Episode #24 “Setiap Rahasia Punya Resiko Untuk Terbongkar.”
Linda
dan Jisung duduk berdampingan di dalam bus. Namun, sama-sama terdiam. Pagi
tadi, dengan perasaan berbunga-bunga Jisung menunggu Linda di halte bus.
Sebenarnya ia ingin menjemput gadis itu. Tapi, Linda menolak dan meminta untuk
bertemu di halte saja, lalu berangkat bersama menuju tempat janjian.
Linda
muncul lima menit sebelum waktu yang ditentukan untuk janjian. Jisung sempat
dibuat tertegun saat gadis asal Indonesia itu muncul. Dalam balutan baju casual
itu, Linda terlihat sangat manis. Dengan topi yang dipakainya sebagai pelengkap
dadanan simple boyish, Linda terlihat
semakin manis. Jisung menyukai gaya simpel Linda.
Setelah
naik bus, mereka sama-sama terdiam. Sesekali Jisung memulai obrolan. Linda
menanggapi, lalu mereka ngobrol. Lalu, saling diam dan sesekali mengobrol lagi.
Siklus itu terus berputar sampai bus tiba di halte terakhir. Saat perjalanan
pulang pun sama. Setelah masuk ke dalam bus, mereka saling terdiam.
“Sebenarnya,
perjalanan ke Lotte World lebih cepat
dan lebih seru naik subway.” Jisung
memulai obrolan. “Tapi, naik bus juga menyenangkan ya.” Ia tersenyum. Linda
turut tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Huft…”
Jisung menghela napas panjang. “Sangat lelah sekali ya. Dan, aku merasa
bersalah pada Guanlin. Dia harus mentraktir kita semua.”
“Sama.
Tapi, dia bilang dia patungan sama Luna Seonbae.” Linda akhirnya buka suara.
“Eh?
Masa??”
“Iya.
Tadinya aku mau bayar tiketku sendiri. Saat ada kesempatan, aku mengutarakan
keinginanku pada Lin Lin. Tapi, dia bilang nggak usah. Luna Seonbae udah bantu
dia banyak.”
“Anak
itu selalu begitu. Bertindak semaunya! Tahu gitu kan aku juga bantu!” Jisung
menggerutu cepat. Ia malu pada Linda karena tak membantu Guanlin seperti yang
dilakukan Luna. “Tapi, jadi Luna itu enak ya. Walau masih sekolah udah bisa
hasilin duit.”
Linda
tersenyum dan mengangguk. “Tapi, apa yang kita lihat belum tentu beneran enak
kan?”
“Iya.
Contohnya surat ancaman itu. Aku yakin Luna terbebani walau dia berakting cuek
dan minta Sungwoon berhenti mencari pelaku.”
“Luna
Seonbae itu baik ya?”
Jisung
menoleh ke arah kanan, menatap Linda yang duduk di dekat jendela. “Menurutmu?”
Linda
mengerjapkan kedua matanya ketika mendapat pertanyaan balik dari Jisung.
Jisung
tersenyum melihat reaksi Linda. “Luna baik atau nggak, jawabannya tergantung
pada siapa kamu bertanya. Karena kamu bertanya padaku, maka akan aku jawab
sesuai cara pandangku. Maaf jika jawabanku bertentangan dengan apa yang kamu
yakini selama ini tentang sosok Luna.”
Linda
mengangguk samar.
“Luna
itu baik. Walau kadang sikapnya suka semaunya sendiri dan itu membuatku sebal.
Dia baik dan perhatian pada teman. Jika ada yang minta bantuan dan dia mampu,
dia pasti mau bantu. Tapi, kadang ia menyebalkan juga.” Jisung diam sejenak.
Linda pun diam, menunggunya melanjutkan penjelasan.
“Bukan
hanya Luna, setiap orang pasti dinilai baik dan buruk. Yang suka akan mendukung
dan menilai baik. Yang benci pasti akan menghujat dan menilai jelek. Ada yang
bilang Luna itu angkuh. Sebenarnya, dia hanya pendiam. Dia sering mengaku
khawatir untuk mulai menyapa atau sejenisnya. Makanya banyak yang bilang dia
angkuh dan sombong.”
“Padahal
udah terkenal, tapi kok kesannya Luna Seonbae minder gitu ya?” Linda menanggapi
penjabaran Jisung tentang Luna.
“Jadi
terkenal itu bukan kemauan Luna. Dia sering bilang gitu. Dia sendiri nggak
nyangka dapat keajaiban nilai Matematika bagus dan tertinggi di sekolah. Jadi,
sebenarnya itu membebaninya juga.”
“Karena
itu dia terkesan menarik diri?”
Jisung
menganggukkan kepala. “Aku juga nggak begitu memahami dia. Tapi, aku senang
bisa berteman dengannya.” Ia melirik Linda yang hanya diam, tak memberi
komentar.
“Dia
bahkan mengancamku.” Jisung kembali bicara.
“Lho?”
Linda menoleh, menatap Jisung. “Diancam siapa?”
“Luna.”
“Luna
Seonbae? Diancam bagaimana?”
“Walaupun
Linda nggak punya hubungan khusus sama aku, tapi aku nggak akan tinggal diam
kalau kamu manfaatin dia buat pelarian doang!” Jisung menirukan bagaimana Luna
memperingatkannya tentang Linda.
Mulut
Linda membulat mendengar pengakuan Jisung. Ia tertegun dengan mulut terbuka
selama beberapa detik. Kemudian ia mengerjapkan kedua matanya dan menggelengkan
kepala. “Tunggu! Apa maksudnya manfaatin buat pelarian?” Linda kembali menatap
Jisung.
Jisung
menghela napas. “Jangan salah paham seperti Luna. Akan aku jelasin semua. Tapi,
ini rahasia. Karena, menyangkut orang lain. Jadi, kamu harus simpen rahasia ini
kan?”
Kening
Linda berkerut.
“Aku
percaya kamu kok. Dengar baik-baik. Aku akan ceritakan semua padamu.” Jisung
pun menceritakan kenapa Luna sampai memberinya peringatan tentang Linda. Ia
menceritakan semua, termasuk tentang dirinya, Daerin, dan Seongwoo.
Linda
diam dan menyimak. Ia menyimpulkan jika sikap Daerin kurang baik pada Luna,
karena Jisung dekat dengan Luna. Rumit
sekali, ia membatin.
“Aku
emang masih bingung sama perasaanku ke kamu. Tapi, aku suka sama kamu, Linda.”
Jantung
Linda seolah terjun bebas ke lantai bus ketika Jisung tiba-tiba mengakui
perasaannya. Tubuhnya pun memanas dan panas itu berpusat di wajahnya. Ia pun
menunduk. Tak berani mengangkat kepalanya.
“Karena
itu aku ingin dekat denganmu, Linda. Aku berharap, aku bisa menemukan jawaban
dari pertanyaanku. Aku harap, kamu nggak akan berubah ke aku. Setelah aku
mengakui semua ini.” Jisung menatap Linda yang duduk dengan kepala tertunduk. “Linda?
Apa aku membuatku nggak nyaman?”
“Nggak.
Nggak kok.” Linda perlahan mengangkat kepalanya dan tersenyum kikuk pada
Jisung.
Jisung
tersenyum ketika melihat wajah Linda yang memerah. “Maaf ya. Maaf karena udah
lancang menyukai kamu.” Mata sipit Jisung tiba-tiba melebar. “Pasti ini
membuatmu nggak nyaman banget. Kamu suka Dan—.”
“Nggak
papa.” Linda memotong ucapan Jisung. “Aku kagum sama Daniel. Bukan berarti suka
seperti yang seonbae maksud, kan?”
Jisung
menghela napas panjang. “Daniel sama menderitanya denganmu. Dia suka Luna, tapi
Luna udah pacaran sama Jihoon. Baginya, bisa jadi teman Luna pasti udah cukup.
Bisa berada di dekat orang yang dia sayangi. Kayak apa yang dilakuin Seongwoo
ke Daerin. Kayak apa yang aku lakuin ke kamu.”
Linda
kembali menundukkan kepala.
“Aku
nggak hanya suka ke kamu. Tapi, juga sayang ke kamu. Apa ini terlalu dini?”
Linda
bergeming dan menunduk semakin dalam. Tidak memberi respon pada ungkapan
Jisung.
