AWAKE "Rigel Story" - Bab VIII
05:15
AWAKE - Rigel Story
Bab VIII
Tahun
ajaran baru dimulai. Setelah mengikuti MPLS, murid kelas X menjalani hari
pertama di sekolah. Selain perkenalan dengan wali kelas, hari pertama diisi
dengan pemilihan pengurus kelas dan peminjaman buku paket ke perpustakaan.
Belum ada pelajaran di hari pertama sekolah usai liburan panjang semester.
Demi
menghindari kepadatan di perpustakaan, petugas perpustakaan memberikan jadwal
pengambilan buku. Hari Senin untuk murid kelas XII, Selasa untuk kelas XI, dan
Rabu untuk kelas X. Jadi, selama tiga hari itu jam aktif pelajaran belum
berlaku bagi seluruh murid.
Hari
pertama di sekolah berjalan lancar. Walau saat MPLS ada siswi yang hampir
kesurupan, murid senior dan junior tak terlalu meributkan hal itu. Karena, mereka
telah menerimanya sebagai ‘tradisi perkenalan tahun ajaran baru’. Setiap tahun
kejadian itu pasti ada. Jadi, walau Pearl dan gengnya menebar rumor tentang
kesurupan ada hubungannya dengan Rue, tak banyak yang menanggapi hal itu dengan
serius.
Hari
ketiga pengambilan buku paket. Rue bukan murid yang di rekurt untuk menjadi
relawan di perpustakaan. Tapi, ia berada di sana. Ia tak membantu relawan atau
petugas perpustakaan. Ia duduk saja di dalam perpustakaan sambil membaca sebuah
buku.
Keberadaan
Rue di perpustakaan membuat pengurus kelas dari kelas X yang mengantri untuk
mengambil buku paket jadi sedikit heboh. Mereka yang mengidolakan Rigel saling
berbisik dan terlihat antusias melihat Rue duduk sendirian di perpustakaan.
Walau ada beberapa murid senior yang juga menghabiskan waktu di perpustakaan,
tetap Rue yang terlihat menonjol di mata para junior.
Bangunan
perpustakaan hampir setara dengan ruang kelas. Hanya sedikit lebih luas dari
kelas. Rak buku di letakkan di pinggir. Di bagian tengah ada satu deretan rak
yang memisahkan meja dan kursi untuk pengunjung perpustakaan. Namun, karena
rak-rak buku itu hanya setinggi leher orang dewasa, perpustakaan pun tak
terlihat terlalu padat.
Ada
meja yang di jajar memanjang di sela antara rak di pinggir dan rak tengah.
Bangku-bangku ditata berjajar menemani meja-meja itu. Setiap bangku ditata
di sisi kanan dan kiri meja yang berjajar. Meja petugas berada di sisi kiri
pintu masuk. Di dekat meja petugas ada pintu yang menghubungkan perpustakaan
dengan kantor kepala perpustakaan.
“Buku
sejarah sekolah?” Suara itu menyita perhatian Rue.
Rue
mengangkat wajahnya. Tepat di hadapannya, seorang pemuda duduk bersila di atas
meja. Pemuda itu mengenakan Gwanbok
(hanbok/pakaian tradisional Korea untuk pegawai kerajaan abad ke-17) berwarna
biru. “Begitu kah cara seorang bangsawan duduk? Nggak sopan banget!”
Pemuda
itu menoleh, dan menatap Rue dengan wajah memberengut. “Aku kan sudah mati.
Untuk apa bertingkah sopan? Di depanmu pula!”
Rue
tersenyum. “Goong Doryeonim[1],
boleh aku bertanya sesuatu?”
Hantu
yang mengenakan Gwanbok itu
sebenarnya tak mengingat namanya sendiri. Tapi, ia mengaku jika hantu-hantu di
SMA Horison sering memanggilnya Goong.
Goong adalah Bahasa Korea yang
memiliki arti istana/palace. Mungkin
karena ia memakai baju pegawai kerajaan di era Joseon, jadi hantu lainnya
memanggilnya Goong. Rue sendiri
heran. Kenapa hantu era Joseon itu bisa berada di SMA Horison.
“Mengorek
informasi harus membayar.” Goong melipat tangan di dada dan bersikap sok
angkuh.
Rue
tersenyum. “Ya udah. Nggak jadi.”
“Lho?
Kok nggak jadi?” Goong menurunkan tangannya yang terlipat.
Rue
hanya mengangkat kedua bahunya. Tanpa berbicara. Ia kembali fokus pada buku di
hadapannya.
Goong
mengikuti arah pandangan Rue. “Kenapa kamu membaca buku sejarah SMA Horison?
Jam pelajaran kan belum aktif.”
“Apa
pernah ada murid yang meninggal di sekolah? Ah! Mungkin tertulis di buku
sejarah ini. Mari kita cari!” Rue seolah berbicara dengan dirinya sendiri.
“Tidak
ada!” Goong menjawab pertanyaan Rue. “Jika murid meninggal karena kecelakaan
atau sakit ada. Tapi, meninggal di sekolah tidak ada. Terlebih meninggal karena
ulah salah satu dari kami. Karena tahu sekolah ini angker, pihak sekolah tidak
pernah lupa melakukan persembahan dan doa bersama sebagai tanda saling
menghormati dengan kami.
“Sekolah
pernah merencanakan untuk membangun arena wall
climbing. Tapi, sebagian besar dari kami sengaja protes. Itu akan terlalu
beresiko. Karena, seperti manusia, banyak juga pendatang yang tiba-tiba muncul
di sini. Walau mereka hanya sekedar mampir, tapi tidak semuanya bisa diatur.
Kami hanya tidak ingin jadi kambing hitam kalau terjadi kecelakaan dengan
adanya wall climbing. Lagian manusia
zaman sekarang aneh. Untuk apa memanjat dinding tinggi seperti itu? Ingin menirukan
cicak? Atau, Spiderman?”
Senyum
tersungging di bibir tipis Rue. Ia mendapatkan informasi yang ia mau dengan
mudah. Goong memang mudah dibodohi. Bukan pertama kalinya Rue memanfaatkan
hantu era Joseon itu.
“Ngomong-ngomong
soal pendatang, kami sedikit merasa tak nyaman.” Goong melanjutkan. “Auranya… seperti
penjajah. Aku khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi.”
“Saat
MPLS, murid tersesat dan murid kesurupan, apa itu ulah salah satu dari kalian?”
“Bukan.
Murid-murid tahun ini sopan-sopan. Ya, walau beberapa dari mereka membicarakan
kami. Tapi, itu wajar. Kami sama sekali tak berniat juga tak berminat
mengganggu mereka.”
“Apa
ulah pendatang itu?”
“Entahlah.
Auranya gelap sekali jadi kami…” Goong diam, lalu menatap Rue. “Ya! Kau
mengorek informasi dariku!”
“Aku?
Kapan?”
“Itu
tadi!”
“Kan,
Doryeonim yang mulai cerita. Aku
hanya menjadi pendengar yang baik. Kalau aku tidak merespon, Doryeonim berpikir aku tidak sopan. Aku
hanya menanggapi cerita Doryeonim.”
“Ah!
Kau ini!” Goong sewot.
Rue
tersenyum dan menyandarkan punggung ke punggung kursi. Ia menoleh ke arah kiri.
Ternyata Hanjoo sudah duduk dekat di sampingnya.
Hanjoo
tersenyum. Saat ia tiba di perpustakaan, ia melihat Rue sedang duduk membaca
buku. Ketika ia mendekat, baru ia sadari jika Rue sedang berkomunikasi dengan
makhluk astral. Hanjoo bisa mengetahui hal itu karena Rue terlihat sedang dalam
kosentrasi penuh.
“Ngobrol
sama siapa?” Hanjoo buka suara setelah Rue membalas senyumnya.
“Pangeran
Joseon.”
“Aku
bukan Pangeran Joseon!” Goong protes.
Rue
hanya tersenyum menanggapi aksi protes Goong.
“Buku
sejarah sekolah?” Hanjoo membaca buku yang terbuka di depan Rue.
“Tidak
ada murid yang meninggal di sekolah. Informasi yang aku dapat, lebih akurat
dari apa yang ada di dalam buku ini.”
“Pangeran
Joseon?” Mulut Hanjoo bergerak tanpa suara.
Rue
mengangguk dan tersenyum.
“Kamu
yang terbaik.” Hanjoo memberikan dua jempolnya.
“Ayo!
Aku rasa kita harus melakukan penyelidikan.” Rue bangkit dari duduknya.
“Penyelidikan?”
Rue
mengangguk. Ia kemudian menoleh pada Goong yang masih duduk bersila di atas
meja dengan ekspresi sewot. “Kamsahamnida,
Doryeonim.” Rue berterima kasih menggunakan Bahasa Korea. “Seperti
biasanya, di tempat biasanya.”
Ekspresi
Goong berubah cerah. “Tiga ya?” Ia menunjukkan tiga jari tangannya pada Rue.
Girang karena Rue akan membakar dupa favoritnya di tempat favoritnya.
Rue
mengangguk.
“Saranghamnida, Rue!” Goong membentuk love sign dengan mengangkat kedua
tangannya di atas kepala.
Rue
tersenyum, menggeleng pelan, dan pergi bersama Hanjoo.
***
Esya,
Hongjoon, dan Axton berkumpul di kantin untuk makan siang. Mereka sengaja
memilih waktu mendekati bel masuk. Menurut mereka waktu akhir akan memberi
tempat yang longgar di kantin. Sayangnya prediksi mereka salah. Kantin masih
cukup padat ketika mereka datang.
Usai
memesan makanan, mereka pun duduk di meja yang sama. Mereka menikmati makan
siang dalam keheningan. Hingga ada dua siswa meminta izin duduk bergabung di
meja mereka. Axton mempersilahkan. Dua siswa itu pun duduk bergabung.
“Kira-kira
tadi Kak Rue ngapain ya? Di perpustakaan. Kaget aku liat dia duduk sendirian di
sana.” Siswa berambut cepak memulai obrolan dengan teman yang duduk di
hadapannya. Mau tak mau, Axton, Hongjoon, dan Esya pun mendengar obrolan itu.
Karena mereka duduk di meja yang sama.
“Katanya,
kalau dia lagi diem dan konsentrasi gitu. Artinya dia lagi komunikasi sama
makhluk astral.” Siswa berambut lurus yang dipangkas rapi dengan belah tengah
menanggapi.
“Masa
sih? Kamu tahu dari mana?”
“Baca-baca
di internet. Kita liatnya orang itu lagi diem. Padahal aslinya lagi ngobrol
sama makhluk astral.”
“Aku
nggak percaya. Fokus baca aja kali dia tadi.”
“Kenapa
cowok makan sambil bergosip sih!” Esya mengomentari dengan lirih.
“Bukannya
itu hal biasa? Kita aja yang terlalu hening.” Axton turut berbisik.
Dua
siswa itu bangkit dari duduknya. Sudah selesai makan.
“Busyet!
Patas banget makannya!” Axton dibuat heran dengan kecepatan makan dua rekan
seangkatannya itu. “Mereka laper apa doyan?”
Hongjoon
tersenyum melihat reaksi heran Axton.
Axton
kembali menatap Esya yang duduk berdampingan dengan Hongjoon bersebarangan
dengannya. “Esya, kamu Orion kan?”
“Iya.
Kenapa?”
“Bener
yang mereka omongin tadi?”
“Apa?”
“Keliatannya
diem, padahal lagi komunikasi sama makhluk astral. Rigel pernah bahas itu?”
“Tidak
pernah. Tapi, aku pernah baca artikel, katanya emang seperti itu. Orang dengan
indera keenam, kalau komunikasi dengan makhluk astral memang seperti itu.”
“Woa!”
Axton terkagum-kagum. “Trus, Kak Rue komunikasi sama siapa di perpustakaan?”
“Mana
aku tahu!”
“Hehehe.
Sekolah kita kan banyak penghuninya ya.”
“Udah
jangan dibahas lagi!”
“Oke.
Oke.”
Hongjoon
hanya diam dan menyimak. Ia pun penasaran tentang apa yang dilakukan Rue di
perpustakaan.
“Gimana
caranya ya?” Hongjoon yang duduk di salah satu bangku di bawah pohon di samping
kelas X-7 tiba-tiba bersuara.
Esya
yang sedang menonton video di Youtube
pun menoleh. “Cara untuk apa?” Ia balik bertanya.
Hongjoon
menghela napas dan melirik tangan Esya yang memegang ponsel. “Video Rigel?”
“Bukan.
Tapi, video favorit Rigel.”
“Video
favorit Rigel?”
Esya
bergumam dan menganggukkan kepala. “Reality
show ini adalah reality show
favorit Rigel.”
“Tayang
di TV?”
“Iya.
Tapi, tayangnya malem. Aku nggak kuat kalau begadang buat nonton. Makanya aku
nonton rekamannya di Youtube. Boleh dibilang, reality show ini adalah panutan Rigel.
Sama-sama memburu penampakan hantu di tempat-tempat seram.”
Hongjoon
terdiam. Menelaah penjelasan Esya. Ia pun tersenyum ketika menyadari di dunia
perburuan hantu ada idola dan panutan.
“Rue
sangat mengidolakan Master Parama.”
“Master
Parama?”
“Iya.
Paranormal pengasuh program reality show
misteri The World Between Us. Dalam
sebuah video, Rue pernah mengungkapkan jika dia sangat mengidolakan Master
Parama. Dan, ia juga berharap suatu saat Rigel bisa bergabung dalam The World Between Us. Ada yang bilang,
Rigel udah ngirim lamaran untuk menjadi peserta dalam The World Between Us. Kami, Orion mendukung tindakan Rigel. Kami
berharap mereka lolos. Mau nonton?”
“Nggak
ah.” Hongjoon langsung menolak.
“Tadi,
kamu nanya cara apa?”
“Nggak
jadi. Nggak enak juga dibahas di sini.”
Esya
menghela napas panjang dan menggeleng pelan. Lalu, ia kembali fokus pada layar
ponselnya.
***
“Pendatang?
Penjajah?” Dio merasa salah dengar ketika Rue menjabarkan hasil wawancara
dengan Goong.
Byungjae
mengaduk-aduk jus jeruk di hadapannya. “Apa artinya pendatang itu menjajah
makhluk halus yang ada di sekolah kita?”
Sepulang
sekolah, Rigel berkumpul di sebuah warung internet yang memiliki cafe yang
terletak di pinggir jalan yang mereka lewati saat berangkat dan pulang sekolah.
Banyak pengunjung berseragam sekolah seperti mereka. Karena tempat itu memang
tempat favorit sebagian besar pelajar di area itu.
“Emangnya
bisa pendatang menjajah penduduk asli?” Dio kembali bicara. Kemudian ia
memiringkan kepala. Merasa ada yang salah dengan pertanyaannya. “Belanda juga
pendatang yang menjajah penduduk asli Indonesia, kan? Ya ampun! Kenapa aku bego
banget sih!” Ia menyadari jika hal seperti itu bisa saja terjadi. Tidak hanya
di dunia manusia. Tapi, juga di dunia makhluk astral.
“Jika
Goong memiliki firasat buruk, kita harus lebih hati-hati.” Hanjoo ikut bersuara
setelah menyeruput jus stroberi di hadapannya.
“Ah!
Stroberi!” Rue mengeluh setelah melihat jus stroberi milih Hanjoo.
“Teringat
pada Strawmato?” Dio paham maksud
dari keluhan Rue.
“Tomato-nya di sini. Tapi, tidak dengan Strawberry.” Byungjae meralat. “Kapan Strawberry akan kembali?”
“Dia
baik-baik saja kan?” Dio menyambung.
“Mm.”
Rue mengangguk. “Dia bilang, aku nggak perlu khawatir. Dia pasti akan kembali
tepat waktu.”
“Dia
pasti menikmati waktu mudiknya. Kadang aku juga pengen pulang ke Venezuela.”
“Aku
juga kangen Korea.” Byungjae pun terbawa suasana.
Rue
dan Hanjoo kompak tersenyum saat menatap Dio dan Byungjae.
“Lalu,
apa misi kita selanjutnya?” Byungjae kembali antusias. “Menyelidiki si
pendatang?”
“Daripada
itu, aku lebih ingin menyelidiki Geng Mutiara!” Dio menolak misi yang diajukan
Byungjae.
“Kenapa
dengan mereka? Oh! Saat evaluasi itu ya? Kamu masih kesal?”
“Bukan
hanya itu! Sepanjang tahun, Pearl ingin menjatuhkan Rue. Terlebih setelah Rue
terpilih sebagai Presiden Sekolah. Rue, tahun ini kamu maju mencalonkan diri
lagi aja. Aku yakin kamu bakalan menang mutlak. Biar makin kebakaran alis itu
Pearl!”
“Kebakaran
alis? Hahaha.” Byungjae tergelak.
“Cewek
nggak punya jenggot tahu!” Dio kesal karena Byungjae menertawakannya.
“Aku
sih lebih setuju Kevin yang jadi next
School President. Dia lebih bertanggung jawab daripada aku.” Rue
mengomentari usul Dio.
“Iya
aku tahu. Tapi, jabatanmu sebagai Presiden Sekolah berguna untuk membujuk penghuni
lain di sekolah untuk tidak mengganggu murid. Negosiasimu berhasil. Karena kamu
Presiden Sekolah, mereka menganggap dan menghormati kamu.”
“Rue,”
Hanjoo meminta perhatian. “Jika benar tersesatnya Hongjoon dan siswi kesurupan
itu ulah hantu pendatang, berarti dia lebih kuat dari semua makhluk astral yang
ada di sekolah dong?”
“Bisa
jadi begitu.” Rue membenarkan.
“Kamu
nggak ngerasa gitu kalau misal ada sesuatu yang baru di sekolah?” Dio turut
bertanya.
“Nggak.
Belum sih. Kupikir itu wajar karena MPLS.”
“Lalu,
Dewa Kematian alias Malaikat Maut, apa ada hubungannya dengan si pendatang
itu?” Byungjae tak mau kalah.
“Hey!
Buat apa Dewa Kematian ngurusin arwah yang jelas udah mati? Tugas mereka kan
mencabut dan membimbing arwah. Tsk!” Dio kesal dengan pertanyaan Byungjae.
“Teka-teki
yang rumit ya.” Hanjoo tersenyum. “Semoga kita semua selalu dalam lindungan
Yang Maha Kuasa.”
“Aamiin…”
Byungjae, Dio, dan Rue kompak mengamini.
***
Rue
sampai di tempat tinggalnya. Ia hendak menaiki tangga untuk menuju tempat tinggalnya
ketika wanita paruh baya itu berjalan menghampirinya. Wanita itu memberikan
sepucuk surat kepada Rue. Setelah berterima kasih, Rue pun berjalan menaiki
tangga.
Rue
tinggal bersama kakeknya yang meninggal setahun yang lalu. Rumah hunian mereka
terdiri dari dua lantai. Suatu ketika, salah satu saudara dari kakek Rue minta
izin tinggal bersama. Rue tak bisa menolak keinginan sang kakek untuk berbagi
rumah dengan saudara mereka. Walau ia merasa tak nyaman, ia hanya bisa berusaha
memaklumi dan menerima keadaan.
Menyadari
ketidaknyamanan Rue, mendiang kakek Rue membuat bangunan khusus untuk Rue di
lantai dua. Akses naik ke lantai dua dari dalam rumah di tutup. Tangga
dipindahkan keluar. Bangunan di lantai dua itu terdiri dari satu kamar tidur,
dapur, kamar mandi, dan ruang tamu. Bangunan sederhana yang memberi Rue
kebebasan.
Sejak
bangunan itu jadi, Rue tinggal di lantai dua sendirian. Sedang mendiang
kakeknya tinggal di lantai dasar bersama salah satu saudara yang menumpang
tinggal beserta keluarganya yang terdiri dari istri dan dua orang anak
laki-laki.
Rue
meletakkan tas punggungnya di sofa. Usai mengambil air putih dari dapur, ia pun
duduk dan memeriksa surat yang ditujukan untuknya. Rue membuka surat itu dan
membaca isinya.
Ayah sedikit kecewa karena kau sama sekali tidak
berkunjung saat liburan panjang. Ayah sudah menyiapkan rencana liburan untuk
kita. Tapi, tidak apa-apa. Ayah senang melihatmu menikmati waktu liburan
bersama teman-temanmu. Datanglah berkunjung. Atau, izinkan Ayah yang menemuimu.
Harapan Ayah masih sama, tolong hentikan hobi ekstremmu itu Anakku. Berburu
penampakan bukanlah hobi yang aman.
Rue
menjatuhkan punggung usai membaca surat dari ayahnya. Walau ia memiliki ayah
dan ibu, kadang Rue merasa dirinya yatim piatu. Sejak kecil ia dirawat oleh
kakek dan nenek dari ayahnya. Sejak sang nenek meninggal, Rue hidup bersama
sang kakek. Yang ia tahu, ayah dan ibunya berpisah. Tapi, ia tak tahu alasan
pasti yang menyebabkan perpisahan kedua orang tuanya.
Walau
kedua orang tuanya masih hidup, Rue sangat jarang bertemu keduanya. Terlebih
bertemu dengan sang ibu. Kadang Rue berpikir, mungkin dia bukanlah anak kandung
ibunya. Karena dibanding dengan sang ayah, ibunya lebih jarang menemui Rue.
Frekuensi pertemuannya dengan sang ibu bisa dihitung dengan jari.
Rue
memejamkan kedua mata dan memijat keningnya. Setiap kali menerima surat dari
sang ayah, kepalanya selalu bereaksi; menjadi pusing. Rue membuka mata dan
menatap langit-langit ruang tamu. Ia menghela napas panjang, lalu kembali
memejamkan kedua matanya.
***
0 comments