My 4D's Seonbae - Episode #21 “Benih Itu Tumbuh Menjadi Cinta dan Cemburu.”

19:55


Episode #21 “Benih Itu Tumbuh Menjadi Cinta dan Cemburu.”




Jisung, Linda, dan Guanlin sibuk dengan buku di hadapan masing-masing. Mereka sedang mengerjakan tugas dari kelas tambahan Bahasa Korea yang mereka ikuti.
“Seonbae.” Guanlin memecah kebisuan.
“Mm?” Jisung bergumam, tanpa mengalihkan pandangannya pada Guanlin.
Linda yang duduk di samping kiri Guanlin dan berhadapan dengan Jisung mengangkat kepala dan menoleh pada Guanlin.
“Apa sih yang disukai cewek Korea?”
Jisung mengangkat kepala, menghentikan gerak tangannya yang sedang menulis. Ia melongo menatap Guanlin.
“Kenapa Seonbae menatapku seperti itu?” Guanlin tersenyum kikuk. Saat ia menoleh ke arah kiri, Linda pun sedang menatapnya dengan ekspresi yang kurang lebih sama dengan ekspresi Jisung. “Kamu juga ngapain natap aku kayak gitu?” Protes Guanlin lirih pada Linda.
“Cewek Korea?” Bibir Linda berucap tanpa suara.
Jisung mengatupkan bibirnya yang ternganga. “Ini maksudnya apa?”
“Lin Lin lagi naksir cewek Korea? Siapa dia?” Linda menyambung. Ia memanggil Guanlin dengan nickname kesayangan yang dibuat Daniel.
“Kamu kan juga naksir cowok Korea!” Guanlin balas mengolok Linda.
“Eh? Siapa? Nggak ya!”
“Daniel?”
Linda melotot mendengar nama Daniel disebut Guanlin. “Nggak! Nggak bener itu!”
“Bahasa tubuhmu nggak bisa bohong tahu!”
“Cuman kagum kok. Lagian Daniel kan suka Luna Seonbae.” Linda mengatupkan bibirnya rapat-rapat setelah sadar jika ia keceplosan.
“Luna?? Kok bisa?? Emang dia nggak tahu kalau Luna pacaran sama Jihoon?” Jisung memang terkejut. Tapi, ia bisa mengontrol suaranya hingga tak menimbulkan kegaduhan di kelas.
Linda mengangkat kedua bahunya.
“Setahuku mereka dekat karena Daniel membantu Luna tentang anjing yang sering bikin ribut di salah satu rumah di jalan menuju rooftop. Mereka deket hanya sebagai teman.” Guanlin menengahi. Ia tak mau Jisung salah paham atas pernyataan Linda.
“Linda suka Daniel, Daniel suka Luna, dan aku suka Linda. Kisah yang rumit.” Jisung menggeleng.
Linda terkejut mendengar ocehan cepat dan sedikit bergumam yang dilontarkan Jisung. Walau bahasa Koreanya bisa dibilang masih payah, tapi Linda paham tentang gumaman Jisung. Jisung Seonbae, suka aku? Pertanyaan itu muncul di benaknya.
“Guanlin, siapa gadis yang kamu suka?” Jisung kembali fokus pada Guanlin.
“Harus disebut ya?” Guanlin kikuk. Ia merasa diadili.
“Nggak juga sih.” Jisung mengibaskan tangan kanannya di udara. “Pada dasarnya semua gadis itu kesukaannya hampir sama. Kenapa juga kamu nanya ke aku? Aku kan nggak pengalaman sama gadis.”
“Tapi, kan Seonbae orang Korea asli. Punya adek cewek juga kan? Kupikir bakal ngerti lah soal cewek Korea.”
Hening sejenak di meja kelompok Jisung.
“Seonbae, kalau di ajak ke taman bermain gitu cewek Korea pasti seneng ya?” Guanlin kembali bicara.
“Semua cewek bakalan seneng kali.” Linda menyahut.
“Ada yang nggak. Luna tuh mukanya selalu ditekuk kalau diajak ke taman bermain.”
“Kenapa kok gitu?”
“Banyak wahana yang dia nggak bisa ikutan nyoba. Apalagi wahana yang ekstrim.”
“Oh gitu. Tapi, normalnya cewek pasti suka kalau di ajak main ke taman bermain.”
“Kalau gitu kita main yuk? Ke taman bermain. Sabtu nanti. Gimana? Seonbae ikut juga ya. Aku bakal ngajak Luna dan Daniel juga.”
Linda menelan ludah mendengar nama Daniel dan Luna disebut. Jisung menyadari perubahan mimik wajah Linda.
“Ngapain ngajak Luna?” Jisung memprotes.
“Karena ada hubungannya sama dia. Aku butuh bantuan dia. Mau ya Linda? Seonbae? Kita pergi rame-rame. Ya Linda?” Guanlin mengiba pada Linda.
Linda menghela napas. “Baiklah.”
“Asik! Kamu kan butuh udara segar dan mengenal Korea.” Guanlin tersenyum lebar. “Seonbae mau kan ikut?” Ia beralih pada Jisung.
Jisung menatap Linda yang tertunduk. “Oke. Boleh. Kamu yang traktir ya?”
“Oke.” Guanlin setuju. Ia kemudian kembali fokus pada buku di hadapannya.
Linda pun kembali fokus pada bukunya. Namun, ia terlihat tak nyaman. Jisung yang duduk berhadapan dengannya terus memperhatikan.

Jisung mengejar Linda yang berjalan sendirian untuk pulang. Saat ia memanggil nama Linda, baru gadis itu berhenti untuk menunggunya.
“Boleh aku temani pulang?” Jisung saat sampai di depan Linda.
Linda tertegun, lalu mengangguk canggung.
Jisung pun tersenyum, lalu beralih ke samping kanan Linda. “Yuk!”
Linda yang canggung pun menuruti ajakan Jisung. Mereka pun berjalan beriringan.
“Saat main ke taman bermain nanti, jangan jauh-jauh dari aku ya.” Jisung tiba-tiba berujar.
Jantung Linda seolah lepas dari tempatnya ketika ia mendengar ucapan Jisung. “Ken-kenapa?” Dengan terbata ia memberanikan diri bertanya.
“Kalau aku nggak salah, cewek Korea yang ditaksir Guanlin pasti Song Hami. Di sekolah ini, cewek yang ada hubungannya sama Luna hanya Song Hami. Karena nggak mungkin Song Hyuri Seonbae. Dia kan udah jadi milik Kim Myungsoo Seonbae. Nggak mungkin juga Rania. Kan cewek Korea.”
Kepala Linda bergerak ketika Jisung menyebut nama Rania. Ia memiringkan kepala dan berujar dalam hati, Emang Rania ada hubungannya sama Luna?
“Rania kan baru aja pindah ke Korea. Nggak mungkin mereka terlibat cinta online kayak di film Love O2O.” Jisung melanjutkan analisisnya. “Aku yakin pasti Song Hami.”
“Trus, apa hubungannya sama aku harus deket-deket sama Seonbae?”
Jisung menghela napas panjang. “Luna nggak pernah merhatiin aku. Logikanya kalau itu cewek yang dimaksud Guanlin adalah Song Hami, maka Guanlin akan sama Song Hami. Dan tadi nurut Guanlin, Daniel sama Luna deket. Plus nurut Linda, Daniel suka Luna. Jadi, Luna bakalan sama Daniel. Aku bakal terabaikan lagi.”
“Seonbae suka sama Luna? Eh, Luna Seonbae maksudku.”
“Suka dalam artian apa dulu?” Jisung melirik iseng pada Linda. Membuat adik kelasnya itu segera menundukkan kepala. “Aku suka karena dia itu unik. Ide-idenya gila, tapi banyak yang suka. Pemikirannya juga aneh kadang. Aku suka dia sebagai sosok yang seru di ajak berteman. Nggak lebih.”
Entah sadar atau tidak, Linda menganggukkan kepala.
“Kamu tadi kayaknya nggak nyaman banget. Tapi, kenapa setuju ikut?”
“Kasian Lin Lin.”
“Trus, kamu nggak kasian sama diri kamu sendiri?”
“Bukan begitu. Aku berpikir pasti nanti di sana ada hal menarik yang bisa aku lakukan. Kayak kata Guanlin, aku butuh udara segar dan lebih mengenal Korea. Karena, aku masih baru pindah ke sini.”
“Kalau gitu, aku akan nemenin kamu melakukan hal menarik itu Sabtu nanti. Aku akan bantu kamu untuk lebih mengenal Korea. Jadi, jangan sedih lagi. Alasan aku setuju ikut adalah kamu.”
Lagi-lagi Jisung membuat jantung Linda seolah lepas dari tempatnya. Linda menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Jisung tersenyum puas. Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang bersama itu.
***

“Luna!” Hami berlari menghampiri Luna yang sedang berdiri sendirian di tengah koridor hendak pulang.
“Luna baca ini , jebal!” Hami menyodorkan ponselnya.
“Ada apa sih?” Luna bingung.
“Baca dulu!” Hami menyodorkan ponselnya.
Luna menerima ponsel Hami dan membaca apa yang diminta Hami ia untuk baca. “Oh. Ini.”
“Oh? Ini?? Luna!!!” Hami jengkel melihat reaksi Luna.
“Emang aku harus bereaksi gimana?”
“Ya… gimana kek!” Hami canggung.
Rooftop-ku itu sempit. Nggak malu apa kalian mesra-mesraan di dapurku?”
“Aku kan… MWO??” Mulut Hami membulat. “Jadi, kamu udah tahu?? Yang lain juga??”
“Entah Daniel sama Jihoon.”
“Kok kamu nggak bilang sih!” Hami menampar lengan kiri Luna. “Eh! Aduh! Maaf. Sakit ya?” Ia buru-buru mengusuk lengan Luna.
Luna tersenyum. “Reaksinya biasa aja kali. Tahu-tahu ini pertama kalinya buat kamu.”
“Besok aku harus gimana? Waktu EC!”
“Nikmati aja filmnya.”
“Bukan itu! Tapi, Guanlin!” Hami kembali memukul lengan Luna. “Eh! Aduh! Maaf. Duh, kok aku jadi gini sih?” Hami jadi serba salah. Ia menggigit kuku jari tangan kanannya.
Luna memegang kedua lengan Hami, “Hami! Song Hami!” Ia meminta Hami fokus padanya.
Hami pun menatap Luna. Ia berhenti menggigit kuku jari dan menurunkan tangan kanannya.
“Kamu suka Edward?”
Hami melotot.
“Suka nggak?”
Hami mengedipkan kedua matanya.
Luna mendesah. “Kalau nggak suka ya—”
“SUKA!” Hami memotong, kemudian mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Luna tersenyum. Ia merunduk dan menggerakkan kepalanya ke depan untuk lebih dekat pada Hami. “Kalau suka ya udah, terima ajakan kencan itu. Besok dia mau ngomong langsung, kan? Kalau kamu suka, ya udah iyain aja ajakan main ke taman bermainnya. Kalau nggak, tolak langsung. Masalah perasaan itu kudu tegas. Biar nggak nyesel.”
“Ak-ku suk-ka dan mau. Tapi, kamu mau nggak nemenin kami?”
Luna kembali menegakkan badannya dan melepas kedua tangannya yang memegang lengan Hami.
“Kalau Sabtu ada acara sama Klub Anak Rantau, bisa ganti hari Minggu. Eh? Guanlin kan anggota klub juga ya? Kalau ada acara kumpul, dia nggak mungkin ngajak hari Sabtu, kan?”
Luna mengangkat kedua bahunya. “Ya, kalau aku di ajak. Kalau nggak?”
“Luna!!” Hami menghentak-hentakkan kakinya.
Luna tergelak melihat tingkah Hami. Ia pun merangkul Hami, “Besok kira-kira genre film-nya apa ya?” Ia mulai menuntun Hami berjalan.
“Semoga aja bukan horor.”
“Kan seru kalau horor. Kamu bisa nempel-nempel ke Edward!”
“Luna-ya!" Hami memukul lengan kiri Luna yang merangkulnya. “Kenapa Guanlin bisa suka aku sih?”
“Nah, kamu kenapa bisa suka Edward?”
“Nggak tahu.” Hami menggeleng. “Mungkin kita emang sama-sama nggak waras. Suka sama daun muda. Kamu sama Jihoon juga.”
“Aku sama Jihoon sebenernya kan seumuran.”
“Eh iya ya. Berarti aku yang nggak waras?”
“Nggak papa. Kata temen-temenku di Indonesia, sekarang berondong dan dedek emesh emang lebih menggoda.”
“Ha? Apa itu?”
“Cowok yang lebih muda lebih menarik perhatian daripada cowok yang lebih tua.”
“Di Indonesia lagi tren gitu?”
“Nggak tahu. Tapi, di Korea kan udah biasa cowok suka noona-noona."
“Iya juga sih.”
“Liat aja di drama yang lagi tayang. Pemeran cowoknya lebih muda dari ceweknya. Tapi, baik aja tuh.”
“Iya ya. Eh, Luna nonton drama juga?”
“Nggak. Temenku di Indonesia tuh yang demen nonton drama Korea. Sering dibahas di grup. Aku yang stay di Korea malah nggak nyambung. Nggak pernah nonton juga.”
“Sekali-kali nonton. Para gadis lagi tergila-gila pada Cha Eun Woo lho.”
“Aku udah punya yang lebih cakep dari Cha Eun Woo. Ngapain tergila-gila lagi sama idol yang nggak mungkin bisa diraih itu?”
“Siapa? Park Jihoon?”
Luna melepas tangannya yang merangkul Hami. “Aku pulang ya. Bye, Hami!” Ia berjalan cepat menuju ujung koridor.
Hami memiringkan kepala. Di ujung koridor sana ada Daniel. Luna menghampiri Daniel, lalu mereka pulang bersama. Serta merta Hami membalikan badan.
Oh my!” Hami memegang pipi dengan kedua tangannya. “Jangan-jangan mereka sedang merencanakan sesuatu untuk membantu Guanlin? Seperti yang Luna lakukan untuk Lee Daehwi! Astaga! Aku harus bagaimana!” Hami mondar-mandir, berjalan ke kanan lalu balik ke kiri di tengah koridor.
Lucy yang hendak pulang melihat Hami sedang berjalan bolak-balik di tengah koridor. Langkahnya memelan. Dengan hati-hati ia mendekati Hami dan bertanya, “Seonbae, baik-baik saja?”
Hami terperanjat kaget. Ia menghentikan langkah dan menatap Lucy. “Lucy, katakan aku harus bagaimana?”
“Nee??” Lucy menatap Hami dengan ekspresi bingung.
***

“Orang bodoh! Apa gunanya memposting sampah kayak gini!” Yena memaki layar ponsel yang sedang ia tatap. Membuat Exy, Rina, dan Rania kompak menatapnya. Mereka sedang berkumpul di basecamp Klub Vokal.
“Ada apa?” Rina ingin tahu apa.
“Sepertinya akun pengacau. Memposting foto Luna dan Hami. Mengatakan mereka pasangan lesbi. Seantero sekolah juga tahu kalau teman Luna hanya Song Hami.”
Exy meraih ponsel Yena. Rina mendekat pada Exy. Ikut menatap ponsel Yena. Ada postingan yang menyertakan foto Luna sedang memegang kedua lengan Hami. Sedang tubuh Luna condong ke depan. Sangat dekat pada Hami. Rania melirik ponsel Yena, lalu tersenyum samar.
“Untung Song Hami. Kalau siswi lain, pasti heboh.” Exy menggeleng pelan sambil mengembalikan ponsel Yena.
“Kupikir Luna punya banyak teman.” Rania berkomentar.
“Teman dekatnya hanya Song Hami. Akrab sama Jisung cs juga baru-baru aja. Dulu, kemana-mana ya sama Hami. Tapi, Song Hyuri Seonbaenim juga perhatian sama Luna. Dia itu terkenal tapi penyendiri.” Yena memberi penjelasan.
“Padahal, kalau mau pasti banyak yang mau jadi geng dia. Siapa sih yang nggak mau deket-deket sama murid terkenal. Apalagi terkenal karena nilai Matematika.” Rina menyambung.
“Aku dengar dulu ada yang coba melamarnya. Ngajak Luna masuk gengnya gitu. Ditolak mentah-mentah sama Luna.” Exy tak mau kalah menambahkan informasi yang dia tahu tentang Luna.
“Tapi, walau dia selalu tampak sendirian seperti itu. Atau hanya berdua saja dengan Hami. Dia nggak pernah ngalamin kesulitan yang berarti di sekolah ini.” Rina mencondongkan badan ke depan, “Ada yang bilang, dia punya teman rahasia yang sangat bisa diandalkan.”
“Apa itu Hwang Minhyun?” Exy ikut bersuara lirih.
“Nggak mungkin! Mereka kan berantem dari SMP!” Rina membantah.
“Hwang Minhyun dan Luna berantem?” Rania tertarik.
Rina dan Exy kompak menganggukkan kepala.
“Kami nggak tahu penyebab pastinya apa. Tapi, udah jadi rahasia umum kalau Luna sama Minhyun itu dulu teman baik semasa SMP. Tapi, mereka tiba-tiba berantem dan saling menjaga jarak. Katanya sih karena Luna ngilangin tugas sekolah mereka. Walau Luna udah ganti tugasnya, Minhyun masih ngambek. Sampai sekarang.” Yena kembali angkat bicara.
Rania menegakkan tubuhnya yang sempat ikut condong ke depan. Ia diam dan berpikir.

“Sialan!” Daerin yang sedang duduk di sofa yang berada di pojok basecamp Klub Vokal tiba-tiba mengumpat.
Anggota klub pun segera menaruh perhatian pada Daerin. Kedua mata gadis cantik itu terbelalak menatap ponsel yang ada di tangan kanannya.
“Masa iya gara-gara liat Luna sama Hami, dia sampai kayak gitu?” Rina berbisik.
“Nggak mungkin! Dia kan benci banget sama Luna.” Yena turut berbisik.
“Masa iya?” Rania penasaran.
“Aku juga nggak tahu penyebab bencinya apa. Setahuku Luna nggak pernah bikin masalah sama dia.” Exy tak mau kalah bisik-bisik.
“Rempong banget sih idupmu!” Rania berkomentar dalam bahasa Indonesia. Membuat Yena, Exy, dan Rina kompak menatapnya. Rania nyengir.
“Dasar Indonesia!” Daerin mengumpat tak jelas, bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu, dan keluar dari basecamp.
Yena, Exy, dan Rina kaget. Sedang Rania bingung.
“Dia tadi mengumpat kan?” Yena mengerjapkan kedua matanya.
“Kayaknya sih iya.” Exy mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ngejek Indonesia kan? Eh!” Rina menutup mulut dan menatap Rania. Sedang Rania balas menatap ketiga rekannya dengan ekspresi bingung.
***

Daerin berjalan dengan langkah lebar-lebar. Ketika sedang asik memainkan ponselnya, pesan itu masuk. Ada sebuah foto yang dilampirkan dalam pesan itu. Foto Jisung dan Linda yang sedang pulang bersama. Hanya dengan melihat foto itu, Daerin merasa tubuhnya terbakar. Ia tak suka melihat Jisung berakrab-akraban dengan gadis lain.
Seongwoo yang keluar dari basecamp Klub Fotografi melihat Daerin yang berjalan ke arahnya. Ia tersenyum lebar. Merubah posisinya menghadap pada Daerin dan menunggu gadis itu sampai. Tapi, Daerin hanya melewatinya. Melirik saja tidak, apalagi menyapa.
Seongwoo memiringkan kepala. Lalu berbalik dan mengejar Daerin. “Ya, Kang Daerin!” Ia memanggil Daerin demi menghentikan langkah gadis itu. “Daerin-aa!” Seongwoo berhasil mengejar Daerin dan memegang tangan kirinya hingga membuat gadis itu berhenti berjalan.
“Apaan sih!” Daerin mengibaskan tangan Seongwoo.
Tangan Seongwoo terlepas. Ia memperhatikan ekspresi Daerin, ia langsung paham jika Daerin sedang marah. “Ada apa lagi?” Seongwoo memberanikan diri bertanya.
“Nggak ada apa-apa!” Daerin ketus.
“Aku tahu kamu sedang nggak apa-apa. Tapi, nggak papa kalau kamu nggak mau cerita kayak yang sudah-sudah.”
Daerin menghela napas dengan kasar. “Kenapa kamu biarin Jisung pulang sama cewek Indonesia itu?”
Mata sipit Seongwoo melebar. “Ce-wek Indonesia? Luna?”
“Bukan!”
“Rania?”
“Bukan! Anak kelas X itu!”
“Oh. Linda ya? Kan mereka sekelas dan satu kelompok di kelas tambahan Bahasa Korea. Wajar kan kalau pulang bareng. Lagian, aku punya hak apa ngelarang Jisung pulang sama Linda?”
“Alasan Jisung ambil kelas tambahan Bahasa Korea karena gadis itu?”
“Aku rasa bukan. Kamu kenap—” Seongwoo tak melanjutkan ucapannya. Ia baru menyadari kenapa Daerin uring-uringan. Itu karena Jisung pulang dengan Linda. Itu karena Daerin menyukai Jisung.
Seongwoo merasa limbung. Ia mundur selangkah dan tersenyum getir. “Daerin-aa, kamu menyukai Jisung ya?”
Daerin terkejut mendengar pertanyaan Seongwoo. “An-anee!” Ia membantah.
Senyum getir kembali terkembang di wajah Seongwoo. “Iya pun nggak papa. Jisung emang baik. Wajar kalau kamu jatuh hati.”
Mimik wajah Daerin melunak ketika ia menyadari bagaimana ekspresi Seongwoo. Tapi, Seongwoo tak menyadari perubahan itu karena kepalanya tertunduk. Daerin pun tiba-tiba speechless. Ia tak tahu harus berkata apa pada Seongwoo.
Seongwoo mengangkat kepala dan tersenyum manis. “Kamu udah selesai? Mau pulang bareng?”
Daerin mengerjapkan kedua matanya. Perubahan Seongwoo yang tiba-tiba itu kembali membuatnya terkejut.
“Kalau udah selesai, kita pulang bareng.”
“Aku masih ada urusan!” Daerin membalikkan badan dan kembali berjalan. Mengabaikan Seongwoo yang masih menatap punggungnya.
Seongwoo menghela napas, masih menatap punggung Daerin yang berjalan menjauhinya.
***

Luna senyum-senyum sendiri. Ia sedang fokus menatap ponselnya. Daniel mengirimkan video sampel dance couple dari lagi Closer milik The Chainsmokers yang ia pesan. Dalam video itu Daniel memberi salam pada Luna. Lalu menjelaskan tentang gerakan dance yang akan ia bawakan. Selesai dengan salam dan penjelasan, Daniel pun mulai menari.
“Kenapa tadi nggak bilang pas pulang bareng sih? Tahu-tahu dikirimi ginian. Dasar, Kang Daniel!” Luna tersenyum pada video Daniel di ponselnya. “Step-nya kayak gini gampang? Buat dia gampang. Na, aku? Tapi, kan aku bentaran doang nongolnya. Eh, nggak bentar juga sih. Kan tengah sampai akhir.”
Terdengar suara ketukan di pintu. Menyita perhatian Luna yang sedang fokus pada ponselnya. Tapi, ia bergeming. Tak beranjak untuk membuka pintu. Ponselnya yang tiba-tiba bergetar membuat Luna terkejut. Nama Sungwoon muncul di layar ponselnya. “Ha Sungwoon??”

Luna kembali ke ruang tamu dengan membawa minuman dalam botol. Sedang Sungwoon sudah duduk di atas karpet yang melapisi lantai ruang tamu rooftop Luna. Pemuda itu sibuk dengan laptop Luna. Saat Luna menerima panggilan Sungwoon, pemuda itu mengatakan jika dia ada di depan rooftop-nya. Mau tak mau Luna pun membuka pintu dan mempersilahkan teman satu kelompoknya itu masuk. Sungwoon mengatakan ingin membahas hasil analisisnya pada video rekaman CCTV yang ia dapatkan dari Minhyun.
Luna meletakkan botol minuman di dekat laptop. Ia pun duduk di samping kiri Sungwoon yang masih berkutat dengan laptop.
“Maaf ya aku mengganggu waktumu.” Sungwoon tanpa mengalihkan pandangan dari monitor laptop. “Jisung nggak bisa ikut. Seongwoo dan Woojin juga. Jadi, aku ke sini sendiri. Semua pada sibuk sama kegiatan klub. Kamu juga kan?”
“Gimana Rania? Dia betah di Klub Vokal?”
“Betah. Langsung dapat teman dia. Yena, Exy, sama Rina. Langsung akrab gitu mereka.”
“Syukurlah.”
“Kan udah aku bilang kamu nggak perlu khawatir. Aku pasti jagain Rania.” Sungwoon menoleh dan tersenyum pada Luna. “Maaf ya. Gara-gara aku minta bantuan Minhyun, kamu jadi uring-uringan.”
“Ya sih aku sempet jengkel banget. Panik juga. Padahal nggak seharusnya aku gitu banget kan.”
“Nggak papa. Wajar kok. Urusannya sama mantan.”
“Mantan gundulmu!” Luna memaki dalam bahasa Indonesia.
Sungwoon tergelak. “Sini deh. Dari video yang aku amati, aku jadi mencurigai beberapa orang ini.”
Luna pun mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat pada monitor laptop. Ia ikut menonton video yang di putar Sungwoon. Sungwoon menghentikan mem-pause video ketika orang-orang yang dia curigai muncul di video. Ia pun menjelaskan kenapa ia mencurigai orang-orang itu. Luna fokus pada monitor. Telinganya pun menyimak penjelasan Sungwoon. Keningnya berkerut mengamati satu per satu orang dalam video.
“Terlalu sulit memang. Tapi, kita bisa mulai menyelidiki mereka. Yang pernah interaksi atau seenggaknya kamu kenal siapa?” Sungwoon kembali menoleh. Ia kaget karena Luna berada begitu dekat di samping kirinya.
Sungwoon mengamati Luna yang fokus pada monitor laptop. Dari jarak sedekat itu, ia bisa mencium wangi parfum Luna. Ia tersenyum canggung. Detak jantungnya pun tiba-tiba meningkat.
Luna menghela napas. Menegakkan kembali tubuhnya yang condong ke depan untuk lebih dekat pada monitor laptop. “Tolong kamu copy ke laptopku ya. Aku nggak bisa konsentrasi nontonnya.”
“Eh? Kok?” Sungwoon mengerjapkan kedua matanya. “Oke!” Ia kembali fokus pada laptop untuk memenuhi permintaan Luna.
“Makasih ya. Maaf merepotkan.”
“Nggak papa. Aku suka direpotin sama kamu.” Sungwoon tersenyum pada monitor laptop.
Luna diam. Kini menyandarkan punggung pada sofa di belakangnya. Ia tak memperhatikan Sungwoon. Tapi, sibuk dengan ponselnya.
“Kalau pelakunya ketemu, mau diapain?”
“Entahlah. Emang kita harus nyari dan nemuin pelakunya ya?”
“Kalau nggak, ngapain sampai minta rekaman CCTV?”
“Kalau nggak ada tindakan yang membahayakan, kita nggak harus nyari pelaku kan? Bisa jadi surat-surat itu emang kerjaan orang iseng doang.”
“Iseng? Oke. Nanti kalau ketemu, aku mau hajar orang iseng itu biar nggak iseng lagi. Keisengannya bikin hidupku nggak tenang tahu! Karena dia isengin kamu. Maaf, aku nggak terima sama keisengan dia. Jadi, kalau kamu nggak mau cari pelakunya. Biar aku aja. Bukan untuk kamu, tapi untuk diriku sendiri.”
Luna mengangkat kepala. Menatap bagian belakang dari Sungwoon. Ia pun tersenyum. Benar-benar tersenyum. “Gomawo. Tuan Preman Budiman.”
Sungwoon tersipu mendengar ucapan terima kasih Luna.
***

Kelas berakhir. Murid-murid mulai bersiap pulang. Hari ini para wali kelas berdiskusi dengan anak didik mereka untuk persiapan festival sekolah saat musim panas nanti. Selain klub, tiap kelas juga diwajibkan mengikuti festival. Biasanya setiap kelas akan berpartisipasi untuk bazar.
Seongwoo menghampiri Luna yang sedang mengemas barang-barangnya. “Luna, aku pengen ngomong sama kamu.”
Sungwoon, Jisung, dan Woojin bisa mendengar permintaan Seongwoo. Tapi, ketiganya hanya diam dan menyimak.
“Di sini?” Luna mengangkat kepala, menatap Seongwoo. “Butuh ngomong berdua aja ya?” Nada suaranya datar.
“Kenapa dia selalu sesantai itu sih? Emang dia nggak punya emosi apa?” Sungwoon bergumam mengomentari reaksi Luna.
“Iya. Berdua aja.” Seongwoo membenarkan.
“Masih ada waktu sebelum kelas EC dimulai. Kamu mau ngobrol di mana?”
“Mau ngomongin apa sih? Kok maunya berdua aja?” Jisung bergabung.
Seongwoo menoleh. Menatap Jisung dengan tajam. Hingga membuat Jisung merasa canggung. Luna mengerutkan dahi melihat reaksi Seongwoo pada Jisung.
“Ayo! Jangan buang-buang waktu!” Luna bangkit dari duduknya. Berjalan menuju pintu belakang kelas XI-E dan keluar.
Seongwoo mengikuti Luna. Sungwoon dan Woojin merapat pada Jisung.
“Kamu baik-baik aja sama Seongwoo?” Sungwoon bertanya pada Jisung setelah Seongwoo menghilang dari kelas XI-E.
“Kalian nggak sedang berantem kan?” Woojin menyambung.
“Nggak.” Jisung membantah. “Aku juga kaget. Kenapa reaksinya gitu banget.”
“Padahal biasanya kalian selalu berhaha-hihi berdua.” Sungwoon heran.
“Mungkin Seongwoo lagi ada masalah yang hanya ingin dia bicarakan sama Luna.” Jisung dengan bijak. “Oya, gimana soal rekaman CCTV-nya? Luna udah nonton?”
“Udah. Kemarin aku tempat Luna. Tapi, kayaknya dia enggan nyari pelaku.”
“Trus gimana?” Woojin juga penasaran.
“Ya aku bilang aku akan tetep nyari pelaku.”
“Baguslah.” Jisung membenarkan tindakan Sungwoon.
“Butuh bantuan nggak?” Woojin menawarkan diri.
“Pasti butuh lah!”
“Aku siap membantu!” Woojin menyatakan kesanggupannya.
“Oke!” Sungwoon pun tos dengan Woojin.
***

Guru pembimbing English Conversation (EC) memilih sebuah film pendek remaja yang menceritakan tentang persahabatan untuk ditonton bersama anak didiknya. Usai nonton bersama, murid-murid diberi kertas tugas yang berisi dialog tak lengkap dari film. Murid-murid diminta melengkapi dialog itu.
Hami terlihat kesulitan. Tapi, Guanlin yang duduk di sampingnya sama sekali tak membantu. Guanlin tak ingin Hami mendapat nilai bagus hanya karena dia membantunya.
Daniel yang duduk berdampingan dengan Luna, menyikut pelan lengan Luna yang sedang fokus pada lembaran kertas di depannya. Luna menoleh ke arah kanan, Daniel pun mengerlingkan mata kirinya. Luna menyunggingkan bibirnya, lalu kembali fokus pada kertas tugasnya. Daniel tersenyum, dan kembali mengerjakan kertas tugasnya.

