My 4D's Seonbae - Episode #23 “Kita Hanya Punya Satu Hati Yang Entah Akan Jadi Milik Siapa.”
04:56
Episode #23 “Kita Hanya Punya Satu Hati Yang Entah Akan Jadi Milik Siapa.”
Luna
bersedekap. Ia duduk menyilangkan kaki di atas sebuah bangku di dalam basecamp Klub Teater. Jisung duduk di
bangku seberang, berhadapan dengannya. Mereka terlibat dalam obrolan serius
sejak sepuluh menit yang lalu.
“Walaupun
Linda nggak punya hubungan khusus sama aku, tapi aku nggak akan tinggal diam
kalau kamu manfaatin dia buat pelarian doang!” Luna menegaskan.
“Aku
nggak jadiin dia pelarian. Aku emang masih bingung, nggak yakin sama perasaanku.
Tapi, aku suka sama Linda.” Jisung membantah tuduhan Luna.
“Sejak
kapan?”
“Nggak
tahu.”
“Tujuan
kamu gabung pelajaran tambahan Bahasa Korea apa sih?”
“Karena
hanya kelas itu yang bisa aku ikuti tanpa terlalu terbebani. Aku juga butuh
nilai tambahan. Kamu tahu tentang semua ini dari mana?”
“Seongwoo.
Dia bilang Daerin marah waktu tahu kamu pulang bareng sama Linda.”
“Jadi,
bukan Guanlin?”
“Edward
nggak pernah cerita apa-apa tentang kamu dan Linda.”
“Dia
lagi kasmaran sama Hami.”
“Nggak
juga. Dia emang nggak suka ikut campur urusan orang lain.”
Jisung
menghela napas, lalu menatap Luna. “Aku nggak bisa sama Daerin.”
“Kenapa?”
“Karena
aku tahu Seongwoo suka sama dia. Sejak SMP. Dan, aku nggak bisa suka sama
Daerin lebih dari teman. Dia udah kayak adikku sendiri.”
Luna
bergeming. Ekspresinya tidak berubah.
“Kamu
udah tahu ya. Karenanya, aku selalu berusaha kasih mereka kesempatan buat
berdua aja. Sepertinya Seongwoo nggak paham sama maksudku dan jadi marah karena
melihat Daerin sedih, karena ulahku.”
“Kamu
nggak jelasin, gimana Seongwoo bisa paham.”
“Seongwoo
nggak ngomong. Aku takut untuk mulai.”
“Trus
kalau dari kalian nggak ada yang mulai, mau sampai kapan kayak gini?”
Jisung
diam. Sedikit menundukkan kepala.
“Bukannya
aku merasa sok baik. Hubunganku sama Minhyun contoh nyata nggak bisanya aku
jaga pertemanan. Tapi, kamu sama Seongwoo bisa saling bicara, kan? Sebenarnya
dia pengen ngomongin masalah ini sama kamu. Tapi, dia nggak tahu gimana harus
mulai.”
“Kamu
minta aku yang mulai”
“Kalau
kamu mau, why not?”
“Kamu
jadi jembatan aja buat kami. Nggak mungkin kan Daerin bisa menengahi kami?”
Luna
menatap Jisung dengan datar.
Jisung
menghela napas. “Baiklah. Aku coba. Tapi, kalau aku nggak bisa sendiri. Tolong
bantu aku. Ya?”
Luna
tersenyum dan mengangguk.
Jisung
menghela napas panjang. Ia lega Luna mau membantunya. “Gimana Daerin bisa tahu
aku pulang sama Linda?” Jisung seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Luna
menyunggingkan sebuah senyum dan mengangkat kedua bahunya.
“Aku
setuju ikut Sabtu nanti demi menghibur Linda. Kasian dia. Dia naksir Daniel, tapi
kayaknya Daniel naksir kamu.” Jisung kembali menatap Luna. Gadis itu tak
terkejut mendengar ucapannya.
“Kamu
udah tahu ya?” Jisung kembali menghela napas. “Lagian Daniel kenapa suka sama
kamu sih? Padahal dia tahu kamu udah jalan sama Jihoon.”
“Andai
kita bisa milih maunya suka sama siapa. Aku yakin Daniel pasti maunya naksir
cewek yang belum punya gandengan. Rasa itu tumbuh tanpa kita bisa memintanya.
Kita tahu kita punya satu hati. Tapi, kita nggak pernah tahu hati itu memilih siapa
untuk dijadikan tambatan.”
“Iya
juga sih. Aku tahu Daerin suka aku. Tapi, walau udah mencoba untuk membalasnya.
Aku nggak bisa. Malah aku berharap Daerin dan Seongwoo bisa jadi couple.” Jisung diam sejenak. “Luna, apa
itu bisa diusahakan? Seongwoo dan Daerin jadi pasangan?”
Pintu
basecamp terbuka. Jaehwan, Jihoon,
dan Daehwi bersama-sama masuk ke dalam basecamp.
Jisung dan Luna kompak menoleh ke arah mereka. Di belakang ketiganya, anggota
Klub Teater satu per satu memasuki basecamp.
Jisung dan Luna saling melempar pandangan sejenak. Lalu, Jisung bangkit dari
duduknya untuk menyambut rekan-rekan satu klubnya.
Jisung
memimpin jalannya rapat membahas pementasan untuk festival sekolah saat musim
panas nanti. Sebagai salah satu klub terbesar di SMA Hak Kun, Klub Teater
selalu mendapat panggung solo untuk pertunjukkan setiap kali festival sekolah
di adakan. Tahun ini pun Klub Teater mendapat jatah waktu dua jam untuk
pementasan.
Tahun
ini anggota klub yang berstatus kelas XI yang paling berperan aktif. Jisung
yang menjadi ketua baru Klub Teater meminta bantuan Luna untuk naskah drama
pementasan. Tahun lalu gadis itu memberi ide cemerlang untuk mempercantik
naskah drama garapan salah satu senior mereka yang sudah lulus.
Jisung
membacakan garis besar naskah drama yang di ajukan Luna. Gadis itu berinisiatif
untuk mementaskan dongeng 선녀 와 나무꾼 (seonnyeo wa namukkun)
atau yang lebih dikenal sebagai dongeng Fairy
and Wood Cutter (Peri dan Penebang Kayu).
Sebenarnya
Jisung memberi kesempatan jika ada yang mengajukan naskah lain. Sebagian besar
anggota klub, termasuk para senior kelas XII yang sudah tidak begitu aktif
setuju dengan usul Luna. Mereka pun sepakat untuk membuat pertunjukan dongeng
Peri dan Penebang Kayu.
“Baiklah.
Sekarang kita lanjutkan diskusi dengan pemilihan pemeran utama pria dan wanita.
Untuk menjadi peri dan penebang kayu. Luna sempat mengusulkan gender switch. Tapi, aku menolak.
Pemeran utama wanita harus wanita. Bukan laki-laki yang jadi wanita. Kalian
setuju denganku kan?” Jisung meminta dukungan.
“Setuju!”
Anggota klub menjawab dengan kompak. Hanya Luna yang tak buka mulut.
“Walau
tujuannya agar lucu dan menghibur, aku tetap tidak setuju. Lalu, menurut kalian
siapakah yang cocok menjadi peri dan penebang kayu?”
“Kita
sudah punya Luna Seonbae dan Park Jihoon. Apa itu tidak cukup untuk jadi
pemeran utama wanita dan lelaki?” Daehwi langsung mengutarakan pendapatnya
tanpa basa-basi.
Suasana
berubah sedikit ribut. Anggota klub berkasak-kusuk mengomentari usul Daehwi.
Ada yang setuju, ada yang keberatan. Luna menghela napas dan berusaha tenang
walau mulai merasa panas. Sedang Jihoon tersenyum malu-malu sambil sesekali
mencuri pandang untuk menatap Luna.
“Mohon
tenang!” Jisung kembali mengambil kendali. “Jujur, secara pribadi aku juga
setuju kalau Luna dan Jihoon yang jadi pemeran utama.”
“Aku
pengen jadi pemeran utama pria!” Jaehwan mengangkat tangan kanannya. Bukannya
mendapat dukungan, ia malah mendapat olokan dari teman seangkatannya.
“Kan
aku juga berbakat.” Jaehwan membela diri. Tapi, rekan-rekannya terus
mengoloknya sebagai tanda tak setuju.
“Mohon
tenang!” Jisung kembali bicara usai melirik kesal pada Jaehwan. “Yang setuju
Luna dan Jihoon jadi pemeran utama, mohon angkat tangan.”
Tak
disangka hampir seluruh anggota klub mengangkat tangan sebagai tanda setuju.
Hanya Jaehwan, Jisung, Luna, dan Jihoon yang tak mengangkat tangan mereka untuk
ikut voting. Jaehwan segera mendapat serbuan berupa tatapan seluruh anggota
Klub Teater.
“Aku
mendukung diriku sendiri untuk jadi pemeran utama.” Jaehwan membela diri, namun
akhirnya mengangkat tangan kanannya sebagai tanda dukungan pada Luna dan
Jihoon. Ia menoleh dan tersenyum pada Luna yang menatapnya.
“Baiklah!
Deal pemeran utama pria dan wanita
adalah Park Jihoon dan Mezzaluna.” Jisung mencatat nama Jihoon dan Luna pada
binder yang ia bawa.
“Yes!”
Daehwi riang karena usulnya menang mutlak.
“Kalau
gitu, aku mau jadi rusa saja. Boleh, kan?” Jaehwan meminta peran lain.
“Kasih
saja. Kasihan Jaehwan Seonbae.” Daehwi meminta Jisung untuk mengabulkan
permintaan Jaehwan.
“Bagaimana
dengan yang lain? Apa kalian setuju jika Jaehwan jadi rusa?”
Mayoritas
anggota klub berteriak setuju. Jaehwan pun ikut berteriak setuju.
“Baiklah.
Rusa akan diperankan Jaehwan.” Jisung mencatat nama Jaehwan dan perannya dalam
drama. “Lalu… enam bidadari lainnya. Luna, sebenarnya aku penasaran dengan ini.
Kenapa tujuh bidadari?”
Luna
menghela napas pelan. Kemudian mulai menjelaskan. “Sebenarnya dongeng Peri dan
Penebang Kayu ini mirip dengan cerita rakyat dari negara asalku, Indonesia. Di
Indonesia, kami punya cerita rakyat Jaka Tarub. Hanya bagian ending-nya saja yang berbeda. Di
Indonesia, bidadari yang mandi di sungai ada tujuh. Sedang di naskah dongeng
Peri dan Penebang Kayu yang aku baca, tidak dijelaskan jumlah pastinya. Jadi,
aku mengambil keputusan untuk membuatnya sebagai tujuh bidadari. Seperti warna
pelangi.”
Semua
diam dan menyimak penjelasan Luna.
“Lagi
pula, kita punya anggota perempuan lebih dari tujuh orang. Cukup kan? Ditambah
satu peran ibu si Penebang Kayu, kita hanya butuh delapan gadis saja. Dua orang
anaknya pun tidak dijelaskan detail gendernya laki-laki atau perempuan. Jadi,
ini bebas.”
“Kalau
boleh, aku ingin menjadi salah satu anak dari Peri dan Penebang Kayu.” Daehwi
mengangkat tangan.
“Andai
Jisung mengizinkan gender switch, aku
lebih setuju kamu jadi salah satu bidadari dan Jisung jadi ibu dari penebang
kayu.” Luna menjawab permintaan Daehwi. Anggota klub tertawa karena jawaban
Luna.
“Kalau
begitu, aku akan jadi ibu dari Penebang Kayu. Bagaimana? Kalau yang lain
setuju, aku akan mengambil peran pemeriah suasana ini.”
“Nggak.
Nggak.” Luna menolak. “No gender switch!”
“Tapi,
nggak papa. Itu lucu, kan?” Salah satu anggota perempuan mendukung Jisung.
“Aku
mau Jisung jadi narator.” Luna kukuh.
“Naratornya
cewek aja. Biar kesannya kayak nenek yang lagi baca dongeng untuk cucunya.”
Seorang anggota perempuan lain memberi usul.
“Tunggu!
Tunggu!” Luna menyela. “Ini bisa jadi adegan pemanis.”
Semua
terfokus pada Luna.
“Jisung
akan berdandan ala nenek-nenek yang mendongengi cucunya yang hendak tidur.
Daehwi yang akan memerankan sang cucu. Ini adegan pembuka pertunjukan kita.
Bagaimana?” Luna meminta persetujuan.
“Jadi,
narator diperankan nenek Jisung?” Seorang anggota laki-laki bersuara.
“Nenek
Jisung, mwoya!” Jisung protes.
“Itu
bagus. Aku setuju.” Satu anggota laki-laki setuju dengan usul Luna.
Diskusi
itu berjalan lancar. Semua peran telah terisi. Setelah selesai dengan para
pemeran, mereka berlanjut mendiskusikan kostum dan lagu pengiring. Karena
anggota Klub Teater kompak, keperluan inti dari pertunjukan pun selesai.
Setelah diskusi selama dua jam, anggota Klub Teater pun membubarkan diri.
***
Jisung,
Luna, Jaehwan, Daehwi, dan Jihoon masih tinggal di basecamp Klub Teater. Anggota yang lain sudah meninggalkan basecamp. Luna merapikan
barang-barangnya. Jisung duduk memangku binder dan membaca isinya. Jaehwan dan
Daehwi duduk mengobrol. Sedang Jihoon, duduk diam memperhatikan Luna.
“Daehwi.
Ini bukunya. Terima kasih ya. Maaf merepotkanmu.” Luna mengembalikan buku yang
ia pinjam lewat Daehwi.
Daehwi
menerima buku yang di ulurkan Luna padanya. “Lain kali ke perpustakaan sendiri
dong Noona. Joohee sekarang jadi relawan juga lho!”
“Gaya
pacaran worm book gitu ya. Di
perpustakaan.” Luna meledek.
“Aniya.
Kita beneran kerja di sana.” Daehwi membantah.
“Kerja
sambil pacaran.” Jaehwan menyambung olokan Luna. “Worm book apa ya?” Ia menatap Daehwi, lalu Luna.
“Ulat
yang demen makan buku di film Tinker Bell.” Daehwi menjawab pertanyaan Jaehwan.
“Tapi,
worm itu cacing kan?”
“Yang
benar bookwarm. Itu istilah untuk
orang yang hobi baca. Kutu buku. Di film Tinker Bell ada hewan bernama worm book. Hewan itu seneng banget makan
halaman-halaman buku di perpustakaan.” Gantian Luna yang memberi penjelasan.
“Daehwi
pantes dipanggil worm. Kurus gitu.
Hehehe.” Jaehwan terus mengolok.
“Puas-puasin
deh!” Daehwi pura-pura ngambek.
“Luna,
Persatuan Murid Asing mau kasih pertunjukkan apa tahun ini?” Jisung selesai
dengan binder yang ia bawa dan mengembalikannya pada Luna.
“Entahlah.”
Luna mengangkat kedua bahunya setelah menerima binder yang diulurkan Jisung.
“Memang
belum ada pertemuan gitu?” Jaehwan juga penasaran.
“Aku
pulang.” Luna bangkit dari duduknya dan menyangklet tas punggungnya.
Mengabaikan pertanyaan Jaehwan.
Jihoon
turut bangkit dari duduknya. “Kita pulang bareng.”
Luna
menganggukkan kepala. Tak menolak permintaan Jihoon. Berdua dengan Jihoon, ia
meninggalkan basecamp Klub Teater.
Luna
tak menolak ketika Jihoon menawarkan diri untuk mengantar dengan mobilnya. Di
dalam mobil, mereka mulai berlatih dialog Peri dan Penebang Kayu.
“Dialog
ini kurang gereget ya.” Luna menunjuk dialog terakhir Penebang Kayu. “Beberapa
udah kamu benerin. Gimana dengan ini?” Ia menoleh ke arah kanan, meminta
pendapat Jihoon.
“Sebentar
aku pikirkan.” Jihoon menyanggupi.
Mobil
Jihoon berhenti. Mereka sampai di komplek tempat tinggal Luna. Jihoon mengantar
Luna sampai di teras rooftop.
“Mau
masuk dulu?” Seperti sebelumnya, Luna menawarkan Jihoon untuk mampir.
Jihoon
diam menatap Luna. Luna pun balas menatapnya. Seulas senyum terkembang di wajah
tampan Jihoon.
