AWAKE "Rigel Story" - Bab VII
04:55
AWAKE - Rigel Story
Bab VII
Rue,
Dio, Hanjoo, dan Byungjae berdiri mengitari ranjang tempat Hongjoon
beristirahat. Usai ditemukan dan dibawa kembali ke sekolah, Hongjoon di antar
untuk beristirahat di ruang UKS. Esya duduk di bangku yang di letakkan di tepi
ranjang.
Rue
memberi kode pada ketiga rekannya untuk pergi. Dio, Hanjoo, dan Byungjae yang
menerima kode itu pun langsung tanggap. Mereka pun pamit pergi agar Hongjoon
bisa istirahat.
“Beneran
kamu baik-baik aja?” Esya kembali memastikan kondisi Hongjoon.
“Aku
baik-baik aja. Maaf ya udah bikin kamu panik.”
Esya
menghela napas panjang. Meluapkan kelegaannya. “Bagaimana bisa kamu tersesat?”
“Nggak
tahu. Perasaan aku jalan ngikutin yang lain. Tahu-tahu aku udah ada di tengah
jalan gelap itu. Ketakutan, aku berlari. Sampai di jurang itu dan melihat lampu
penerangan jalan. Aku berdiam di sana. Terus berdoa agar Tuhan mengirim bantuan
untukku. Walau cukup lama, Tuhan mendengar dan mengabulkan doaku.”
“Sudah
kubilang harusnya kamu nggak ikut jurit malam!” Esya menyipitkan mata bulatnya.
Mengamati Hongjoon duduk di atas ranjang. “Ada apa denganmu?”
“Aku?
Kenapa? Nggak papa kok!”
“Wajahmu
berseri-seri! Ada apa sebenarnya? Lihat! Pipimu bersemu merah!”
“Aku
hanya merasa senang karena bisa kembali ke sekolah dengan selamat.”
“Begitu
ya?” Esya meragukan jawaban Hongjoon. “Ya sudah. Aku kembali ke kelas dulu.
Kalau kau butuh apa-apa, ada petugas jaga di luar.”
Hongjoon
hanya menganggukkan kepala. Esya pun bangkit dari duduknya dan keluar dari
ruangan tempat Hongjoon beristirahat.
Hongjoon
merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit. Ia tersenyum pada langit-langit.
Lalu, mengalihkan pandangan untuk mengamati sekitar. Ruangan tempat ia berada
temaram. Ada tiga ranjang di sana. Ranjang di pojok dan paling dekat dengan
pintu adalah tempatnya berbaring. Dua ranjang lainnya kosong.
Berada
sendirian di dalam ruangan temaram itu membuat bulu kuduk Hongjoon meremang. Ia
segera bangkit dari tidurnya. Lalu, buru-buru memakai sepatu dan merapikan
ranjang. Kemudian ia keluar dan meminta izin untuk kembali ke kelas. Petugas
sempat melarang, tapi Hongjoon mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Dan, ia
berjanji akan kembali ke UKS jika merasa tak baik. Daripada tidur di kasur tapi
sendirian di dalam ruangan yang mengerikan, Hongjoon lebih memilih kembali ke
kelas. Tidur beralaskan tikar, tapi tak sendiri, beramai-ramai bersama
teman-temannya.
***
“Bisa
jadi karena dia takut, lalu makhluk-makhluk tak kasat mata itu memanfaatkan
rasa takutnya dan membuatnya tersesat. Kita, manusia memang makhluk yang paling
sempurna. Tapi, kita juga punya kelemahan. Makhluk-makhluk tak kasat mata
diberkahi kemampuan yang tidak semua manusia memilikinya. Contohnya, membuat
kita tersesat.” Rue memberi jawaban atas pertanyaan Byungjae tentang bagaimana
Hongjoon bisa terpisah dari kelompoknya.
“Mereka
sangat ahli dalam memanfaatkan rasa takut manusia. Padamu sendiri, kenapa kamu
bisa kesurupan sedang kamu nggak melamun?” Rue menuding Byungjae yang duduk di
hadapannya.
“Karena
aku ragu dan merasa takut.” Byungjae menjawab dengan hati-hati.
“Nah,
kan? Ragu dan takut. Kombinasi yang sempurna yang bisa mereka manfaatkan untuk
menembus benteng pertahananmu! Lain lagi ceritanya kalau mereka memang lebih kuat
dan lebih mumpuni dari kita. Walau kita nggak takut, mereka yang lebih mumpuni
dari kita bisa berbuat apa aja.”
“Rumit
juga ya? Tapi, bener kayak apa yang Rue bilang. Mereka nggak jauh beda sama
kita, manusia. Ada yang baik, ada yang jahat.” Dio turut berkomentar. “Yang
usil dan jahat itu pasti yang suka ganggu manusia.”
“Sekolah
kita terkenal angker, jadi menurutku kasus kayak yang dialami Hongjoon bisa
saja terjadi.” Hanjoo pun ikut urun suara.
Seorang
siswa masuk ke dalam kantor Dewan Senior. Menyita perhatian Rigel yang sedang
berdiskusi di dalamnya. “Api unggun sudah siap. Kalian harus naik juga, kan?” Siswa
itu meminta Rigel hadir untuk acara api unggun.
“Oke.
Kami akan segera ke sana. Terima kasih.” Rue tersenyum pada siswa yang juga
merupakan anggota Dewan Senior itu.
Siswa
itu membalas senyum, lalu keluar dari kantor Dewan Senior. Rigel pun bangkit
dari duduknya, keluar dari kantor, dan berjalan menuju lapangan basket. Tempat
berkumpulnya senior dan junior untuk menggelar api unggun.
Saat
sampai di lapangan basket, kayu bakar yang dimasukan ke dalam tong sudah
terbakar dan menjadi api unggun. Murid baru duduk di atas lantai lapangan
basket. Beberapa senior pun sama. Para petugas medis dari PMR berjaga di tepi
lapangan. Acara api unggun malam itu digunakan sebagai sesi hiburan. Para
senior urun penampilan untuk menghibur para junior. Junior pun diberi
kesempatan untuk urun penampilan. Perwakilan dari beberapa ekstrakurikuler yang
ikut menginap pun ada yang urun penampilan. Rigel hanya mengawasi dari pinggir
lapangan. Mereka duduk bergabung dengan anggota Dewan Senior yang lain, yang duduk
di depan barisan murid baru.
Tawa
Rue yang sedang menyaksikan sebuah pertunjukkan stand up comedy dari rekan seangkatannya sirna. Ia menegakkan
punggungnya dan menatap ke barisan kelas X-8. Ia kembali melihat ‘Dewa
Kematian’ di belakang barisan murid kelas X-8.
Rue
melirik Hanjoo yang duduk di sebelah kanannya. Pemuda itu larut terbahak-bahak
dengan murid lain. Di samping kanan Hanjoo, Dio dan Byungjae juga sama. Larut
dalam tawa karena pertunjukan stand up
comedy. Rue kembali menatap ke arah depan. Dewa Kematian itu masih ada di
sana. Fokus menatapnya. Tatapan yang sukses membuatnya gusar.
Tiba-tiba,
ia melihat salah satu siswi kelas X-8 yang sedang duduk ambyuk ke belakang.
Menimpa teman sekelasnya. Gadis yang tertimpa temannya yang pingsan pun panik.
Memanggil petugas PMR yang berjaga di belakang barisan. Barisan kelas X-8 jadi
sedikit ricuh dan menyita perhatian seluruh murid yang berkumpul di lapangan
basket.
Byungjae,
Dio, dan Hanjoo kompak menoleh ke arah kiri ketika melihat salah satu siswi
kelas X-8 pingsan. Kening Rue berkerut dan gadis itu terfokus menatap barisan
kelas X-8.
“Aku
yakin Dewa Kematian pasti sedang berada di sana.” Dio berbisik lirih.
Byungjae
kembali menatap barisan kelas X-8. Ia melihat siswi yang pingsan sudah digotong
petugas PMR. “Tapi, Hongjoon baik-baik saja.” Ia mengamati Hongjoon yang duduk
di dalam barisan kelas X-8.
Rue
menatap siswi pingsan dalam gendongan tiga petugas PMR. Hanjoo dan Dio juga
terfokus pada titik yang sama dengannya.
“Apa
perlu kita menyusul ke UKS?” Hanjoo menoleh ke kiri dan menatap Rue.
“Nggak
usah.” Rue tak mengalihkan pandangannya.
“Ya
sudah.” Hanjoo kembali menatap ke depan. Memperhatikan Hongjoon yang duduk di
dalam pasukan kelas X-8.
Dio
dan Byungjae yang sebelumnya memperhatikan Rue pun kembali menatap ke depan.
Rigel pun kembali menonton pertunjukkan.
Seorang
siswa yang di lehernya dihiasi scraf
PMR mendekati Rue. Ia membisikan sesuatu pada Rue. Rue mengangguk, lalu
mencolek Hanjoo agar pemuda itu ikut dengannya. Dio dan Byungjae menoleh ketika
Hanjoo dan Rue bangkit dari duduknya. Tapi, Rue memberi kode agar mereka tetap
tinggal. Dio dan Byungjae kompak menganggukkan kepala.
Rue
dan Hanjoo mengikuti petugas PMR yang menemui Rue. Mereka berjalan terburu-buru
menuju ruang UKS. Menurut petugas PMR yang menemui Rue, siswi yang sebelumnya
pingsan kesurupan. Ketika mereka tiba di ruang UKS, siswi itu berteriak-teriak
histeris. Empat petugas PMR perempuan memegangi siswi yang dibaringkan di
ranjang yang letaknya di tengah.
Rue
buru-buru mendekati ranjang untuk memeriksa kondisi siswi yang kesurupan. “Dia
ngomong apa?” Ia bertanya pada empat petugas PMR yang mengitari ranjang untuk
memegangi siswi yang kesurupan.
“Nggak
ada. Teriak-teriak gini aja. Tadinya kupikir dia udah sadar. Tiba-tiba melek
dia. Ternyata kesurupan.” Jawab siswi yang memegangi lengan kiri siswi
kesurupan.
Rue
berjalan menuju siswi yang menjawab pertanyaannya. Siswi itu bergeser, memberi
ruang untuk Rue. Rue mengelus puncak kepala siswi yang kesurupan. Mulutnya
berkomat-kamit merapalkan mantra. Kemudian ia melakukan gerakan seolah menarik
sesuatu dari tubuh siswi kesurupan melalui puncak kepalanya. Siswi itu pun
kembali tak sadarkan diri. Perlahan, empat siswi yang memegangi siswi
kesurupan perlahan melepas siswi itu.
“Sudah
aman?” Tanya siswi yang berada di samping kiri Rue.
“Aman.
Tolong kasih dia air mineral yang aku tinggal di ruang jaga.” Rue memberi
jawaban.
“Eh?
Air dalam botol besar itu?” Siswa yang berdiri di samping kanan Hanjoo
menyahut.
“Iya.”
Rue membenarkan.
“Aduh!
Airnya tadi aku minum. Udah habis.” Siswa itu merasa bersalah.
“Itu
kan air doa yang dibuat Rue! Khusus buat murid kesurupan! Kok malah kamu minum
sih! Kan udah aku bilang jangan diminum!” Siswi yang berdiri di samping kiri
Rue marah.
“Habisnya
kenapa ditaruh di meja gitu aja. Aku nggak tahu kalau itu air doa.” Siswa yang
berdiri di samping kanan Hanjoo membela diri.
“Kalau
gitu, tolong carikan air mineral. Biar aku doain lagi di sini.” Rue menengahi
cek-cok di antara dua anggota PMR itu.
Siswa
yang meminum air doa bergegas keluar untuk mendapatkan air mineral permintaan
Rue.
***
Ditemani
Hanjoo, Rue berkeliling untuk menengok kelas tempat murid-murid kelas X tidur.
Setelah yakin suasana aman, mereka kembali ke basecamp PMR. Di sana Dio dan Byungjae masih terjaga. Keduanya
duduk di depan basecamp.
“Gimana?
Aman?” Byungjae menyambut kedatangan Rue dan Hanjoo.
“Semoga
saja.” Rue duduk bergabung.
“Kesurupan
saat MPLS kan wajar terjadi. Pas kita MPLS dulu juga ada kejadian kayak gitu.
Kata senior, itu emang tradisi. Tapi, kok kamu kayaknya khawatir banget gitu
Rue?” Dio paham jika Rue sedang khawatir.
“Karena
malaikat kematian itu ya? Dewa Kematian.” Byungjae menyambung.
Rue
menghela napas panjang. “Iya. Dia nggak pernah muncul di sekolah. Tapi, kenapa
tiba-tiba saja dia muncul di sekolah. Itu membuatku kepikiran.”
“Udah
fix dia mendampingi Hongjoon?” Byungjae
penasaran.
“Entahlah.
Sebelumnya dia muncul nggak deket dengan korban kayak gitu.”
“Dia
ngajak main teka-teki?”
“Mungkin.”
“Jadi,
bisa aja bukan Hongjoon. Tapi, murid X-8 yang lain?” Dio menerka-nerka.
“Atau,
murid kelas X.” Byungjae menambahkan.
“Rumit.
Tapi, Rue. Kamu nggak seharusnya kepikiran kan? Kamu bukan Tru Davies dari
serial Tru Calling yang tugasnya
menunda kematian seseorang.” Dio mencoba menghibur.
“Iya.
Aku tahu. Memang nggak seharusnya aku kepikiran kayak gini.” Rue membenarkan
pendapat Dio.
“Kita
tunggu aja. Apa yang akan terjadi 40 hari ke depan. Hanya itu kan yang bisa
kita lakukan?” Byungjae turut menenangkan Rue.
Rue
mengangguk. Lalu tersenyum lebih tulus untuk menenangkan keempat rekannya.
***
Hari
Minggu, pukul sepuluh pagi para murid baru diizinkan pulang usai mengikuti
upacara penutupan. Karena sudah menjadi tradisi, tahun ini pun ada sandiwara
yang didalangi para senior. Karena hebatnya akting para senior, banyak junior
yang terjebak dalam sandiwara. Membela para senior yang didakwa bersalah. Para
gadis pun banyak yang menangis karena beberapa senior putri juga menangis demi
berhasilnya sandiwara mereka.
“Sudah
kubilang itu hanya sandiwara. Tapi, kamu malah nangis.” Hongjoon mengolok Esya.
Mereka berjalan menuju gerbang untuk pulang.
“Kamu
yang nggak punya perasaan. Liat senior pada berantem gitu biasa aja.” Esya
membela diri.
“Kan
aku udah tahu kalau itu sandiwara. Mereka ngapain?” Hongjoon menatap gerbang.
Ada beberapa senior berdiri berjajar di sana. Menyalami para murid kelas X yang
pulang.
Esya
melihat ada Dio dan Byungjae dalam barisan senior. Tapi, Rue tidak ada. Sedang
Hanjoo duduk di bangku yang berada di belakang barisan para senior. Ia duduk
dan mengobrol dengan seorang senior perempuan.
Esya
menghela napas dan bersama Hongjoon masuk ke dalam barisan murid baru untuk
menyalami para senior yang mengantar kepulangan mereka di gerbang.
“Itu
Rigel, kan?” Bisik Hongjoon yang berdiri di belakang Esya.
“Iya.”
“Kok
Kak Rue nggak ada?”
Esya
menoleh dan menyipitkan mata ketika menatap Hongjoon.
“Aku
belum berterima kasih padanya.”
Esya
kembali menghadap depan dan menyalami senior yang berada paling ujung sebelah
selatan. Hongjoon yang berada tepat di belakangnya mengikuti.
Para
senior yang berjajar di dekat gerbang rata-rata mengucap maaf saat menyalami
murid baru. Detub jantung Esya mendadak meningkat ketika ia semakin dekat
dengan Byungjae dan Dio. Sesekali ia mencuri pandang pada Hanjoo yang masih
betah di tempat ia duduk. Jantung Esya seolah terjun bebas ketika ia melihat
Hanjoo menatapnya. Pemuda itu tersenyum, lalu bangkit dari duduknya dan meminta
ruang untuk berdiri di samping kiri Dio. Esya jadi salah tingkah. Ia berusaha
mengusai dirinya karena semakin dekat pada Byungjae.
“Selamat
datang di SMA Horison!” Byungjae tersenyum manis saat menyalami Esya. Esya
hanya bisa tersenyum kikuk dan mengangguk.
“Selamat
bergabung di SMA Horison!” Gantian Dio yang menyalami Esya. Di belakangnya,
Byungjae mengucap kata yang sama pada Hongjoon. Sedang Esya, pun memberikan
reaksi yang kurang lebih sama pada Dio.
Detub
jantungnya semakin tak karuan ketika ia sampai di depan Hanjoo dan pemuda itu
menjabat tangannya. “Maafkan kesalahan kami ya. Hati-hati di jalan.” Hanjoo
tersenyum dan meminta maaf saat menjabat tangan Esya.
Esya
merasakan panas yang berpusat di wajahnya. Ruang di dalam dadanya pun tiba-tiba
dipenuhi ribuan bunga yang bermekaran. Ia tersenyum lebar dan tulus, lalu
menganggukkan kepala dengan antusias. Hanjoo pun kembali tersenyum, lalu
melepas jabatan tangannya.
Esya
menunduk dan tak bisa berhenti tersenyum ketika sampai pada senior berikutnya.
“Kamu
pasti Orion ya?” Senior laki-laki itu menggoda Esya.
Byungjae,
Dio, dan Hanjoo pun kompak menoleh ke kiri. Ketiganya tersenyum memperhatikan
rekan mereka menggoda Esya.
Rue
duduk di bangku yang letaknya di belakang gedung perpustakaan di dekat kelas
XI-5. Ia memperhatikan senior dan junior yang berinteraksi di dekat gerbang.
Saat Hongjoon muncul. Ia menghela napas lega, karena tak melihat sosok Malaikat
Maut di dekat pemuda itu. Semoga selamat
sampai tujuan, Jin Hongjoon. Ia membatin harapan terbaik untuk Hongjoon.
***
Setelah
semua murid baru meninggalkan sekolah, para senior yang menjabat sebagai Dewan
Senior dan MPK berkumpul di aula. Mereka mengadakan evaluasi kegiatan. MPK yang
bertugas mengevaluasi Dewan Senior. Terutama yang menjadi panitia MPLS. Mereka
berhak memberi sanksi pada Dewan Senior yang dinilai melakukan banyak
pelanggaran.
Dalam
sidang itu, Pearl, Ruby, dan Linde yang mendapat banyak tuduhan pelanggaran
dari MPK. Walau banyak bukti yang ditunjukkan, Pearl dan kedua rekan satu
gengnya itu terus membela diri.
“Oke!
Saya terima sanksinya. Tapi, tolong koreksi juga tentang Presiden Sekolah kita.
Apa karena dia tidak menjadi panitia MPLS, maka dia berhak bersantai-santai dan
jarang memantau jalannya MPLS?” Pearl mengaku menyerah. Tapi, ia masih menuntut
MPK untuk menimbang ulang peran Rue selaku Ketua Dewan Senior (Presiden
Sekolah) selama MPLS.
“Kenapa
dia gitu banget sih pada Rue?” Dio yang duduk di samping kiri Byungjae dengan
lirih mengomentari aksi protes Pearl.
“Rue
jadi lebih tenar dari dia. Aku rasa itu alasannya.” Byungjae merespon.
“Tentu
saja kami akan mengevaluasi semua anggota Dewan Senior. Karena itu merupakan
tugas kami.” Nicky tetap tenang. Ia tak goyah sedikitpun walau Pearl memojokkan
dirinya dengan menggunakan Rue.
Hampir
seluruh anggota MPK dan Dewan Senior bisa mengendus rasa suka Nicky pada Rue.
Termasuk Pearl dan gengnya. Sedikit membawa urusan pribadi ke forum seperti
yang dilakukan Pearl, bisa menjadi senjata ampuh untuk bertahan.
“Termasuk
peristiwa hilangnya salah satu murid saat jurit malam, dan siswi yang kesurupan
di malam yang sama. Itu harusnya menjadi tanggung jawab Presiden Sekolah kita
kan? Karena, sebelumnya dia mengatakan telah membuat perjanjian dengan makhluk
astral di sekolah ini.” Pearl melancarkan aksinya.
“Dia
niat mempermalukan Rue di forum! Biar aku yang bicara!” Dio geram.
“Jangan!”
Rue memegang tangan kiri Dio yang berada di sebelah kanan ia duduk. “Sudah.
Diam saja.” Ia menepuk-nepuk tangan Dio.
Dio
menghembuskan napas dengan kasar dan menatap Pearl penuh kekesalan.
“Nona
Pearl, saya rasa ini sudah terlalu jauh melencong.” Kevin menengahi. “Kita dulu
juga pernah berada di fase yang sama. MPLS dan adanya murid kesurupan. Aku rasa
Nona Pearl pasti masih ingat apa yang dikatakan para senior saat itu pada kita.
Tidak apa-apa, hal itu sudah biasa
terjadi di sekolah kita. Karena hari ini banyak orang baru yang menginap di
sekolah, seperti layaknya kita manusia, beberapa dari mereka pun ada yang
penasaran. Yang usil biasanya suka membuat keributan dengan mengambil alih
tubuh manusia hingga terjadilah kesurupan.
“Mengingat
momen setahun yang lalu itu, saat kita baru diterima di sekolah ini dan
mengikuti prosesi MPLS, saya rasa Nona Pearl tahu jika peristiwa hilangnya
murid dan murid kesurupan di luar kendali Rue sebagai Presiden Sekolah.” Kevin
menutup pembelaannya.
Mayoritas
yang berada di dalam aula untuk mengikuti sidang, mendukung ulasan Kevin dan
memojokkan Pearl. Pearl kesal. Ia membuang muka dan beurusaha keras meredam
emosinya.
Hampir
seluruh anggota Dewan Senior terkena teguran saat evaluasi. Termasuk Rigel.
Namun, karena kesalahan yang mereka buat masih bisa dimaklumi. Mereka pun tak
terkena sanksi.
Saat
Rue dan Dio berjalan bersama menuju gerbang, Pearl, Ruby, dan Linde mencegat
mereka.
“Ada
apa lagi ini kunyuk!” Dio menggerutu.
“Aku
menikmati sanksiku. Jadi, jangan pikir aku terbebani karena semua ini!” Pearl
dengan angkuhnya.
“Sebagai
ketua, aku minta maaf karena tidak bisa menjagamu dengan baik.” Rue benar
menyesal.
Pearl
mengibaskan tangannya di udara. “Sebaiknya kamu hati-hati. Tahun ajaran baru
dimulai. Kalau kamu nggak becus, kamu bisa diturunkan dari jabatan.”
“Bukan
diturunkan, tapi emang udah waktunya ganti.” Dio meralat pernyataan Pearl. “Aku
yakin Rue nggak akan keberatan dan nggak akan merasa kehilangan kalau misal
nanti nggak dicalonkan lagi sebagai ketua. Kalau kamu mau, ambil aja!” Dio
menarik tangan kanan Rue dan menuntun rekannya itu untuk pergi dari hadapan
Pearl. “Dasar psikopat!” Ia mengumpat karena kesal pada sikap Pearl.
Rue
hanya tersenyum menanggapi umpatan Dio. Kening Rue berkerut saat ia semakin
dekat dengan gerbang. Di tengah pintu gerbang yang terbuka seluruhnya, sosok
Malaikat Kematian berdiri. Ia tampak penuh wibawa ketika berdiri dengan
kedua tangan disembunyikan di balik punggungnya seperti itu
Rue
yang sempat tersihir oleh pesona Malaikat Maut mengerjapkan kedua matanya.
Kesadarannya telah kembali. Ia terbebas dari sihir yang mengikatnya. Hongjoon sudah pergi, tapi kenapa dia masih
di sini? Siapa sebenernya yang menjadi targetnya?
Rue
berjalan menuju bangku yang berada di bawah pohon rindang di dekat gerbang. Di
sana Hanjoo dan Byungjae sudah duduk menunggu. Ketika ia dan ketiga rekannya
melewati gerbang, Malaikat Maut terus menatapnya. Senyuman misterius yang
terkembang di wajah pucat pemuda dengan kostum serba hitam itu sukses membuat
Rue bergidik ngeri. Rue pun menundukkan kepala. Ia berharap Malaikat Maut itu
tidak mengikutinya.
***
0 comments