“Aku rasa aku akan dapat nilai jelek.” Hami mengeluh saat berjalan bersama Guanlin, Luna, dan Daniel usai mengikuti kelas EC.
“Nggak papa. Yang penting hasil kerja keras Seonbae sendiri. Aku juga nggak yakin sama hasilku.” Guanlin memberi dukungan.
“Kamu udah fasih Bahasa Inggris. Tujuanmu ikut EC apa sih?”
“Hami Seonbae.”
Hami terkejut mendengar jawaban Guanlin. Sedang Luna dan Daniel yang berjalan di belakangnya sama-sama tersenyum.
“Geotjimal!” Hami segera kembali pada kesadarannya. “Kita kan kenal di EC. Pasti karena Luna ya?”
“Nggak. Aku udah bosen sih sering ketemu dia.”
“Ngomong gitu lagi jangan harap dapat mie kari kalau main ke rumah!” Luna mengancam. Membuat Guanlin tergelak.
“Sabtu nanti jadi, kan? Daniel setuju ikut. Luna Seonbae juga kan? Jisung Seonbae juga ikut. Linda juga.” Guanlin memastikan rencana yang ia susun untuk hari Sabtu harus berjalan dengan lancar.
Hami menggigit bibir bawahnya dan sedikit menunduk. Ia pun setuju ikut. Tapi, ia menunggu respon dari Luna.
Mendengar nama Linda disebut, Luna mendadak merasa tak enak hati. Mengingat bagaimana gadis itu menatap Daniel, ia yakin jika Linda menyukai Daniel.
“Luna?” Guanlin sampai membalikkan badan untuk mendapat respon Luna. Luna tersadar dari lamunan. Ia menatap Guanlin yang berjalan mundur.
“Hami Seonbae nggak mau pergi kalau kamu nggak ikut.” Guanlin menambahkan.
“Kencan ngapain harus rame-rame sih! Cukup kalian berdua aja kan?” Luna akhirnya buka suara.
“Eh! Siapa yang kencan!” Hami serta merta menghentikan langkahnya dan membalikkan badan menghadap pada Luna yang berada tepat di belakangnya.
Luna yang berhenti mendadak, hampir menabrak Hami. Ia menyipitkan mata melihat semburat warna pink yang menghiasi wajah Hami. “Aku nggak mau jadi obat nyamuk tahu!” Bisiknya.
“Obat nyamuk??” Mata Hami melebar.
“He’em. Pengganggu orang kencan.”
“Kan ada Daniel. Ada Jisung dan Linda juga. Aku beneran pengen kamu ikut. Kasian Guanlin juga kan. Dia udah nraktir kita.”
“Iya iya. Aku ikut!”
“Kamu ini!” Tangan Hami melayang. Memukul lengan kanan Luna. “Eh! Sakit ya? Maaf!” Ia segera mengusuk lengan Luna.
“Edward! Bawa dia pergi dari sini. Bisa-bisa lenganku memar karena dipukuli dia terus!”
“Luna!” Hami protes dengan manja.
“Sudah. Ayo kita pergi.” Guanlin meraih tangan kanan Hami dan menggandengnya.
Malu-malu Hami mengikuti langkah Guanlin. Ia melambaikan tangan pada Luna yang masih betah di posisinya berdiri bersama Daniel.
Luna menghela napas. Menyaksikan Guanlin dan Hami yang berjalan menuju gerbang dengan bergandengan tangan.
Daniel menoleh ke arah kiri dan menatap Luna. Sejenak ia beralih menatap Guanlin dan Hami, lalu kembali pada Luna. “Wae? Iri karena nggak bisa kayak mereka?” Ia bermaksud menggoda Luna. “Park Jihoon pasti senang kalau kamu ngajak dia jalan kayak gitu.”
Serta merta Luna menoleh, menatap tajam pada Daniel. Hingga pemuda itu menarik senyum di wajahnya.
“Mian. Aku nggak bermaksud bikin kamu marah.”
“Seonbae!” Terdengar Suara Jihoon.
Daniel dan Luna kompak menoleh ke arah suara. Keduanya menemukan Jihoon sedang berjalan cepat ke arah mereka.
“Apa namanya tak boleh disebut? Begitu disebut langsung muncul.” Daniel bergumam. Mengomentari kemunculan Jihoon yang secara tiba-tiba.
Jihoon sampai di depan Luna. Senyum terkembang di wajah tampannya. “Aku cari ke laboratorium bahasa, tapi udah kosong. Ternyata Seonbae di sini.”
“Kenapa mencariku?” Luna dengan santai. Daniel yang meliriknya terlihat keheranan.
“Kita pulang bareng. Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Tentang apa? Masalah pribadi?”
“Bukan. Dialog di naskah pementasan kita. Ada yang pengen aku tambahin. Jadi, kita bicarakan dalam perjalanan pulang. Bagaimana?”
Luna diam selama beberapa detik. “Baiklah. Tapi, boleh ya Daniel numpang pulang juga?”
Senyum di wajah Jihoon sirna mendengar permintaan Luna. Ekspresinya yang sebelumnya berseri-seri, berubah menjadi sedikit masam.
“Aku bisa pulang naik bus. Kalian pulang bareng aja.” Daniel menolak permohonan Luna.
“Nggak papa. Kita pulang bareng. Lagian kalian biasa pulang bareng, kan? Jadi kita pulang sama-sama.” Jihoon mengabulkan permohonan Luna.
Luna tersenyum. “Gomawo.”
Jihoon tersenyum kikuk. Senyum yang dipaksakan. “Ayo!”
Jihoon, Luna, dan Daniel berjalan bersama. Menuju area parkir, tempat sopir dan mobil Jihoon menunggu.

Daniel duduk di kursi depan, di samping sopir. Luna dan Jihoon duduk di kursi belakang. Hening sejak mobil mulai melaju. Jihoon menatap bagian belakang Daniel yang duduk tepat di depannya.
“Katanya mau bahas dialog. Kok malah diem-dieman gini.” Luna memecah keheningan.
“Eh iya.” Jihoon teringat tujuan awal ia mengajak Luna pulang bareng. “Walau belum tentu terpilih jadi pemeran utama, aku pikir ada beberapa dialog pemeran utama pria yang ingin aku ubah. Aku udah bilang ke Jisung Seonbae. Aku disuruh langsung ngomong ke kamu.”
Kening Daniel berkerut ketika mendengar Jihoon memanggil Luna dengan sebutan 'kamu', bukan 'seonbae'. Ia kemudian teringat jika Jihoon dan Luna sebenarnya seumuran. Ia pun tersenyum dan menggeleng pelan.

Selanjutnya dalam perjalanan pulang itu, di dalam mobil Jihoon terdengar diskusi antara Jihoon dan Luna. Daniel menyimak. Ia sama sekali tak dibuat bosan dengan obrolan kedua temannya yang duduk di bangku belakang. Mobil Jihoon berhenti di seberang jalan rooftop Luna.
“Terima kasih untuk tumpangannya. Aku pergi.” Daniel berterima kasih pada Jihoon.
“Maaf kalau perjalanannya bikin kamu nggak nyaman.” Jihoon tak lupa meminta maaf.
“Nggak kok. Aku suka dengar diskusi kalian. Semoga sukses untuk pertunjukkannya.” Daniel tersenyum pada Jihoon, lalu beralih pada Luna. Kemudian ia keluar dari dalam mobil Jihoon.
“Mau mampir?” Luna pun bersiap turun.
“Aku antar. Sampai rooftop.”
“Oke.” Luna pun turun dari mobil. Ia menatap Daniel yang berjalan cepat dan semakin menjauhinya. Ia menghela napas dan menunggu Jihoon. Ketika Jihoon tiba di samping kanannya, bersama ia pun menyeberang jalan. Luna menaiki tangga dan Jihoon berjalan di belakangnya.
Luna berhenti di depan pintu rooftop-nya. “Mau masuk?”
“Lain kali aja.” Jihoon menolak.
“Makasih ya. Maaf kalau perjalanan tadi bikin kamu nggak nyaman.”
“Nggak papa. Lagian Daniel udah tahu rahasia kita.”
“Justeru karena itu, aku pikir kamu merasa nggak nyaman.”
“Kenapa aku harus merasa nggak nyaman di daerah kekuasaanku sendiri?”
Luna tercenung menatap Jihoon.
“Luna, aku tahu hubungan kita hanya pura-pura. Dan, aku juga tahu kalau Daniel udah tahu tentang hubungan kita. Tapi aku mohon padamu, jangan bertindak yang nantinya akan mempersulit dirimu sendiri dan Daniel.”
Luna mengerjapkan kedua matanya. Tak paham tentang ungkapan Jihoon.
“Karena statusmu adalah pacarku, maka bertindaklah sebagai pacarku. Seperti sebelumnya. Jika rahasia ini sampai tercium publik, bukan aku yang dirugikan. Tapi, kamu dan Daniel. Aku yakin, kamu pasti paham maksudku.”
Luna bergeming.
“Di sekolah kita memang murid perempuan lebih banyak daripada murid laki-laki. Karenanya, murid perempuan berteman dengan banyak murid laki-laki itu wajar. Tapi, tidak semua orang masa bodoh dengan hal itu. Ada beberapa orang yang bisa mengendus pertemanan yang tidak sewajarnya.”
Jantung Luna seolah terjun bebas mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Jihoon. Ia pun menurunkan pandangannya.
“Aku menyukaimu dari pertama aku melihatmu saat liburan musim semi itu. Sampai sekarang, rasa itu belum berubah sama sekali. Kadang rasa ini membuatku senang, tak jarang membuatku sakit. Aku hanya ingin kamu aman, karenanya aku akan mempertahankanmu untuk berada di sisiku. Itu saja.” Jihoon tersenyum pada Luna yang menunduk di hadapannya.
“Aku pergi. Tolong pertimbangkan usulku tentang dialognya.” Jihoon sedikit membungkuk. Demi melihat wajah Luna yang tertunduk. “Luna?”
“Iya. Aku dengar. Makasih ya.” Luna tak mengangkat kepalanya.
Jihoon tersenyum manis. “Aku pergi. Sampai ketemu besok, Luna.” Ia pun meninggalkan Luna yang masih berdiri dengan kepala tertunduk di depan pintu rooftop.
***


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews