My Curious Way: [170720] Road to Coban Bidadari.
21:01
My Curious Way: [170720] Road to Coban
Bidadari.
Wana wisata berikutnya yang aku kunjungi di
minggu ini adalah Coban Bidadari.
Kayaknya sekarang emang tren-nya disebut
sebagai "wana wisata". Coban Pelangi juga dilabeli sebagai "Wana
Wisata Coban Pelangi".
Aku suka sama istilah "wana
wisata" itu. Karena emang kan lokasinya hutan yang dijadikan sebagai
tempat wisata.
Kalau tentang Coban Bidadari ini aku
tahunya dari Thata. Trus, Mbak Jamile juga sempet ngasih kiriman screen capture tentang Coban Bidadari.
Kalau rutenya desa Kunci ke timur,
informasi selalu nanya ke bidan-bidan dan perawat-perawat yang dinas di sana.
Di Kunci, Gubugklakah, dan Ngadas. Lebih akurat kalau nanya beliau-beliau itu.
Hehehe.
Kebetulan perawat Ponkesdes desa Kunci udah
pernah ke sana. Langsung deh dikasih info lokasi. Bahkan dikasih lihat foto-foto
dia pas berkunjung ke sana.
Rute ke Coban Bidadari ini gampang banget
sebenarnya. Jalurnya mudah ditemukan karena ada tepat di pinggir jalan utama
menuju Bromo. Jalan utamnya juga udah aspal dan cor.
Tapi, yang namanya naik gunung ya. Jalurnya
pasti nanjak dan berkelok-kelok. Kebetulan jalannya juga agak sempit. Dan,
aspal juga cor-nya banyak yang berlubang. Agak luas dan beraspal halus pas udah
masuk wilayah Ngadas dari persimpangan ke Njarak Ijo.
Lokasi Coban Bidadari ndak sampek Ngadas
kok. Letaknya di atasnya Coban Pelangi dikit dan di bawahnya Coban Trisula
dikit pula. Hehehe.
Tepatnya berada di dekat gapura Selamat
Datang Wisata Bromo, Tengger, Semeru. Tahu kan?
Gapura Selamat Datang Wisata Bromo, Tengger, Semeru.
Yang udah pernah ke Bromo lewat Gubugklakah
pasti tahu. Soalnya nglewatin area itu. Tepatnya di sebelah kiri kalau dari
arah bawah.
Pas aku main ke Ngadas bulan Maret lalu,
lokasi itu masih hutan belantara. Sekarang udah jadi kawasan wana wisata yang
ramai pengunjung. Daebak!!! Cepat sekali berubahnya. Hehehe.
Walau udah akrab sama jalur ke timur itu,
tapi kalau nyetir motor sendiri mentok sampai Coban Pelangi aja. Ke atasnya
sono selalu dalam boncengan. Pertama dibonceng Bapak, kedua dibonceng Thata.
Ada satu kelokan, lokasinya di atas Coban
Pelangi yang bikin aku cukup ciut nyali. Selain itu ada jalan yang akrab
disebut "bunderan" yang juga cukup bikin deg-deg ser.
Tapi, Bapak bilang, "Itu karena kamu
dibonceng. Kalau nyetir ndiri pasti bisa. Soalnya kan kamu bisa mengira-ngira,
bagaimana melajukan motormu di jalan yang kayak gitu. Tiap orang yang dibonceng
merasanya pasti gitu. Tapi, kalau nyetir dewe ya nggak. Apalagi kalau pakai
motor manual. Lebih enak."
Meskipun begitu, aku belum pernah ngajak
Jagiya naik melebihi Coban Pelangi. Alasan utama karena waktu itu Jagiya belum
diservisin. Lalu puasa, dan selesai Jagiya diservis udah lebaran aja. Jadi,
Coban Bidadari masuk wish list dan
menunggu untuk dikunjungi.
Tiba-tiba Thata memberikan sebuah tawaran,
"Mau ikut aku nggak? Main ke Coban Bidadari. Temenku pengen ke sana. Tapi,
dia sama temennya. Aku males naik motor sendiri. Temenin aku ya kalau sampean
nyantai."
Let's
go!
Langsung mengiyakan. Dan, buru-buru minta izin hari Kamis buka toko sampai jam
satu siang aja. Karena janjiannya kan jam dua. Izin satu jam lebih awal biar
bisa istirahat sebentar. Perjalanan ke timur itu selalu membutuhkan energi
ekstra. Hehehe.
Padahal hari Rabu -nya izin nggak masuk
kerja karena Nduk Ra ngajak ke hutan pinus—yang berujung ke Wana Wisata Winong.
Tapi, hari Kamis udah izin lagi. Masuk kerja enam jam doang. Hehehe. Mumpung
ada kesempatan yang ngajak main. Nggak disia-siain deh. Heuheuheu...
Pukul satu siang pulang. Ngaso bentar.
Makan udah di toko. Jadi, nyampek rumah langsung rebahan. Ya. Harus siapin
fisik. Perjalanan ke timur itu penuh tantangan walau jalannya udah beraspal.
Pukul dua siang Thata udah menjemput. Kami
pergi pakek motornya Thata, matic.
Dan karena matic, aku jadi penumpang
aja. Ndak jadi joki. Hehehe.
Molor dari waktu perjanjian. Sampai pukul
tiga sore, temen Thata belum dateng. Kami udah standby di pinggir jalan utama. Thata duduk manis di atas motornya.
Aku jongkok di trotoar. Sempet selfie juga. Hahaha. Buat ngilangin bosan.
Selca di trotoar :D
Walau jalur ke timur itu ramai sampai
malam, tapi kalau naik terlalu sore juga bukan ide bagus. Karena, pertimbangan
pertama udah pasti kabut. Tujuan ke Coban Bidadari adalah sunset-nya. Kalau kesorean trus kabut kan percuma. Udah naik, nggak
bisa nikmatin indahnya sunset karena
udah ketutup kabut.
Pukul setengah empat kami mulai naik.
Berempat, dua motor matic semua, dan
cewek semua. Di tempat kami udah mendung. Kami ambil rute lewat Ndrigu. Biar
lewar Sedaer juga. Kali aja temennya Thata mau foto-foto di Sedaer.
Mendungnya bikin galau. Tapi, di atas kelihatan
cerah. Di atas di desa Poncokusumo. Ngarepnya di Gubugklakah juga cerah.
Soalnya nggak mesti. Pas di tempat kami cerah, di atas mendung. Atau
sebaliknya, di atas cerah, di tempat kami mendung.
Aku berharap di atas cerah. Kasihan temen
Thata. Jauh-jauh datang kalau mendung kan rasa kecewa pasti ada.
Karena udah sore dan mendung, agak ngebut
pas naiknya. Jalannya makin parah berlubangnya. Aspal halus cuman sampai Coban
Pelangi. Jadi, dari situ udah nggak bisa ngebut lagi. Lagian banyak kendaraan
turun juga. Kebanyakan mobil pick up
pengangkut sayur mayur. Jadi, harus pelan-pelan.
Setelah kelokan menanjak dam tajam pertama,
jalan cor-nya juga parah rusaknya. Berlubang di sana-sini. Jadi, harus
pelan-pelan. Milih jalan yang nggak berlubang.
Makin naik, makin dingin. Nyampek lokasi,
lumayan sepi. Ada beberapa motor aja. Dan, setelah kami ada satu mobil yang
tiba.
Aku nanya sama mas-mas berkaos putih yang
jaga parkiran. Udah tutup apa belum. Katanya, udah mau tutup. Tapi, kami
dibolehin masuk.
Ok lah. Trus, aku nanya HTM-nya berapa.
Kata masnya, bayar parkir aja nanti kalau pulang. Ok. Kami pun memarkirkan
motor dan bersiap jalan kaki menuju lokasi.
Area parkirnya luas. Dan, biaya parkirnya
Rp. 5.000,- untuk motor. Entah kalau mobil berapa.
Area parkir
Mungkin kalau pagi atau siang, ada yang
jualan di area parkir. Pas kami nyampek, udah sepi. Cuman ada mas berkaos putih
yang jaga.
Video di area parkir
Kami pun mulai jalan menuju lokasi. Tak
jauh dari area parkir, berdiri sebuah bangunan berjajar yang ternyata adalah
toilet. The beser people ndak perlu khawatir. Hehehe. Tarif pakai toilet pun
standar. Rp. 2.000,- aja. Tapi, aku nggak tahu gimana kondisi di dalam toilet.
Karena kebetulan aku tidak beser. Jadi, tidak mengunjungi toilet.
Toilet
Bukan jalan setapak sih. Jalan tanah yang
agak lebar dari jalan setapak. Melewati hutan yang di dominasi pohon-pohon
besar. Ada pohon kopi juga.
Berani jamin, kalau pohon kopinya pas
berbunga. Pasti suasana di jalan menuju lokasi makin syahdu. Bunga kopi kan
wangi banget. Jadi, makin syahdu kan? Sayangnya kopinya lagi nggak berbunga.
Entah itu kopi yang tumbuh liar atau kopi yang sengaja ditanam. Ukurannya udah
agak gede sih. Dan, di deket jalan menanjak menuju Puncak Bidadari juga ada
rerimbunan pohon kopi.
Video bukan jalan setapak
Mendekati area selfi kami disambut gapura
kayu bertuliskan "Welcome Coban Bidadari". Di dekat gapura masuk itu
ada gazebo beratap jerami. Di dalamnya ada tempat duduk melingkar.
Di dekat gazebo ada bangku kayu yang
selfieable banget. Background-nya
hutan. Bagus banget lah. Di dekat bangku kayu yang selfieable—apalagi bareng
pasangan. Ada deretan bangku kayu dan sebuah ayunan yang menghadap ke hutan dan
perbukitan. Sore-sore duduk di sana seru banget tuh. Bener-bener bisa ngilangin
stres karena pemandangan hijau yang terbentang indah di depan tempat duduk kayu
dan ayunan.
Di area ini ada taman bunga zinia juga.
Kebetulan pas lagi berbunga dan bermekaran. Jadi, cantik banget. Tahu bunga
zinia, kan? Itu lho, bunga kertas. Hehehe.
Trus ada bangku dan meja kayu berbentuk
hati. Juga ada spot untuk uji nyali kayak di GSS (Gunung Sari Sunset). Yes!
Benar sekali! Jembatan kayu yang berujung di sebuah pohon. Kalau lihat di foto
promosinya kayak tinggi banget. Tapi, pas lihat langsung nurut aku tidak
terlalu tinggi juga. Tapi, tetep aja yang takut ketinggian tidak disarankan untuk
mencoba. Jembatannya terbuat dari potongan-potongan kayu bulat. Tatanannya pun
ada yang longgar. Walau kuat, tapi tetap tidak disarankan bagi yang takut
ketinggian.
Di dekat jembatan ada ikon lain yang turut
menghiasi promo Coban Bidadari. Yap! Replika bunga matahari berwarna kuning
yang nggak kalah selfieable. Karena lokasi agak minggir. Yang takut ketinggian
tetep ya. Hati-hati.
Di dekat replika bunga matahari yang sedang
mekar. Ada spot yang paling mainstream.
Kenapa mainstream? Hampir di semua
wana wisata, ada wahana ini. Kok wahana sih? Ya pokoknya gitu lah. Papan
berbentuk hati. Ini lebih nggak bikin deg-deg ser. Nggak kayak di GSS yang
super tinggi dan butuh nyali gede buat foto di atasnya. Papan hati di Coban
Bidadari ini landai banget. Aman dah buat yang takut ketinggian.
Oya, di dekat area ayunan itu ada
pohon-pohon yang di bungkus kain kotak-kotak berwarna hitam putih. Jadi berasa
kayak di Bali gitu deh. Senada sama di... aduh! Lupa namanya aku. Itu lho, yang
ada di sebelah baratnya GSS. Apa sih namanya?? Sumpah aku beneran lupa. Maaf
ya!
Video area selfieable #1
Dari papan berbentuk hati, jalan terus
bakal ketemu persimpangan. Ke arah kanan menurun akan membawa kita ke coban
atau air terjunnya. Tapi, kata mas yang jaga parkir medannya ekstrim.
