Bilik shytUrtle – My Creepy Story: Pulang Bersama Tiga Peri.

06:29



Bilik shytUrtle – My Creepy Story: Pulang Bersama Tiga Peri.





Kalau di video aku bilang aku baik-baik saja itu bohong!!! Nyatanya, pusing yang aku rasakan pada hari Minggu itu bukanlah efek dari nekat makan teri. Tapi... yah! Kayak biasanya. Efek gesekan dengan energi dari makhluk astral yang ikut pulang. Lagian, sejak kapan makan teri bikin pusing? Yang ada, kalau alergi jadi gatel-gatel kan? Heuheuheu...

Coban Bidadari, the real rumahnya para bidadari. Mungkin lho ini. Karena yang tinggal di sana kebanyakan kaum peri yang cantiknya kayak bidadari, jadi wana wisatanya dikasih nama Coban Bidadari. Aku hanya menyimpulkan usai mengalami peristiwa itu.

Yap! Di video Paranormal Experience terbaruku, aku mendongeng tentang "Pulang Bersama Tiga Peri". Ini versi tulisannya. Jadi yang males nonton videonya, baca ini aja. Hehehe.
Video



Kamis, 20 Juli 2017 lalu aku dan Thata juga dua teman kerja Thata berkunjung ke wana wisata Coban Bidadari. Baca di sini tentang Coban Bidadari dan pesonanya.


Seperti yang aku jabarkan dalam tautan di atas, kami kesorean naiknya. Jadi nyampek lokasi udah mendung. Dan, karena keasikan bermain di sana. Turun pas masuk waktu Maghrib. Sepanjang jalan diselimuti kabut waktu turun. Alhamdulillah turun dengan selamat.

Aku emang jarang banget keluar di hari Kamis atau malam Jum'at. Kemarin itu, bukan nekat sih. Aku emang penasaran sama Coban Bidadari. Kebetulan ada yang ngajak. Jadi, kenapa tidak?

Lagi pula, kalau dihitung dari jam berangkat—yang awalnya dijadwalkan jam dua siang, nggak bakal kemalaman. Tapi, manusia hanya bisa berencana. Tuhan lah yang kuasa menentukan. Jam berangkat molor dan kami kemalaman.

Pas di atas, di lokasi wana wisata sengaja data seluler aku matikan. Sinyal ada, tapi lebih pada buat hemat baterai aja sih. Pasti Yu (nama ponselku) sibuk buat abadiin foto dan video. Malu lah kalau pasang PB yang kabelnya kayak mummy itu. Hahaha.

Nyampek Gubugklakah, nyalain data seluler. Pesan WhatsApp berbondong-bondong masuk. Dari Memes yang paling banyak. Nanyain aku di mana, nggak boleh lama-lama di atas biar turunnya nggak kemalaman. Plus ngingetin kalau hari itu adalah hari Kamis malam Jum'at.

Bukannya sok melanggar ya. Kan emang jadwal perjalanan hari itu berjalan nggak sesuai rencana. Tapi, aku udah pas aja di hati. Makanya berani mengiyakan untuk pergi. Pas di lokasi juga udah permisi dulu sebelum masuk wana wisatanya.

Namanya aja wana wisata ya. Jadi ya benar-benar hutan. Dan, karena masih baru banget. Jadi ya gitu. Masih sepi bangunan. Di dominasi hutan di sana-sini.

Selain dari Memes, ada WhatsApp dari Tunjung juga. Sengaja WA dari Tunjung nggak aku buka dulu. Pas nyampek di warung bakso, baru buka pesan dari Tunjung.

Njung Beb: Sido tah nang coban widodari?
Kurayui: Iya. Njung Beb: Wis di rumah a?
Kurayui: Maem bakso di Belung.
Njung Beb: Enak e........
Kurayui: Hehehe.
Njung Beb: Helom nggak oleh sambatan migren lho. Cepak no banyu degan.
Kurayui: Ojo a (T_T) Aku wes pakek gelang e tadi. Tidak ada degan buka (T_T)

Lalu, tidak ada balasan lagi dari Tunjung.


Jum'at siang, Tunjung nyamperin ke markas. Aku pun langsung memberondong dia dengan pertanyaan tentang pesannya via WhatsApp semalam.

"Jadi, beneran ada yang ikut pulang?" buruku.
"Iya. Tiga lho yang ikut kamu pulang."
"Wih! Nggak tanggung-tanggung! Tapi, alhamdulillah aku nggak migren lho! Tetep harus beli degan ya?"
"Iya lah. Buat jaga-jaga."
"Yang ikut aku pulang apa?"
"Peri. Golongan peri parahyangan gitu lah."
"Wah! Cantik dan ganteng dong?"
"Iya lah. Namanya aja peri. Cewek-cewek tiga yang ikut kamu. Seumuran Yani, Rara, sama yang satu kayak seumuran Rana." Tunjung mendeskripsikan penampilan tiga peri yang ikut aku pulang. Satu seumuran anak SMA (Yani), satu seumuran anak SD (Rara), dan satu seumuran anak TK (Rana).
"Wah! Pasti cantik dan lucu ya. Itu aku ketemu sama mereka di sebelah mana? Dan, kenapa mereka ikut aku? Bukan pengunjung yang lain?"
"Di pohon jejer tiga. Aslinya di deket air rumah mereka. Paling ya ada pengunjung lain. Kebetulan kamu yang terdeteksi."
"Pohon jejer tiga? Di dekat air terjun? Pohon yang disarungi bukan?" ketika aku membuat video tentang Coban Bidadari, aku berhenti lumayan lama di dekat tiga pohon yang di ikat dengan kain kotak-kotak warna hitam dan putih. Ala-ala di Bali gitu.
"Iya. Tapi tinggale asli ne mereka di deket air."
"Oh, jadi gitu. Di air terjun tinggalnya? Wujud mereka kayak gimana?"
"Kayak kita. Ya, kayak manusia gini. Tapi, pakaiannya pakaian kerajaan. Pakek jarik dan kebaya gitu."
"Cantik-cantik pasti ya. Hehehe. Selama ikut aku, mereka ngapain aja? Itu cuman pas Kamis malam tok kan ya? Apa sekarang masih di sini?"
"Tahuku sesaat itu aja. Sekarang aku rasain ndak ada mereka di sini. Cuman ikut aja, kayak ngamati apa yang kamu kerjain."
"Jadi kayak ABG manusia juga ya. Rasa ingin tahu dan penasarannya tinggi. Jadi, di sana emang penghuninya rata-rata peri ya?"
"Iya."

Sampai Sabtu malam, aku masih baik-baik saja. Tidak ada migren dan pusing sejenisnya. Hari Minggu, udah niat nggak ke mana-mana. Capek. Rabu dan Kamis udah dolen. Jadi, hari Minggu -nya di rumah aja.

Sarapan kepincut oseng-oseng daun pepaya dan singkong yang ada terinya. Karena ikan terinya terlalu kecil, aku kesulitan memilihnya agar nggak ikut termakan. Maklum, sejak keracunan teri zaman SMA dulu. Aku jadi trauma makan teri.

Nggak lama setelah sarapan, kepalaku pusing. Aku pikir sih efek makan oseng-oseng yang ada terinya. Tapi, sejak kapan makan teri bikin pusing? Tensiku pun cenderung rendah. Jadi, aman aja kalau makan daun singkong dan daun pepaya.

Tetep aja mikirnya itu pusing karena salah makan. Cuman minum air putih banyak-banyak dan istirahat.

Lalu, Memes membelikan tiga butir kelapa hijau. Tapi, bukan degan ijo asli. Satu dibawa Buk I (ibunya Thata) dan dua di pecah. Dapat airnya sebanyak 3/4 botol aqua besar. Dikasih ke aku semua sama Memes. Memes dan Buk I cuman icip masing-masing satu gelas.

Setelah minum segelas air degan, beberapa menit kemudian pusingku reda dan berangsur hilang. Bahkan aku langsung bisa kembali beraktifitas. Membabu ria, mencuci baju. Setelah nyuci, sorenya udah baikan juga. Anehnya, menjelang Maghrib kerasa lagi itu sakit kepala. Tapi, aku masih sempet bikin video paranormal experience. Hehehe.

Kelar bikin video, sakitnya makin menjadi. Aku nggak kuat dan telpon Tunjung.

"Kamu belum dapat degannya?" tanya Tunjung usai aku mengeluh sakit kepala. "Kan udah aku bilang, sedia banyu degan!"
"Tadi baru dapet. Udah aku minum juga. Tadi lho udah mendingan. Eh, ini sakit lagi."
"Masih ada air degannya?"
"Ada. Tinggal segelas."
"Udah. Buruan habisin!"

Buru-buru habisin air degan yang tersisa. Lalu, berdiam diri dalam tempat yang gelap. Hingga terlelap.

Alhamdulillah Senin pagi, terbangun dalam kondisi sangat baik. Dan, bisa bekerja dengan baik dan lancar pula.

Dan, ternyata... Thata juga mengalami gejala yang sama. Bahkan, hari Minggu itu dia tepar total. Baru membaik setelah minum air degan ijo.

"Aku kemarin nggak kuat apa-apa. Pegang hape dan bangun aja susah. Kepalaku kayak dipukuli sama palu." keluh Thata.

I feel you. Bahkan, aku kadang lebih dari itu.

Ternyata, masih tidak kuat ketika energi kami bersinggungan dengan energi makhluk astral. Bahkan, Thata ikut merasakannya.

Well, demikian cerita kami yang pulang bersama tiga peri. Jangan karena membaca tulisan ini, jadi takut main ke Coban Bidadari. Ingat! Makhluk astral itu ada di mana-mana. Ndak di hutan aja. Di rumah pun kita berbagi sama mereka. Asal sopan dan saling menghargai, inshaa ALLOH aman.

Maaf jika ada salah kata. Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Tempurung kura-kura, 26 Juli 2017.
. shytUrtle .

 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews