Istri Untuk Anakku (Ending)
04:28
Istri
Untuk Anakku
Ketika hati mencintai seseorang,
namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
“Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu
yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah. Dari belum kawin menjadi kawin. Aku
memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak
gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih
pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di
wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan
keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini
amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi
suamiku.”
***
Akhir Dari Kisah
Cinta Terlarang.
“Mereka tiba semalam,” Puspita
mengantar teh untuk Karyo. Ia diam sejenak, mengamati reaksi sang ayah. “Galih
ingin ketemu Bapak.” Ia menambahkan.
“Mm.” Karyo hanya menggumam sebagai
respon atas kabar yang disampaikan Puspita.
“Galih dan Galuh semalaman menjaga
Eyang. Mereka menolak untuk istirahat. Pagi ini, Catur, Panca, Gendis, dan
Ragil sangat senang melihat Galuh kembali.”
Karyo menghela napas panjang. “Apa kita
bisa menanggung semuanya? Masalah yang pasti akan muncul setelah berita
kembalinya Galih tersebar.”
“Orang-orang itu? Sejak kapan Bapak
takut pada mereka? Tidak akan ada habisnya kalau kita menuruti omongan
orang-orang yang sirik dan membenci kita. Karena mereka tidak akan pernah puas.
Sekuat apa pun kita berusaha, akan selalu salah di mata mereka. Bapak bukan
orang yang lemah. Aku yakin Bapak dan juga kita semua pasti bisa menghadapinya.
Bapak orang kuat yang disegani dan punya banyak pendukung. Eyang juga pasti
akan bertahan sampai akhir. Aku yakin itu.”
Karyo menatap Puspita. Namun, ia tak
berkomentar apa-apa. Puspita tersenyum, lalu pamit dan pergi meninggalkan ruang
kerja Karyo.
***
Karyo bertahan. Seolah ia benar tak
ingin bertemu Galih, Harto, dan Galuh. Hal itu membuat Galih, Harto, dan Galuh
merasa tak nyaman di rumah mereka sendiri. Namun, Harto meminta Galih dan Galuh
untuk kuat dan tetap bertahan. Semua itu demi Lasmi. Karena Lasmi lah tujuan
yang membuat mereka kembali.
Secara bergantian, Galih, Galuh, dan
Harto menemani Lasmi. Galih menceritakan banyak hal indah kepada Lasmi. Ia
berharap Lasmi segera sadar dan kembali sehat seperti sebelum ia pergi
meninggalkan rumah.
Galih dan Karyo tak sengaja berpapasan.
Tentu saja Galih merasa gugup. Tapi, ia berusaha tenang dan bersikap normal. Ia
menghentikan langkahnya dan menunggu Karyo yang sedang berjalan ke arahnya.
Ketika Karyo melintas di depannya,
Galih pun memanggil, “Pp-pak.” Ia tergagap karena gugup.
Karyo menghentikan langkahnya. Namun,
ia tak merubah posisinya. Ia tetap memunggungi Galih.
“Kita perlu bicara.” Galih berbicara
dengan hati-hati.
“Setelah eyangmu sembuh.” Karyo kembali
berjalan.
Galih menghela napas dan memandang
punggung Karyo yang berjalan meninggalkannya.
Skenario Tuhan kali ini sangat unik.
Setelah tak sengaja berpapasan dengan Galih, saat datang ke kamar Lasmi, Karyo
menemukan Galuh sedang berada di sana.
Melihat Karyo tiba-tiba muncul, Galuh
pun gugup dan salah tingkah. Ia bangkit dari duduknya, berdiri menjauh dan
menundukkan kepala. Tak berani menatap Karyo.
“Aku ingin berdua saja bersama Ibu.” Karyo
meminta Galuh pergi.
Galuh bergidik mendengar suara Karyo
yang berat dan tegas. Tanpa bicara, tanpa mengangkat kepala, ia pun bergegas
pergi dari kamar Lasmi.
Karyo menghela napas setelah Galuh
menghilang. Ia pun duduk di kursi yang disediakan di samping ranjang Lasmi. Ia
menggenggam tangan Lasmi dan mengecupnya.
“Mereka sudah kembali. Apa gunanya
mereka kembali jika Ibu tetap seperti ini? Aku mohon, bangunlah. Kau sudah
tidur terlalu lama, Ibu…” Karyo membenamkan wajahnya di dekat lengan Lasmi.
