Aku Pernah Melakukan Percobaan Bunuh Diri
06:02
Aku Pernah Melakukan Percobaan Bunuh Diri
Rasanya masih nggak percaya kalau Om
Chester udah nggak ada lagi di dunia ini. Berita-berita tentang meninggalnya Om
Chester, juga ucapan bela sungkawa masih terus wira-wiri di berandaku.
Semalam iseng membaca komentar dalam
postingan berita tentang Om Chester. Suer ngeri baca komentarnya. Rata-rata
mengadili. Dan, seolah-olah hidup orang-orang yang mengadili dan
menjelek-jelekan Om Chester itu udah bener aja. 100% bener. 100% lurus.
Bukan karena fans Linkin Park dan Om
Chester, aku bikin tulisan ini. Tapi, sekedar berbagi aja. Aku membagi isi
otakku. Itu saja.
Aku pernah menulis komentar seperti ini
dalam postingan Mbak Arista Devi. "Sama dengan GERD, depresi pun gitu.
Orang nggak akan pernah paham sebelum mengalami dan merasakannya sendiri."
Tapi, sebagai mantan penderita GERD yang
sempat frustasi dan depresi. Aku berharap nggak akan ada lagi orang yang
mengalami apa yang kayak aku alami. Kasihan. Belum tentu kuat. Soalnya
menderita lahir batin.
Aku pernah tiba pada sebuah pemikiran,
mungkin kematian akan mengakhiri semua penderitaan yang aku alami. Dan jujur
saja, aku pernah hampir saja lompat dari atap rumah. Terjun ke sawah di
belakang rumah yang sedang di tanami tomat.
Tahu bagimana cara petani menanam tomat?
Ya, mereka menancapkan potongan bambu di sekitar tanaman tomat untuk menyangga
tanaman tersebut.
Pasti juga tahu bagaimana jadinya jika aku
melompat dari atap rumah dan mendarat di sawah yang dipenuhi lanjaran itu.
Tubuhku akan tertusuk beberapa lanjaran. Bisa saja aku langsung mati. Tapi, bisa
juga aku masih hidup dan tersiksa.
Semua tidak akan terjadi tanpa adanya
kehendak Tuhan. Begitu keyakinanku. Dan, saat itu, tentulah Tuhan yang
menyelamatkanku.
Belakangan makin marak pemberitaan tentang
bunuh diri. Yang paling baru, kita semua tahu. Ya, tentang Om Chester yang juga
membuatku... syok.
Jika mati bunuh diri itu dibenci Tuhan,
kenapa Tuhan menentukan takdir beberapa orang dengan sebuah akhir, sebuah kematian
dengan cara bunuh diri?
Ilmuku memang masih sangat dangkal. Dan,
pertanyaan itu terus berputar-putar di otakku. "Tuhan, jika kau benar
membenci, melaknat kematian dengan jalan bunuh diri. Kenapa Engkau memberi
takdir beberapa orang dengan sebuah kematian yang penyebabnya adalah bunuh
diri?"
Maafkan atas pertanyaanku itu, Tuhan.
Aku pun berdiskusi dengan Tunjung. Diskusi
tentang pertanyaanku di atas. Daripada pertanyaan itu memenuhi otakku sampai
bikin aku pusing. Mending ngajak seseorang buat diskusi.
"Oya, katanya kan Tuhan benci tindakan
bunuh diri ya? Tapi, kenapa Tuhan menulis takdir beberapa makhluk-Nya dengan
mati bunuh diri?" aku memulai obrolan.
"Itu kita diuji. Milih jalan yang
mana. Sebagai contoh atau cermin buat lainnya. Itu nurut aku sih." jawab
Tunjung.
"Ujian yang berat ya. Kalau nggak
lolos dan berakhir dengan bunuh diri, apa akan dibenci sama Tuhan?"
"Ya nggak. Wong wis takdire. Kita kan
wayang, U. Gimana meranin peran kita dengan profesional dan bijak."
Benar juga. Semua tidak akan terjadi jika
Tuhan tidak berkehendak. Jika Tuhan tidak membenci makhluk-Nya yang mati dengan
cara bunuh diri, bukan berarti bunuh diri itu dibenarkan. Walau menurut
beberapa orang, bunuh diri adalah pilihan masing-masing pribadi.
Aku yang pernah sampai pada titik, hampir
mengakhiri hidupku dengan melompat dari atap rumah merasa beruntung. Tuhan masih
memberiku kesempatan hidup hingga saat ini. Memberiku kesempatan untuk lebih
menghargai hidup dan belajar banyak hal.
Dan, benar juga. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi di sekitar kita adalah contoh dan cermin buat kita. Agar lebih bijak
dalam menjalankan peran kita selama hidup di dunia.
Kalian tidak percaya jika aku pernah dalam
situasi hampir bunuh diri? Kejadiannya sudah lama. Ketika aku masih duduk di
bangku SMA.
Aku termasuk golongan intovert. Orang yang
tertutup. Kenapa aku sampai pada titik ingin mengakhiri hidup dengan bunuh diri
melompat dari loteng. Panjang ceritanya. Dan, aku rasa tidak perlu untuk
dibahas di sini.
Yang terpenting adalah aku bisa melewati
masa itu. Bangkit dan bertahan hidup hingga sekarang.
Bagaimana aku bisa bangkit adalah ketika
aku menemukan seseorang untuk berbagi. Seseorang yang aku bisa nyaman berbicara
segala sesuatu dengannya. Seseorang yang nggak hanya mau mendengar keluh
kesahku. Tapi, juga mau memberiku saran serta dukungan untuk terus bangkit.
Memperbaiki diri jadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh.
Hal yang terpenting dari itu semua adalah
bagaimana lebih mengenal diri sendiri. Mengenal siapa aku. Apa yang aku mau.
Karena hanya diri kita yang bisa dan paling mengerti diri kita sendiri.
Perjuangan melawan penyakit psikis itu
tidak semudah melawan penyakit fisik. Penyakit fisik bisa sembuh dengan minum
obat saja. Tapi, penyakit psikis? Obat saja tidak cukup.
Dulu aku melawannya dengan lebih banyak
mencari kesibukan. Banyak bergaul. Walau bertemu orang banyak membuatku
ketakutan. Aku harus melawannya. Aku harus keluar. Aku harus bertemu dan berinteraksi
dengan banyak orang.
Walau awalnya sulit. Tapi, itu berhasil.
Aku merasa hidupku lebih indah. Aku punya mimpi yang harus aku perjuangkan.
Karena itu, aku nggak mau mati sebelum mimpiku jadi kenyataan. Setidaknya, aku
harus berusaha dan menikmati hidup sebelum kematian datang menjemputku.
Perjuangan untuk hidup setelah percobaan
bunuh diri dan selama waktu sesudahnya. Berhasil aku lalui dengan baik. Ketika
aku tak berhasil melanjutkan kuliah pun aku tak larut dalam kesedihan. Aku bisa
menerimanya dan tetap melanjutkan hidup walau sebagai pengangguran yang lumayan
lama.
Ketika kita bisa menerima bagaimana jalan
hidup kita dan berpasrah pada-Nya. Semua pun berjalan bak air mengalir. Dan,
semua pun baik-baik saja.
Ada yang bilang, hidup itu bak roda yang
berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang pun kita akan mengalami fase
yang sama seperti di masa lalu kita.
Hidupku tergolong baik. Aku punya pekerjaan
yang penghasilannya bisa aku gunakan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri.
Aku pun mulai merintis karir, menata jalan
untuk meraih mimpiku.
Tapi, hidup tak selamanya berjalan mulus.
Aku kembali dihadapkan pada kondisi yang membuatku drop secara fisik dan
mental.
Setelah sepuluh tahun berlalu, aku kembali
down. Aku divonis sakit GERD yang sempat membuatku hanya bisa tiduran di atas
ranjang selama satu bulan. Sakit yang tak hanya dirasakan fisik, tapi juga
mental.
Sakit yang membuat frustasi karena sudah
mengkonsumsi obat selama berbulan-bulan, tapi kondisi fisik tak kunjung membaik.
Semakin frustasi hingga depresi karena orang-orang yang seharusnya mendukungku
untuk sembuh justeru menuduhku pura-pura sakit karena aku malas bekerja.
Sakit, rapuh, sendirian, dan menjadi beban
keluarga. Apalagi yang terpikirkan kecuali kematian? Kematian yang mungkin saja
bisa mengakhiri segala penderitaan dunia itu.