***
Rania
yang keluar dari rumahnya dibuat terkejut karena ada motor terparkir di depan
pagar rumahnya, di dekat pintu masuk pagar. Seseorang yang duduk di atas motor
sport itu menegakkan punggungnya ketika Rania muncul. Rania sempat
memperhatikan motor dan pengendaranya itu, kemudian ia yang hendak berjalan
pergi dibuat urung karena pengendara itu memanggil namanya sembari mengangkat
tangan kanannya untuk menahan langkahnya.
Rania
yang urung berjalan kembali memperhatikan pengendara motor yang sedang membuka
helm full face yang dikenakannya.
Kedua mata Rania melebar ketika melihat wajah di dalam helm yang sudah terlepas
itu.
“Hwang
Minhyun?” Rania kemudian mengerjapkan kedua matanya.
Minhyun
tersenyum dan mengangguk.
“Kamu
ngapain di sini?” Rania berjalan mendekati Minhyun yang berada jarak tiga
langkah darinya.
“Jaehwan
memintaku menjemputmu. Dia khawatir kamu nyasar kalau pergi sendirian.”
Rania
tercenung mendengar penjelasan Minhyun.
“Kata
Jaehwan, kamu memang udah pernah ke peternakannya. Tapi, itu sama orang tuamu.
Sebenarnya Woojin yang khawatir kalau kamu pergi sendirian. Karenanya, Woojin
meminta Jaehwan untuk memintaku menjemputmu.”
“Park
Woojin? Pasti itu kamu kan, Cing!” Rania bergumam dalam Bahasa Indonesia.
“Rania?”
“Eh!
Iya!” Rania tersenyum kikuk pada Minhyun yang sudah mengulurkan helm. Ia pun
menerima helm itu dan memakainya. Kemudian naik ke atas motor Minhyun. “Terima
kasih. Maaf merepotkan.”
Minhyun
menyunggingkan sebuah senyuman. Menutup kaca helm full face yang sudah ia kenakan kembali. Ia pun menyalakan mesin
motornya, lalu membawa Rania dalam boncengannya untuk menuju peternakan ikan
air tawar milik ayah Jaehwan.
***
Luna
memperhatikan Jinyoung yang duduk di bangku sebelah kanan darinya dan Woojin.
Ia duduk satu bangku bersebelahan dengan Woojin. Pagi-pagi Woojin sudah datang
ke rooftop-nya bersama Jinyoung.
Menurut Woojin, Jinyoung yang datang menjemputnya dan mengatakan ingin ikut
pergi menjemput Luna. Karena kunjungan mendadak di hari Minggu pagi itu, Luna
pun harus menjamu kedua tamunya untuk sarapan. Ia pun membuat sandwich sederhana sebagai menu sarapan
untuk mereka bertiga.
Memperhatikan
Jinyoung yang duduk sendiri di seberang sana, Luna pun tersenyum. Ia teringat
ketika pemuda itu melahap sandwich
buatannya, lalu memujinya enak. Luna merasa senang, karena akhirnya Jinyoung
bisa membaur dan mulai hidup normal layaknya remaja kebanyakan.
Woojin
menoleh ke kiri dan mendapati Luna sedang memperhatikan Jinyoung. “Wae?”
“Dia
keliatan seneng banget. Harusnya kamu duduk sama dia. Biar dia ada temen ngobrol.”
Luna tanpa mengalihkan fokusnya.
Woojin
beralih menoleh ke kanan, ikut memperhatikan Jinyoung. Ia pun tersenyum, lalu kembali
menoleh pada Luna. “Makanya, ayo kita bantu dia biar bisa pacaran sama Lucy.”
Imbuhnya dengan lirih.
Luna
beralih menatap Woojin. “Kamu yakin itu yang dia butuhkan?”
Woojin
diam dan berpikir. “Coba dibikin deket aja dulu. Ending-nya gimana, terserah mereka.”
Luna
tersenyum nakal pada Woojin.
“Wae??”
“Mau
buka biro jodoh ya?”
“Kalau
bisa jadi bisnis yang menjanjikan, kenapa nggak?”
Tangan
kanan Luna melayang dan jatuh di dada Woojin hingga membuat pemuda itu memekik.
Luna mengabaikan reaksi Woojin. Ia menyandarkan punggung ke punggung kursi bus.
Ia menatap keluar jendela.
Woojin
yang masih mengelus dadanya, terus memperhatikan Luna. Ia merasa gemas pada
tingkah Luna. Beberapa detik lalu gadis itu terus memperhatikan Jinyoung, lalu
menggodanya. Tapi, setelah melayangkan pukulan itu, ia kembali dingin.
“Kamu
kenapa?” Woojin kembali bertanya pada Luna.
“Cue,
apa bisa sampai dengan selamat di tempat Jaehwan.” Luna menatap keluar jendela.
“Rania?
Tenang. Aku udah minta Jaehwan menjemputnya kok. Tapi, Jaehwan nggak bisa.
Jadinya, Minhyun yang jemput Rania. Sekalian berangkat.”
“Minhyun?”
Suara Luna hampir tak keluar ketika ia menyebut nama itu sembari beralih
menghadap Woojin.
“Iya.
Kenapa? Reaksimu gitu banget. Cemburu ya?”
Tangan
kanan Luna kembali melayang dan mendarat di dada Woojin.
“Anarkis
banget sih!” Woojin kembali mengelus dadanya. “Emang kenapa kalau Minhyun
jemput Rania?”
“Cue
gampang keceplosan.”
“Trus
kenapa?”
Luna
mengalihkan pandangan ke tempat Jinyoung berada. Di sana, Jinyoung menatapnya.
Entah sejak kapan. Karena Luna diam, tak memberinya respon, dan justeru menatap
ke tempat Jinyoung duduk. Woojin pun turut menatap ke tempat Jinyoung berada.
Jinyoung tersenyum padanya.
“Kalau
kalian seperti itu, nanti dikira kalian itu sepasang kekasih lho!” Jinyoung
mengomentari keakraban Luna dan Woojin. Wajahnya dihiasi senyum.
“Diam
kau! Kalau Jihoon dengar, aku bisa mampus!” Woojin memprotes komentar Jinyoung.
Tapi, ia tak bisa menyembunyikan senyum itu. Ia merasa ada sesuatu yang
membuncah di dadanya karena komentar Jinyoung. Sesuatu yang membuatnya tak bisa
menahan diri untuk tidak tersenyum.
Luna
menggelengkan kepala. Menyandarkan punggungnya kembali pada punggung kursi.
Mengabaikan bagaimana Woojin menatapnya dengan wajah dihiasi senyuman itu.
***
Woojin,
Luna, dan Jinyoung tiba di perempatan tempat Luna janjian untuk bertemu Lucy
dan Hami. Hami bersedia membantu Woojin. Ia membujuk Lucy untuk ikut bergabung
dalam undangan reuni Jaehwan. Hami mengatakan ia juga akan ikut dalam acara
reuni itu. Ketika Lucy setuju untuk ikut, Woojin lah yang paling berbahagia. Ia
jadi percaya diri bahwa rencananya akan sukses.
Ketika
ketiganya sampai, Lucy sudah berada di sana. Berdiri di dekat sebuah toko yang
letaknya paling dekat dengan perempatan. Luna menyapa Lucy. Jinyoung dan Lucy
sempat terlihat kaget satu sama lain saat kembali bertemu. Keduanya juga
canggung. Woojin berusaha menengahi. Sedang Luna, menelpon Hami yang belum
muncul.
“Mwo??
Kamu nggak bisa dateng?? Gimana sih??” Suara Luna menyita perhatian Woojin,
Lucy, dan Jinyoung. Woojin tersenyum samar mendengarnya. Sedang Jinyoung datar
saja. Lucy menggigit bibir bawahnya dan terlihat khawatir.
“Iya
lah Lucy udah di sini! Dia udah di sini sebelum aku datang!” Kening Luna
berkerut. “Trus gimana dong?”
Woojin,
Lucy, dan Jinyoung kompak menatap Luna. Menyimak Luna yang sedang menelpon
Hami.
“Ya
udah. Lucy biar sama aku aja. Jangan khawatir! Aku bakalan jaga dia. Semoga
lekas membaik.” Luna mengakhiri obrolannya dengan Hami. Ia menghela napas dan
menatap Lucy dengan ekspresi menyesal. “Hami agak nggak enak badan. Dia nggak
bisa dateng. Kayaknya kecapekan karena kemarin main entah sampai jam berapa di
taman bermain.”
“Sama
kamu?” Woojin yang pertama memberi respon.
“Iya.
Tapi, aku pulang duluan. Hami tetap tinggal sama Edward, Jisung, dan Linda.”
“Edward?”
“Guanlin.”
“Oh.”
“Ya
udah. Lucy sama aku aja ya?” Wajah Luna kembali berseri. Ia tersenyum manis
pada Lucy.
Woojin
lagi-lagi memperhatikan perubahan ekspresi dan emosi Luna. Ia tersenyum
melihatnya. “Kamu emang pantes masuk Klub Teater!” Ia berbisik dekat di telinga
Luna.
Luna
mengabaikan bisikan Woojin. Ia berdiri di samping kanan Lucy, menggandeng
tangan gadis itu dan mulai berjalan bersama menuju peternakan ikan air tawar
milik ayah Jaehwan.
Dari
perempatan tempat janjian itu, hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ke
peternakan ikan air tawar milik ayah Jaehwan dengan berjalan kaki. Di samping
kanan dan kiri jalan utama berjejer toko-toko yang menjual ikan hias. Ada juga
yang menjual ikan segar langsung dari kolamnya seperti ayah Jaehwan.
Luna
dan Lucy berjalan dalam diam. Namun, tangan Luna masih melingkar di lengan
kanan Lucy. Woojin dan Jinyoung berjalan di belakang keduanya. Saat sampai di
peternakan ikan air tawar milik ayah Jaehwan, Rania dan Minhyun sudah ada di
sana bersama Jaehwan. Ketika mendengar Luna datang, ibu Jaehwan muncul dan
menyambut baik gadis asal Indonesia itu.
***
Peternakan
ikan air tawar milik ayah Jaehwan berada di belakang gedung yang dijadikan
tempat pemasaran produk. Gedung itu digunakan untuk menerima pembeli. Sedang
tempat budidaya ikan air tawar ada di kolam-kolam buatan di belakang bangunan
sederhana yang memiliki satu ruang yang dijadikan kantor, satu kamar tidur,
satu kamar mandi, dan dapur. Kamar tidur itu di bangun karena ayah Jaehwan
sering menginap di peternakannya. Terlebih jika mendekati musim panen. Walau
sudah memiliki penjaga yang setiap malam menginap, ayah Jaehwan kadang memilih
tinggal. Menginap di peternakannya.
Walau
gedung utama peternakan tergolong sederhana, peternakan ikan air tawar milik
ayah Jaehwan termasuk dalam lima peternakan terbaik di area itu. Peternakan itu
memiliki pelanggan tetap berupa beberapa restoran kenamaan di Seoul.
Para
pemuda bersiap untuk menangkap ikan. Sedang para gadis digiring ke dapur oleh
ibu Jaehwan. Wanita itu terus menempel pada Luna sejak gadis itu tiba. Rania
dan Lucy mengikuti di belakang keduanya. Ibu Jaehwan sudah mempersiapkan bumbu
yang dibutuhkan Luna.
“Luna,
punya resep rahasia yang enak sekali untuk membakar ikan.” Ibu Jaehwan
membanggakan Luna di depan Rania dan Lucy. “Aku mencoba membuatnya. Tapi, kata
Jaehwan itu tidak seenak buatan Luna. Padahal bumbunya sama. Hanya dilumuri
bawang putih dan garam yang dihaluskan. Tapi, tetap saja kata Jaehwan rasanya
berbeda.”
Rania
tersenyum jahil pada Luna yang berdiri di samping ibu Jaehwan. Luna mendelik
padanya. “Bumbunya jangan diblender Imo. Tapi, digerus.” Rania kemudian
berkomentar.
“Iya.
Udah. Itu alat pemberian ibu Luna. Oleh-oleh dari Indonesia.” Ibu Jaehwan
menuding cobek dan ulekan yang sudah siap di dapur. “Aku sudah mengupas
bawangnya. Kamu bisa mulai membuat bumbu.” Ibu Jaehwan mempersilahkan Luna
untuk mulai membuat bumbu. Ibu Jaehwan pun pamit karena suaminya memanggil
untuk meminta bantuan.
“Selalu
kelupaan jeruk nipisnya.” Luna mengamati bumbu-bumbu yang disiapkan ibu
Jaehwan. “Lucy, bisa tolong ambilkan jeruk nipis dalam tasku? Ada di gazebo di
dekat kolam.” Ia meminta bantuan Lucy.
Lucy
mengangguk. Lalu pergi meninggalkan dapur.
“Calon
mantu idaman ibunya Jaehwan nih!” Rania mendekati Luna dan menyikut sahabatnya
itu. Ia berbicara dalam Bahasa Indonesia. “Oleh-olehnya cobek sama ulekan.
Dalem banget maknanya. Trus, itu si Jaehwan pakek kaos yang kamu kasih lagi.
Jangan-jangan…”
“Diam
kau!” Luna membentak Rania.
Rania
tergelak. “Kenapa sih, Cing? Dari semuanya, kok loe bisa kejebak sandiwara sama
Jihoon? Ya kan ada Sungwoon yang jelas care
sama loe.”
“Kok
selalu ke Sungwoon sih larinya?”
“Trus,
ada Jaehwan yang… loe liat. Ortunya welcome
dan baik ke loe. Kenapa malah jatuhnya ke pelukan Jihoon? Gue heran deh
sama elu!” Rania mengelus dagunya.
Lucy
kembali. Membawa jeruk nipis permintaan Luna.
“Tolong
bantu cuci dan iris jadi dua ya.” Luna kembali meminta bantuan pada Lucy.
“Aku
aja.” Rania mengambil alih tugas yang diberikan Luna pada Lucy.
“Lalu,
saya bantu apa?” Lucy canggung.
“Jangan
terlalu formal. Ini kan bukan di sekolah. Santai saja.” Luna menghibur. Tapi,
Lucy masih tampak canggung. “Mau tahu cara orang Indonesia masak?”
Lucy
menatap Luna dengan ekspresi bingung.
“Sini!
Mendekat padaku!”
Lucy
pun mendekat dan berdiri di samping kiri Luna. Ia melihat Luna meletakkan
beberapa siung bawang putih ke atas alat yang sebelumnya dituding ibu Jaehwan.
“Eh,
kita mau bakar berapa ikan ya Cue?” Luna bertanya pada Rania dengan menggunakan
Bahasa Indonesia. Membuat Lucy menatapnya, lalu beralih pada Rania.
“Mana
gue tahu! Ya udah lu ulek aja berapa gitu. Kalau nyisa kan bisa disimpen buat
calon ibu mertua lu itu.” Rania menjawab dengan Bahasa Indonesia.
“Sialan
lu, Cue!”
Rania
tergelak. “Maaf, Lucy. Itu tadi Luna nanya baiknya dia membuat bumbu seberapa
banyak. Aku suruh dia bikin yang banyak. Kan nanti bisa disimpen buat Imo.”
Lucy
tersenyum dan mengangguk. Ia pun memperhatikan Luna yang mulai menghaluskan
bumbu. “Begitu itu apa tidak sulit?” Ia penasaran.
“Kalau
bawang putih sama garam sih nggak. Kan cukup empuk. Lain cerita kalau harus
gerus bumbu masakan lain yang ada… apa ya Bahasa Korea-nya. Ada jahe, kunyit,
lengkuas. Seperti itu.”
Lucy
memiringkan kepala dan memasang ekspresi bingung. “Jahe ada di sini. Lainnya
itu apa?”
“Bumbu
masakan Indonesia beragam. Kapan-kapan kita masak bareng. Kita ngumpul aja cewek-cewek.
Di rumahku, atau di tempat Luna. Kita masak makanan Indonesia.” Rania menyela.
Lucy
berbinar mendengarnya. “Boleh ya?”
“Tentu
aja boleh. Iya kan, Cing?”
“Iya.”
Luna mengangguk.
“Cing?”
Lucy bingung.
“Luna
si kucing bulan. Pasti tahu kan?”
“Foto
profil Luna Seonbae ya?”
“Nah!
Itu!” Rania menuding Lucy karena jawaban gadis itu tepat. “Lucy tahu tentang
Luna ya?”
“Karena
Luna Seonbae pernah menolongku. Aku jadi mengintip akun sosial medianya.” Lucy
malu-malu.
“Penasaran
ya? Dan yang kamu temuin, ternyata dia memang gila.”
Lucy
tersenyum malu-malu.
“Selesai!
Yuk! Kita liat. Para lelaki dapat apa!” Luna mengajak Lucy dan Rania untuk
melihat apa yang sedang dilakukan para pemuda.
Luna,
Lucy, dan Rania sampai di area kolam. Mereka melihat Jaehwan, Woojin, Jinyoung,
dan Minhyun yang berusaha menangkap ikan. Jaehwan sibuk menangkap ikan sambil
mengoceh memberi tahu cara menangkap ikan pada Woojin, Jinyoung, dan Minhyun.
“Cing,”
Rania yang berdiri di samping kiri Luna menyikut lengan kiri Luna. “Inget
liburan terakhir kita nggak? Sebelum loe berangkat ke Korea. Ke rumah nenekku
dan kita tuwu ikan di kolam liar yang airnya lagi surut.”
“Kamu
pasti ingetnya bagian aku jatuh trus badan kena lumpur semua.”
“Hehehe.
Iya. Masa kecil kita indah banget ya.”
Luna
dan Rania sama-sama menatap kolam ikan dengan wajah dihiasi senyuman. Mereka
mengenang masa kecil yang mereka lalui bersama saat masih di Indonesia.
Rania
menghela napas panjang. “Nggak nyangka setelah ketemu lagi, loe jadi makin
aneh.”
Luna
tersenyum mendengar keluhan Rania. Sedang Lucy yang berdiri di samping kanannya
tetap diam. Tentu saja gadis itu tak paham apa yang sedang ia bicarakan dengan
Rania. Karena ia dan Rania menggunakan Bahasa Indonesia.
“Kami
hanya mengenang masa kecil saat di Indonesia. Kami mempunyai masa kecil yang
hampir sama. Berhubungan dengan kolam ikan.” Luna memberi penjelasan pada Lucy.
“Aku
tidak apa-apa Seonbae. Jangan merasa sungkan. Pasti menyenangkan bisa bertemu
dengan orang dari negara yang sama ketika kita berada di negara asing.” Lucy
memaklumi.
“Gomawo,
Lucy.”
Kemudian,
ketiga gadis itu diam dan menonton para pemuda yang sedang sibuk menangkap ikan
dibawah arahan Jaehwan.
“Ya,
bagaimana kalau kita adu kemampuan?” Woojin mengutarakan ide yang muncul di
kepalanya.
“Adu
kemampuan apa?” Tanya Jaehwan.
“Tangkap
ikan yang besar dan berikan untuk salah satu gadis di sana.” Woojin
menggerakkan kepala, menunjuk pada Lucy, Luna, dan Rania. “Berikan pada gadis
yang kalian suka.”
“Ya!
Semua ikan di peternakan ayahku ini besar! Apalagi di kolam ini. Ini kolam siap
panen tahu!”
“Kamu
khawatir nggak bisa dapat ikan besar atau nggak berani ngasih ke gadis yang
kamu suka?”
“Aku…
Nggak! Aku nggak takut!” Jaehwan membusungkan dada. “Ayo! Kita adu kemampuan!
Aku pasti akan mendapatkan ikan yang besar.”
“Gadis
yang sudah diberi ikan lebih dulu, tidak boleh diberi oleh yang lain.”
“Oke!
Oke!”
“Bagaimana?
Minhyun? Jinyoung?”
Minhyun
dan Jinyoung sama-sama diam.
“Ayolah!
Ini hanya permainan. Suka bukan berarti cinta kan?” Jaehwan berkacak pinggang.
“Tapi,
suka bisa jadi awal dari cinta.” Woojin menyanggah. “Oke! Ayo kita mulai
permainannya!”
Woojin
mengerlingkan mata pada Jaehwan. Jaehwan terlihat bingung, tapi kemudian
mengangguk. Woojin tersenyum dan bergerak mendekati Minhyun sambil melirik
Jinyoung yang mulai sibuk dengan alat penangkap ikannya.
“Tolong
hindari Lucy.” Woojin berbisik lirih pada Minhyun.
Mendengarnya,
Minhyun mengangkat kepala dan menatap Woojin dengan ekspresi bingung.
“Ikuti
saja. Ini permainan untuk mendekatkan Jinyoung dan Lucy.”
“Mwo??”
“Pokoknya
hindari Lucy ya.” Woojin menepuk pundak Minhyun dan menjauh.
Dari
tempatnya berdiri, Luna memperhatikan tingkah empat pemuda yang sedang sibuk di
salah satu kolam ikan. Keningnya berkerut memperhatikan tingkah Woojin. Dia mulai menjalankan rencananya? Ia
membatin. “Kita duduk aja yuk! Atau kalian ingin nyoba nangkap ikan?”
“Kalau
boleh tuwu, aku mau.” Rania menjawab dalam Bahasa Indonesia. Sembari berjalan
menuju salah satu gazebo di pinggir kolam. Gazebo tempat barang-barang mereka
di letakkan.
Luna
dan Lucy menyusul langkah Rania. Lalu, ketiganya duduk di dalam gazebo.
Menunggu para pemuda menangkap ikan.
“Harusnya
Minhyun nggak usah ikutan nangkep ikan. Momen kayak gini kan bagus buat diabadikan.”
Luna mengomentari keikutsertaan Minhyun dalam usaha menangkap ikan.
“Kenapa
gitu?” Rania memberi respon.
“Dia
kan anak Klub Fotografi. Ingat bagaimana Seongwoo saat di kebun kakek Sungwoon?
Hasil fotonya bagus, kan? Candid-nya.”
“Ah
iya!” Rania tersenyum dan menganggukkan kepala.
Ketiga
gadis yang duduk di dalam gazebo dibuat terkejut karena keempat pemuda yang
sebelumnya sibuk menangkap ikan, tiba-tiba berjalan cepat ke arah mereka.
“Mereka
ngapain?” Rania berubah tegang.
Lucy
yang duduk di sebelahnya pun menunjukkan reaksi yang sama. Luna yang juga
kaget, berusaha bersikap paling datar. Ia sendiri bingung dengan apa yang
terjadi.
Tiga
gadis semakin tegang ketika melihat empat pemuda yang sebelumnya sibuk
menangkap ikan tergesa-gesa menuju ke arah mereka. Luna, Rania, dan Lucy
sama-sama menunjukkan ekspresi panik ketika melihat para pemuda mulai berlari.
Minhyun
dan Jaehwan memimpin di depan. Sama-sama berlari sekencang mereka bisa.
Jinyoung berada di belakang keduanya dan Woojin berada di urutan paling
belakang. Jaehwan tiba lebih dulu di depan Rania. Ia tersenyum lebar dan
mengatur napasnya yang terengah-engah. Ketika melihat Jinyoung akan menyusul
Minhyun, Woojin menarik baju Jinyoung.
“Ya!
Mwoya!” Jinyoung memprotes tindakan Woojin.
Minhyun
sampai di depan Luna. Ia kemudian membungkuk, memegang kedua lututnya sambil
mengatur napasnya yang terengah-engah.
Woojin
mendorong Jinyoung hingga pemuda itu hampir menabrak Lucy yang sedang duduk.
Untung Jinyoung bisa mengendalikan tubuhnya hingga ia tak jatuh menimpa Lucy.
Woojin
berhenti tepat di belakang Jaehwan yang sudah duduk di depan Rania yang duduk
di antara Luna dan Lucy di dalam gazebo. “Game
over! Aku kalah!” Woojin tersenyum puas. “Jadi, itu kah gadis-gadis yang
kalian sukai?”
Jaehwan
yang masih duduk di depan Rania menoleh, dan meringis sambil menatap Rania yang
terkejut sampai mulutnya terbuka. Lucy menatap Jinyoung yang berdiri di
depannya dengan bingung. Jinyoung pun tersenyum canggung pada Lucy. Luna
menatap Minhyun yang berjongkok di hadapannya, memunggungi dirinya. Luna
tersenyum samar, lalu beralih menatap Woojin. Pemuda itu tersenyum puas
padanya.
***
Jaehwan
dan Woojin berada di dapur. Mereka membersihkan ikan-ikan yang mereka tangkap.
Karena Jaehwan memilih Rania, gadis itu pun turut berada di dapur. Membantunya dan
Woojin yang sedang membersihkan ikan. Rania menggelengkan kepala, karena
Jaehwan dan Woojin terus cek-cok soal cara membersihkan ikan yang benar.
“Kalau
kalian adu mulut terus, kapan selesainya?” Rania angkat bicara. Menengahi
cek-cok antara Jaehwan dan Woojin.
“Kan
aku ahlinya!” Jaehwan merasa dirinya yang paling mahir dalam membersihkan ikan.
“Ya
udah. Kamu kerjain sendiri!” Woojin hendak cuci tangan.
“Eh!
Eh! Kamu kan bisa bantu cuci ikan yang sudah aku bersihin!” Jaehwan menahan
Woojin.
Rania
tersenyum dan menggeleng melihat tingkah dua temannya itu.
“Rania,
maaf ya. Itu tadi hanya permainan. Tujuanku membuat permainan itu, tak lain
untuk mendekatkan Jinyoung dan Lucy.” Woojin mengakui ulahnya pada Rania.
“Mereka
saling suka ya?” Rania penasaran.
“Nggak
sih. Tapi, aku pengen bikin mereka deket aja. Kamu tahu cara mereka bertemu itu
unik? Siapa tahu mereka emang ada jodoh.”
“Luna
tahu?”
“Tahu.
Dia sempet nggak setuju. Tapi, akhirnya bantu juga. Lucy mau ikut itu karena
Luna. Luna minta bantuan Hami untuk membujuk Lucy agar mau ikut. Sebenarnya
Luna membuat rencana agar Hami tak datang hari ini. Demi menghindari Lucy yang
mungkin akan nempel Hami terus kalau Hami di sini. Sepertinya Tuhan memihak
kami. Hari ini, Hami benar-benar tidak enak badan.”
“Wah!”
Rania kagum.
“Untung
Minhyun mau bantu. Jadi, dia nggak milih berhenti di depan Lucy.”
Rania
tersenyum dan mengangguk.
“Aku
tadi sengaja lari cepat dan milih Rania, itu biar Minhyun milih Luna. Aku liat
pas kamu deketin Minhyun. Aku yakin kamu kasih instruksi Minhyun buat nggak
milih Lucy.” Jaehwan mengutarakan alasan kenapa dia memilih Rania.
“Jadi,
kamu milih Rania karena alasan itu? Bukan karena kamu suka Rania?” Woojin
menggoda.
“Nggak
gitu. Aku suka Rania. Suka Luna juga.”
“Serakah!”
“Karena
kamu pengen bikin Jinyoung dan Lucy deket, aku jadi pengen bikin Luna sama
Minhyun baikan.”
“Niat
kamu bagus sih. Tapi, liat nggak gimana tadi Minhyun di depan Luna? Masa dia
jongkok membelakangi Luna.”
“Kan
masih awal. Pas proses penyelidikan kasus Jinyoung, mereka juga nggak ngobrol kan?
Malah aku jadi tukang pos! Aku berharap sih mereka bisa baikan.”
“Karena
itu, aku bagi tugas per couple kayak
gini.”
“Kira-kira
Luna sama Minhyun berhasil siapin api buat manggang nggak ya? Trus, gimana
Jinyoung dan Lucy yang kebagian nyiapin sayur buat lalapan.”
Rania
diam. Menyimak obrolan Woojin dan Jaehwan tentang Luna dan Minhyun.
“Kalau
mereka nggak berantem, pasti Luna sama Minhyun bisa jadi couple terkenal kayak Song Hyuri dan Kim Myungsoo Seonbaenim.
Sebenernya Luna kepilih jadi anggota OSIS lho! Tapi, dia mundur. Alasannya
nggak suka organisasi. Aku yakin karena ada Minhyun di sana.”
“Song
Hyuri dan Kim Myungsoo Seonbaenim kan pacaran. Luna sama Minhyun nggak.” Woojin
membantah pendapat Jaehwan.
“Tapi,
masa iya gara-gara tugas sekolah berantemnya awet? Sampai tahunan? Pasti ada
masalah lain.”
“Luna
sama Minhyun kenapa sih?” Tidak tahan dengan rasa penasarannya, Rania pun
angkat bicara. Menyela obrolan Jaehwan dan Woojin.
“Luna
nggak cerita ke kamu?” Woojin menoleh. Demi melihat Rania yang berdiri di
belakangnya.
Rania
menggeleng.
“Ngapain
juga Luna cerita ke Rania? Kan, mereka baru kenal.”
Woojin
dan Rania saling melempar pandangan, lalu kompak tersenyum. Karena Jaehwan tak
tahu jika Rania adalah sahabat Luna dari Indonesia, wajar jika pemuda itu
mengatakan sanggahan itu.
“Luna
sama Minhyun itu teman baik semasa SMP. Cerita itu masuk ke sekolah kita
setelah Luna meraih nilai Matematika tertinggi untuk kelas X. Salah satu siswi
yang dulunya satu SMP sama mereka yang mulai menyebarkan cerita. Sebagai
tambahan dari cerita 'sejarah Luna
mendapat nilai Matematika tertinggi terulang lagi'. Banyak yang tertarik
dengan kisah Luna dan Minhyun. Katanya, mereka berantem karena Luna ngilangin
tugas sekolah mereka. Tugas kelompok Minhyun dan Luna. Trus, mereka saling diam
sampai lulus dan sampai jadi satu sekolah lagi di SMA Hak Kun. Sampai sekarang
sih.” Jaehwan menceritakan tengang Minhyun dan Luna.
Rania
diam. Menelaah cerita Jaehwan tentang Luna dan Minhyun. “Jangan-jangan…” ia
bergumam. Ekspresinya berubah serius.
“Lanjutin
ya! Aku mau liat persiapan di luar.” Woojin mengeringkan tangannya. “Sekalian
aku panggil Luna buat bumbui ikannya.”
“Rania,
bantu aku cuci ikannya.” Jaehwan meminta bantuan Rania setelah Woojin
meninggalkan dapur.
“Eh!
Iya! Iya!” Rania bergegas mengambil alih tugas Woojin.
Saat
sampai di lokasi yang akan digunakan untuk membakar ikan, Woojin menemukan
Minhyun sedang membantu ayah Jaehwan memberi makan ikan-ikan di kolam. Lucy dan
Jinyoung duduk di gazebo, menata sayuran yang akan digunakan untuk lalap.
Woojin
mendekati gazebo. “Luna mana?” Ia bertanya pada Lucy dan Jinyoung.
“Ke
depan sama ibu Jaehwan.” Jinyoung menjawab.
“Kok
nggak nyiapin api sama Minhyun?”
“Katanya
nunggu ikan dibaluri bumbu dulu. Dari ikan dibaluri bumbu, nunggu lima belas
menit dulu sebelum dibakar. Kata Luna, lima belas menit itu untuk nyiapin api.”
“Luna
ngobrol sama Minhyun?” Woojin melirihkan suaranya.
Jinyoung
diam sejenak, lalu mengangguk. “Di dekat panggangan tadi. Sebelum ngasih tahu
kami soal api. Lalu, ayah dan ibu Jaehwan datang. Luna pergi sama ibu Jaehwan,
Minhyun ikut ayah Jaehwan.”
Woojin
menghela napas dan berkacak pinggang. “Aku cari Luna dulu. Ikannya udah selesai
dibersihin.”
Rania
duduk di gazebo bersama Lucy. Tak jauh dari gazebo, Minhyun, Woojin, dan
Jinyoung sedang menyiapkan api. Jaehwan dan Luna masih ada di dapur bersama ibu
Jaehwan.
Tatapan
Rania terfokus pada Minhyun. Benaknya dipenuhi pertanyaan tentang Minhyun dan
Luna. Ia ingin sekali menemui Luna dan bertanya secara langsung, tapi di dapur
sana Luna tak sendirian. Ia pun menghela napas panjang dan baru teringat pada
Lucy yang ada bersamanya.
Rania
tersenyum, karena teringat tentang rencana Woojin yang ingin mendekatkan Lucy
dengan Jinyoung. “Lucy.” Ia pun memberanikan diri untuk mengajak Lucy ngobrol.
“Iya?”
Lucy yang sibuk dengan ponselnya pun mengalihkan perhatian pada Rania.
“Tadi
itu… mengejutkan ya? Itu, ketika mereka membawa ikan ke depan kita.”
Lucy
menundukkan kepala dan mengangguk.
“Aku
kaget. Masa iya Jaehwan suka padaku? Lalu, Jinyoung ke kamu. Dan, Minhyun ke
Luna. Kasihan banget Minhyun. Kan Luna udah pacaran sama Jihoon.” Rania melirik
Lucy. Menunggu respon gadis itu. “Padahal kalau Minhyun bisa sama Luna kan
keren. Sama-sama terkenal. Ya, walau Jihoon juga terkenal sih. Tapi, kan lebih
keren Minhyun.”
Lucy
masih menunduk. Rania merasa putus asa. Sepertinya Lucy tidak akan meresponnya.
“Siswi
asing yang pintar dan wakil ketua OSIS. Dua tokoh yang indah.” Rania menambahkan.
Tapi, Lucy masih bergeming. “Lalu, tentang Jinyoung dan kamu. Pertemuan kalian
unik ya.”
Lucy
serta merta mengangkat kepala ketika mendengar ungkapan Rania. Rania sampai
dibuat terkejut karena reaksi gadis itu.
“Aku
datang ke sekolah tepat setelah cerita tentang kamu dan Jinyoung ramai
dibicarakan. Aku duduk tepat di depan Bae Jinyoung. Jaehwan menceritakan semua.
Agar aku tak salah paham. Menurutku kisah kalian unik. Nggak nyangka ternyata
Jinyoung beneran suka sama kamu.” Rania tersenyum.
“Seonbae,
tidak lihat kalau tadi Park Woojin Seonbae mendorong Bae Jinyoung Soenbae?” Lucy
berbicara dengan hati-hati.
Rania
menarik senyumnya. Ia tak menyangka jika Lucy begitu jeli. “Bisa jadi karena
Woojin memang membantunya. Setahuku mereka satu klub kan? Di Klub Basket.
Layaknya kita kaum cewek, cowok pun kadang saling berbagi cerita. Aku rasa
Jinyoung cerita ke Woojin kalau dia suka kamu. Tapi, Jinyoung kan juga pendiam
sama kayak kamu. Jadinya, susah buat memulai. Karena itu, Woojin membantunya.”
Wajah
Lucy memerah. Ia kembali menundukkan kepala. Rania tersenyum melihat perubahan
warna wajah Lucy.
“Kalau
Lucy juga suka, aku dukung lho! Aku siap membantu!” Rania menyanggupi.
“Seonbae…”
Wajah Lucy memerah.
Rania
pun menertawakannya.
Luna
muncul bersama Jaehwan dan ibunya. Luna membawa ikan yang sudah dibumbui dan
diletakan dalam satu wadah. Ketika Luna mendekati tempat pemangang, Minhyun
segera minggir. Menjaga jarak dari Luna. Rania memperhatikannya dari tempat ia
duduk. Ketika Luna mulai memanggang, Minhyun, Woojin, dan Jinyoung minggir dan
bergabung duduk di gazebo. Meninggalkan Luna bersama Jaehwan dan ibunya.
Ketiganya sibuk membakar ikan dan terlihat sangat akrab. Rania tersenyum
melihatnya.
Setelah
ikan selesai dibakar, Jaehwan menyajikannya di gazebo. Sedang Luna membantu ibu
Jaehwan membawa ikan bakar untuk ibu dan ayah Jaehwan yang akan makan bersama
di dalam gedung. Selesai membantu ibu Jaehwan, Luna kembali ke gazebo dan
bergabung untuk makan siang bersama. Teman-teman Luna memuji ikan hasil olahan
Luna. Hanya Minhyun yang diam dalam menikmati hidangan. Rania masih
memperhatikan gerak-gerik Luna dan Minhyun.
Rania
menarik Luna ke dapur ketika gadis itu hendak kembali dari kamar mandi.
“Ada
apa sih?! Bikin kaget aja!” Luna sedikit kesal karena ulah Rania.
“Gue
pengin tanya sesuatu sama lu!”
“Harus
sekarang ya?”
Rania
mengangguk.
“Oke.
Kenapa pakek bahasa Indonesia?”
“Karena
ini tentang kita.”
“Oke.
Mau tanya apa?”
“Mm,
bukan tanya sih. Tapi, ngaku.”
Kening
Luna berkerut saat ia menatap Rania yang berada dekat di depannya.
“Jadi…
Prince itu Hwang Minhyun?”
Ekspresi
Luna berubah. Rania bisa melihatnya dengan jelas. Tapi, beberapa detik kemudian
Luna tersenyum.
“Pada
akhirnya akan ketahuan juga, kan?” Luna dengan santai.
“Kenapa
lu nggak bilang sih, Cing!” Rania memukul lengan Luna.
“Nggak
semua harus aku ceritain ke kamu kan, Cue? Lagian nggak penting juga buat
dibahas, kan?”
“Penting
lah! Prince itu masa lalu yang bikin
loe gagal move on!”
“Siapa
bilang? Look! I'm good!”
“Kalau
cuman salah paham doang, kenapa lu nggak coba jelasin ke dia sih? Lu bilang Prince teman pertamamu yang super baik
dan lu sedih pas kehilangan dia. Tapi, malah berantem sampai tahunan gini.
Kekanak-kanakan banget sih lu, Cing!”
Minhyun
menghentikan langkahnya. Ia hendak ke kamar mandi yang posisinya harus melewati
dapur. Mendengar ada suara dua gadis di dapur, ia pun menghentikan langkahnya.
Ia tahu dua gadis itu adalah Luna dan Rania. Karena, dua gadis itu yang tidak
ada di gazebo. Luna izin ke kamar mandi, sedang Rania menawarkan diri untuk
mengambil sayuran di dapur. Yang membuat Minhyun penasaran, apa yang sedang
dilakukan dua gadis itu di dapur. Terlebih keduanya berbicara dalam bahasa
orang tua mereka; Bahasa Indonesia.
“Bukannya
aku nggak mencoba, Cue! Aku udah coba. Tapi, Prince nggak mau baikan. Masa iya aku mau maksa dia? Itu hak dia
kalau dia udah nggak mau temenan lagi sama aku.” Luna membela diri.
“Loe
yakin itu cuman gara-gara tugas sekolah yang ilang?” Rania menuntut kepastian.
“Iya.
Salahku cuman itu ke dia. Nggak ada yang lain.”
“Yakin
nggak ada hubungannya sama feeling-feeling
gitu?”
“Kan
udah aku bilang, aku suka ke Prince
karena dia baik ke aku. Bukan suka yang lebih dari temen.”
“Yakin?
Minhyun kan ganteng!”
Minhyun
terkejut mendengar namanya disebut.
“Iya
dia emang ganteng! Tapi, dia bukan tipeku. Aku suka dia karena dia baik dan perhatian
ke aku. Kayak Mas Aro!”
“Ooo…
jadi suka kayak adek ke kakak?”
“Penting
banget ya kita bahas ini sekarang?”
“Gue
udah nggak tahan sejak denger cerita tentang lu sama Minhyun dari Jaehwan.”
Minhyun
kembali terkejut karena mendengar namanya kembali disebut. Mereka ribut tentang aku? Ia bertanya dalam hati.
“Ya,
bener! Minhyun emang Prince. Cepat
atau lambat kamu bakalan tahu juga!”
Rania
diam. Menatap Luna yang mulai kesal. “Gue nggak marah kok. Kaget doang. Lagian,
setiap rahasia pasti punya resiko buat terbongkar. Termasuk tentang kita.”
Luna
bergeming.
“Oke.
Kita juga kudu siap kalau rahasia kebongkar.”
“Aku
nggak takut soal itu. Karena aku tahu, kamu lebih kuat dari aku sekarang.
Buktinya waktu itu. Kamu jago beladiri sekarang.”
“Demi
loe tahu! Inget pas loe berantem sama Bagas pas kita kelas enam? Loe hampir
ditempeleng sama dia. Lagian loe nggak bisa bela diri sok-sokan banget ngajak
dia berantem. Gue mikir kalau gue bisa bela diri kan kita bisa saling
melindungi.”
“Lebe
lu, Cue!”
Rania
terkekeh. “Jadi, nggak papa kalau nantinya orang tahu rahasia kita?”
“Waktu
itu pasti akan datang. Semua akan baik-baik aja.”
“Baiklah!”
Rania kembali menggunakan Bahasa Korea. “Aku nggak akan sembunyi lagi.
Annyeong, jonun Rania. Sahabat baik Mezzaluna. Kami berteman dari SD lho! Dan,
kami tergabung dalam geng Pretty Soldier.
Mezzaluna mempunyai panggilan Kucing atau Koyangi. Sedang julukanku Cue. Cue
itu nama ikan yang sering dijadikan makanan kucing. Kenapa kucing dan ikan ini
bisa bersahabat? Karena kami punya kisah yang sangat unik! Ottokke?”
Luna
dan Rania tertawa bersama. Sedang Minhyun yang masih menguping, benar dibuat
terkejut karena menemukan fakta bahwa Rania dan Luna adalah sahabat. Minhyun
menelan ludah, lalu bergegas masuk ke dalam toilet. Luna dan Rania keluar dari
dapur. Bersama kembali ke gazebo.
***
Luna
dan Rania duduk berdampingan di dalam bus. Luna berulang kali mengendus bau
tubuhnya sendiri.
“Napa
sih lu, Cing?” Rania risih dengan apa yang dilakukan Luna.
“Badanku
bau sangit nggak sih? Tadi kan aku bantuin bakar ikan. Kita kelamaan main di
tempat Jaehwan sih! Kalau pulang dulu bisa telat ke pertemuan.”
“Yelah!
Badan loe udah wangi, bau parfum. Suer! Lagian tadi kenapa nggak nebeng mandi
trus pinjem baju Jurle.”
“Edan
lu, Cue!”
Rania
tergelak. “Mamaknya Jurle baik banget ke loe. Kayak-kayak loe tuh beneran calon
mantunya. Trus si Jurle juga gitu banget ke lu. Tau lu mau main, dia pakek kaos
yang lu kasih.”
“Bukannya
dia milih loe?”
“Dia
sengaja biar Minhyun milih loe. Minhyun udah dikasih tahu Woojin kalau nggak
boleh milih Lucy. Jadinya Jurle milih gue biar Minhyun milih loe. Niatnya baik.
Biar kalian baikan!”
“Kamu
tahu rencana Woojin?”
“Gue
kan kopelnya Jurle tuh. Pas nemenin dia boleng ikan di dapur, dia ngoceh sama
Woojin tentang Jinyoung, Lucy, dan loe sama Minhyun.”
“Dasar,
Jaehwan! Itu mulut nggak dijaga banget. Nurut dia, Jinyoung suka kamu lho!”
“Halah!
Nggak mungkin lah! Biarin aja dia sama Lucy. Aku suka kok liat mereka.
Kira-kira, di jalan mereka ngapain ya? Woojin suruh Jinyoung ngantar Lucy kan?
Masa iya duduk diem-dieman?”
“Iyo.
Anteng-antengan. Yang anteng pulang duluan.”
Lagi-lagi
Rania tergelak. “Inget zaman TK? Btw, gimana dulu bisa akrab sama Minhyun?
Cocok banget loe kasih dia nama Prince.
Emang cakep kayak pangeran. Dari dulu cakep gitu?”
“Cakep
dari orok dia. Aku kenal zaman dia masih ABG buluk. SMA makin cakep aja. Efek
udah ngerti pakek make up kali ya?”
“Bisa
aja lu, Cing!”
“Karena
aku tinggi, aku disuruh duduk di belakang. Kebetulan Minhyun duduk di samping
kiri bangkuku. Dia duduk di deket jendela. Kami sama-sama di barisan paling
belakang. Nggak ada yang aku kenal, dan di kelas itu aku satu-satunya murid
asing. Hari pertama aku sama sekali nggak keluar kelas. Bahkan nggak makan
siang. Hari ketiga Minhyun menghampiri mejaku dan bertanya kenapa aku nggak
pernah keluar kelas.”
Rania
diam. Menyimak cerita Luna.
“Aku
bilang aku takut keluar sendiri. Takut di bully, takut dikerjain. Dia bilang, mulai sekarang kita istirahat sama-sama.
Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ke aku. Kita berteman. Kamu mau? Aku Hwang
Minhyun. Dia mengulurkan tangan kanannya dan tersenyum. Lalu bilang, di Indonesia kalau berkenalan ditandai
dengan berjabat tangan kan? Dari situ pertemanan kami dimulai. Dia teman
pertamaku di sekolah.
Minhyun
termasuk murid yang rajin dan patuh. Dia pendiam tapi supel. Maksudnya, walau
nggak banyak bicara. Dia gampang akrab sama siapa aja. Sejak hari itu, dia
selalu menemaniku setiap kali aku butuh keluar kelas. Jika malas, kami tinggal
di kelas untuk membahas pelajaran atau bertukar cerita tentang Korea dan
Indonesia. Aku murid asing pertama yang menjadi teman Minhyun.”
“Sama-sama
yang pertama.” Rania bergumam dengan kepala mengangguk.
“Ketika
aku dapat nilai Matematika tertinggi, orang-orang mulai tahu kalau ada murid asing
dengan nama Mezzaluna di sana. Mereka jadi tahu juga kalau aku berteman baik
dengan Minhyun. Di mana ada Luna, di situ pasti ada Minhyun. Selain itu, banyak
gadis yang mulai mendekati aku. Pengen berteman sama aku.”
“Trus
berantem sama Minhyun beneran karena tugas ilang? Kok gue curiga bukan itu
penyebab sebenarnya ya?”
“Minhyun
terakhir bicara padaku, marah soal tugas itu. Lalu, mendiamkan aku. Sampai
sekarang.”
“Childish banget sih si Minhyun! Masa
gara-gara tugas doang sampai tahunan marahnya?”
“Aku
udah coba jelasin, tapi dia nggak mau ngomong lagi sama aku. Sayang banget
sebenernya. Teman baik yang singkat.”
“Jangan-jangan
loe ada feeling ke Minhyun trus dia
tahu? Makanya dia marah?”
“Nggak
lah. Dari awal kan udah aku bilang aku nggak ada feeling ke Minhyun.”
“Atau,
Minhyun yang suka sama loe. Trus, loe malah naksir cowok lain. Begonya, loe
cerita itu ke Minhyun?”
“Ngawur!
Nggak lah! Kita masih kelas tujuh masa iya udah suka-sukaan!”
“Puber
lho! Wajar!”
Luna
diam sejenak. “Iya juga. Setelah aku jadi femes karena nilai Matematika itu,
cewek yang deketin aku nggak cuman mau jadiin aku anggota geng mereka. Tapi,
dibalik itu ada yang minta dicomblangin sama Minhyun.”
Rania
terkejut mendengarnya. “Trus, loe comblangin?!”
“Nggak
lah. Gila apa!”
Luna
dan Rania sama-sama terdiam. Lalu saling memandang seolah mereka telah
menemukan kata mufakat dari diskusi mereka.
“Jangan-jangan…”
Rania bergumam dan bus berhenti.
“Kita
udah sampai!” Luna bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu.
Rania
menyusul. Ia masih penasaran tentang Minhyun. Ia bertanya-tanya apakah Luna
memiliki pemikiran yang sama dengannya.
***
Ketika
sampai, suasana di cafe tempat pertemuan Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun
digelar sudah ramai. Pengunjung cafe itu hampir kesemuanya orang asing. Ketua
Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun menunda pertemuan menjadi hari Minggu karena
pertemuan rutin setiap bulan bagi anggota Klub Anak Rantau juga digelar hari
Minggu. Daripada harus berkumpyl dua kali, lebih baik satu kali berkumpul.
Karena, hampir seluruh murid asing di SMA Hak Kun juga anggota Klub Anak
Rantau.
Amber
menyambut Luna dan Rania. “Edward udah dateng?” Luna langsung menanyakan
keberadaan Guanlin.
“Udah.
Sama siapa tadi namanya…” Amber berusaha mengingat nama seseorang yang datang
bersama Guanlin.
“Linda?”
Luna menebak.
“Ah
iya! Itu. Hari ini didominasi anak-anak SMA Hak Kun.”
“Oya,
kenalin. Ini Rania.” Luna memperkenalkan Rania yang berdiri di samping kirinya.
“Hi,
Rania! Aku Amber!” Amber mengulurkan tangan kanannya.
“Hi,
Amber. Aku Rania. Teman Luna dari kecil. Panggil aja aku Rania atau Cue. Cue
itu nama panggilanku di grup Pretty
Soldier.” Rania tersenyum lebar.
Luna
menatap heran pada Rania. Sedang Amber, melongo. Lalu tertawa dan menggoyang
tangan Rania.
“Jadi,
dia?” Amber menuding Rania dengan tangan kirinya. Sedang ia menatap pada Luna.
“Iya.”
Luna membenarkan.
“Selamat
bergabung. Pasti seneng banget kalian bisa sama-sama lagi.”
Amber
dan Rania saling bertukar senyum lalu melepas jabatan tangan mereka.
“Anak
Hak Kun berkumpul di sebelah sana. Guanlin ada di meja nomer 8. Sengaja
memesannya untukmu.” Amber menepuk bahu Luna lalu pergi.
“Lebe
banget kenalannya!” Luna menegur Rania. Keduanya berjalan sama-sama menuju meja
tempat Guanlin dan Linda duduk.
“Biarin.
Aku nggak mau disembunyiin lagi. Setidaknya di sini. Di depan teman-teman
baikmu.” Rania membela diri.
“Serah
lu deh, Cue!”
Luna
dan Rania sampai di meja tempat Guanlin dan Linda duduk. Luna pun
memperkenalkan Rania pada Guanlin dan Linda. Seperti saat dikenalkan pada
Amber, Rania pun menjelaskan detail siapa dirinya di depan Guanlin dan Linda.
Sama seperti Amber, Guanlin menyambut ramah Rania. Linda yang dibuat kaget
mengetahui fakta bahwa Rania dan Luna teman sejak SD.
Luna
duduk di seberang. Berhadapan dengan Linda. Rania duduk di sampingnya,
berhadapan dengan Guanlin. Linda mengamati Luna yang sedang membaca buku menu.
Ia teringat tentang apa yang diceritakan Jisung tentang gadis itu. Ia pun
tersenyum samar.
Luna
mengangkat kepala dan mendapati Linda sedang menatapnya. Ia bertemu pandang
dengan Linda yang kemudian tersenyum kikuk. Luna membalas senyum.
“Edward
emang kejam ya! Kalian udah datang duluan, tapi nggak diajakin pesen duluan!” Luna
mengolok Guanlin. Tapi, tatapannya tertuju pada Linda.
“Kan
biar sekalian pesennya.” Guanlin membela diri.
“Kamu
mau pesan apa Cue?” Luna bertanya pada Rania dengan Bahasa Indonesia.
“Aku
ngikut Mbak Luna aja.” Linda menyahut. Ikut menggunakan Bahasa Indonesia.
“Kok
ngikut aku?” Luna beralih menatap Linda.
“Aku
nggak tahu yang enak di sini apa. Baru pertama kali juga. Hehehe.”
“Gue
juga ngikut loe, Cing!” Rania mengikuti jejak Linda.
“Kok
pada ngikut aku sih?? Gini deh, aku kasih rekomen makanan sama minuman yang
enak ya. Enak buat lidah Indonesia kita.”
“Boleh.”
“Iya.”
Rania
dan Linda hampir bersamaan. Luna pun menyebutkan menu-menu yang menurutnya enak
dan cocok dengan lidah Indonesia mereka. Guanlin tersenyum menatap Luna. Lalu
ia beralih pada dua gadis Indonesia lainnya yang duduk bersama di mejanya.
***
Diskusi
Persatuan Murid Asing pun dimulai dibawah kendali Mark Lee, selaku wakil ketua.
Ide-ide untuk pertunjukan yang akan ditampilkan saat festival sekolah pun
dibacakan.
“Kenapa
ribet banget gini sih? Sampai kita kudu urun penampilan juga?” Rania mengungkap
rasa penasarannya.
“Kupikir
kamu udah beneran mempelajari semua tentang SMA Hak Kun.” Luna merespon. Mereka
ngobrol dalam Bahasa Indonesia.
“Ada
yang aku lewatkan?”
“Linda
tahu?” Luna bertanya pada Linda. Gadis itu menggeleng. “Festival sekolah
digelar pada bulan Juni. Karena ulang tahun sekolah juga di bulan Juni. Jadi,
emang selalu ramai dan digelar selama beberapa hari.”
“Kalian
jangan pakai Bahasa Indonesia dong! Aku kan nggak ngerti. Aku merasa jadi anak
tiri di sini.” Guanlin protes.
Luna,
Rania, dan Linda hanya menanggapinya dengan senyuman.
“Oya,
ada yang lupa. Kami menerima pemberitahuan dari OSIS selaku panitia. Tahun ini
mereka akan mengadakan proyek untuk penampilan khusus.” Mark menambahkan hal
penting yang lupa ia sampaikan.
Anggota
Persatuan Murid Asing pun berkasak-kusuk tentang apa itu penampilan khusus.
“Penampilan
khusus itu sudah disediakan konsepnya oleh panitia. Yang menampilkan adalah
anggota OSIS dan murid asing. Nama kita para murid asing akan di undi secara acak
dengan nama anggota OSIS. Nama yang keluar yang akan menampilkan pertunjukan
khusus itu.” Mark melanjutkan penjelasan.
Seorang
gadis asal India mengangkat tangan. “Apakah konsepnya couple? Laki-laki dan perempuan? Lalu, penampilan khusus itu apa?”
“Itu
akan dijelaskan lebih lanjut oleh OSIS. Kita diberi tahu hanya agar kita
bersiap-siap. Jadi, persiapakan saja diri kita masing-masing. Karena seluruh
nama kita akan diundi.”
Anggota
Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun kembali berkasak-kusuk. Di meja Guanlin pun
sama.
“Penampilan
khusus seperti apa yang mereka rencanakan?” Guanlin penasaran.
“Semoga
bukan aku yang terpilih.” Linda memanjatkan doa dengan khusyuk.
“Tiap
tahun ada kayak gini?” Rania yang baru pertama kali mengikuti pertemuan
antusias.
“Antusias
banget sih lu, Cue! Baru tahun ini ada kayak gitu.” Luna kemudian menyeruput
jus di hadapannya.
“Kira-kira
idenya siapa ya?” Guanlin kembali mengungkap rasa penasarannya.
“Penting
banget ya buat nyari tahu itu ide siapa?” Luna merespon pertanyaan Guanlin. “Setuju
sama Linda, semoga bukan aku yang kepilih. Lagian ada-ada aja itu anak-anak
OSIS.”
“Lu
takut ntar kepilih kopelan sama Minhyun ya?” Rania menggoda Luna.
“Atau
Taemin Seonbae?” Linda menyambung.
“Siapa
itu Taemin Seonbae?” Rania bingung.
“Ketua
OSIS kita. Mbak Luna dulu ada gosip sama Taemin Seonbae.”
“Moso?
Idih! Ini kucing buluk laris manis ya di Korea!”
Luna
mengabaikan Linda dan Rania yang kompak mengoloknya. Ia sibuk dengan ponselnya.
Kemudian tersenyum sendiri. “Jisung nitip salam buat Linda.” Ia berujar tanpa
mengalihkan pandangan dari layar ponselnya dan menggunakan Bahasa Korea.
“Cieee…”
Rania menggoda Linda.
Guanlin
pun tersenyum dan menyikut Linda yang tiba-tiba menundukkan kepala. Ikut
menggoda Linda.
“Tolong
jaga Linda ya.” Luna menambahkan.
“Cieee…
cieee…” Rania kembali menggoda Linda. “Comblangin aja sama Jisung.”
“Nggak
usah dicomblangin juga udah jalan ndiri mereka.”
“Lho,
udah jadi pasangan?” Guanlin menyela.
“Tau!
Tanya ndiri tuh ke yang bersangkutan.”
“Kayaknya
udah deh. Liat tuh, nunduk sampai mau nyium meja.” Rania terus melancarkan serangan.
“Meja
nomer 8. Apa kalian menyimak diskusi?” Mark menegur meja tempat Guanlin, Linda,
Luna, dan Rania duduk.
“Iya.
Kami mendengarkan dengan baik!” Guanlin mengangkat tangan kanannya.
“Oke.
Luna, Linda, dan Rania, jadi kalian setuju ya gabung dalam tim pertunjukan?”
Linda
mengangkat kepala, memandang pada Luna, lalu Rania. Luna dan Rania pun sama
bingungnya dengannya.
“Astaga.
Sepertinya kita melewatkan sebuah momen penting.” Guanlin menepuk keningnya.
***