Review Buku I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki

01:50


I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki



Judul: I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki

Penulis: Baek Se Hee

Terbit: Cetakan pertama, Agustus 2019

Penerbit: Penerbit Haru

Jumlah halaman: 236 hlm ; 19 cm

ISBN: 978-623-7351-03-0




Katanya mau mati, kenapa malah memikirkan jajanan kaki lima? Apa benar kau ingin mati?

"Esai ini ditulis apa adanya berdasarkan pengalaman penulis yang mengalami distimia." - dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ


Aku: Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standar dan biasa saja?

Psikiater: Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki?

Aku: Iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri.

I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki adalah esai yang berisi tentang pertanyaan, penilaian, saran, nasihat, dan evaluasi diri yang bertujuan agar pembaca bisa menerima dan mencintai dirinya.

Buku self improvement ini mendapatkan sambutan baik karena pembaca merasakan hal yang sama dengan kisah Baek Se Hee sehingga buku ini mendapatkan predikat bestseller di Korea Selatan.




Awalnya saya nggak begitu tertarik sama buku ini. Tapi, karena Haru gencar promosinya, jadinya penasaran juga. Kekeke.

Ketika buku ini akan diterbitkan, ada special offer. Untungnya toko buku online langganan saya masuk dalam list toko buku online yang ikut program special offer dari Penerbit Haru. Jadilah beban saya menjadi ringan. Tidak perlu perang dengan bengis. Hehehe.

Saya sengaja memilih paket yang menawarkan buku dengan tanda tangan penulisnya. Uwu!!! Seneng, tapi nggak terlalu seneng juga. Wkwkwk. Gimana tho? Kan gampang, tanpa perang kayak kapan hari pas rebutin edisi bertanda tangan di Shopee. Jadi ya seneng, tapi biasa aja.

Inilah penampakan apa aja yang saya dapat dari paket yang saya pilih. Ada tanda tangan Mbak Se Hee. Keren kan! Tanda tangan asli. Pakek spidol item. Kekeke.







Nah, sekarang kita bahas isi bukunya ya! Seperti yang tertulis di bagian belakang buku yang kemudian saya tulis ulang di atas, buku ini berupa esai yang berisi percakapan antara penulis dan psikiaternya. Lalu, ada pula ungkapan isi hati dan pemikiran penulis. Simpelnya, buku ini adalah diary dari penulis yang membagi pengalamannya selama pengobatan kepada psikiater.

Pada bagian awal buku ada penjelasan dari Dokter Jiemi Ardian tentang apa itu distimia. Karena dalam buku ini, penulis didiagnosis menderita distimia. Menurut penjelasan Dokter Jiemi, distimia adalah bentuk kronis (jangka panjang) dari depresi.

Serem ya! Terkesan rumit juga. Tapi, pengalaman penulis sebagai penyintas depresi menyenangkan untuk disimak. Salah satu alasan yang membuat saya memutuskan untuk mengadopsi buku ini adalah karena buku ini berisi pengalaman penulis yang berusaha sembuh dari sakit mental yang ia alami. Saya meras, wah teman senasib dong!

Terlebih buku ini dilabeli sebagai buku bestseller di Korea dan ada beberapa idol yang membacanya. Dikemas promo apik dari Haru membuat saya kepincut dan beli melalui program special offer.


Selama saya membaca buku ini, saya merasa ada banyak hal yang sama, yang juga saya rasakan. Penulis pun didiagnosis mempunyai gangguan kecemasan. Walau saya tidak sampai memeriksakan diri ke psikiater, saya pun mempunyai masalah berupa gangguan kecemasan.

Memahami seseorang dengan gangguan mental memang sulit. Pemikiran mereka rumit. Tapi, sebagai sesama survivor, sedikit banyak saya paham pada pemikiran penulis. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya merasa kami memiliki banyak kesamaan. Yang paling kentara adalah sama-sama memiliki kepercayaan diri yang rendah.

Apa yang dirasakan penulis, beberapa saya pun pernah merasakannya. Bagaimana pemikiran itu sangat mengganggu dan membuat lelah.

Memang metode yang benar adalah berkonsultasi kepada ahlinya; psikolog atau psikiater. Sampai sekarang saya pun masih memendam keinginan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Tapi, saya juga takut jika nantinya harus mengkonsumsi obat. Karena itu, saya lebih memilih untuk melakukan self healing saja.

Buku ini bagus. Yang membuat saya sedikit nggak nyaman hanya adanya halaman berwarna pink (saya menyebutnya pink) dengan tulisan hitam. Jujur mata saya jadi sedikit sakit setiap kali membacanya. Terlebih saat membaca malam hari di dalam kamar. Lalu, ada sedikit typo. Tapi, tidak mengganggu karena bukan typo yang parah.



Nah, buat kalian yang merasa punya sakit jiwa. Waduuu! Sakit jiwa. Hehehe. Intiny punya masalah sama jiwa kita, boleh lah baca buku ini. Buku ini memberi kita gambaran bagaimana psikiater menuntun pasien untuk memiliki pemikiran lebih baik tentang dirinya.

Oya, buku ini belum selesai. Penulis menuliskan bersambung ke volume 2. Jadi, bakalan ada lanjutannya. Mungkin kisahnya setelah melakukan liburan sendirian.

Ah iya! Ngomong-ngomong soal liburan, psikiater mengatakan perbanyak jalan dan menyerap sinar matahari. Seperti yang kita tahu, sinar matahari mengandung vitamin D. Dan, vitamin D sangat bagus dikonsumi bagi penderita gangguan jiwa. Katanya, bisa mengatasi depresi. Pantas saja psikiater meminta penulis lebih banyak jalan kaki dan menyerap sinar matahari.

Sekian ulasan saya. Maaf jika ada salah kata. Terima kasih dan semoga bermanfaat.


Tempurung kura-kura, 31 Oktober 2019.
- shytUrtle -

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews