My 4D's Seonbae - Episode #22 “Tuhan, Tolong Jangan Ubah Skenario Yang Sudah Aku Buat.”
05:36
Episode #22 “Tuhan, Tolong Jangan Ubah Skenario Yang Sudah Aku Buat.”
Daniel:
Maaf. Hari ini aku jadi obat nyamuk. Meski aku tahu kalian hanya pura-pura,
tetap saja aku merasa sakit T.T
Daniel:
Tidak! Tidak! Aku hanya bercanda. Terima kasih untuk tumpangan hari ini. Terima
kasih terbesarnya untuk tidak mengabaikan aku ketika Jihoon datang untuk
membawamu. Hatiku sangat berbunga-bunga untuk itu.
Daniel:
Ketika orang yang aku sukai juga menyukaiku, itu adalah sebuah keajaiban.
Terima kasih. Kamu adalah keajaiban itu.
Daniel
menggigit bibir bawahnya. Luna belum membalas pesan-pesan yang ia kirim. “Apa
Jihoon masih di sana? Sampai jam segini?” Ia bergumam.
“Daniel.”
Suara itu membuyarkan lamunan Daniel. Ia pun menoleh ke arah pintu. Kepala seorang
perempuan menyembul di sela pintu yang terbuka sedikit.
“Noona?”
“Syukurlah
kamu belum pulang.”
“Ada
apa?”
“Kamu
keluar sini. Masa iya aku masuk ruang tunggu karyawan.”
Daniel
tersenyum, berdiri menutup locker-nya, dan keluar untuk menghampiri rekan kerjanya.
“Ada apa Noona?” Saat ia sudah berdiri di depan perempuan cantik bertubuh
jangkung itu.
“Temanmu
masih ingin mencoba kerja di sini?”
“Aku
rasa iya. Kenapa?”
“Dia
beneran adiknya idol ya?”
“Iya.
Oppa keduanya jadi idol di Indonesia.”
“Jadi,
dia murid asing?”
“Iya.
Kan dari awal aku udah bilang. Bahkan, aku udah kasih username IG dia ke Noona, kan?”
“Iya.
Aku udah tengkok IG dia.”
“Kenapa
Noona tiba-tiba bertanya soal ini?”
“Aku
udah bicara tentang ini ke manajer.”
“Benar
kah?” Daniel terkejut mendengar pengakuan rekan kerjanya. Wajahnya berbinar
karena semangat. “Lalu, bagaimana respon Pak Manajer?”
“Sepertinya
tertarik. Tapi, belum memberi kepastian. Berdoa aja. Semoga beliau mau terima
permintaan temanmu.”
“Terima
kasih, Noona.”
Wanita
cantik itu menyipitkan mata. “Dia teman apa teman? Kamu berusaha keras banget
untuk mewujudkan keinginannya.”
“Eumm…”
Daniel tersenyum. “Dia keajaiban dalam hidupku.”
“Dih!”
Wanita itu memukul lengan Daniel. “Malam ini, manajer akan mampir. Akan aku
coba untuk meminta kepastian. Pastikan keajaiban dalam hidupmu itu siap
kalau-kalau Pak Manajer tiba-tiba setuju.”
“Baik.
Terima kasih untuk semuanya, Noona.”
Wanita
itu tersenyum. “Semoga kamu beruntung dengan keajaiban dalam hidupmu.”
“Gomawo,
Noona.”
“Selama
mengenalmu di sini, aku tahu kamu orang baik. Jadi, aku sih yakin dia pasti
menyukaimu. Aku akan terus berdoa, yang terbaik untukmu.”
“Gomawo.”
“Sudah
pulang sana! Kasian, Ajumma pasti sudah menunggumu.”
“Nee.
Aku pulang.” Daniel pun pamit pergi.
Di
dalam bus, Daniel kembali memeriksa ponselnya. Luna belum membalas pesannya. Ia
membaca ulang pesannya.
“Apa
ini keterlaluan hingga dia marah?” Daniel bergumam. Menimbang kembali pesan
yang ia kirim. “Apa aku hapus aja? Tapi, percuma. Luna kan udah membacanya. Ya,
mungkin hanya membukanya aja. Belum membacanya. Jadi, harus kah aku hapus?”
“Yang
sudah terlanjur tertulis dan terkirim, biarkan saja. Karena itu adalah ungkapan
hatimu yang paling jujur.” Kakek yang duduk di samping kiri Daniel berkomentar.
Membuat Daniel terkejut.
“Walau
aku sudah tua, pendengaranku masih baik. Pasti masalah gadis ya?”
Daniel
tersipu dan mengangguk.
“Tidak
apa-apa. Apa pun itu isi pesan yang sedang kamu risaukan, itu adalah ungkapan
hatimu yang paling jujur. Biarkan dia membacanya. Isinya bukan umpatan, kan?”
“Tentu
saja bukan.”
“Kalau
begitu biarkan saja. Perempuan memang makhluk yang rumit dan sulit dipahami.
Tapi, ketika kamu berhasil mendapatkan hatinya. Dia tidak akan pernah berpaling
darimu. Kamu akan selalu ada dalam napasnya. Dia pasti akan mencarimu.”
Mendengarnya
Daniel kembali tersipu. Ia pun menghela napas. “Semoga yang kakek katakan itu
benar adanya.”
Daniel
berjalan cepat, menyusuri jalan yang sepi untuk mencapai rumahnya. Saat
mendekati rooftop tempat Luna
tinggal, langkahnya memelan. Ia tak bisa menolak untuk tidak melakukan hal itu
setiap kali ia melintas di jalan itu. Ia selalu mendongakkan kepala untuk
menatap rooftop yang tentu saja tak
bisa dijangkau oleh pandangannya.
Kening
Daniel berkerut. Malam ini, pemandangan berbeda tersaji di atas sana. Ia
melihat Luna sedang berdiri menyandarkan punggung pada tembok pembatas. Tembok
itu hanya setinggi dada orang dewasa. Siapapun yang berdiri di dekat tembok
itu, pasti bisa terlihat dari jalan raya di bawah sana. Daniel menghentikan langkahnya.
Ia memperhatikan Luna yang berdiri memunggunginya di atas sana. Gadis itu
terlihat sedang berbicara dengan seseorang.
“Jam
segini ngobrol di luar? Dengan siapa? Ibu kecil?” Daniel memiringkan kepala.
Sejenak lengah dari mengamati Luna. Saat ia kembali mendongak, ia menemukan
seseorang di samping Luna. Bukan seseorang yang ia kenal. Seorang gadis yang
juga memunggunginya. Berdiri di samping kanan Luna.
“Siapa
dia?” Daniel penasaran dan terus memperhatikan Luna dari tempatnya berdiri.
Luna
menegakkan badan dan menggeser posisinya. Ibu kecil muncul dan berjalan
menuruni tangga. Daniel bergerak mendekati tangga.
“Oh!
Daniel? Baru pulang ya?” Ibu Kecil menyapa Daniel.
“Nee,
Ajumma.” Daniel tersenyum manis dan sedikit membungkukkan badan. Ia menatap ke
atas tangga. Di ujung tangga teratas, Luna menatapnya. Ekspresi gadis itu tak
terbaca. Sedang gadis yang berdiri di samping Luna, tersenyum pada Daniel.
***
Daniel
duduk di bangku di teras rooftop.
Setelah melihatnya menyapa Ibu Kecil, Luna memintanya untuk naik. Ia pun tak
menolak. Karena Ibu Kecil memberi izin ketika Luna mengatakan ada hal penting
yang harus mereka bahas. Ibu Kecil memberinya waktu 30 menit saja.
Daniel
menatap Luna yang juga duduk di atas bangku. Gadis itu menekuk kedua lututnya
dan memeluknya. Sedang gadis lain yang bersama Luna, juga duduk bersila di atas
bangku. Ia juga menatap Luna.
“Kenapa
kamu selalu datang untuk mengetahui rahasiaku?” Luna memecah keheningan.
Sebelumnya ia telah berbicara pada Daniel. Menjelaskan siapa gadis yang bersamanya.
“Dan, kenapa juga aku nggak bisa bohong ke kamu.” Luna kembali menunduk.
Gadis
yang dikenalkan Luna sebagai Rania menatap Luna dengan ekspresi bingung. Daniel
tahu jika Rania adalah murid pindahan asal Indonesia di sekolahnya. Yang baru
ia tahu adalah tentang Rania yang merupakan sahabat Luna dari kecil. Salah satu
anggota dalam geng Pretty Soldier.
“Kamu
punya rahasia apa lagi sih, Cing?” Rania menggunakan bahasa Indonesia. “Selain
merahasiakan kalau aku ini temen kamu.”
“Bukan
saat yang tepat untuk debat, Cue!” Luna pun menggunakan bahasa Indonesia.
“Bukan
saat yang tepat? Hey, Kucing Anggora! Kamu tahu kenapa aku malem-malem nekat ke
sini? Karena aku khawatir sama kamu. Aku tahu kamu dapat surat ancaman di
sekolah! Trus, kamu nggak nerima telponku. Nggak bales pesanku! Aku khawatir
kamu kenapa-napa tahu! Udah! Jangan main rahasia-rahasiaan lagi!”
Daniel
menatap Luna, lalu Rania, dan kembali pada Luna.
“Nggak
penting buat dibahas sekarang, Cue. Ini bocah udah tahu tentang kita. Itu yang
penting!”
“Bukannya
squad Moon Kingdom juga udah tahu ya?
Tentang kita.”
“Itu
karena kamu keceplosan!”
“Hey!
Nggak ya! Sebelum aku gabung, kamu udah minta Jisung kasih tempat buat aku. Kita
sama-sama keceplosan tahu!”
“Maaf,
menyela!” Daniel menengahi. “Aku nggak tahu kalian lagi debat tentang apa. Aku
hanya ingin bilang, kalau rahasia kalian aman bersamaku. Aku jamin. Bukankah
kamu udah tahu tentang itu Luna? Rahasiamu dan Jihoon, sampai saat ini masih
aman bersamaku.”
“Luna
dan Jihoon? Mereka kenapa?” Rania kembali menggunakan bahasa Korea.
“Luna
nggak bilang ke kamu kalau dia dan Jihoon hanya pura-pura berpacaran?” Daniel
menatap Rania.
Rania
terkejut sampai mulutnya ternganga. “Cing! Apa-apaan sih, lu? Idup di Korea
segininya banget!” Rania kembali menggunakan bahasa Indonesia dan mendadak
menggunakan bahasa gaul.
“Ya,
Kang Daniel! Kenapa kamu ngomong soal itu?!” Luna mengabaikan protes Rania dan
menegur Daniel.
“Rania
sahabat kamu. Dia sangat mengkhawatirkan kamu. Baiknya dia emang tahu. Kenapa
main rahasia-rahasiaan ke sahabat? Kenapa pula kamu sembunyiin dia?” Daniel
merespon teguran Luna.
“Aku
nggak nyembunyiin Cue! Maksudku Rania. Aku hanya nggak ingin dia dibikin susah
kalau aku bilang dia sahabat baikku dari Indonesia.”
“Dibikin
susah kayak gimana? Linda baik-baik aja. Dia juga dari Indonesia.”
“Itu
karena Linda nggak ada hubungannya sama aku. Kebetulan aja kami sama-sama dari
Indonesia. Aku bukannya nggak mengakui Cue sebagai sahabatku. Aku hanya
menyembunyikan status hubungan dekat kami. Demi kebaikan dia. Itu aja!”
Hening.
Daniel dan Luna sama-sama diam setelah adu mulut. Rania melirik Daniel, lalu
beralih menatap Luna.
“Aku
nggak keberatan kok harus nyembunyiin status hubunganku sama kamu, Cing.” Rania
memecah keheningan. Ia tak menggunakan bahasa Indonesia agar Daniel bisa
memahami apa yang ingin ia sampaikan.
“Aku
tahu kamu pasti punya alasan. Karena kamu nggak mungkin ambil keputusan dan
tindakan tanpa ada alasan yang kuat. Terima kasih karena telah menjagaku.
Jaehwan bilang, kalau kamu minta dia bantu aku.” Rania masih menatap Luna yang
menundukkan kepala.
“Aku
nggak tahu alasan kamu apa sampai kamu bertindak segini jauh. Bukan tentang
aku, tapi hubunganmu dan Jihoon. Tapi, sekarang aku ada di sini. Kita akan
sama-sama sampai lulus SMA nanti. Bahkan, mungkin lebih dari itu. Kamu
nggak sendirian lagi, Cing. Ada aku.” Rania menyentuh pundak kiri Luna dan
mengusuknya.
“Kalau
kamu ada masalah, kamu bisa cerita ke aku. Mungkin aku nggak bisa bantu. Tapi,
nggak nutup kemungkinan solusi bisa kamu temukan saat kamu membuka diri dan berdiskusi
dengan orang lain, kan?”
Daniel
fokus pada Luna yang masih menundukkan kepala.
“Aku
memang masih baru di sini. Tapi, aku tetaplah Cue yang kamu kenal. Di sini aku
akan manut, nurut sama kamu. Tapi, maaf. Ada kalanya aku harus bertindak.
Seperti hari ini. Maaf karena ini membuatmu tak nyaman karena Kang Daniel
sampai tahu tentang kita.” Rania menatap Daniel.
“You have no to worry about him. He is a nice guy.
Everything will be fine. He help me so much.”
Luna akhirnya bersuara.
“I know. If he is not a nice guy, you will kick him out of
your life. You let him stay, I bet you like him so much.”
“I don't like him!” Luna
mengangkat kepala dan menatap Rania.
Rania
tersenyum. “You like him, but you love
him yet.”
Luna
terdiam.
“Or maybe you already love him but not sure for what you
feel.”
“Cue!”
“Sudah
malam.” Daniel menyela. “Aku nggak paham sama apa yang kalian omongin. Aku mau
pamit.”
“Gomawo,
Kang Daniel.” Rania berterima kasih. “Kita harus bekerja sama. Mulai sekarang.”
“Nee.”
Daniel mengangguk. Kemudian, ia kembali menatap Luna.
“Jangan
khawatir. Malam ini aku nginep sini. Besok Subuh bakalan dijemput sama papa.” Rania
meredam kekhawatiran Daniel.
“Baiklah.
Aku pergi.” Daniel bangkit dari duduknya, membalikkan badan, dan mulai berjalan.
Tapi, ia berhenti di dekat tangga dan kembali menghadap pada bangku tempat Luna
dan Rania duduk.
“Kemungkinan
permohonanmu untuk mencoba kerja paruh waktu di cafe tempatku bekerja akan
dikabulkan. Temanku menyampaikan keinginanmu pada Pak Manajer. Sepertinya beliau
tertarik. Jadi, siap-siap aja. Siapa tahu benar diterima.” Daniel tersenyum
pada Luna yang tercenung menatapnya. Ia pun berjalan menuruni tangga dan
menghilang.
Daniel
menghela napas saat sampai di ujung tangga terbawah. Ia mendongakkan kepala,
menatap sesuatu yang tentu saja tidak bisa di jangkau oleh pandangannya; Luna.
Daniel tersenyum. Lalu berjalan meninggalkan rooftop tempat Luna tinggal.
***
Luna
dan Rania terbaring di ruang tamu. Mereka menepikan meja dan menggelar kasur
lipat untuk tidur bersama. Lampu utama sudah dimatikan. Hanya tersisa lampu
tidur yang temaram. Keduanya tak banyak bicara sejak Daniel pergi dan mereka
memasuki rooftop.
Karena
Luna tak kunjung membalas pesannya, juga tak menerima panggilan teleponnya.
Rania merasa khawatir. Ia pun sedang di rumah sendirian. Mengingat surat
ancaman yang diterima Luna di sekolah, Rania pun panik. Rania pun nekat pergi
ke rooftop Luna dengan naik taksi. Saat
sampai, Rania tak sengaja bertemu dengan ibu pemilik rooftop. Beliaulah yang mengantar Rania ke rooftop. Rania lega melihat Luna baik-baik saja.
Rania
menghela napas. “Kalau kamu nggak mampu hidup sendiri di sini, kenapa kamu
nggak ikut balik ke Indonesia aja? Semua kebohongan itu untuk bertahan hidup?
Pertahanan diri? Dari apa?”
Luna
bergeming. Ia berbaring memunggungi Rania yang berbaring telentang, menatap
langit-langit ruang tamu.
“Kenapa
kamu nggak pernah cerita soal ini ke aku? Takut aku batal berangkat ke Korea?
Sekolah di mana-mana sama. Ada yang sok berkuasa, ada yang ditindas.” Rania
tiba-tiba bangkit dan duduk. “Apa kamu di bully? Cing!” Ia menggoyang lengan
Luna.
“Menjadi
mencolok di sekolah, bukan berarti membuatmu aman. Bukan mauku juga mencolok
dengan nilai Matematika 92. Terjadi dua kali pula. Di tahun ajaran baru.”
“Bener
juga sih. Trus, kamu di bully karena itu? Cerita dong, Cing! Ada gue di sini!”
“Jangan
khawatir. Aku baik-baik aja. Sejauh ini masih berjalan sesuai rencana. Aku juga
lega karena Daniel yang tahu tentang kita.”
“Gimana
dengan squad Moon Kingdom? Kamu
ingetnya Daniel doang!”
Luna
tersenyum getir. “Mereka orang baik. Nggak usah khawatir. Lagian lama-lama
bakal terbongkar juga kan tentang kita.”
“Aku
nggak nyangka otak dan pemikiranmu yang rumit itu sampai kamu bawa ke dunia
nyata.”
“Udah.
Tidur sana. Besok dijemput subuh lho!”
Rania
kembali merebahkan tubuhnya. “Kalau kamu balik ke Indo, belum tentu juga kamu
aman ya. Apa pun itu yang sedang terjadi padamu, keep strong. Bersabarlah.”
“Mm!”
Luna hanya bergumam.
“Benar
kata artikel. Sekolah di Korea nggak seindah di drama.”
“Di
Indo sekolah ndak seindah di sinetron juga kan?”
Rania
dan Luna tertawa bersama.
“Aku
yakin ada yang salah sama kamu dan Jihoon. Ketemu dah jawabannya. Ternyata
cuman sandiwara. Lagian Jihoon bego banget. Dia cakep dan terkenal, mau-maunya
pacaran sama kucing buluk macem kamu!”
“Cinta
nggak memandang fisik kali.”
“Emang
Jihoon cinta sama kamu?”
“Entahlah.”
“Justeru
nurut aku, Ha Sungwoon yang cinta sama kamu. Kamu nggak tahu sih gimana dia
merhatiin kamu pas di kebun kakeknya. Waktu kami metik selada berdua, dia juga
terus bahas tentang kamu. Trus nanya tentang kamu. Kenapa kamu nggak jadian
sama dia aja sih? Dia cakep dan baik.”
Luna
menutup telinganya dengan guling.
Rania
menghela napas. “Sorry. Selamat
tidur.”
Beberapa
menit kemudian, hening. Luna dan Rania sama-sama terlelap.
***
Luna
dan Seongwoo duduk di taman. Di bangku Luna biasa menghabiskan waktu. Luna
fokus pada binder di depannya. Sedang Seongwoo yang duduk di samping kanannya
diam sambil mengamati sekitar.
Seongwoo
menghela napas. “Melihat mereka, pasti mereka juga punya masalah ya. Walau
terlihat haha-hihi sana-sini.”
“Tiap
orang punya masalah. Aku dan kamu juga.” Luna tanpa mengalihkan fokusnya.
“Makasih
udah mau denger keluh kesahku.”
“Tapi,
aku nggak tahu harus bantu kamu apa.”
Seongwoo
tersenyum. “Nggak papa. Ada yang denger aja aku udah lega.”
“Kenapa
kamu nggak cerita ke teman cowok aja?”
“Teman
dekatku hanya Jisung. Dan, kamu tahu lah.”
Luna
tersenyum. “Rumit ya. Mau nunggu sampai kapan?”
“Entahlah.
Aku sendiri nggak yakin.”
“Kalau
ragu-ragu hasilnya bisa nggak baik lho. Baiknya ada yang memulai.”
“Tapi,
apa bisa diterima?”
“Bisa
aja sih. Walau butuh waktu.”
Seongwoo
diam. Merenungi usul Luna.
“Salah
satu memulai dan lainnya mengakhiri. Harusnya begitu. Biar jadi jelas. Tapi,
emang nggak mudah sih.”
“Aku
sih ngarepnya kamu mau bantu.”
“Posisiku
sulit. Baiknya kamu maju sendiri.”
Seongwoo
kembali menghela napas. Saat ia akan berbicara, ia melihat Sungwoon berlari
kecil ke arahnya. “Sungwoon ke sini.” Ia menoleh ke kiri dan mendapati Luna
masih fokus pada bindernya.
“Luna!”
Sungwoon sampai di bangku tempat Luna dan Seongwoo duduk. Ia pun duduk di
bangku seberang, berhadapan dengan Luna.
Sungwoon
tersenyum pada Luna yang mengangkat kepala dan menatapnya. “Perkembangan penyelidikan
kasus surat ancaman yang ditemukan di locker milik Mezzaluna.” Ia mulai
melapor.
Seongwoo
tersenyum meledek mendengar gaya bicara Sungwoon. “Ngomongnya biasa aja kenapa
sih?”
Sungwoon
mengabaikan Seongwoo. “Tim kami mencurigai beberapa orang yang berada di kelas
XI-E pada hari Sabtu dan Minggu. Kami mulai bergerak untuk penyelidikan lebih
lanjut.” Ia kemudian menyebutkan nama-nama orang yang sedang dicurigai dan
diselidiki. Lalu, ia bertanya apakah Luna mengenal mereka atau paling tidak
pernah berhubungan dengan mereka.
“Nggak
ada yang aku kenal. Kenapa kamu nggak berhenti aja sih?” Luna menjawab
pertanyaan Sungwoon.
“Nanggung.
Udah jalan juga. Biarin aku nemuin pelakunya. Kan udah aku bilang, bukan untuk
kamu. Tapi, untuk diriku sendiri. Kalau dibiarin, bisa-bisa dia lakuin ke murid
lain juga.”
“Mau
jadi pahlawan?” Seongwoo menyela.
“Aku
emang pahlawan.” Sungwoon membusungkan dada.
“Ya
ya ya. Preman budiman.” Seongwoo mengiyakan. Kemudian ia kompak tersenyum
bersama Luna.
Luna
berhenti tersenyum ketika ia melihat Rania berjalan bersama Jinyoung dan
Minhyun. Sepertinya mereka akan makan siang ke kantin.