Jika kalian sering membaca, orang depresi
seringnya mendengar bisikan-bisikan yang mendorong mereka untuk berbuat nekat. Itu
benar adanya. Aku pun mengalaminya.
Semasa SMA dulu, aku merasa aku mempunyai
teman. Teman yang hanya bisa aku dengar. Ketika tiba di puncak rasa putus
asaku. Ketika aku sudah berada di ujung loteng rumahku. Suaranya lah yang terus
ku dengar. Suara lembutnya yang memintaku agar segera melompat ke bawah sana.
Agar aku bebas dan bisa bersamanya. Selamanya.
Ketika aku drop karena sakit GERD dan
frustasi. Sosok itu kembali muncul. Membisikkan betapa malangnya aku yang sakit
dan harus menderita sendirian. Membisikkan bahwa tak ada seorang pun yang
peduli padaku di dunia ini. Tak ada jalan lain yang lebih baik kecuali sebuah
akhir dari kehidupan di dunia. Dan awal dari sebuah keabadian dengan jalan
kematian.
Dalam situasi itu ada seseorang yang selalu
berusaha menjagaku. Mengajakku bicara. Memberiku semangat untuk terus berjuang.
Dan, meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri. Dia orang yang sama, yang juga
datang menolongku sepuluh tahun yang lalu.
Walau kenyataan membuktikan bahwa hanya dia
yang masih bertahan untuk menemani dan mendukungku. Itu sudah cukup bagiku.
Cukup untuk melawan bisikan-bisikan yang membuatku rapuh dan makin terpuruk
itu. Aku sudah pernah berada dalam situasi seperti ini, dan aku berhasil
melewatinya. Kali ini pun aku pasti bisa.
Segala usaha sudah dilakukan. Segala obat
sudah dimakan. Ketika jiwa dan raga ini sudah lelah, yang bisa aku lakukan
hanya berpasrah. Ikhlas menerima takdir-Nya dan bergantung pada-Nya. Karena
pada siapa lagi aku berlari dan meminta pertolongan jika bukan pada-Nya?
Tiba-tiba aku takut mati. Benar-benar takut
mati. Karena teringat mimpi-mimpiku yang belum terwujud. Terlebih teringat
dosa-dosaku. Jika aku mati sekarang, dalam kondisi seperti ini. Kematian
bukanlah akhir dari penderitaan di dunia. Tapi, awal dari penderitaan yang
abadi.
Aku menangis sejadi-jadinya dalam kamarku
yang gelap. Sakitku adalah wujud kasih sayang Tuhan untukku. Teguran untukku.
Pesan cinta agar aku kembali memeluk-Nya dan bergantung pada-Nya. Sakitku
adalah kesempatan yang diberikan Tuhan padaku. Kesempatan agar aku memperbaiki
diri.
Dari situ aku kembali bangkit. Berusaha
melawan sakitku untuk sembuh. Dengan sabar dan ikhlas. Perlahan keluarga pun
mulai percaya jika aku benar-benar sakit. Tepatnya setelah aku dirujuk untuk
melakukan endoskopi.
Aku meminta maaf kepada keluargaku. Memulai
segalanya dari awal. Alhamdulillah setahun kemudian aku membaik dan hubunganku
dengan keluarga juga semakin baik.
Tentang bisikan-bisikan itu. Entah itu apa.
Padaku adalah suara seorang perempuan. Baik di sepuluh tahun yang lalu, juga di
dua tahun belakangan. Entah itu buah dari pikiranku yang kacau. Atau memang
benar ada suara yang membisikkan. Suara yang oleh kebanyakan orang di artikan
sebagai bisikan setan.
Terlebih aku pun pernah memiliki masalah
yang katanya berhubungan dengan makhluk halus. Mereka bilang ada arwah
gentayangan yang berbagi raga denganku. Dialah yang berbisik dan mengajakku
bunuh diri. Agar aku bisa bersama dengannya tanpa terbatas dunia yang berbeda.
Secara psikologi, mungkin hal itu dikenal
dengan dua kepribadian atau kepribadian ganda.
Entahlah. Tapi, berada dalam situasi itu
dan mengalami gejala-gejalanya. Benar menderita secara lahir dan batin.
Setahun sembuh dari GERD, muncul penyakit
psikis yang disebut-sebut sebagai gandengan dari GERD. Satu paket sama GERD.
Penyakit yang akrab disebut anxie atau anxiety. Penyakit psikis yang berupa
gangguan kecemasan.