“Karena
kita saling mencintai, bersama selamanya. Aku harap kita memiliki hubungan yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Aku benar-benar bersyukur dan aku selalu
mencintaimu.”
Ekspresi
Luna berubah. Ia kaget mendengar perkataan Jihoon. Detub jantungnya pun
tiba-tiba meningkat. Ia hanya bisa menatap Jihoon dalam diam dan menelan ludah.
Senyum
Jihoon semakin lebar. “Kupikir kamu benar-benar nggak punya emosi.” Ia
mengomentari reaksi Luna setelah mendengar ucapannya. “Jika dialognya begitu,
bagaimana?”
“Mm,
nee? Ah! Ya. Bagus!” Luna tersenyum kikuk.
Jihoon
menghela napas. “Melihat tingkahmu, aku jadi ingin memelukmu.”
Luna
mendelik dan spontan mundur selangkah. Membuat Jihoon tertawa.
“Hanya
ingin belum tentu aku akan benar-benar melakukannya, kan?”
“Kamu
suka tiba-tiba melakukan sesuatu yang mengejutkan. Seperti waktu itu! Kenapa
kamu tiba-tiba mencium pipiku?” Luna teringat pada kejadian setelah mereka
pergi bersama untuk nonton film. Setelah melontarkan pertanyaan itu, wajahnya
terasa semakin panas.
“Itu
ya. Hah…” Jihoon menghela napas dan tersenyum. “Aku minta maaf.”
“Jangan
diulangi lagi! Walau itu hanya untuk akting! Lagian akting di depan siapa waktu
itu!”
Jihoon
tersenyum dan mengelus puncak kepala Luna. “Sudah. Istirahat sana. Besok kamu
ada acara, kan?”
Luna
menganggukkan kepala.
“Semoga
acaramu lancar. Apa pun itu. Aku pergi.” Jihoon tersenyum, membalikkan badan,
dan mulai berjalan.
Memandang
punggung Jihoon yang berjalan menjauhinya, tiba-tiba Luna digerogoti oleh rasa
bersalah. Besok ia akan pergi bersama Daniel. Walau itu atas permintaan Guanlin,
tetap saja ia merasa bersalah pada Jihoon.
“Kalimat
itu memang untuk dialog penutup.”
Luna
terkejut karena Jihoon yang sudah tiba di dekat tangga tiba-tiba membalikkan
badan dan berseru padanya.
“Tapi,
itu adalah kata-kata dariku untukmu. Harapanku padamu.” Jihoon tersenyum lebar.
“Annyeong, Mezzaluna!” Ia melambaikan tangan kanannya, lalu berjalan menuruni
tangga dan menghilang.
Luna
berdiri tertegun. Memandang tempat sebelumnya Jihoon berdiri. Ia menundukkan
kepala. Menghela napas panjang, lalu berbalik dan membuka pintu. Ia pun masuk
ke dalam rooftop-nya.
***
“Iya.
Aku akan datang bersama Edward dan Linda besok. Setelah acara kami selesai.” Luna
sedang mengobrol dengan Rania lewat video
call.
“Enak
banget ya jadi kamu, Cing! Banyak yang ngajakin jalan.”
“Enak
apanya. Capek tahu. Habisin energi aja.”
“Dasar,
Kucing! Demennya males-malesan.”
Luna
tersenyum manja lalu segera menarik senyumnya. Kucing? Ia memiringkan kepala. Daniel?
Ah! Kenapa aku malah mikirin anak itu sih!
“Cing!
Are you OK?”
“Ah!
Ya!”
“Selamat
ya! Kata Jaehwan kamu dapat peran utama. Eh, Jisung mau masukin aku ke grup
chat squad Moon Kingdom lho! Tapi,
katanya mau izin kamu dulu.”
“Mereka
itu. Cowok-cowok bawel! Nggak papa sih. Asal kamu tahan. Mereka itu aneh-aneh!”
“Makanya
cocok sama kamu. Sejenis menarik sejenis. Hahaha.”
“Lu
juga sejenis kali. Cucok banget sama mereka!”
“Cing.”
“Apa?”
“Boleh
nggak aku kasih saran?”
“Tentang?”
“Hubungan
kamu, Jihoon, dan Daniel.”
Luna
menatap layar ponselnya dalam diam.
“Terlalu
beresiko. Jihoon super tenar dan ngeri aku waktu denger cerita tentang dia.
Julukannya monster cute, kan? Akhiri aja, kalau bisa. Atau, pilih salah satu.
Gua takut suatu saat ada yang tahu tentang kalian. Itu bakal lebih gawat dari
mereka tahu siapa aku, kan?”
Luna
menghela napas panjang. “Aku juga nggak nyangka bakal gini ceritanya, Cue.
Daniel tiba-tiba datang ke hidupku. Ngaku suka sama aku.”
“Nah,
kalau Daniel beneran suka dan kamu sama Jihoon cuman fake relationship. Kenapa ndak mending akhiri yang fake?”
“Masalahnya…
Jihoon juga ngakunya suka ke aku.”
“Bujug!
Ini kucing buluk laris juga di Korea!”
“Bukan
maunya juga kali. Lagian aku dulu nggak ada feeling
sama Jihoon. Niatnya emang buat save each
other. Nggak tahunya, nurut pengakuan dia nih, Jihoon udah ada feel sejak dia pertama kali liat aku.”
“Dia
pertama liat lu di mana emang?”
“Jalan
Sinmi Cherry Blossom di Kuil
Ssanggyesa saat liburan musim semi. Katanya, dia liat aku di tengah bunga
sakura yang berguguran.”
“Busyet
dah! Sinetron banget pertemuan lu ama Jihoon.”
“Di
sana emang kayak gitu. Indah banget pas musim semi dan kelopak sakura berjatuhan.
Kayak di anime-anime gitu.”
“Ajakin
gua ke sana dah.”
“Beres!
Liburan musim semi tahun depan ya? Semoga aja, kamu udah dapet pacar pas ke
sana.”
“Kenapa
gitu?”
“Mitosnya,
pasangan yang jalan-jalan di sana sambil gandengan tangan. Akan hidup bahagia
selamanya.”
“Wow!
Harusnya kalian bahagia dong karena first
met kalian di sana.”
Luna
mengangkat kedua bahunya.
“Nah,
feeling lo lebih kuat ke sapa?”
Luna
terdiam. Hanya bisa memandang Rania yang berada dalam layar ponsel.
“Wah!
Gawat! Gue tahu nih kenapa lo diem. Gawat! Masa iya cinta pertama lo kisahnya
ruwet dan penuh drama gini, Cing? Lo aja yang selalu bikin rempong idup lo
ndiri. Btw, apa kabar Prince?”
Luna
kaget mendengar Rania menyebut nama Prince. “Tau!” Ia kembali mengangkat kedua
bahunya.
“Ya
udah. Bobok sana. Semoga aja besok lo dapat pencerahan. Selamat
bersenang-senang. Hari Minggu kita seneng-seneng di rumah si Jurle ya.”
“Jurle??”
“Iya
si Jurle. Jaehwan.”
“Kenapa
Jurle dah?”
“Kan
dia juragan lele. Hahaha.”
“Anjir!
Sialan!”
“Met
bobok Kucingku sayang. Semoga lo mimpiin aku. Muach!”
Luna
tersenyum menatap layar ponselnya. Ia menghela napas panjang dan meletakkan
ponsel di atas perutnya. Ia yang sedang terbaring, menatap langit-langit
kamarnya.
“Prince.
Lo bakal tahu Prince itu siapa, Cue.” Luna berbicara pada langit-langit
kamarnya dan tersenyum. Ia meletakkan ponsel di atas nakas di dekat ranjangnya.
Ia pun berusaha untuk tidur.
***
Luna
membuka pintu. Daniel tersenyum manis sambil mengangkat sebuah bungkusan di
tangan kanannya.
“Selamat
pagi, My Couple!” Daniel menyapa
Luna.
“Apa
itu?” Luna menuding bungkusan di tangan kanan Daniel.
“Omma
membuat sarapan untuk kita.”
“Kita?”
“Mm!”
Daniel mengangguk. “Kata Omma, bermain di taman hiburan pasti sangat
melelahkan. Karena itu, kita harus sarapan yang baik. Agar punya cukup tenaga
untuk bermain. Dan, Omma melarangku sarapan di rumah. Temani Luna sarapan,
kasihan dia. Begitu kata Omma.”
Luna
tersenyum dan mempersilahkan Daniel masuk. Kedunya kemudian sarapan bersama di
ruang tamu.
“Sampaikan
terima kasihku pada Tante. Masakannya enak sekali.” Luna berterima kasih di
tengah sarapan.
“Omma
senang melakukannya untukmu. Oya, sebenarnya setelah bertemu denganmu waktu itu,
Omma meminta nomer ponselmu.”
“Mwo??”
Luna menghentikan gerak mulutnya yang mengunyah makanan.
“Nggak
aku kasih kok. Aku kan belum izin ke kamu. Katanya, Omma pengen ngobrol banyak
sama kamu. Sebelumnya Omma pikir kamu nggak begitu bisa bahasa Korea. Setelah
ketemu dan tahu kamu fasih bahasa Korea, Omma jadi pengen ngobrol banyak sama
kamu.”
“Kapan-kapan
aku akan mengunjungi Tante.”
“Gomawo.”
Kembali
hening. Daniel dan Luna melanjutkan sarapan.
“Oya,
manajer setuju kamu mencoba kerja paruh waktu di cafe.” Daniel teringat jika ia
punya berita bagus untuk Luna.
“Jongmal?”
Daniel
menggangguk.
“Jinja?”
Daniel
kembali mengangguk.
“Daebak!”
Daniel
tersenyum menatap Luna.
“Trus,
kapan aku boleh coba?”
“Terserah
kamu. Satu hari saja kan?”
Luna
mengangguk antusias.
“Mm,
bagaimana kalau Sabtu atau Minggu depan? Kalau weekend cafe pasti ramai. Tapi, kamu harus siap lelah.”
Luna
mengangguk antusias. “Gomawo!”
“Satu
lagi. Koreagrafinya sudah siap. Kapan mau mulai?”
“Jongmal?”
Daniel
mengangguk.
“Jinja?”
“Ya!”
Daniel mulai gemas melihat tingkah Luna.
“Daebak!”
Daniel
menyipitkan mata saat menatap Luna. Pipinya pun menggembung karena kesal.
“Hehehe.
Aku bisa menyesuaikan jadwalmu.”
“Mulai
Senin? Setelah pulang sekolah, sebelum aku berangkat kerja paruh waktu.”
“Tak
apa?”
Daniel
mengangguk.
“Baik.
Tapi, kamu udah bikin video dance step
untukku?”
“Nanti
aku ajari langsung.”
Luna
tercenung. Lalu mengerjapkan kedua matanya dan berkata, “Baiklah.”
Selesai
sarapan dan membereskan segala peralatannya. Luna dan Daniel pun pergi untuk
memenuhi undangan Guanlin. Sepanjang perjalanan menuju tempat janjian, Daniel
bercerita jika ini adalah pengalaman pertamanya pergi ke taman hiburan. Luna
menatap iba pemuda yang duduk di samping kanannya itu. Pemuda yang baik dengan
sisi kehidupan yang sedikit tak berpihak padanya.
***
Saat
sampai, Guanlin dan Hami sudah berada di lokasi. Ketika melihat Luna, Hami
menghambur memeluk teman baiknya itu. Luna berbisik pada Hami agar gadis itu
bisa mengendalikan dirinya yang terlampau bahagia. Hami pun mengangguk paham,
tapi wajahnya tak bisa berhenti tersenyum.
“Edward,
kita beli tiket aja dulu yuk. Biar Hami nunggu Jisung di sini sama Daniel.” Luna
mengusulkan untuk membeli tiket dulu.
“Boleh.”
Guanlin setuju. “Tunggu di sini ya. Daniel, tolong jaga Hami Noona.”
Luna
menggeleng dan berjalan pergi. Guanlin buru-buru menyusulnya. Hami
tersipu-sipu. Sedang Daniel, hanya tersenyum. Tapi, pandangannya terfokus pada
Luna yang berjalan menjauh.
Hami
mengangkat kepala dan menatap Daniel. Ia melihat wajah dihiasi senyum itu. Hami
memiringkan kepala setelah mengikuti arah pandangan Daniel terfokus. Hami
membuka mulut. Hendak mengomentari ekspresi Daniel. Tapi, ia urungkan karena ia
melihat Jisung dan Linda sedang berjalan mendekat.
“Hai!
Hai!” Jisung menyapa Hami dan Daniel. “Mana Luna?”
“Beli
tiket. Sama Guanlin.” Hami menjawab pertanyaan Jisung.
“Oya,
Hami. Kenalkan. Ini Linda. Dia teman Guanlin dan Daniel. Dari Indonesia juga.
Eh, atau jangan-jangan kalian udah saling kenal?” Jisung menuding Hami, lalu
Linda.
Hami
mengulurkan tangan kanannya pada Linda. Linda pun menjabat tangan Hami. “Senang
bertemu denganmu.” Hami menggenggam tangan Linda dan menggoyangnya sejenak.
“Saya
juga senang bisa bertemu dengan Hami Seonbae.” Linda membalas sapaan Hami.
“Dia
sudah tahu cara orang Indonesia berkenalan rupanya.” Jisung menyindir Hami.
“Kamu
lupa kalau aku punya Luna?” Hami melepas jabatan tangannya. Kemudian ia tertawa
bersama Jisung.
Linda
melirik Daniel. Pemuda itu terus tersenyum ketika melihat tingkah Hami dan
Jisung.
“Ini.”
Luna menyodorkan sejumlah uang pada Guanlin.
Guanlin
tercenung. “Eh? Ini apa?”
“Kita
bagi dua. Masa semua kamu yang bayar.”
“Nggak
papa kok. Aku ada tabungan buat acara hari ini.” Guanlin sungkan. Luna hanya
diam menatapnya.
Guanlin
menghela napas. “Baiklah. Terima kasih.”
Luna
tersenyum dan mengangguk.
“Aku
tahu kalau kamu udah berpenghasilan. Makasih ya.”
“Kamu
bawa passport? Kita kan warga asing. Biar kita dapat diskon. Lumayan kan.
Hehehe.”
“Iya,
bawa. Mana punyamu.”
Luna
pun memberikan passport miliknya.
“Harusnya
kita berkunjung sore ya. Biar dapat harga khusus. Sayangnya sore kita ada
pertemuan sama Persatuan Murid Asing.”
“Udah
nggak usah nyesel. Takdirnya hari ini gitu. Udah sana! Buruan beli tiketnya!” Luna
mendorong punggung Guanlin.
Setelah
mendapatkan tiket, Guanlin dan Luna pun kembali. Mereka bergabung dengan
Daniel, Hami, Jisung, dan Linda. Guanlin memberikam tiket masuk milik Hami,
Linda dan Jisung. Sedang Luna membawa tiket miliknya dan Daniel. Kemudian
mereka berjalan menuju pintu masuk.
Berbaris,
rombongan itu mengantre untuk masuk. Guanlin paling depan. Di belakangnya ada
Hami. Di belakang Hami ada Linda, disusul Jisung, dan Luna. Daniel berdiri
paling belakang. Ketika sudah memasuki area taman bermain, bukan hanya Linda
yang tampak kagum. Daniel pun menunjukkan ekspresi yang sama. Luna yang
memperhatikan Daniel pun tersenyum. Daniel terlihat seperti anak kecil yang
baru pertama kali di ajak pergi ke taman bermain. Mereka memasuki area indoor Lotte World Seoul.
Jisung
pun tersenyum ketika melihat ekspresi kagum di wajah Linda. “Suka? Bagus, kan?”
Linda
hanya bisa menganggukkan kepala antusias. Taman bermain itu sangan megah hingga
membuatnya terpesona.
“Kita
mulai dari wahana apa?” Guanlin meminta perhatian.
“Tolong
jangan berpencar.” Luna juga angkat bicara.
“Kenapa?”
Jisung merespon permintaan Luna.
“Aku
nggak bisa main wahana esktrim. Jadi, kalau berpencar, nanti kasihan Daniel
kan?”
Mendengarnya,
Daniel pun menoleh ke arah kiri. Ia terkejut karena Luna memperhatikannya.
“Masa
iya dia mau main sendiri?”
Guanlin
terkekeh. “Tenang. Kita akan selalu sama-sama.”
“Linda,
ada wahana yang ditakuti?” Hami menaruh perhatian pada Linda.
“Kayaknya
nggak ada deh.” Linda ragu.
“Baguslah.”
Hami merangkul Linda. “Kita bisa main sampai puas.” Ia kemudian memasang
ekpresi mengolok pada Luna.
Luna
hanya tersenyum dan menggelengkan kepala menanggapinya.
“Baiklah!
Ayo kita mulai!” Jisung berseru penuh semangat. “Ini keuntungan kita berangkat
pagi ya.” Ia berjalan berdampingan dengan Guanlin. Di belakang Hami dan Linda.
“Karena
ini hari Sabtu. Kalau pagi-pagi kita nggak perlu ngantri.” Sahut Luna yang
berjalan di barisan paling belakang bersama Daniel.
“Kita
pembeli tiket pertama.” Guanlin menyambung.
“Wah,
Luna perencana perjalanan yang hebat!” Hami memuji.
“Karena
dia perfeksionis. Makanya semua di pertimbangkan sampai detail. Untungnya kita
semua tepat waktu. Kalau nggak, dia bisa berubah jadi monster karena kesal.” Guanlin
mengolok.
“Bener
banget tuh! Luna itu monster berwajah angel. Makanya cocok sama Park Jihoon.” Hami
menimpali.
Mendengar
nama Jihoon disebut, ekspresi Linda berubah. Ia teringat Daniel yang menyukai
Luna. Nama Jihoon yang disebut dan dianggap cocok dengan Luna oleh Hami, pasti
mengganggu teman sekelasnya itu.
Mendengar
olokan Hami, Daniel teringat bagaimana ekspresi Luna ketika ia tak sengaja
mendengar rahasia Luna dan Jihoon di ruang fotocopy.
Ia yakin saat itu Luna sedang menjadi monster.
“Kalian
ini kompak ya mengolok Luna!” Jisung mengomentari olokan Guanlin dan Hami. “Pantesan
jadi couple. Cocok sih!”
Rombongan
remaja SMA Hak Kun itu pun mulai mencoba beberapa wahana. Luna hanya ikut
bermain pada wahana yang menurutnya aman untuk ia ikuti. Usai mencoba beberapa
permainan, mereka berhenti di depan sebuah wahana bernama Tomb Of Horror.
“Yakin
mau nyoba itu?” Hami menelan ludah.
“Katanya
mau main sampai puas.” Luna menyenggol lengan Hami yang berdiri di samping
kanannya dengan lengannya. “Linda berani?” Ia menoleh ke arah kiri.
“Berani.
Aku yakin hantunya pasti lebih serem hantu Indonesia.” Linda tak menunjukkan
rasa takut sedikit pun.
“Emang.
Tapi, tetep aku teriak-teriak pas di dalem.”
“Ayo!”
Guanlin menuntun Hami.
“Tapi,
aku takut!” Hami enggan.
“Ada
aku!”
Linda
dan Jisung berjalan di belakang Guanlin dan Hami.
Luna
memperhatikan Daniel. “Wae? Itu hantu bohongan semua yang di dalam.”
“Tapi,
tetep aja namanya hantu.” Daniel ragu.
“Nggak
papa. Nanti ayo kita teriak bersama. Biar stresnya ilang.” Luna mengulurkan
tangan kanannya.
Daniel
pun meraih tangan kanan Luna. Lalu, bersama mereka menyusul keempat rekannya.
Guanlin
berada di barisan paling depan. Di belakangnya ada Hami, lalu Linda, Jisung,
Luna, dan Daniel. Hami menjerit ketika mendapat kejutan setelah pintu masuk. Ia
pun membenamkan wajahnya di punggung Guanlin. Sedang kedua tangannya memegang
erat baju Guanlin.
Di
belakangnya Linda sesekali berteriak ketika kaget. Sedang Jisung, teriakannya
paling keras. Luna pun dibuat terkejut oleh tingkah hantu-hantu gadungan itu.
Tak hentinya ia tertawa karena mendengar Daniel terus mengoceh bahwa dia pasti
mati karena berada di dalam wahana seram itu. Pemuda itu juga memegang erat
pundaknya. Bahkan kepala Daniel menempel ke pundaknya.
Ketika
berhasil keluar dari rumah hantu, Daniel jatuh berlutut dan bersujud. Ia merasa
lemas tak bertulang karena ketakutan. Luna turut berlutut untuk menenangkannya.
Sambil berusaha menghentikan tawanya karena reaksi Daniel yang membuatnya
gemas, ia mengelus punggung Daniel.
Guanlin
pun berusaha menenangkan Hami yang menangis karena ketakutan. Ia pun berusaha
menghentikan tawanya. Linda tertawa karena reaksi teriakan Jisung yang sangat
keras ketika berada di dalam wahana. Linda memberi tahu Jisung bahwa
hantu-hantu yang di dalam sana tidak semengerikan hantu-hantu gadungan di rumah
hantu di Indonesia.
Setelah
Daniel mendapatkan kekuatannya kembali, mereka pun melanjutkan perjalanan untuk
mencoba wahana yang lain. Mereka berhenti di depan wahana The Conquistador (Viking) yang wujudnya berupa perahu
besar tergantung. Pengunjung akan di ayun-ayunkan di atas perahu itu. Luna
memilih absen dari wahana mengerikan itu.
Lelah
usai mencoba berbagai wahana, mereka pun berkumpul untuk makan. Sambil makan
mereka membahas wahana-wahana yang mereka coba. Luna dan Linda sepakat jika
wahana rumah hantu di Indonesia lebih mengerikan dibanding di Korea. Luna
menyebut wahana The Conquistador
mirip Kora-Kora di Dufan. Sedang Linda menyebutnya mirip Columbus di JATIM Park 1.
Karena
Linda menyebut JATIM Park, Luna pun menjelaskan kenapa ia menolak semua wahana
ekstrim. Saat liburan ke Indonesia, Luna dan keluarganya mengunjungi Secret Zoo (JATIM Park 2). Di sanalah ia
mencoba wahana roller coaster dan
wahana octopus. Ia mengaku dadanya
terasa sakit usai mencoba kedua wahana itu. Ia pun mengalami pusing dan mual
hebat. Sejak saat itu ia tak berani lagi mencoba wahana ekstrim.
Hami
menyanggah pendapat Luna. Baginya rumah hantu lebih mengerikan dibanding
wahana-wahana ekstrim itu. Daniel mendukungnya. Sependapat dengan kakak
seniornya itu. Lalu, mereka kompak membully Jisung yang teriakannya paling keras
ketika berada di dalam wahana rumah hantu.
Di
tengah makan dan obrolan itu, Guanlin tiba-tiba memegang tangan kanan Hami yang
duduk di samping kirinya. Hami terkejut dan berusaha menarik tangannya. Tapi,
Guanlin memintanya untuk tenang. Hami pun akhirnya pasrah.
“Teman-teman,”
Guanlin meminta perhatian orang-orang yang duduk satu meja dengannya. Ketika
Jisung, Linda, Daniel, dan Luna kompak menatapnya, ia pun tersenyum. “Aku akan
membuat pengakuan di depan kalian.” Guanlin melanjutkan. “Aku menyukai Song
Hami Noona. Dan, sepertinya Song Hami Noona juga mempunyai perasaan yang sama
denganku.”
Jisung,
Linda, Daniel, dan Luna diam. Menyimak. Wajah mereka dihiasi senyum. Turut
bahagia melihat Guanlin dan Hami.
Guanlin
menautkan jemari tangan kirinya dengan jemari tangan kanan Hami. “Kami resmi
menjalin hubungan. Kami adalah couple.
Hami Noona, setuju kan?” Ia menoleh ke arah kiri dan menatap lembut pada Hami.
Wajah
Hami memerah. Ia hanya bisa menganggukkan kepala.
“Nah!
Kalian saksinya!” Guanlin tersenyum lebar dan menatap Jisung, Linda, Daniel,
dan Luna. Tatapannya terhenti pada Luna.
Jisung
bertepuk tangan. “Chukae!”
“Semoga
langgeng.” Linda menyambung.
Daniel
hanya tersenyum dan turut bertepuk tangan.
“Jangan
menatapku seperti itu. Aku pasti akan menjaga Hami Noona dengan baik.” Guanlin
merasa di adili oleh Luna.
“Karena
itu kamu, aku bisa tenang.” Luna tersenyum manis. “Tapi, kalau sampai kamu buat
Hami terluka. Aku akan membunuhmu. Memasakmu dengan kuah kari!” Ekspresinya
berubah serius.
“Luna…”
Hami menegur Luna.
Mereka
pun kemudian tertawa bersama. Melanjutkan makan siang sambil ngobrol.
Luna
memeriksa ponselnya yang bergetar. Ada pesan masuk dari Rania. Ia mengerutkan
dahi lalu membuka pesan itu dan membacanya. “Pertemuan Persatuan Murid Asing
dibatalkan?”
Semua
menaruh perhatian pada Luna. “Benarkah?” Guanlin bertanya.
“He’em.
Ini pengumumannya di grup juga udah keluar. Ditunda besok.”
“Kalau
gitu, hari ini kita bisa main dengan puas dong!” Jisung bersemangat.
“Kenapa
harus ditunda besok sih!” Luna keberatan.
“Nikmati
saja. Em?” Jisung kemudian menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Setelah
makan siang, mereka pun melanjutkan berkeliling untuk mencoba wahana lainnya.
***
Daniel
dan Luna pulang lebih dulu. Daniel sebenarnya masih ingin bermain, tapi ia harus
kerja paruh waktu. Luna pun menemaninya.
“Aku
sangat senang hari ini. Terima kasih, karena telah merawatku dengan baik.
Terlebih saat keluar dari rumah hantu.” Daniel yang duduk di samping kanan Luna
di dalam bus memulai obrolan.
“Kamu
beneran takut hantu?” Luna penasaran.
“Takut
banget. Aku benar-benar gila di dalam sana. Keringatku keluar, kakiku tidak
bertenaga. Sepertinya aku menjadi satu tahun lebih tua.” Daniel menertawakan
dirinya sendiri.
“Bahuku
sampai sakit.”
“Benar
kah?” Daniel menoleh hingga posisi tubuhnya berubah. Ia mengamati kedua bahu
Luna dengan tatapan menyesal. “Maafkan aku.”
Luna
tersenyum manis. “Aku yang seharusnya minta maaf. Karena udah maksa kamu untuk
ikut masuk.”
“Aku
nggak merasa dipaksa. Itu kemauanku juga.” Daniel membalas senyum. Ia dan Luna
saling berpandangan dalam diam.
Daniel
mengalihkan pandangan lebih dulu. “Hari ini sangat menyenangkan. Tapi, juga
melelahkan.”
“Tidur
aja. Nanti aku bangunin kalau udah sampai di pemberhentian terakhir.”
“Baiklah.”
Daniel menyilangkan tangan di dada, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Luna.
Luna
terkejut karena sikap manja Daniel. Ia mengerjapkan kedua matanya.
“Rasanya
sangat baik.” Daniel pun memejamkan mata.
Luna
tersenyum kecil. Membiarkan Daniel bersandar di bahunya.
***
0 comments