“Rania
akrab ya sama Minhyun. Kamu nggak cemburu?” Seongwoo yang paham ke mana mata
Luna terfokus menggoda.
“Ngapain
Luna cemburu. Dia kan udah punya aku. Iya kan Luna?” Sungwoon mengerlingkan
mata kanannya.
Melihatnya,
Luna mendadak ingat pengakuan Rania semalam. Tentang Sungwoon yang mungkin saja
menyukainya.
“Hey!
Hey! Hati-hati! Luna pacarnya Park Jihoon!” Seongwoo mengingatkan Sungwoon
tentang status Luna.
“Aku
tahu! Boleh lah sampai hari ini status Luna adalah pacar Park Jihoon. Tapi apa
yang terjadi esok, kita nggak tahu kan? Jadi, aku juga punya kesempatan.
Hehehe.”
“Dasar
preman edan!” Seongwoo melihat Jisung berjalan mendekat. “Eung… Sungwoon, kita
ke kantin yuk?”
“Tahu
aja aku udah laper. Kalau nungguin Luna, cacing diperutku bisa-bisa
menggerogoti daging perutku.” Sungwoon langsung setuju.
Seongwoo
dan Sungwoon bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Luna. Saat berpapasan
dengan Jisung, hanya Sungwoon yang menyapa. Luna yang memperhatikan hal itu
hanya bisa menggelengkan kepala.
“Bisa-bisanya
mereka pergi makan duluan!” Jisung sampai di tempat Luna berada dan langsung
duduk di tempat Sungwoon sebelumnya duduk. “Luna, kamu nggak laper apa? Woojin
entah ke mana.”
“Sejak
kapan kita kudu makan bareng?”
“Ya,
biar seru aja.” Jisung tersenyum.
“Trus,
kamu ngapain ke sini? Kalau laper, buruan nyusul Seongwoo dan Sungwoon.”
“Nggak
ah! Seongwoo rada aneh sikapnya ke aku belakangan ini. Dia kenapa sih?”
“Mana
aku tahu. Yang temennya sejak SMP kan kamu.”
“Iya
juga sih.” Jisung lalu diam. “Nanti aja dah aku tanya. Oya, Jihoon udah bilang
tentang ide dialog yang dia punya ke kamu?”
“Udah
kami bahas. Liat ini.” Luna memberikan bindernya. Selanjutnya, ia dan Jisung
mendiskusikan naskah drama yang akan mereka pentaskan.
***
Jaehwan
dan Woojin bertemu di dekat basecamp
Klub Taekwondo. Jaehwan yang meminta bertemu. Hanya berdua saja.
“Kamu
pikir itu bakalan aman?” Woojin menuntut kepastian.
“Emang
kenapa kok nggak aman? Anggep aja ini reuni kita. Setelah kasus Bae Jinyoung
selesai.” Jaehwan yakin pada pilihannya.
“Kalau
gitu, kamu undang Taemin Seonbae juga dong. Kan reuni.”
“Kamu
mau aku pukul pakek sepatu?”
Woojin
nyengir.
“Rania
antusias banget. Pasti seru bakaran ikan di tempatku. Gitu katanya. Dulu Luna
sama keluarganya juga pernah makan-makan di tempat kami.”
Woojin
diam. Hanya mengedipkan mata. Dia tahu
nggak sih kalau Rania sama Luna itu sahabatan? Ia membatin.
“Aku
akan ngundang Rania sama Minhyun. Jinyoung, kamu, dan Luna. Kita ngumpul,
bakar-bakar ikan. Luna punya resep keluarga yang enak lho!”
Woojin
menelan ludah. Membayangkan enaknya makan ikan bakar buatan Luna. “Kalau gitu,
ajak Lucy juga.”
“Kamu
lapar ya? Dari tadi ngomongnya nggak masuk akal!”
“Kan
reuni. Jinyoung dan Lucy jadi bagian dari reuni. Ingat, mereka terduga
tersangka dan korban. Kita tim penyelidik dan pembela. Aku, kamu, Minhyun, dan
Luna. Pekerja lapangan. Rania… dia undangan. Anggep aja gitu.”
Jaehwan
memiringkan kepala menatap Woojin. “Mau kamu apa sih?”
“Nggak
ada. Kan reuni.” Woojin tersenyum lebar menunjukkan gigi gingsulnya.
“Ya
udah. Boleh. Tapi, gimana caranya ngajak Lucy?”
“Biar
Luna yang ngajak.”
“Bakalan
mau dia?”
“Hmm,
entahlah. Serahin aja ke aku. Ntar aku yang ngomong ke Luna.”
“Oke
deh.”
“Kok
aku khawatir soal Minhyun dan Luna ya?”
“Aku
juga iya sih. Tapi siapa tahu dengan kita ajak reuni ini, mereka jadi baikan.”
“Emang
mereka mau baikan?”
“Nggak
tahu juga sih. Hehehe.”
“Kamu
udah bilang ke Luna?”
“Belum
sih. Nanti rencananya. Kata Rania hari Minggu aja kita ngumpulnya.”
“Aku
sih oke aja. Ntar kalau kamu udah bilang ke Luna, kasih tahu aku. Baru aku minta
bantuan dia buat ngajak Lucy.”
“Oke.”
“Makasih
ya. Udah mau ngajakin aku. Hehehe.”
“Aku
sendiri nggak tahu kenapa pengen ngajak kamu.”
“Kita
kan satu tim. Reuni.” Woojin nyengir.
Jaehwan
menggelengkan kepala. “Aku mau makan. Barengan?”
“Boleh.”
Jaehwan
dan Woojin pun berjalan bersama menuju kantin.
***
“Jadi
hari Sabtu itu positif lho ya! Linda, aku jemput kamu ya?” Guanlin menuding
Linda dengan ujung sumpit di tangannya.
“Aku
bisa pergi sendiri kok.” Linda menolak.
“Nggak
papa. Kan satu jalur.”
“Kamu
nggak jemput Song Hami Seonbae?”
“Dia
maunya ketemuan di lokasi aja.” Guanlin tersipu.
Linda
turut tersenyum. “Seneng banget ya. Orang yang kamu suka, memiliki rasa yang
sama seperti apa yang kamu rasakan.”
“Emang
kamu nggak?”
“Aku
mengagumi orang yang tepat. Tapi, tidak bisa lebih dari itu.”
“Nggak
papa sih. Tuhan pasti nyiapin orang yang lebih kamu butuhkan. Bukan yang kamu
mau.”
“Gitu
ya?”
Daniel
meletakkan nampan di meja dan duduk bergabung. Guanlin dan Linda hanya
menatapnya. Daniel pun tak menyapa kedua teman sekelasnya itu dan langsung
makan.
“Dateng-dateng
nggak permisi dulu, langsung makan.” Linda mengolok.
Daniel
hanya tersenyum dan mengunyah makanan di dalam mulutnya.
Guanlin
tiba-tiba mengangkat tangan kanannya dan melambaikannya. Senyum terkembang di
wajah tampannya. Linda dan Daniel turut menatap kemana Guanlin terfokus. Daniel
tersedak ketika melihat Jisung berjalan mendekati meja tempat ia berkumpul
bersama Guanlin dan Linda. Ada Luna di belakang Jisung.
“Hello!
Hello!” Jisung meletakkan nampan di meja dan menyapa. Ia mengambil duduk tepat
di samping kanan Linda.
Luna
duduk di samping kanan Jisung. Daniel yang duduk di samping kanan Guanlin
meliriknya. Kenapa dia duduk di sana?
Bukan di sini. Dekat di depanku. Ia menggerutu dalam hati.