Kondisi fisikku yang mulai stabil kembali
goyah. Aku kembali mengurung diri. Nggak berani keluar rumah. Padahal sebelum
sakit GERD, ke mana-mana aku nyetir motor sendiri. Keluar kota pun nyetir motor
sendiri.
Setelah dihinggapi anxie, nyetir motor
jarak lima kilometer saja aku sudah gemetaran. Sesak napas dan kayak mau
pingsan. Bahkan, pernah hampir pingsan di tengah kerumunan penonton karnaval.
Aku kembali tertekan. Kembali frustasi.
Jika dulu aku hampir mengakhiri hidupku. Saat dihinggapi anxie, mendengar kata
mati saja aku sudah ketakutan. Tubuhku menggigil. Ketakutan. Bahkan, sampai
nggak berani untuk tidur. Takut kalau tidur, nggak akan bangun lagi.
Keluarga pun dibuat bingung akan kondisiku.
Mereka nggak paham aku sakit apa lagi. Karena secara fisik aku terlihat sudah
sehat. Tapi, ketika anxie menyerang. Aku benar-benar seperti orang sakit parah.
Aku putus asa. Frustasi menghadapi sakit jiwaku.
Ya, aku sakit jiwa. Aku butuh psikiater. Aku butuh dokter jiwa. Hanya psikiater
yang bisa menolongku. Hanya dokter jiwa yang bisa menolongku. Ini tidak boleh
dibiarkan hingga jadi depresi. Nggak boleh! Aku harus ke rumah sakit jiwa.
Aku merengek pada Ibu. Minta di antar ke
rumah sakit jiwa. Ke psikiater. Walau tampak terkejut, Ibu mengiyakan saja
permintaanku. Menyanggupi pergi ke puskesmas untuk meminta surat rujukan.
Lagi-lagi Tuhan mempertemukan aku dengan
seseorang yang berani menamparku dengan kata-katanya. Agar aku sadar bahwa aku
tidak dalam kondisi separah itu, yang sampai harus pergi ke rumah sakit jiwa.
Agar aku sadar dan segera bangkit melawan penyakit jiwaku.
Mau tahu bagaimana rasanya berjuang melawan
sakit jiwa itu? Melawan frustasi itu? Melawan depresi itu?
Sakitku menimbulkan frustasi. Dan, frustasi
membuat depresi.
Setiap hari diliputi ketakutan. Rasa kesal.
Lelah. Dan benci pada keadaan yang aku alami. Takut mati, tapi seolah kematian
sudah di ambang pintu. Menunggu untuk masuk dan merengkuhku. Takut memejamkan
mata.
Kenapa aku masih demikian walau aku sudah
berpegang erat pada-Nya?
Berbicara tidak semudah prakteknya.
"Kendalikan pikiranmu!"
Ya! Aku berusaha mengendalikannya. Tapi,
kenyataan untuk mengendalikan pikiran itu tak semudah mengucapkannya.
Aku pun tak hentinya meminta bantuan dan
kekuatan dari-Nya. Dan, Dia pun membantu. Tapi dalam sebuah peperangan, tidak
ada perjuangan yang mudah kan?
Jatuh bangun. Menangis berulang-ulang.
Bahkan, sempat berpikir untuk berhenti dan menyerah pada keadaan.
Percayalah! Nggak ada yang nggak berusaha
melawan depresinya. Setiap orang yang menyadari dirinya depresi, pasti akan
berusaha melawannya. Hanya saja cara dari masing-masing pribadi untuk melawan
depresi itu berbeda-beda.
Temanku ada yang memilih merokok dan
memakai obat-obatan untuk mengatasi depresinya. Bertahan selama beberapa waktu.
Lalu, tiba waktunya dia memilih jalan yang lebih baik.
Depresi yang berakhir dengan bunuh diri itu
bukan perkara iman. Kalau memang perkara utamanya adalah iman, kenapa ada kasus
pendeta bunuh diri? Atau ustadz yang mencabuli muridnya? Bukankah mereka
dipandang sebagai orang yang lebih beriman di banding dengan kaum awam?
Sekuat apa pun imanmu, tetap tidak akan
bisa membantumu untuk melawan takdirmu. Yang bisa kamu lakukan hanya merubah
nasib. Tapi, tidak dengan takdir. Takdir itu murni kuasa Tuhan. Kita tidak bisa
mencampurinya barang sedikit saja.