***
Tanpa lelah Galih dan Galuh menemani
Lasmi yang masih terbaring tak sadarkan diri. Kadang mereka menjaga Lasmi
bersama, kadang bergantian. Hari ketiga setelah kepulangan mereka. Galih
membantu Galuh membawa keyboard ke
kamar Lasmi. Ide itu muncul semalam di kepala Galuh. Mungkin saja musik bisa
membantu Lasmi agar segera kembali sadar setelah empat hari koma.
Galuh menatap Lasmi yang terbaring tak
sadarkan diri. “Bismillah.” Ia berbisik, lalu mulai memainkan keyboard di
hadapannya.
Kala itu Lasmi pernah meminta Galuh
memainkan keyboard untuknya. Galuh
kembali memainkan musik instrumen yang pernah ia mainkan di depan Lasmi yang
masih sehat. Lasmi menyukai alunan musik itu karena membuat perasaannya tenang
dan bahagia. Galuh berharap, setelah ia memainkan kembali alunan musik itu,
Lasmi akan bangun dari tidurnya dan tersenyum seperti saat Lasmi menyambut
kedatangannya. Senyum tulus dan penuh kebahagiaan.
Galih duduk di kursi di tepi ranjang.
Menggenggam tangan sang nenek. Puspita dan Harto juga ada di dalam kamar Lasmi.
Sembari mendengarkan alunan musik yang dimainkan Galuh, mereka memanjatkan doa
dalam hati. Doa agar Lasmi segera bangun dari tidur panjangnya.
Sambil memainkan keyboard, di dalam hati Galuh pun berdoa yang terbaik untuk Lasmi.
Anak yatim piatu itu rela menukar semua yang ia punya demi kesembuhan Lasmi dan
demi kembalinya kebahagiaan dalam keluarga besar Lasmi. Hal itu membuatnya
menitikan air mata. Ia memejamkan mata, tetap memainkan keyboard, dan terus memanjatkan doa.
Keajaiban itu pun terjadi. Sampai pada
separuh lagu di permainan ketiga, tangan Lasmi yang sedang dipegang Galih
tiba-tiba bergerak. Galih yang merasakannya pun terkejut.
“Tangan Eyang bergerak!” Seru Galih
menyita perhatian semua orang yang sedang berada di dalam kamar Lasmi. Termasuk
Galuh yang sedang memainkan keyboard.
Galuh juga terkejut. Tapi, ia menahan
diri untuk tak menghentikan musik yang sedang ia mainkan. Jemarinya terus
menari di atas tuts-tuts keyboard.
Air matanya meleleh semakin deras.
Puspita dan Harto pun mendekati ranjang Lasmi. Sedang Galih
masih memegang tangan kanan Lasmi yang sebelumnya bergerak. Tak lama kemudian,
Lasmi mulai membuka mata. Ia pun terbangun dari tidur panjangnya.
Dokter yang bertanggung jawab atas
Lasmi selesai melakukan pemeriksaan ditemani dokter keluarga Karyo. Dokter itu
menyatakan bahwa keajaiban telah membawa Lasmi kembali. Keluarga besar Sukaryo
pun bahagia mendengarnya.
Setelah dokter selesai memeriksa, Galih
mendekat dan memeluk Lasmi. Lasmi balas memeluk Galih dan meluapkan tangisnya.
Ia memeluk erat cucu kesayangannya itu. Ketika melepas pelukannya pada Galih,
Lasmi meminta Galuh mendekat. Galuh pun menurut dan mengambil tempat Galih
sebelumnya duduk. Lasmi pun memeluk Galuh, lalu mencium kedua pipi gadis itu.
Lasmi senang melihat cucu-cucunya telah kembali pulang.
***
“Aku tidak butuh ini semua. Kalian
sudah kembali. Kalian lah obatku. Aku akan segera sehat seperti sedia kala.” Lasmi
tersenyum tulus pada Galih, Galuh, dan Karyo yang duduk berjajar di kursi di
tepi ranjangnya. “Terima kasih. Karena kalian mau kembali demi aku.”
Lasmi beralih menatap Ima dan Anjar
yang berdiri di belakang Galih, Galuh, dan Harto. “Ima, Anjar. Terima kasih.
Terima kasih telah menemani anak dan cucu-cucuku di masa sulit mereka.”
Ima dan Anjar kompak tersenyum merespon
ucapan terima kasih Lasmi.
“Kalian tidak akan pergi meninggalkan
aku lagi kan?”
Galih, Galuh, Harto, Ima, dan Anjar
terdiam. Mereka tak ingin pergi. Tapi, mereka pun ragu. Masih ada kah ruang
bagi mereka di rumah itu, di desa itu. Mereka pun tertunduk. Tak ada satu pun
yang bisa memberi jawaban atas pertanyaan Lasmi. Suasana berubah hening selama
beberapa detik.
“Mereka akan tetap tinggal!” Suara
berat dan tegas itu memecah keheningan.
Semua menatap ke arah pintu yang
merupakan sumber suara berada. Karyo sudah berdiri di ambang pintu dengan
tangan tersimpan rapi di balik punggungnya. Pria gagah dan penuh wibawa itu
tidak berdiri dengan wajah penuh keangkuhan lagi. Wajahnya terlihat lelah
dengan butiran bening yang memenuhi kedua matanya. Seperti rintik hujan yang
siap jatuh ketika langit mendung. Ia pun berjalan memasuki kamar Lasmi.
“Mereka tidak akan pergi meninggalkan
Ibu lagi. Mereka akan tinggal di sini. Bersama kita.” Karyo berdiri di sisi
kiri ranjang. Berseberangan dengan Galih, Galuh, dan Harto yang sudah bangkit
dari duduknya. Ia pun menatap Galih, lalu Galuh dengan senyum samar di wajah
lelahnya.
Galih berjalan mendekati Karyo, lalu
berlutut di samping Karyo. “Maafin Galih, Pak. Galih mohon ampun.” Ia menunduk
dan menangis. Benar-benar meminta ampunan pada Karyo.
Karyo membungkuk, memegang kedua bahu
Galih dan menuntunnya untuk berdiri. Karyo menggeleng dan mengusap air mata
yang mengalir deras dan membasahi pipi Galih. Galih pun memeluk Karyo erat
sambil terus mengucap kata maaf.
Karyo membalas pelukan Galih. Ia
mengusuk punggung Galih. “Bapak yang seharusnya minta maaf padamu, Nak. Karena
bapakmu ini tega membiarkanmu pergi dan hidup menderita di luar sana. Ibumu
marah pada bapak. Tolong maafkan bapakmu ini, Nak.”
“Nggak, Pak. Bapak nggak salah. Galih
yang salah.” Galih masih menangis tersedu.
Semua yang ada di dalam kamar Lasmi pun
dibuat terharu hanya dengan melihat bagaimana Karyo dan Galih berpelukan dan
saling meminta maaf. Galuh duduk di tepi ranjang dan merangkul Lasmi yang
menagis. Lasmi pun memeluknya. Lalu keduanya menangis bersama.
Harto dan Anjar pun tak bisa membendung air mata mereka.
Karyo melepas pelukannya pada Galih
ketika Harto mendekat. Ia beralih memeluk Harto dan juga meminta maaf. Selesai
dengan Harto, Karyo pun menyalami Anjar dan Ima. Hingga ia sampai di depan
Galuh yang berdiri di dekat ranjang. Karyo berdiri diam, menatap Galuh yang
tertunduk di hadapannya.
“Kenapa kamu menunduk, Teman?” Karyo
menyapa Galuh. “Beginikah caramu menyapa teman yang lama tak kau temui?”
Galuh perlahan mengangkat kepalanya.
Air matanya masih mengalir deras. Ia hanya bisa menyatukan kedua tangannya dan
mengangkatnya sebagi tanda permintaan maaf.
Karyo tersenyum. Tangan kanannya
bergerak dan mengelus puncak kepala Galuh. Karyo meraih tangan kanan Galuh dan
menuntunnya. Ia membawa Galuh mendekati Galih dan meminta gadis itu berdiri di
samping kiri putranya. Karyo menyatukan tangan kiri Galih dan tangan kanan
Galuh. Lalu, ia menutup kedua tangan itu dengan tangannya. Karyo tersenyum
tulus pada Galih dan Galuh.
Galih kembali memeluk Karyo. Karyo
membalas pelukan Galih dan turut menangis. Ia sudah tak kuat untuk membendung
air matanya.
Lasmi tersenyum dan mengusap air mata
yang terus meluncur menuruni pipinya yang telah keriput. Ia bahagia.
Benar-benar bahagia. Pada akhirnya anak dan cucu-cucunya yang pergi telah
kembali pulang. Ia bahagia karena Karyo menepati janjinya. Karyo akan
menceraikan Galuh dan membiarkan gadis itu hidup berbahagia bersama Galih.
***
Hampir terjadi bentrok antara warga
pendukung Karyo dengan massa yang berdemo di depan rumah Karyo. Untung polisi
bertindak cepat mengatasi kerusuhan itu. Entah siapa yang melakukan provokasi
hingga membuat massa berkumpul di depan kediaman Karyo dan menuntut keadilan
pada Karyo. Mereka menuduh Galih dan Galuh berzina. Mereka juga menuduh Karyo
melindungi Galih dan Galuh yang membuat malu seluruh desa.