“Linda
sudah selesai makannya?” Jisung menyapa Linda dengan manis.
“Hampir.”
Linda tersenyum kikuk.
Luna
diam tak menyapa juga tak berkomentar. Ia langsung memakan makanannya. Melihatnya,
Daniel menghela napas dan melanjutkan makan.
“Seonbae,
jangan lupa hari Sabtu ya.” Guanlin mengingatkan.
“Beres!
Kamu yang traktir kan?”
“Iya.
Jangan mikir soal tiket masuk.”
“Sip!
Linda, Sabtu nanti aku jemput kamu ya.”
Linda
tersedak mendengar pernyataan Jisung. Ia segera mengambil gelas yang berada di
samping kiri dan meneguk isinya. Guanlin tersenyum melihat reaksi Linda. Sedang
Luna tetap tenang menikmati menu makan siangnya. Daniel mengamati Luna sambil
melanjutkan makan.
“Tadinya
aku mau jemput Linda. Kalau Seonbae mau ya nggak papa.” Guanlin mundur. Membuat
Linda mendelik padanya. Tapi, ia mengabaikan protes teman sekelasnya itu.
“Aku
aja yang jemput Linda. Kamu siapin diri aja.”
“Emang
aku mau ngapain?”
“Kencan
pertama kan?”
“Hehehe.”
Guanlin tersipu. “Jadinya ini triple date
ya?”
Tangan
Luna berhenti di udara. Ia tak jadi menyuapkan makanan ke dalam mulutnya selama
beberapa detik. Setelah kesadarannya kembali, ia kembali menggerakan tangannya
dan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Daniel yang terus memperhatikan Luna
menyadari reaksi gadis itu ketika Guanlin menyebut triple date.
“Kamu
dan aku, double date.” Jisung meralat
pernyataan Guanlin.
Linda
kembali tersedak karena ulah Jisung. Melihat air di gelas Linda habis, Jisung
pun memberikan gelas miliknya.
“Belum
aku minum kok.” Jisung tersenyum manis pada Linda. “Kamu dan cewek yang kamu
taksir bakalan jadi couple. Siapa
tahu aku dan Linda berjodoh.” Jisung tersenyum melirik Linda yang tertunduk. “Tapi,
Luna kan statusnya udah pacaran sama Jihoon.” Ia beralih menatap Daniel dengan
iba.
Luna
mengabaikan ocehan Jisung dan terus makan.
Daniel
tersenyum manis. “Siapa tahu aku dan Luna Seonbae juga berjodoh. Bisa aja kan
kalau Tuhan berkehendak?”
“Bener
banget.” Guanlin mendukung Daniel.
“Yang
terbaik buat kalian deh. Tapi, sainganmu Jihoon lho! Nggak takut apa?”
“Nggak.
Ngapain mesti takut?”
“Kamu
kurang cepat sih geraknya. Kalah deh sama Jihoon.”
“Itu
memang kesahalan terbesarku.” Daniel melirik Luna. Ekspresi menyesal itu
terlihat jelas di wajah tampannya.
“Kok
obrolannya jadi serius gini sih?” Linda yang menyadari bagaimana ekspresi
Daniel merasa tak enak. Ia menatap Luna yang bersikap dingin. Tiba-tiba ia
merasa benci pada gadis itu.
“Guanlin
tuh yang mulai!” Jisung menyalahkan Guanlin.
“Kalau
ada jodoh, Tuhan pasti ngasih kesempatan kedua buat Daniel. Iya, kan?” Guanlin
tersenyum lebar.
“Benar
sekali!” Jisung mendukung Guanlin. “Eh! Aku ngomong apa sih! Maaf ya Luna. Maaf
ya Daniel.” Ia segera meminta maaf.
Luna
bergeming. Daniel merespon permintaan maaf Jisung dengan senyuman tulus.
Melihat
sikap Luna, Linda semakin kesal. Sok
banget sih dia! Ia mengumpat dalam hati.
Luna
bangkit dari duduknya dan membawa nampannya. “Aku pergi dulu.” Ia berpamitan
lalu pergi.
“Seonbae,
Luna Seonbae kenapa?” Guanlin bertanya pada Jisung setelah Luna pergi. Daniel
dan Linda ikut menyimak.
“Lagi
banyak pikiran kayaknya. Kalian pasti tahu tentang video Daehwi dan Joohee. Itu
berdampak buruk pada Luna.”
“Kenapa
lagi?” Guanlin penasaran.
“Luna
dapat surat di locker-nya. Sebelas surat. Di antaranya ada surat ancaman.”
Jisung melirihkan suaranya.
“Surat
ancaman?” Linda bergumam. Ia menatap Daniel yang duduk tepat di hadapannya.
Pemuda itu tak bereaksi mendengar Luna mendapat surat ancaman.
“Iya.
Aku cerita ke kalian karena aku percaya kalian. Ini rahasia lho ya! Sungwoon
sedang mencari pelakunya. Luna bilang sih nggak usah. Tapi, Sungwoon tetap
maju.”
“Semoga
aja pelakunya segera ketemu.” Linda dengan tulus. Ia bergidik ngeri hanya
dengan membayangkan andai dirinya yang mendapat surat ancaman itu. Rasa
kesalnya pada Luna pun sirna.
“Aamiin…”
Jisung mengamini harapan Linda.
“Harusnya
dia nggak pura-pura kuat gitu.” Guanlin menggeleng heran.
“Luna?
Dia kan emang gitu orangnya. Selalu bertindak semaunya sendiri. Tapi, di
situlah keunikannya. Dia gadis yang baik. Hanya saja kadang terlalu tertutup.
Semua berusaha ia lakukan sendiri.”
“Bener
banget. Sikap yang kayak gitu yang sering bikin aku dan Amber sebel.”
Linda
dan Daniel diam. Hanya menyimak obrolan Jisung dan Guanlin.
***
Jam
pulang pun tiba. Jaehwan mendekati bangku Rania. Senyum menghiasi wajahnya yang
berpipi chubby. Jinyoung melirik Jaehwan, mengamatinya di sela merapikan
peralatannya.
“Rania,
hari Minggu jadi ya? Minhyun dan Jinyoung setuju gabung. Iya, kan teman-teman?”
Jaehwan menatap Minhyun, lalu Jinyoung.
Rania
turut menatap Minhyun, lalu menoleh untuk menatap Jinyoung. Jinyoung langsung
mengangguk dan tersenyum pada Rania. “Siapa aja yang jadi ikut?” Rania beralih
menatap Jaehwan.
“Kita
berempat, mungkin Woojin dan Luna juga akan gabung. Luna akan memasak untuk
kita.”
“Aku
udah nggak sabar. Udah lama nggak makan masakan dia.” Rania riang.
Minhyun
mengerutkan dahi mendengar ucapan Rania. Jinyoung pun menunjukkan reaksi yang
hampir sama dengan Minhyun. Ia merasa ada yang salah pada ucapan Rania.
“Emang
kapan kamu pernah makan masakan Luna?” Tanpa sungkan Jaehwan pun bertanya.
Minhyun dan Jinyoung kompak menatapnya dengan ekspresi puas. Merasa terwakili
untuk bertanya.
“Aku
bisa terlambat!” Rania bangkit dari duduknya dan buru-buru keluar kelas.
Meninggalkan Minhyun, Jaehwan, dan Jinyoung yang kebingungan.
“Minhyun,
nggak papa kan aku ngajak Luna? Ini kan reuni?” Jaehwan yang telah kembali pada
kesadarannya langsung meminta maaf pada Minhyun.
“Mm.