Boleh jadi kamu adalah orang yang beriman
kuat. Tapi, kalau takdirmu kamu mati bunuh diri karena patah hati misalnya.
Kamu bisa apa? Suka-suka Tuhan mau nulis takdir makhluk-Nya kayak gimana kan?
Jadi, tolong! Stop menghakimi. Stop
mencela. Kita ini hanya wayang. Sedang Tuhan lah sang sutradara Yang Maha
Menentukan Segalanya.
Tentang orang yang mati bunuh diri itu dilaknat
Tuhan atau tidak. Itu urusan dia sama Tuhan nya.
Kita ambil saja pelajarannya. Agar kita
lebih hati-hati dalam menjalani hidup.
Sebagai wayang, kita pun nggak tahu
bagaimana hidup kita akan berakhir. Bisa jadi hari ini kamu ngolok-ngolok orang
yang mati bunuh diri. Tapi, besoknya kamu sendiri bunuh diri hanya karena
sendal kesayanganmu dicuri.
Apa pun bisa terjadi. Takdir kita, hanya
Tuhan yang tahu. Dan hanya Tuhan yang mutlak menentukan takdir setiap
makhluk-Nya.
Sampai saat ini pun aku masih berjuang
melawan pikiran-pikiran negatif yang kadang muncul dengan sendirinya. Sampai
sekarang pun aku masih berjuang melawan depresi.
Semoga kisah yang sebelumnya nggak pernah
aku up ke publik ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa hidup itu
adalah pilihan. Dan kata Aa' Gym, hidup itu peralihan dari satu masalah ke
masalah lainnya. Pilihan untuk menyelesaikan semua permasalahan dalam hidup
kita, ya kita yang menentukan.
Ketika sudah merasa tertekan, merasa
frustasi. Carilah seseorang untuk berbagi. Atau keluar lah. Hirup udara segar
dan temui banyak orang. Jangan tambah mengurung diri.
Ada kalanya berdiam, menyendiri itu memang
dibutuhkan. Tapi, tak harus sampai terlalu atau berlebihan kan?
Sendiri bisa membuatmu mengenal dirimu juga
Tuhan mu jika kau memanfaatkan kesendirianmu dengan benar. Sebenarnya, kita
tidak benar-benar sendirian. Selain Tuhan dan malaikat, ada setan juga yang
menemani kita. Tergantung pilihanmu, kamu mau berdekatan dan bersandar pada
siapa.
Tuhan selalu memberi kita ujian dan pilihan.
Walau akhirnya Tuhan pula yang menentukan takdir kita.
"Bunuh diri bukan masalahmu sendiri.
Bunuh diri itu akan membunuh hati orang-orang lain di sekelilingmu juga."—Hiroaki,
Scheduled Suicide Day.
Jika kau membenci tindakan bunuh diri. Itu
hakmu. Tapi, tolong. Sebisa mungkin jangan mengadili orang yang memilih
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Walau orang itu tak akan mendengar
cacianmu, tapi dia masih punya keluarga kan? Bisa jadi cacianmu membuat
keluarga pelaku bunuh diri semakin terluka. Dan, bukankah melukai hati
seseorang itu merupakan dosa dan dilarang? Sama halnya dengan bunuh diri. Jadi,
kalau mencaci maki hingga membuat hati orang lain sakit. Apa bedanya dengan
bunuh diri itu sendiri yang kau nilai sebagai tindakan berdosa?
Dosamu pada Tuhan mu bisa diampuni jika kau
bertobat pada Tuhan mu. Tapi, dosa kepada sesama manusia. Selama manusia itu
tidak memaafkan. Kau akan tetap membawa dosa itu sampai kapan pun, bahkan
sampai kau mati.
Mari bersikap lebih bijak. Selalu bercermin
dan mengoreksi diri sendiri. Agar selamat hidup di dunia hingga akherat nanti.
Aku bukan manusia yang baik. Tapi, aku
sedang berusaha dan belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Maaf jika ada salah kata. Semoga
bermanfaat. Terima kasih.
Di dalam tempurung kura-kura, sambil
mendengarkan Linkin Park Numb, Breaking The Habit, dan Runaway.
Tempurung kura-kura, 24
Juli 2017.
. shytUrtle .
0 comments