Kelihatan emang. Tangga tanahnya yang
jejeg. Bahasa Indonesia-nya jejeg apa sih? Pokoknya tegak dan tinggi hampir
90°. Ngeri. Lagian kami datang udah jam setengah lima sore. Jadi, nggak boleh
turun juga. Siapkan fisik aja buat yang niat turun ke air terjunnya. Di fotonya
bagus kok air terjunnya. Nggak segede air terjun di Coban Pelangi.
Video di persimpangan
Matahari yang akhirnya muncul
Kalau lurus, kita bakal menuju Puncak
Bidadari. Sumpah aku deja vu pas
lihat jalan menanjak menuju Puncak Bidadari. Aku merasa, aku tuh pernah ke
sana. Tapi, entah kapan itu. Dan ketika di lokasi, aku cuman bisa bergumam,
"Oh! Ini tho ternyata tempatnya." Btw, ini bukan pertama kalinya sih.
Hehehe.
Tanjakan menuju Puncak Bidadari nggak
terlalu tinggi. Tapi, bagi orang yang nggak pernah ngalas atau jalan jauh.
Pasti cukup bikin ngos-ngosan. Ada apa aja di puncak? Banyak spot selfieable
pastinya.
Pertama masuk kita disambut sama replika
sarang burung. Yang punya khayalan punya rumah kayak sarang burung, cus dah
foto di sana. Hehehe.
Setelah itu ada tangga menuju sebuah pohon
yang di desain kayak pintu dan jendela. Foto di atas sana tuh berasa jadi nenek
sihir kayak di negeri dongeng. Dari atas rumah pohon mini itu, air terjun bisa
terlihat. Sayangnya aku pas nggak pegang kamera. Jadi, nggak bisa mengabadikan.
Lagian jauh banget di bawah sana. Kamera ponsel nggak akan bisa menjangkau
dengan baik.
Dan ini lah pose yang menginspirasi mas-mas
pengunjung lain yang sedang ngantri untuk foto. Yehe! Pose ngintip di jendela.
Hehehe.
Pernah mimpi punya sayap? Tenang. Kamu bisa
mewujudkannya di atas Puncak Bidadari. Ada replika sayap malaikat berwarna
hitam di atas puncak. Jadi, kalian bisa selfie. Bergaya kayak punya sayap gitu.
Keren tho. Apalagi kalau pakai kostum serba hitam kayak aku. Senada. Look like
real dark angel. Kekeke...
Ada replika bunga matahari. Lebih gede dari
yang di bawah. Bisa buat foto berdua sama pasangan atau sama sahabat.
Dan, tibalah di ikon dari Puncak Bidadari.
Spot untuk berfoto sama senja dan sunset.
Lagi-lagi yang takut ketinggian harus hati-hati ya.
Di dekat spot untuk menangkap senja, ada
rumah kurcaci. Berasa jadi Putri Salju deh. Hehehe.
Di depan rumah kurcaci ada area luas yang
kayaknya bakalan jadi taman bunga. Di puncak ini juga ada taman bunga yang
masih dalam proses pembangunan. Pasti cantik banget ntar kalau taman bunganya
jadi. Mungkin bunga kertas alias zinia. Tapi, aku ngarepnya sih bunga yang
lain. Yang bisa berbunga serempak. Pasti cantik banget view-nya pas mereka
mekar.
Momen paling wow di puncak adalah saat
menyaksikan kabut yang berjalan mendekati puncak. Cantik-cantik serem. Ketika
kabut itu memeluk puncak, suasana seketika jadi makin dingin dan agak suram. Cantik-cantik
serem deh pokoknya.
Buat jaga-jaga ya. Bawa air putih dan
setidaknya minyak kayu putih kalau kalian main ke puncaknya terlalu sore kayak
kami. Walau merasa panas, jaket di bawa aja. Nggak semua orang tahan sama
kabut.
Video kabut
Kayak kemarin, begitu kabut menyelimuti
puncak. Thata langsung mual bahkan (maaf) sampai muntah. Untung aku bawa air
putih. Jadi, bisa buat pertolongan pertama. Plus, minyak kayu putih juga.
Aku dulu pas di puncak Bromo juga gitu.
Parahnya aku langsung sesak napas. Pertolongan pertamanya ya minum air putih.
Siapkan fisik dan perbekalan aja. Apalagi
yang berniat turun ke air terjun.
Kabut tidak hanya memeluk puncak, tapi juga
area parkir dan sepertinya jalan utama saat kami turun. Hawanya juga udah lebih
dingin dari sebelumnya.
Ketika kami menghampiri motor, mas yang
jaga parkir nggak ada. Kami disamperin sama mas lain yang penampilannya lebih
modis dan usianya, kayaknya lebih muda dari mas berkaos putih yang sebelumnya
jaga parkir.
"Maaf, tadi belum bayar tiket masuknya
ya?" kata mas yang nyamperin kami itu.
"Iya. Tadi, kata masnya bayar parkir
aja pas pulang." jawabku. Kami pakek bahasa Jawa.
"Tiket masuknya sepuluh ribu per
kepala." kata si masnya.
"Lhoh! Katanya cuman bayar parkir lima
ribu!" Thata dan temannya menyela hampir bersamaan.
"Sepuluh ribu tiket masuknya."
masnya menegaskan.
Thata dan temannya mempertahankan alibi
mereka tentang tarif masuk yang hanya bayar parkir sebesar Rp. 5.000,- aja.
"Udah! Udah!" aku menyela.
Mengeluarkan uang empat puluh ribu dan memberikan pada mas yang menarik tarif
masuk kepada kami.
Sebelum jalan naik duluan, aku sempet nanya
mas yang narik HTM itu tentang jam tutup lokasi. Katanya biasanya udah tutup.
Tapi, karena masih ada pengunjung ya nunggu pengunjung pulang dulu.
Sebenarnya dari beberapa informasi yang aku
kumpulkan. Dari teman perawat yang tugas di desa Kunci dan kebetulan warga asli
Gubugklakah. Juga, dari temen SMP yang rumahnya juga Gubugklakah. Ke Coban
Bidadari itu cukup bayar parkir Rp. 5.000,- aja. Karena lokasinya belum 100%
selesai di bangun, jadi tidak ada tarif untuk masuk ke lokasi.
Aku lihat juga tidak ada tulisan tarif
masuk. Atau aku yang nggak menemukan tulisan itu?
Nggak papa sih kalau emang udah ada tarif
masuknya. Rp. 10.000,- per kepala. Tapi, kalau seandainya belum ada HTM resmi
dan kami ditarik HTM, ya nggak adil banget kan? Hehehe.
Kalau resmi kan masuknya buat pengelolaan
wana wisatanya. Kalau yang nggak resmi itu yang larinya entah ke mana. Semoga
emang udah ada tarif resminya dan aku yang nggak lihat.
Saking kagetnya pas ditarik HTM, sampai
bayar Rp. 40.000,- doang. Lupa nggak bayar parkir yang harusnya Rp. 10.000,-
Duh! Maafkan aku!
Terburu-buru juga. Ngeri lihat kabut yang
mulai nutup jalan utama. Sedang kami hanya berempat dan cewek semua. Dan, jalur
yang kami lalui adalah hutan belantara.
Dinginnya menusuk tulang. Kabut tebal sudah
menyelimuti jalan utama. Beruntung ada beberapa mobil yang juga turun. Jadi,
kami tak sendirian menuruni jalan yang tertutup kabut.
Kabut di mana-mana
Alhamdulillah turun dengan selamat. Nyampek
di desa Gubugklakah udah gelap. Udah malam. Nyampek rumah udah hampir Isya'.
Siapin fisik aja kalau mau naik. Kalau bisa
jangan terlalu sore kayak kami. Pas nyampek lokasi itu mendung. Untungnya pas
nyampek puncak, matahari mau menampakan diri. Tuhan Maha Asik. Udah memunculkan
matahari yang sempat ketutup mendung.
Siapkan fisik dan perbekalan. Dan, selamat
berpetualang di Wana Wisata Coban Bidadari.
Sekian. Maaf jika ada salah kata. Semoga
bermanfaat. Terima kasih.
Tempurung kura-kura, 22
Juli 2017.
. shytUrtle .
0 comments