Karyo keluar untuk menemui massa yang
berdemo di depan kediamannya. Harto dan Anjar menemaninya. Ada beberapa bodyguard yang turut mengawal Karyo.
Ketika Karyo muncul, massa pun mulai tenang. Tak saling dorong dengan warga
pendukung Karyo dan polisi. Kemudian, orang-orang dari pihak lawan mulai
bersuara. Menuntut keadilan pada Karyo atas tindakan memalukan yang dilakukan
Galih dan Galuh.
“Saya mengucap terima kasih karena
perhatian dari Anda sekalian pada keluarga saya. Saya minta maaf, karena
masalah keluarga saya sampai membuat Anda sekalian resah dan tidak nyaman.
Kebetulan sekali hari ini Anda sekalian datang dan berkumpul di sini. Di saat
saya ingin memberikan penjelasan tentang masalah pelik yang sedang dihadapi
keluarga saya.” Karyo kemudian mengangkat kertas di tangan kanannya.
“Ini adalah hasil pemeriksaan dokter
pada Galuh. Di sini dinyatakan bahwa Galuh Widati masih perawan! Tuduhan Anda
sekalian tidak lah terbukti. Jadi, tolong hentikan menyebarkan fitnah bahwa
anak saya Galih, berzina dengan istri saya Galuh.”
Massa yang berkumpul ribut sendiri.
Saling berkomentar tentang pernyataan Karyo. Suara mereka terdengar seperti
dengung kawanan lebah.
“Satu lagi!” Karyo kembali meminta
perhatian massa. Ia pun mendapatkannya karena massa kompak diam dan kembali
memperhatikannya. “Saya dan Galuh dalam proses perceraian. Saya menceraikan
istri saya, Galuh Widati. Saya merestui hubungan kasih yang terjalin antara
anak saya Galih dan istri saya Galuh. Setelah proses perceraian kami selesai, saya
akan menikahkan Galuh dengan anak saya Galih. Saya akan menikahkan anak saya,
Galih Triadi Sukaryo dengan Galuh Widati.” Karyo menegaskan.
Seorang warga pendukung Karyo tiba-tiba
bertepuk tangan. “Juragan Sukaryo, hebat!” Ia berseru memberi dukungan.
Para pendukung Karyo lainnya pun
menyusul bertepuk tangan dan bersahutan bersorak untuk mendukung Karyo.
Karyo, Harto, dan Anjar pun tersenyum
melihat reaksi para pendukungnya. Sedang massa yang menuntut keadilan hanya
bisa diam menyaksikan aksi para pendukung Karyo.
***
Karyo menceraikan Galuh. Ia memberi
izin dan restu pada gadis itu untuk kembali pulang ke rumahnya. Setiap sore,
Catur, Panca, Gendis, dan Ragil datang untuk belajar di rumah Galuh bersama
anak-anak lainnya.
Pernikahan Galih dan Galuh digelar satu
setengah tahun kemudian. Setelah pernikahan Puspita. Galuh kembali diterima di
dalam rumah besar keluarga Karyo sebagai mantu Sukaryo. Istri dari putra
ketiga Sukaryo, Galih Triadi Sukaryo.
Lasmi diberkahi kesehatan dan umur
panjang. Ia bahagia bisa menyaksikan pernikahan Puspita. Juga pernikahan Galih
dan Galuh. Bahkan, ia pun masih diberi kesempatan untuk melihat cucu buyutnya.
Anak Galih dan Galuh. Bayi mungil yang tampan.
Karyo yang bersahaja dan berhati besar
merasa bersyukur pada Tuhan. Bukan penyesalan yang ia dapatkan atas semua
keputusan yang ia buat. Tapi, kebahagiaan yang melimpah ruah.
Kisah cinta ini akan
dikenang sepanjang masa. Dari sahabat yang telah menukar semua yang ia miliki
demi kembalinya kebahagiaan dalam rumah besar yang penuh cinta kasih itu.
Kisahku, kisahku bersama Galuh dan Galih akan dikenang sepanjang masa. Tidak
hanya bagi keluargaku. Tapi, bagi seluruh warga yang menjadi saksi kisah kami.
Galuh, dialah istri untuk anakku.
Karyo tersenyum puas. Ia menutup buku
agenda bersampul kulit hitam itu dan memeluknya.
* THE END*
Tulisan asli pada 29 Januari 2006.
Ditulis ulang pada 20 Desember 2012.
Tempurung kura-kura, 24 Oktober 2018.
. shytUrtle .
0 comments