¤ Tolong, aku! ¤
05:18
Tolong,
aku!
“Aku Meriel. Aku mohon, tolong aku.”
Berbuat iseng boleh saja,
asal nggak keterlaluan. Apalagi iseng pada hal yang berbau mistis. Hal yang
nggak bisa kita nilai dengan logika. Jangan sampai kalian mengalami seperti apa
yang aku alami karena keisenganku. Percayalah! Karena mereka ada dalam ruang
waktu yang tak terbatas. Mereka bisa melihat dan mendengar kita sedang kita tak
bisa melihat dan mendengar mereka. Dan ketika kita menyinggung tentang mereka,
saat inilah mereka benar ingin diakui tentang keberadaan mereka.
***
Siang itu hanya ada aku
dan Tunjung di basecamp. Untuk
mengusir rasa bosan kami pun membereskan tumpukan koran yang mulai tak rapi di
rak. Koran baru bercampur aduk dengan koran bekas yang kemarin dibawa Ibu ke basecamp. Tak sekedar merapikan, kami
juga melihat lembar demi lembar halaman koran.
Mataku terbelalak ketika
sampai pada salah satu halaman koran bekas yang sedang aku rapikan. Di kolom
sebelah kanan ada artikel misteri yang dipermanis dengan gambar penampakan
gadis cantik berwajah pucat merayap di lantai. Tak membaca artikel itu, aku
hanya memperhatikan gambar si penampakan cantik. Wajahnya pucat, mata lebar dan
hidung mancung. Kulitnya terlihat sedikit keriput. Khas tubuh yang sudah lama
tak bernyawa. Menurutku.
“Njung, liat deh! Ini asli
nggak sih?” suaraku memecah kebisuan.
“Apanya yang asli?” jawab
Tunjung tanpa mengalihkan pandangan dari koran di pangkuannya.
“Liat dulu napa!” aku
melemparkan koran di tanganku pada Tunjung. “Itu gambar penampakan asli nggak?”
Tunjung yang sering kami
sebut “abnormal” ini memungut koran yang jatuh di kakinya yang sedang duduk
berselonjoran di atas lantai. Tunjung bukan gadis autis atau benar tak normal.
Kami menyebutnya abnormal karena Tunjung memiliki kemampuan di atas manusia normal
pada umumnya. Tunjung bisa melihat hal-hal tak kasat mata yang manusia biasa
atau manusia normal pada umumnya tak bisa melihatnya. Sebut saja Tunjung
memiliki indera keenam.
“Asli nggak?” tanyaku lagi
benar penasaran menatap Tunjung yang masih mengamati gambar di koran itu.
“Nggak!” Tunjung melempar
koran itu kembali padaku.
Mendadak sumringah kuraih
ponsel di saku celanaku. Mengambil beberapa foto gambar penampakan itu dan
memilih satu yang terbaik.
“Dasar usil. Ngapain kamu
foto gambar itu?” tanya Tunjung.
“Ntar aku mau bilang sama
anak-anak kalau aku berhasil motret penampakan.” jawabku sembari meringis.
“Siapa motret penampakan?”
sahut Asti yang baru memasuki basecamp.
Ia duduk menatap kami penasaran.
“Wuni .” jawab Tunjung.
“Mbak Wuni…? Serius…? Mana
gambarnya mana?” Asti penasaran.
Aku memberikan ponselku
pada Asti dan segera menyembunyikan koran yang memuat gambar penampakan cantik.
“Buset! Cantik bener! Ini
penampakan dimana?” tanya Asti masih mengamati foto dalam ponselku.
“Di PUSKESMAS depan tuh.”
jawab Tunjung lagi. Aku bungkam.
“Serius, Mbak…? Kapan ini
motretnya…? Ini tepatnya di sebelah mana…?” buru Asti.
“Serius. Semalem waktu aku
nemenin Wuni sama Ibu ke apotek PUSKESMAS buat ngambil obat Wuni yang
ketinggalan. Itu di depan ruang BP.” terang Tunjung. Aku masih bungkam.
“Depan ruang BP…? Deket
apotek dong…? Ruangan ibuku…?” Asti parno.
***
Mungkin kalau Tunjung tak
membubuhi bumbu penyedap pada bualanku, Asti dan anak-anak yang biasa ngumpul
di basecamp nggak bakal percaya pada
pada bualanku. Menjadi heboh sesudahnya. Asti menceritakan foto penampakan
dalam ponselku pada ibunya Bu Yanti yang bekerja di PUSKESMAS depan basecamp. Karena penasaran, Bu Yanti
langsung menemuiku. Bertanya beberapa pertanyaan dan melihat foto penampakan
cantik dalam ponselku. Senada dengan Asti, Bu Yanti juga percaya pada bualan
yang aku dapat dari mengcopi penjelasan Tunjung pada Asti.
Asti menceritakan foto
penampakan cantik pada Bu Yanti dan Bu Yanti menceritakan foto penampakan
cantik pada rekan-rekannya yang bekerja di PUSKESMAS depan basecamp. Ibuku yang kebetulan juga bekerja di PUSKESMAS depan basecamp tak luput menjadi incaran
rekan-rekannya. Kehebohan berlanjut bahkan semakin menjadi. Ibu tak tahu menahu
dan meminta rekan-rekannya yang penasaran menemui aku langsung. Alhasil basecamp jadi ramai diserbu karyaawan
PUSKESMAS yang penasaran pada foto penampakan cantik di depan ruang BP. Hari
Senin ini aku benar-benar sibuk meladeni teman-teman Ibu yang ingin melihat
foto penampakan cantik di depan ruang BP. Bahkan harus menjawab pertanyaan
mereka yang rata-rata sama. Bagaimana
bisa motret penampakan ini? Kapan motretnya? Kira-kira gadis itu siapa dan
matinya kenapa ya? Bahkan salah satu Bidan meminta foto penampakan di ponselku
dan saat itu juga menyebarkan pada teman-temannya jika di PUSKESMAS tempat ia bekerja
ada penampakan hantu cantik. Mapuslah aku!
***
Hari Selasa baru ketemu
lagi sama Asti si pembuat kehebohan. Andai Asti nggak cerita ke ibunya, nggak
mungkin foto penampakan itu jadi heboh dan aku diburu bak artis yang lagi bikin
skandal.
“Ya, maaf. Ibu tuh yang
heboh. Tapi seneng kan Mbak Wuni mendadak tenar.” jawab Asti enteng.
“Gundulmu!” umpatku kesal.
“Eh tapi aku masih
penasaran deh, Mbak. Itu cewek siapa dan dia matinya gara-gara apa.”
“Udah! Jangan dilanjut!”
sela Tunjung. “Beli makan sana. Laper nih.” pintanya.
Tak puas karena pertanyaan
penasarannya di potong Tunjung saat ngobrol di basecamp, dalam perjalanan membeli makan siang Asti melanjutkan
obrolan. Asti yang duduk di belakang dalam boncengan motorku masih saja
mengoceh membahas tentang penampakan cantik itu. Tentang eloknya wajah si
penampakan dan merembet kembali pada siapa dia dan apa penyebab kematiannya.
“Ya aku penasaran aja
Mbak. Penyebab kematian dia apa. Liat dari wajahnya, dia kayaknya bule gitu ya.
Memangnya Mbak Tunjung nggak tahu apa?” lanjut Asti mengoceh.
“Udahan napa?!” aku
memintanya berhenti mengoceh membahas penampakan cantik itu. Jujur aku jadi
merinding setiap kali membahas foto penampakan itu. Setelah foto itu heboh
dibicarakan banyak orang.
“Kan katanya dulu
PUSKESMAS itu rumah seorang Tuan Tanah Belanda. Beneran nggak sih? Mbak Tunjung
pasti tahu sesuatu, tapi nggak mau sharing
aja. Bikin penasaran banget.” bukannya berhenti mengoceh, Asti malah menjadi-jadi.
“Bisa jadi cewek itu putri dari Tuan Tanah kan? Kira-kira matinya gara-gara apa
ya?”
“Kenapa nggak kamu panggil
aja dia pakek jelangkung? Daripada ngoceh mulu bahas itu. Mana aku tahu coba?”
aku benar kesal mendengar ocehan Asti.
“Ih! Mbak Wuni nggak
asik!” Asti sewot dan langsung diam.
***
Rabu pagi aku dan Asti
sudah standby di basecamp. Lagi asik nyanyi-nyanyi berdua, tiba-tiba Tunjung datang
bersungut-sungut dan mematikan music box.
Aku dan Asti melongo dibuatnya.
“Ini gara-gara kalian!” tuduh
Tunjung penuh kekesalan pada kami.
“Kok… gara-gara kami sih
Mbak? Ada apa emang?” tanya Asti.
“Iya nih. Dateng-dateng
matiin music box trus marah-marah.”
responku santai.
“Aku udah minta kalian
berhenti membahas tentang gadis itu kan?”
Aku dan Asti kembali diam.
Lalu kami sadar gadis yang dimaksud Tunjung adalah penampakan cantik itu.
“Asti tuh yang ngoceh mulu
bahas cewek itu.” tudingku.
“Dia dateng nemuin aku
semalam!”
Glek! Aku dan Asti diam.
Mendadak kaku. Merinding. Nggak mungkin Tunjung berbohong perkara ini.
“Dia dateng jelasin semua.
Menjawab pertanyaan kalian.” lanjut Tunjung yang kini sudah duduk bergabung
bersama kami. Lesehan di atas lantai basecamp.
“Jelasin semua…?” tanyaku.
Jujur aku penasaran. “Gimana dia bisa nemuin kamu, Njung?”
“Aku lagi baca semalem.”
Tunjung mulai menceritakan apa yang ia alami semalam. “Sekitar jam dua pagi,
tiba-tiba ada angin dingin berhembus di sekitarku. Aku mikir, siapa yang mau
dateng. Lalu bayangan seperti orang duduk itu muncul di depanku. Peralahan berubah
semakin jelas dan jadilah cewek cantik berambut lurus hitam panjang, mata belok
dan hidung mancung.”
Aku menelan ludah
mendengarnya.
“Ekspresinya sedih banget.
Aku tanya dia siapa dan buat apa dateng nemuin aku. Sempet diem cukup lama lalu
dia ngomong. Namanya Meriel. Keturunan Belanda asli. Dia mati dibunuh. Diculik
kaum pribumi, di siksa sampai mati.” lanjut Tunjung.
Hening. Aku dan Asti
benar-benar bungkam mendengarnya. Miris mendengar kematian tragis gadis cantik
keturunan Belanda bernama Meriel itu.
“Dia minta tolong untuk
disempurnakan agar ia bisa menyeberang.” Tunjung kembali bicara.
“Di sempurnakan? Dia hantu
kan?” sahutku.
“Ngawur! Dia itu arwah
yang nggak bisa menyeberang.”
“Beda sama hantu?” sela
Asti.
“Trus, cara nyempurnainnya
gimana?” tanyaku.
“Kita harus nyari tempat
ia dikubur. Ngambil sedikit tanahnya dan membuangnya ke laut.” terang Tunjung.
“Nyari kuburannya?”
pekikku.
“Kasihan banget diculik
lalu disiksa sampek mati. Dikuburnya sembarangan pasti itu. Trus jadi arwah penasaran.”
Asti sok paham. “Tapi kok tanahnya dibuang ke laut sih Mbak?”
“Karena dalam kepercayaan
yang dia anut, kalo ada orang meninggal jasadnya di kremasi. Dibakar. Nah, dia
kan udah jadi satu sama tanah tuh, dia mintanya gitu.” Tunjung menjelaskan.
“Masalahnya sekarang
dimana Meriel dikubur?” selaku. “Dia nggak ngasih petunjuk gitu?”
“Ada sih. Tempatnya di
pinggir sungai, deket sawah, ada pohon kelapa, ada tanaman awar-awar.” Tunjung
berusaha mengingat petunjuk yang diberikan Meriel.
“Masih di sekitar sini?”
tanyaku.
“Iya.” jawab Tunjung
yakin.
Aku berusaha
mengingat-ingat tempat yang sering aku kunjungi untuk mencari bunga Elder
Flower. “Eh, apa bukan di Kali Wakap tuh? Di sana kan ada pohon kelengkeng sama
pohon kelapa. Apa di sana Meriel dikubur?”
“Kali Wakap?” Tunjung
berusaha mengingatnya. “Iya ya. Di sana kan banyak tanaman awar-awar juga. Kita
kesana sekarang yuk!” Tunjung antusias.
“Sekarang…?” tanyaku
sangsi.
***
Aku dan Asti diam menunggu Tunjung yang
entah melakukan ritual apa. Mulut Tunjung bergumam seperti merapal mantra. Kami
bertiga berkumpul di Kali Wakap, sungai kecil di dekat sawah dimana aku biasa
lewat di jembatan di samping kiri sungai ini untuk menyeberang ke sawah sisi
timur untuk mengambil bunga Elder Flower. Aku nggak nyangka, di dekat pohon
kelapa doyong ini tubuh Meriel di kubur. Padahal aku sering lewat di depannya.
Usai mulutnya bergerak seolah merapal
mantra, Tunjung mengambil sedikit tanah yang kemudian ia simpan dalam kantung
plastik. Tunjung kembali berdiri dan tersenyum pada kami. “Ayo kita pulang.”
ajaknya sambil berjalan mendahului.
***
Hari Minggu, bersama-sama kami pergi ke
pantai Selatan. Pantai yang berada dekat dari jangkauan kami. Sesampainya di
pantai, Tunjung langsung melaksanakan ritual penyempurnaan. Lagi-lagi aku dan
Asti hanya berdiri diam agak jauh di belakang Tunjung. Setelah berdiri cukup
lama menghadap pantai, Tunjung menghanyutkan tanah yang diambilnya dari kuburan
Meriel di pantai. Setelah itu Tunjung kembali menghampiri kami.
“Sudah.” ucapnya tersenyum lega.
“Alhamdulillah. Semoga ia bisa
menyeberang dan tenang di alam sana. Amin.” harapan Asti.
Aku lega mendengarnya. Kembali kutatap
foto penampakan dalam ponselku. Selamat
jalan, Meriel. Maaf atas semua keisenganku. Batinku dalam hati lalu
menghapus foto penampakan itu dari ponselku. Aku menghela napas lega dan
tersenyum menatap hamparan biru laut yang terbentang luas di depan kami
bertiga.
***
“Setelah ini mau iseng motret gambar
penampakan lagi?” Tunjung menghampiriku yang sibuk membakar tumpukan koran
bekas.
“Nggak ah. Aku kapok. Iya kalo dia
datangnya ke kamu, nah kalo ke aku? Mampuslah aku.”
Tunjung tertawa geli.
Aku kembali menatap koran yang memuat
gambar Meriel. Aku tersenyum sejenak menatapnya. Lalu kulemparkan koran itu ke
dalam kobaran api sambil berbisik dalam hati aku kapok iseng lagi.
THE END
Based on true
story.
By:
shytUrtle
menurut petunjuk dari si empunya makam, di sinilah ia di kubur secara tak layak.
0 comments