Nggak papa.” Minhyun mengangguk. “Belakangan aku mulai terbiasa berada dekat
dengannya.”
“Baguslah.
Lagian kenapa sih kamu sampai berantem tahunan gini sama Luna?”
Minhyun
tersenyum. “Aku pergi.” Ia pun meninggalkan kelas.
Jaehwan
beralih pada Jinyoung. “Gabung ya! Ada Woojin juga.”
Jinyoung
hanya menganggukkan kepala.
“Ya
udah. Aku pergi. Mau ketemu sama Luna. Aku belum ngomong langsung sih ke dia.
Semoga aja dia nggak nolak.” Jaehwan turut meninggalkan kelas.
Hanya
tersisa Jinyoung di kelas. Ia teringat pada celetukan Rania. Kalimat yang
diucapkan Rania lengkap dengan ekspresi riangnya melintas di benak Jinyoung. Ia
memiringkan kepala dan berpikir selama beberapa detik. Kemudian ia menghela
napas, menyangklet tasnya, dan pergi meninggalkan kelas.
Jaehwan
berlari kecil menuju bangku taman tempat Luna duduk menunggunya. Gadis itu tak
sendiri. Ada Woojin bersamanya.
“Kamu
ngapain di sini sama Luna?” Jaehwan langsung menegur Woojin saat sampai.
“Pengen
mastiin kalau hari Minggu nanti Luna gabung sama kita.” Woojin tersenyum manis.
“Emang
Luna nggak bisa?” Jaehwan duduk berseberangan tepat berhadapan dengan Luna.
“Bisa kan? Luna?” Ia beralih menatap Luna.
“Kalian
punya rencana apa sih?” Luna balik bertanya.
“Kata
Appa, ada baiknya ngajak kamu dan Rania ngumpul bareng di tambak. Bakaran ikan.
Omma juga udah kangen sama kamu. Eh, masakan kamu.”
“Hubungan
kalian sedekat itu?” Woojin yang duduk di samping kiri Luna menatap Luna, lalu
Jaehwan.
“Papa
Luna langganan kami. Appa akrab sama papanya Luna. Omma sama mamanya Luna juga
akrab. Itu aja.”
“Oo…”
“Luna,
kamu punya hubungan apa sama Rania?”
Bukan
hanya Luna yang terkejut mendengar pertanyaan Jaehwan. Woojin juga sama
terkejutnya.
“Rania
tadi bilang nggak sabar pengen makan masakan kamu. Katanya udah lama nggak
makan masakan kamu.”
Dasar, Cue! Bisa-bisanya dia keceplosan lagi! Luna memaki dalam hati.
“Luna,
kamu udah minta bantuan Hami?” Woojin segera mengalihkan topik.
“Hami?
Untuk apa?”
“Aku
pengen Lucy ikut.”
Kedua
mata bulat Luna melebar mendengarnya.
“Aku
ingin mendekatkan Lucy sama Jinyoung.” Woojin melirihkan suaranya.
“Edan
kamu?!” Jaehwan terkejut.
“Aku
yakin mereka dipertemukan karena suatu alasan. Kita bisa jadi jembatan.”
“Apa
itu nggak keterlaluan? Secara nggak sengaja status mereka tersangka dan korban
lho! Ide ini bisa memunculkan alibi korban perkosaaan yang dinikahkan sama
pelaku.”
Woojin
dan Jaehwan kompak melongo mendengar pendapat Luna.
“Kalian
nggak pernah baca berita tentang masalah itu? Ada kok.”
“Tapi
kan Lucy bukan korban perkosaan Jinyoung. Kan kamu yang buktiin!” Jaehwan
menggeleng heran.
“Tapi,
mereka dipertemukan karena kasus yang ya boleh dibilang seperti itu. Walau
memang pada akhirnya itu hanya salah paham.”
“Kamu
mikirnya kejauhan.” Woojin mengolok.
“Lagian
kenapa Lucy sih? Kamu tahu nggak, kayaknya Jinyoung mulai suka pada Rania.”
Luna
terkejut mendengar pengakuan Jaehwan. Untung saja Jaehwan sedang terfokus pada
Woojin. Hingga tak menyadari perubahan ekspresinya yang hanya sepersekian detik
itu.
“Aku
tahu. Jinyoung bilang Rania baik. Dia seneng karena gadis itu membuatnya merasa
sama dan normal kayak murid lain.” Woojin membenarkan.
“Trus,
kenapa malah mau kamu jodohin sama Lucy? Bukan sama Rania?”
“Jinyoung
nggak cocok sama Rania. Lagian Rania masih anak baru. Kasihan kalau dia harus
jadian sama Jinyoung yang reputasinya belum 100% diakui sebagai orang baik.”
“Ya!
Emang kamu Tuhan apa mau ngatur jodoh-jodoh orang?” Luna menegur Woojin.
“Bukan.
Tapi, ide ini datangnya dari Tuhan, kan? Aku hanya berusaha mewujudkannya. Belajar
dari kamu.” Woojin tersenyum lebar pada Luna.
“Dasar
kunyuk gingsul!” Jaehwan mengolok Woojin.
“Setidaknya
biarin aku mencoba. Kalau mereka nggak ada jodoh, Tuhan nggak mungkin bikin
mereka jalan kan? Jadi, tolong bantu aku. Biarkan Lucy ikut.”
Luna
dan Jaehwan sama-sama terdiam.
“Aku
sih terserah. Asal dia mau nggak papa ajak aja. Apa dia bakal nyaman sama
kita?” Jaehwan kembali bicara.
“Makanya
aku butuh bantuan Luna. Hami yang bisa bantu kita, kan?”
“Ngomong
sendiri sama Hami. Ribet tahu!” Luna ketus.
“Nggak
bisa kalau kamu nggak bantuin. Maksudku, aku bisa aja. Tapi, belum tentu Hami
setuju. Jadi, aku butuh kamu.”
“Jelas
aja Hami nggak setuju. Ide kamu gila tahu!” Jaehwan kembali menghujat Woojin.
“Luna, nurut kamu gimana?” Ia beralih pada Luna.
“I have no idea for that stupid thing!”
Lagi-lagi
Jaehwan dan Woojin kompak melongo menatap Luna.
“Kenapa
harus Lucy?” Luna menoleh dan menatap Woojin.
“Apa
kamu setuju kalau itu Rania.”
“Nggak.
Rania bisa cari gandengan sendiri. Ngapain kamu jodoh-jodohin? Kecuali kalau
Rania juga suka dan mau jalan sama Jinyoung. Itu nggak papa. Dia bisa usaha
sendiri.”
“Iya,
ini kunyuk gingsul! Kenapa Lucy sih?”
Woojin
menghela napas panjang. Ekspresinya berubah lesu. Luna dan Jaehwan menatapnya
dalam diam.
Luna
menghembuskan napas pelan. “kan aku coba ngomong ke Hami.”
Woojin
melongo, tapi kemudian tersenyum lebar. Sedang Jaehwan, melongo kaget.
“Tujuannya
baik. Siapa tahu emang mereka ada jodoh. Lagian Jinyoung bukan tipenya Rania.”
“Emang
kamu tahu tipenya Rania?” Jaehwan langsung mengajukan pertanyaan.
“Gomawo,
Luna. Tolong bawa Lucy aja. Selanjutnya, biarkan aku yang bekerja.” Woojin
terseyum manis.
“Kalau
gitu aku pergi.” Luna bangkit dari duduknya. Kemudian pergi meninggalkan Woojin
dan Jaehwan.
Jaehwan
menatap Woojin yang menatap Luna dengan senyum menghiasi wajahnya. Jaehwan
menghela napas dan menggeleng pelan.
***
Dengan
kepala tertunduk, Luna berjalan cepat menyusuri koridor. Dari arah berlawanan,
Daerin juga berjalan sendirian. Daerin menyipitkan mata, melihat Luna yang
berjalan cepat ke arahnya. Ia pun memelankan langkahnya. Ia dan Luna semakin
dekat, dan dekat. Daerin sudah bersiap untuk menghentikan Luna.
“Seonbae!”
Daehwi tiba-tiba muncul. Ia berlari untuk mengejar Luna.
Daerin
dan Luna sama-sama dibuat terkejut oleh suara Daehwi. Luna mengangkat kepala,
menghentikan langkahnya, dan membalikkan badan. Daerin mengepalkan kedua
tangannya karena kesal. Kecepatan langkahnya bertambah. Saat melewati Luna dan
Daehwi, ia sama sekali tak melirik ke arah kanan.
Luna
menerima buku yang diberikan Daehwi. Ketika ia melihat sampul buku itu, Daerin
melintas. Luna pun sedikit mengangkat wajahnya, menyeringai pada Daerin yang
tak meliriknya.
“Terima
kasih, Daehwi.” Luna menggoyang buku di tangannya. Karena malas ke
perpustakaan, ia meminta bantuan Daehwi untuk meminjamkan sebuah buku untuknya
mengerjakan tugas.
“Sama-sama.
Seonbae mau langsung pulang?”
“Mm.”
Luna mengangguk.
“Ya
udah. Hati-hati di jalan, Noona.”
Luna
tersenyum dan mengangguk. “Aku pergi.” Ia pun melanjutkan perjalanannya.
Luna
berjalan menuju gerbang dengan langkah sedang. Tangan kanannya sibuk dengan
ponsel. Hingga ia tak menyadari kehadiran Jihoon yang tiba-tiba berjalan di
samping kanannya.
Aku pulang duluan. Maaf ya ^_^
Luna
membaca pesan dari Daniel. Ia menghela napas pelan dan menyimpan kembali
ponselnya. “Oh! Jihoon?” Luna baru menyadari keberadaan Jihoon di samping
kanannya.
“Aku
anter kamu pulang. Naik bus.” Jihoon tersenyum manis.
“Naik
bus?”
“He’em.
Aku udah bilang hari ini nggak usah di jemput ke sekolah. Aku pengen pulang
bareng sama kamu. Naik bus.”
Luna
tersenyum dan menggeleng. Ia kemudian teringat pesan Daniel yang minta izin
pamit duluan. Apa gara-gara Jihoon?
Jadinya dia pulang duluan?
“Ini
pertama kalinya aku naik angkutan umum.”
“Masa?
Ya ampun! Miris banget. Tapi, hidup kamu nggak akan sia-sia kok. Karena, hari
ini kamu akan merasakan gimana serunya naik angkutan umum.”
“Sepertinya
seru. Apalagi kalau sampai berdiri.” Jihoon tersenyum antusias.
“Seru
apanya. Capek tahu! Kalau kondisi bus ramai, harus ekstra hati-hati juga. Ngeri
kalau harus berdiri deket-deket sama penumpang laki-laki.”
Jihoon
menoleh dan memperhatikan Luna.
“Aku
aja yang mikirnya keterlaluan. Takut ada pelecehan seksual di kendaraan.”
“Pernah
liat?”
“Nggak
secara langsung sih. Ketemu korbannya, nangis di halte. Katanya habis dilecehin
di bus yang dia tumpangi. Dia nggak berani teriak.”
“Itu
di bus di jalur ke sekolah?”
“Untungnya
bukan. Udah lama kok. Waktu keluargaku masih tinggal di sini.”
“Naik
bus terlalu beresiko, gimana kalau aku antar jemput kamu?”
“Aku
bukan anak kecil tahu! I'm fine. Kamu
nggak perlu khawatir.”
“Aku
tahu gadisku ini memang gadis yang tangguh. Kalau nggak, nggak mungkin dia
nyampek ke Simni Cherry Blossom Road
sendirian.”
Mendengarnya
Luna merasa tak nyaman. Ia heran pada apa yang dirasakannya. Bukankah
seharusnya pujian itu membuatnya bahagia. Tapi, ia justeru merasa sebaliknya;
tak nyaman.
Jihoon
dan Luna sampai di halte. Keduanya duduk untuk menunggu datangnya bus.
Sama-sama terdiam. Luna sedikit menunduk. Tatapannya tertuju pada trotoar.
Tapi, kosong. Sedang Jihoon, menatap kendaraan yang lalu lalang di jalan.
“Busnya
datang!” Jihoon antusias. Sampai bangkit dari duduknya.
Luna
mendongak, mengamati Jihoon yang berdiri menjulang di samping kanannya. Ia
tersenyum pada monster imut itu. Kemudian bangkit dan berdiri di sampingnya.
Menunggu bus berhenti.
Saat
bus berhenti, Luna lebih dulu masuk. Beruntung kondisi bus tak padat. Ada kursi
kosong yang kemudian ia duduki bersama Jihoon. Bus mulai melaju, Luna menoleh
ke arah kanan demi melihat reaksi Jihoon. Senyum terkembang di wajah tampan
Jihoon. Bahkan, mulutnya sampai terbuka karena merasa kagum pada perjalanan
pertamanya naik angkutan umum. Ia mengamati keluar jendela.
“Aku
memberimu posisi yang tepat?” Luna menyela kekhusyukan Jihoon.
“Nee.
Gomawo.” Jihoon masih menatap takjub pemandangan di luar jendela.
Luna
turut menatap keluar jendela. “Bukankah seharusnya sama? Baik dari sini atau
dari dalam mobilmu.”
“Aku
tidak pernah memperhatikan keluar jendela sebelumnya.”
“Lalu,
apa yang kamu lakukan saat di dalam mobil?”
“Bermain
game.”
“Kebiasaan
kaum adam.”
“Tapi,
aku punya kebiasaan baru.”
“Apa
itu? Membaca?”
“Anee.
Menonton video Mezzaluna.”
Luna
tersenyum kecil menanggapinya.
“Kapan-kapan,
ayo kita melakukan perjalanan berdua. Seperti ini. Ajak aku bermain-main seperti
yang kamu lakukan sebelumnya.”
“Nanti
kamu malah merepotkan.”
“Aku
akan jadi anjing penurut. Peliharalah aku. Dan, ajak aku jalan-jalan.” Jihoon
mengangkat kedua tangannya sejajar dada dan berakting seolah ia adalah anak
anjing. Tingkahnya benar-benar cute.
“Aku
takut pada anjing.”
Jihoon
menurunkan tangannya. Ia kemudian terseyum riang dan kembali bertingkah cute. “Kalau begitu, aku adalah kelinci
yang lucu!” Jihoon meletakkan kedua tangannya di kepala. Mencoba menirukan
telinga kelinci. Ia pun berusaha tampil seolah memiliki gigi kelinci.
Luna
tersenyum lebar. Tapi, perlahan senyum itu memudar. Ia teringat pada Daniel
yang pernah berakting menjadi kelinci di depannya. “Aku tidak pandai memelihara
binatang.” Ia berusaha mengalihkan rasa canggungnya sendiri.
Jihoon
menurunkan tangannya. “Kalau begitu, aku akan jadi Park Jihoon yang penurut.
Jadi, tolong jaga aku.”
Jihoon
menatap Luna dengan tatapan teduh. Senyum samar yang terkembang di wajahnya,
membuat pemuda itu semakin mempesona. Luna yang balas menatap Jihoon kembali
merasakan panas di wajahnya. Reaksi yang sangat ia benci ketika Jihoon bersikap
manis di depannya. Ia pun meluruskan posisi kepalanya dan menatap ke depan.
