Istri Untuk Anakku

06:47









Istri Untuk Anakku

Ketika hati mencintai seseorang, namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
         
          Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah.  Dari belum kawin menjadi kawin. Aku memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi suamiku.”
***

Tuan Tanah dan Bunga Desa

           
Sukaryo, itulah nama pria kaya raya itu. Pria paruh baya berwajah teduh yang sangat disegani di desa petani ini. Sukaryo adalah Tuan Tanah di desanya. Perkebunan yang ia miliki luas tak terhingga. Sawah dan ladang pun berhektar-hektar. ¾ tanah di desa ini adalah miliknya. Saking kaya rayanya Tuan Tanah itu, warga sering mengatakan harta yang dimiliki Sukaryo tak akan habis hingga tujuh turunannya nanti. Walau demikian, semua yang ia miliki tak menjadikan Sukaryo sombong dan sok berkuasa. Sikapnya andap asor, penuh kasih dan gemar menolong. Tak pernah ia mengecewakan orang-orang yang datang meminta bantuan padanya.

Rumah bak istana milik keluarga Sukaryo berdiri megah di atas lahan yang luas. Ada satu rumah utama yang sangat megah. Di sekitarnya ada beberapa bangunan, termasuk rumah beberapa anak Sukaryo yang telah berkeluarga. Sebut saja itu komplek pribadi keluarga besar Sukaryo, karena komplek itu berdiri agung di atas lahan yang luas dan sedikit menjauh dari pemukiman warga.

Putra sulung Sukaryo, Eka Pandu telah menikah dan memiliki dua anak. Pandu dan istrinya Ratih serta dua anaknya Danar dan Wulan tinggal di rumah yang juga berukuran besar yang berada tak jauh di samping kiri rumah utama. Rumah utama menjadi tempat tinggal Sukaryo bersama ibu kandungnya Lasmi dan kelima anak Sukaryo.

Dwi Puspita Sari, anak kedua Sukaryo, setiap harinya bertugas mengurus kebutuhan pangan para pekerja Sukaryo. Sesekali ia juga membantu urusan keperluan rumah tangga keluarga besar Sukaryo. Hal ini menjadi tanggung jawabnya sejak ibu kandungnya meninggal.

Catur Bowo Sukaryo, Panca Wibisono Sukaryo, Gendis Putri Sukaryo dan si bungsu Sapta Ragil Putra Sukaryo turut tinggal di dalam rumah utama. Sedang putra ketiganya Triandi Galih Putra Sukaryo saat ini sedang menempuh pendidikan di Jakarta.

Keluarga yang sempurna. Berkelimpahan harta dan kasih sayang. Sukaryo dan mendiang istrinya Lastri dikenal sangat murah hati di desa petani itu. Lastri meninggal dua tahun yang lalu karena kanker kandungan yang di deritanya.

Kaya raya namun tidak sombong dan congkak. Rendah hati dan suka menolong. Seluruh warga menghormati dan menyayangi Sukaryo dan keluarganya. Bagi warga desa petani itu, Sukaryo adalah raja. Sukaryo lebih dihormati dan disegani daripada Kepala Desa dari desa petani ini sendiri.

***

         
 Tinggallah satu keluarga kecil di salah satu kampung dari desa petani tempat Sukaryo berkuasa bak raja. Rumah sederhana menjadi hunian bagi seorang janda bersama dua anaknya, satu keponakan dan satu adik laki-lakinya. Murti nama janda itu. Kehidupan Murti boleh disebut sederhana, berkecupan setiap harinya. Namun, Murti gemar bergaya bak orang kaya. Sifatnya sedikit sombong dan bagi Murti uang adalah segalanya. Uang nomer satu. Uang adalah hidup. Dalam keluarganya Murti bersikap diktator pada anak, keponakan dan adik laki-lakinya. Anjar, anak sulung Murti bekerja di perkebunan Sukaryo sedang Rahma si bungsu masih berstatus pelajar SMA. Joyo, adik laki-laki Murti yang juga turut tinggal di rumah itu juga bekerja mengolah sawah milik Galuh setiap harinya.

Satu gadis lagi yang tinggal bersama Murti. Keponakan Murti, seorang gadis yatim piatu bernama Galuh Widati. Gadis yang usianya baru saja genap 23 tahun itu terkenal santun. Tidak hanya cantik, Galuh juga terkenal pintar di kampungnya. Banyak pemuda yang naksir dan mengejar Galuh. Namun tak satu pun dari mereka yang berhasil menakhlukan hati Galuh. Kesehariannya, Galuh bekerja sebagai penjahit rumahan.
***

          “Permisi. Apa ini rumah Galuh Widati?” tanya seorang pemuda pada Murti yang sedang menyapu halaman.
“Iya.”
“Ada paket untuk Galuh Widati. Tolong tanda tangan di sini.”
Murti membawa masuk bungkusan berwarna coklat yang baru saja sampai untuk Galuh. “Galuh! Galuh!” panggilnya dengan suara lantang. “Galuh!” Murti kembali berteriak.
“Sebentar Bulek!” suara Galuh terdengar jauh di belakang.
Murti sudah memberengutkan muka. Kesal karena Galuh baru muncul di hadapannya.
          “Iya, Bulek. Ada apa?” tanya Galuh yang masih sibuk dengan lap di tangannya.
          “Lama bener dipanggil dari tadi! Ini! Paketan buat kamu!”
          Galuh sumringah menerima bingkisan kecil itu. “Alhamdulillah.” ucapnya penuh syukur.
          “Belakangan sering ya ada paketan buat kamu.”
          “Alhamdulillah dagangan Galuh laku Bulek.”
          “Dagangan? Lah, memangnya kamu jualan apa? Di mana?”
          “Makanya Ibu jadi orang jangan kuper.” sahut Rahma. “Ibu sering marah-marah kalau Mbak Galuh ke warnet. Ibu kira ngapain? Main-main? Mbak Galuh itu jual dagangannya. Promosi baju-baju hasil jahitan lewat internet. Halah, dijelasin pun Ibu nggak bakal paham.” Rahma tersenyum melirik Galuh.
          “Internet?” Murti bingung.
          “Tuh kan nggak mudeng! Nggak paham. Mbak Galuh itu sedang merintis bisnis online shop sekarang. Khusus buat baju-baju jahitan Mbak Galuh.”
          “Onlen sop…? Apa itu?”
          “Walau Rahma jelasin Ibu juga nggak bakal ngerti. Yuk, Mbak kita lanjut jemur cuciannya.” Rahma merangkul Galuh kembali ke belakang.
          “Dasar anak muda jaman sekarang.” Murti menggelengkan kepala dan kembali ke depan.
***

          “Mbak Galuh itu jangan ngalah terus sama Ibu. Mbak kan udah gede, berhak nentuin pilihan. Berhak melakukan apa pun yang Mbak mau. Bersikap tegas sama Ibu nggak ada salahnya lho Mbak. Bukannya ngajarin nggak bener ini, tapi selama ini Mbak udah banyak ngalah sama Ibu. Yang paling bikin akau nyesek, Mbak gagal kuliah gara-gara hutang Ibu yang numpuk. Jujur aku malu Mbak.” Rahma kesal.
          “Kok jadi kamu yang kesel? Jengkel gitu kesannya.”
          “Iyalah, Mbak. Kami ini udah numpang di rumah Mbak, tapi lagaknya tuh kayak Ibu yang punya rumah ini. Aku kesel Mbak.”
          “Udah. Nggak bagus juga sering cek-cok sama Bulek kayak gitu. Jangan belain aku terus. Lagian ini rumah kita kan. Nanti kamu aja yang kuliah. Biar di keluarga kita ini ada yang jadi orang. Ber-title.”
          “Lagi ngomongin apa putri-putri cantik ini?” Joyo menyela obrolan Galuh dan Rahma di teras. “Rahma sewot lagi? Tadi adu mulut lagi sama Mbakyu?”
          “Mbak Galuh tuh Paklek. Ngeselin.” Rahma bersungut-sungut.
          “Jadi marahnyaa sama Galuh? Bukan sama Mbakyu?”
          “Sama Ibu sih. Mbak Galuh juga.” Rahma masih sewot.
          “Ada apa tho Nduk? Kok adikmu sampai sewot gini?” Joyo menatap lembut Galuh.
          “Rahma lagi sensi Paklek. Ya begitu itu jadinya.” Galuh tersenyum melihat ekspresi Rahma.
          “Walah! Kok jadi saling melempar tuduhan begini? Ndak baik lho bertengkar itu.”
          “Kami nggak bertengkar Paklek. Mbak Galuh itu…” Rahma tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba Murti muncul.
          “Rahma! Sudah jam delapan. Lekas tidur!” perintah Murti ketus. “Galuh! Kamu juga masuk. Anak perawan nggak baik malam-malam duduk di teras.”
          Galuh dan Rahma pamit masuk. Joyo menghela napas menatap Murti yang segera menyusul masuk.
***

          Salah satu rutinitas yang biasa dilakukan Lasmi dan Sukaryo setiap malam adalah minum teh bersama di teras samping rumah.
       
   “Dua tahun sudah kamu menduda. Apa kamu ndak ingin mencari pengganti Lastri untuk mendampingimu? Apa kamu ndak ingin menikah lagi? Sepanjang malam, selama dua tahun ini kamu pasti sangat kesepian.” Lasmi memulai obrolan.
          “Ada Ibu dan anak-anakku di sini, bersamaku. Bagaimana aku bisa kesepian? Aku bahagia, Bu. Bahagia hingga hari ini. Lastri terus hidup di hatiku, karenannya aku tak pernah kesepian.” Sukaryo lembut.
          “Catur, Panca, Gendis dan Ragil masih kecil. Mereka butuh kasih sayang seorang ibu. Setidaknya pikirkanlah tentang mereka. Aku sudah semakin tua dan sebentar lagi Puspita juga akan menikah. Walau aku tak ingin merepotkan, tapi tetap saja nantinya aku akan merepotkanmu. Biarkanlah cucu-cucuku menikmati hidup mereka. Tapi apa kamu akan sanggup merawatku dan anak-anakmu yang belum mentas? Rasanya pasti berbeda jika ada menantu lagi di rumah ini.”
          Sukaryo terdiam. Sama sekali tak terlintas dalam benaknya untuk menikah lagi usai kepergian Lastri.
Hingga malam, Sukaryo dibebani oleh permintaan Lasmi. Akhirnya Sukaryo membagi kegundahan hatinya pada Harto, adik sekaligus orang kepercayaannya.
“Lalu Mas menjawab apa? Mas setuju mau menikah lagi?” tanya Harto usai Sukaryo bercerita.
“Aku menyanggupinya. Kalau ketemu jodoh yang pas, yang mau menerima kondisiku ya aku mau nikah.”
“Siapa yang bakal nolak Mas Karyo?”
“Jujur aku ndak kepengen nikah lagi.”
“Yakin, Mas? Di desa kita ini banyak lho wanita cantik dari perawan sampai janda.”
“Kamu ini! Kenapa nggak kamu aja yang nikah?”
“Itu lain ceritanya, Mas. Belum ketemu yang pas di hati.”
“Yowes. Jangan maksa-maksa aku juga.”
Harto terkekeh.
***

“Good evening, Kids! Are all of you ready to learn English with me again right now?” Galuh menyapa anak-anak yang biasa berkumpul untuk mengikuti bimbingan belajar darinya.

Galuh tetap memberikan bimbingan belajar secara gratis walau Murti melarangnya dengan keras. Sesekali Rahma membantu. Dengan telaten Galuh mengajari anak-anak SD-SMP di kampungnya Bahasa Inggris dan beberapa pelajaran lain yang mana anak-anak meminta bantuan Galuh untuk belajar.

“Galuh! Bulek mau bicara!” panggil Murti saat Galuh usai mengajar.
Galuh menurut dan duduk di hadapan Murti. Murti segera mengungkapkana maksud hatinya.
“Apa…? Nggak, Bulek! Galuh nggak setuju.” tolak Galuh. “Galuh bisa sabar untuk yang lain. Galuh bisa terima. Tapi nggak dengan rumah ini. Rumah ini tinggalan Bapak dan Ibu Galuh.”
“Anak durhaka! Kamu nggak liat Bulek lagi susah?”
“Ibu yang numpuk hutang kenapa Mbak Galuh yang harus melunasi?” sela Rahma yang menguping.
Tangan kanan Murti melayang dan mendarat di pipi kiri Rahma. Rahma menangis, Galuh memeluknya.
“Istighfar Bulek.” Galuh meredam emosinya melihat sikap Murti.
“Bisnis kreditan bangkrut. Selama ini aku kerja keras buat siapa? Buat kalian!” Murti naik darah. “Buat kamu juga Galuh. Les jahitmu, siapa yang membiayai kalau bukan aku?”
“Paklek Joyo yang biayai les jahit Mbak Galuh.” Rahma masih berani membantah.
“Berani kamu ya sekarang?! Jadi begini cara kalian membalasku?! Di saat aku jatuh kalian nggak peduli gitu?! Bagus ya budi pekerti anak sekarang!”
“Tolong jangan jual rumah ini Bulek. Rumah ini satu-satunya kenangan Galuh bersama Bapak dan Ibu. Kalau Bulek jual rumah ini, kita semua tinggal di mana?”
“Kalau bukan rumah ini, apa yang bisa dijual untuk melunasi hutang?”
“Ada sebidang sawah tinggalan Bapak. Bulek bisa jual itu, jangan rumah ini.”
“Mbak Galuh!” Rahma melepas pelukan Galuh.
“Sawah?” ekspresi Murti berubah cerah mendengarnya.
“Kalau sawah itu dijual, Paklek Joyo kerja apa Mbak?” protes Rahma. “Itu sumber pemasukan keluarga kita juga.”
“Aku akan bicara pada Paklek Joyo. Apa itu cukup untuk membayar hutang Bulek?” Galuh dengan mata memerah karena menahan tangis.
“Cukup. Cukup kok.” Murti kembali berbinar.
Galuh pergi ke kamarnya.
“Ibu jahat!” Rahma menyusul Galuh.
Murti mengabaikan itu semua. “Duit. Duit lagi. Ahahahaha.”
***

Tempurung kura-kura, 10 Juli 2017.
. shytUrtle .


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews