburu. Sering ia bertanya dalam
hati, apakah jika sedang bersama Livia, Galih juga bercerita tentangnya pada
gadis itu. Bercerita dengan wajah berbinar seperti ketika sedang menceritakan
Livia padanya.
Galuh tersenyum kecut. Diam dan
mendengarkan Galih yang kembali bercerita tentang Livia. Livia yang belakangan
ini semakin sering mengunjungi warnet tempat Galih bekerja. Livia yang selalu
disambut baik oleh teman-teman Galih yang sering nongkrong di warnet. Ia hanya
bisa menghela napas melihat bagaimana antusiasnya Galih.
***
"Nglamun aja!" Andra, teman
kerja Galuh di toko membuyarkan lamunan Galuh. "Ikut kami yuk!"
"Kami?"
"Iya. Aku dan Dinda."
"Ke mana?"
"Ada pasar malam Dinda pengen
liat. Tapi, males kalau sama aku doang. Dia minta aku ngajak kamu."
Galuh diam sejenak. Ia menimbang
permintaan Andra. Ia memang sedang bosan dan malas pulang cepat. "Boleh
deh. Tapi, jangan lama-lama ya?"
"Sip! Ayo! Dinda udah OTW."
Galih tak bisa menolak permintaan Livia
yang ingin ditemani jalan-jalan. Tak apalah. Kali ini aja. Galih pun menuruti
kemauan Livia. Ia sudah bertekad untuk bersikap tegas pada gadis itu. Ia akan
mengatakan jika ia sudah punya kekasih. Hanya kali ini saja ia menerima ajakan
pergi Livia. Setelahnya, tidak akan ada lagi pergi bersama.
Andra, Dinda, dan Galuh sampai di
lokasi pasar malam. Ketiganya berkeliling untuk melihat-lihat barang-barang
yang dijajakan di sisi kanan dan kiri jalan. Dinda bersikap manja pada Galuh.
Setiap memilih barang, ia meminta pendapat pada Galuh sebelum membelinya.
"Ada pasar malem. Mampir yuk! Aku
pengen liat-liat." Livia menunjuk pasar malam ketika mobilnya terjebak
macet.
"Aku harus pulang." Galih
yang fokus dibalik kemudi langsung menolak.
"Ck!" Livia berdecak kesal.
"Jadi, cuman gini doang? Jalan-jalan nggak jelas."
Galih mengabaikan Livia yang sewot. Ia
menoleh ke arah kanan untuk sekilas melihat pasar malam yang menarik perhatian
Livia. Galih terbelalak ketika menemukan Galuh di antara pengunjung pasar
malam. Kekasihnya itu tak sendiri. Ada Andra bersamanya. Wajah Galuh dihiasi
senyum. Binar bahagia di wajah Galuh itu membuat dada Galih terbakar. Ia marah
melihat senyum di wajah Galuh itu. Ia cemburu melihat Galuh bersama Andra.
***
Galih mondar-mandir di teras. Ia
menunggu Galuh yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Setengah jam
kemudian, Galuh muncul. Gadis itu membawa tas plastik di kedua tangannya.
Senyum itu masih menghiasi wajahnya. Sisa binar bahagia itu masih terlukis di
wajah ayunya.
"Assalamualaikum." Galuh
sampai di teras.
"Dari mana kamu?!" Galih tak
menjawab salam Galuh.
"Kok salamku ndak dijawab? Ketus
banget nadanya." Galuh menanggapi dengan santai. "Tadi pulang kerja
aku mampir ke pasar malam. Sama Andra. Dinda, adiknya Andra pengen aku temenin
ke pasar malam. Maaf aku nggak bisa nolak permintaan Dinda."
Galih tertegun mendengar penjelasan
jujur Galuh. Namun, ia gengsi untuk bersikap lunak. "Akrab banget sama
Andra. Kamu suka sama dia?" Galih langsung menuduh Galuh.
"Astaghfirullahalazim. Galih? Kamu
tega banget ngomong gitu ke aku? Bagaimana bisa kamu curiga dan punya pikiran
kayak gitu ke aku? Andra itu cuman teman. Dia baik. Dan, dia tahu semua tentang
kita. Tentang aku, kamu, dan statusku yang masih istri bapakmu!" Galuh
yang lelah pun mulai emosi.
"Dia memahami itu semua. Bisa
nerima itu semua. Bisa memaklumi itu semua. Cowok sama cewek akrab, berteman
baik. Nggak selamanya bisa menjaga keakraban itu sebatas teman! Cinta bisa saja
tumbuh di antara keduanya!"
"Gitu ya? Lalu, gimana dengan
Livia? Cowok sama cewek akrab, berteman baik. Cinta bisa saja tumbuh di antara
keduanya. Kapan saja!"
"Aku sama Livia nggak ada
apa-apa!"
"Iya, nggak ada apa-apa. Tapi,
kamu nyadar nggak sih gimana ekspresi kamu waktu kamu cerita soal dia? Kamu
nyadar nggak kalau tiap hari kamu selalu bahas tentang dia?"
"Itu... itu karena dia baik ke
aku!"
"Kalau Andra yang baik ke aku, apa
aku nggak boleh berlaku sama kayak apa yang kamu lakuin? Agar aku mengakui
keberadaan Livia yang selalu baik ke kamu? Orang jarang, bahkan nggak mungkin
naksir aku. Tapi, nggak dengan kamu. Dengan sekali melihat saja cewek udah bisa
langsung jatuh hati sama kamu."
"Jadi, kamu meragukanku? Kamu
pikir aku selingkuh? Sama Livia gitu?!"
"Aku nggak pernah meragukan kamu.
Apalagi sampai punya pikiran kamu selingkuh. Nggak pernah! Aku selalu percaya
kamu. Walau seringnya hatiku sakit karena cemburu ketika kamu cerita soal
Livia. Aku berusaha memahami dan memaklumi situsimu."
Pertengkaran yang terjadi di teras itu
terjeda. Keduanya terdiam. Hanya saling menatap satu sama lain. Galih dan Galuh
sama-sama berusaha meredam emosi masing-masing. Harto keluar dari dalam rumah.
Menghampiri Galih dan Galuh yang berada di teras. Ia panik.
Galuh segera mengembangkan senyum walau
terkesan kaku. "Ada apa, Lek?" Ia bertanya pada Harto dengan suara
lembut.
"Ibu..." hanya kata itu yang
keluar dari mulut Harto.
"Nenek? Nenek Lasmi? Ada apa
dengan Nenek Lasmi?" Detak jantung Galuh berubah menjadi cepat. Melihat
ekspresi Harto, ia mendadak merasakan ketakutan.
"Ibu... Ibu tiba-tiba tak sadarkan
diri. Puspita barusan telpon dan meminta kita segera kembali."
Semua sudah berkemas. Hanya tersisa
Galih yang masih duduk terdiam di kamarnya. Karena tak mendapat jawaban ketika
mengetuk pintu, Galuh pun membuka pintu dan masuk. Ia melihat Galih sudah
berkemas. Tapi, pemuda itu duduk melamun di tepi ranjang. Galuh duduk dekat di
samping Galih. Ia merangkul Galih dan mengelus lengan pemuda yang dicintainya
itu.
"Ayo kita pulang." Galuh
berbisik dekat di telinga kiri Galih.
"Aku takut. Aku benar-benar takut.
Aku takut kehilangan Eyang. Aku takut Bapak ngambil kamu dari aku."
"Lupakan soal Bapak. Ini tentang
Nenek Lasmi. Beliau pasti sangat menderita sejak kita pergi. Beliau jadi
seperti ini karena kita. Jadi, ayo kita pulang dan meminta maaf. Aku pun takut
kita tidak akan punya waktu lagi." Galuh menautkan jemari tangan kanannya
pasa jemari tangan kiri Galih. "Apa yang akan terjadi di sana nanti, kita
akan menghadapinya bersama-sama. Aku akan selalu ada di sisi kamu. Aku nggak akan
ninggalin kamu. Hanya Tuhan yang bisa memisahkan kita."
Galih memeluk Galuh erat. Mendengar
janji yang diucapkan Galuh, ia seolah mendapatkan kekuatan untuk kembali pulang
dan menghadapi apa pun itu yang akan terjadi di sana.
Rombongan pelarian itu pun memutuskan
untuk kembali pulang. Masing-masing telah mempersiapkan diri untuk menghadapi
apa pun itu yang bisa saja terjadi pada mereka.
***
Tengah malam setelah menempuh jarak
ribuan kilo, Galih dan rombongannya tiba di desa tempat tinggal mereka. Mereka
sampai di rumah besar. Pandu dan Puspita menyambut mereka di teras. Setelah
saling menyapa, Harto, Galih, dan Galuh langsung menuju kamar Lasmi. Ketiganya
dihujam rasa bersalah ketika masuk dan melihat Lasmi tergolek di atas ranjang
dengan mata tertutup rapat. Infus, pendeteksi detak jantung, dan peralatan
medis lainnya menghiasi kamar Lasmi.
Galih duduk di kursi di samping
ranjang. Ia menggenggam tangan Lasmi yang masih tak sadarkan diri. Galuh
berdiri dekat di belakang Galih. Kedua tangannya ia letakkan di atas kedua bahu
Galih.
Galih mencium tangan Lasmi. Ia
tertunduk dan tak mampu membendung air matanya lagi. Kami sudah kembali, Eyang. Aku mohon kembalilah. Tolong bantu kami
sampai akhir. Aku mohon... Bahu Galih bergoyang karena tangisannya.
Air mata Galuh pun runtuh. Ia hanya
bisa menepuk-nepuk pelan pundak Galih yang menangis tersedu sambil menciumi
tangan Lasmi.
***
Tempurung kura-kura, 17 Oktober 2018..
. shytUrtle .
0 comments