Namun, ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Jihoon
benar-benar tersenyum melihat tingkah Luna. Ia pun beralih menatap keluar
jendela. “Aku tidak pernah tahu jika pemandangan di luar jendela bus bisa
begini bagus.” Gumamnya yang tak mendapat respon dari Luna.
***
Jihoon
dan Luna mulai berjalan menuju rooftop
tempat tinggal Luna.
“Kamu
nggak papa jalan kaki? Lumayan jauh lho!” Luna memulai obrolan.
“Kenapa
kamu nggak bilang kalau ada anjing yang bikin kamu takut?” Jihoon balik
bertanya.
“Aku
masih bisa mengatasinya sendiri. Lagi pula sekarang Bogi udah nggak ada.”
“Lain
kali, kalau butuh bantuan, bilang padaku. Jangan gengsi.”
“Siapa
juga yang gengsi. Kalau aku gengsi, mana mungkin kita sampai sejauh ini?
Mengambil resiko dengan pura-pura jadi couple.”
“Benar
juga. Kamu nggak gengsi, tapi kamu gila.”
Luna
tersenyum mendengarnya.
“Pelaku
belum ditemukan ya? Yang ngirim surat ancaman.”
“Sebenarnya
aku nggak terlalu tertarik juga sih.”
“Pasti
udah ada yang kamu curigai. Aku yakin itu.”
“Itu
rumah tempat Bogi dulu tinggal.” Luna mengalihkan obrolan. Ia menunjuk rumah
merah maroon tempat Bogi dulu
tinggal. Kemudian, Luna menceritakan kisah konyol bersama Woojin dan Jaehwan.
Ia tak lupa menunjukkan posisi selokan tempat Jaehwan terjatuh. Selokan itu
sudah selesai direnovasi. Lubang yang membuat Jaehwan terjatuh sudah tertutup
cor.
Luna
dan Jihoon sampai di teras rooftop.
“Mau
masuk dulu?” Luna menawari Jihoon untuk mampir ke gubuknya.
“Lain
kali aja. Paman udah nunggu di bawah.”
“Makasih
ya. Udah nemenin aku, nganter aku pulang.”
“Lain
kali kita lakukan lagi. Tapi, nggak sering-sering. Nanti kamu bosan.”
Luna
tersenyum manis.
“Lalu,
kapan kamu akan ngajak aku jalan-jalan naik angkutan umum?”
“Yang
pasti nggak dalam waktu dekat ini. Aku sibuk banget.”
“Liburan
musim panas nanti? Setelah festival sekolah usai. Bagaimana?”
“Kita
bisa membicarakannya nanti.”
Jihoon
tersenyum dan mengangguk. “Aku pergi. Sampai ketemu besok.” Jihoon membalikkan
badan dan berjalan tanpa menoleh lagi.
Luna
menghela napas. Berbalik untuk membuka pintu, lalu masuk ke dalam rooftop-nya.
Usai
membersihkan diri, Luna merebahkan diri di sofa ruang tamu. Ia diam menatap
langit-langit ruang tamu. Menerawang jauh selama beberapa menit. Ia menghela
napas panjang, lalu meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja. Di amatinya
foto Jisung dan Linda yang berjalan bersama. Foto itu di ambil dari belakang.
Luna
kembali menghela napas panjang dan terdiam. Memikirkan banyak hal yang memenuhi
kepalanya. Ia pun menegakkan badan dan menyalakan laptopnya yang berada di atas
meja. Ketika menunggu laptop itu siap, ponsel Luna bergetar. Sebuah panggilan
video dari Aro.
“Lagi
nyantai, Mas?” Luna menyapa saat wajah Aro muncul di layar ponselnya.
“He’em.
Kamu lagi ngapain?”
“Baru
pulang. Ini lagi ngaso aja.”
“Udah
makan?”
“Udah
di sekolah tadi. Masih kenyang.”
“Everything good, Dear?”
“Kenapa?
Mas liat something bad about me?”
“Jangan
terlalu lelah ya. Ingat, kamu punya keterbatasan. Nggak mungkin semua bisa kamu
kerjain.”
Luna
tersenyum dan mengangguk. “Aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan.”
“Tapi,
kamu mengambil sedikit lebih banyak. Jangan serakah.”
Luna
menghela napas panjang. “Apa karena itu, Tuhan jadi mengubah sedikit dari
skenario yang aku buat?”
“Bukannya
kamu ngajak Tuhan buat kerjasama?”
“Iya
sih.”
“Nah,
Tuhan udah ambil bagian tuh.”
Luna
terdiam. Merenungi ucapan Aro. Apa yang dikatakan kakak sulungnya itu benar
adanya.
“Tuhan
nggak akan selalu memberi apa yang kamu minta. Karena Tuhan tahu, apa yang kamu
minta belum tentu yang kamu butuhkan. Poin pentingnya, apa yang kamu minta,
belum tentu yang terbaik buat kamu. Karenanya, Tuhan selalu mengambil langkah
untuk menyelamatkanmu.”
“Jadi,
semua itu untuk menyelamatkanku?”
“Hanya
kamu yang tahu jawabannya.”
Luna
kembali diam selama beberapa detik. “Mas…”
“Mm?”
“Nggak
deh.”
“Kenapa?”
“Nggak
jadi.”
“Mereka
semua baik kok. Tapi, pasti ada satu yang terbaik.”
Luna
terkejut mendengarnya. Aro tersenyum melihat reaksi adik bungsunya.
“Kamu
masih muda, Dek. Nikmati aja apa yang ada. Mas sih ngarepnya kamu nggak usah
pacaran-pacaran dulu. Fokus sama sekolah aja dulu. Tapi, kalau emang fase yang
kudu kamu lewati kayak gini, ya jalani aja.”
“Mas
tahu aku pac—,” Luna tak melanjutkan ucapannya. Aro bisa tahu apa saja yang ia
mau tahu karena kelebihan indera keenamnya. “Sayang banget kan kalau nggak
diambil. Cowok di sekolahku cakep-cakep. Kayak idol.”
“Jangan
lupa buat Cue.”
“Dia
mah bisa nyari sendiri. Dia kan ada di kelas artis.”
“Lebih
enak mana? Sembunyi-sembunyi apa kayak sekarang?”
“Cue
aktingnya nggak bagus! Keceplosan mulu! Kan nggak seru jadinya!”
Aro
menertawakan tingkah Luna. “Kejutan yang dikasih Tuhan itu biar kamu makin
pinter. Rahasia Cue terbongkar, kamu jadi mikirin cara baru untuk membuat Cue
aman. Itu bikin kamu tambah pinter kan? Lihat segi positifnya pada setiap
peristiwa. Maka, semua akan baik-baik aja. Kamu pasti bisa mengatasinya, mm?”
Luna
tersenyum dan mengangguk.
“Kamu
tadi mau ngapain?”
“Mau
ngerjain tugas.”
“Ya
udah. Mas tutup ya.”
“Makasih,
Mas.”
“Mas
sih lebih mantap ke insial D.”
Luna
tercenung menatap layar ponselnya. Aro tersenyum, melambaikan tangan. Kemudian,
panggilan video itu pun berakhir.
Luna
mengerjapkan kedua matanya. Kesadarannya telah kembali. “Inisial D??” Ia pun
mengetik pesan dengan cepat. Pesan untuk Aro. Ia menuntut penjelasan Aro
tentang pernyataan terakhirnya sebelum panggilan video itu berakhir. Luna
menggigit pojok atas ponselnya. Harap-harap cemas menunggu balasan Aro.
***
0 comments