It's Our Creepy Story: Salah Paham.
04:09
It's Our Creepy
Story: Salah Paham.
Hello!
Kurayui is back! Hehehe. Lama ya ngga nulis cerita creepy. Dulu pakek cermis ya
judulnya. Sekarang sepakat kita ganti dengan It's Our Creepy Story aja deh ya.
Kan masih di Sarang Clover. Siapa tahu ntar bisa jadi buku lagi. Aamiin...
Lama juga
kayaknya nggak nulis tentang creepy story. Bahan ramuannya ada. Cuman, as you
know lah. Kadang nggak boleh atau nggak dapat ijin buat dipublikasikan. Kali
ini, masih tentang Wuni dan Tunjung. Hehehe.
Wuni si
pembawa hantu (?) dan Tunjung si pengusir hantu (??) Kok berasa keren ya?
Hahaha. Abaikan. Emang jadi pembawa hantu itu keren??? Pengusir tuh keren.
Kalau pembawa, serem dong!
Sejak
pindah ke bilik yang sekarang, alhamdulillah aku hampir nggak pernah mengalami
tindihen. Hampir nggak pernah lho ya! Bukan nggak pernah sama sekali. Artinya,
pada saat tertentu biasanya hampir mengalami tindihen.
Beda sama
di bilik lama dulu. Tidur siang pun bisa tindihen kalau di bilik lama. Kamar
tidurku yang lama benar-benar creepy. Maklum, nggak pernah kena sinar matahari
soalnya.
Nah
beberapa waktu lalu, tiba-tiba aku hampir tindihen. Lagi enak-enaknya tidur,
tiba-tiba napas sesak. Leher kayak kecekik. Pas buka mata, aku lihat ada sosok
berdiri tepat di depanku.
Kaget,
pasti. Sosoknya itu, yang aku lihat ya, rambutnya hitam panjang. Tapi,
kepalanya itu muter. Ngadep ke belakang. Jadi, aku lihat punggungnya. Tapi, itu
muka ngadep ke aku. Melototin aku. Kepalanya muter 180° derajat ya namanya
kalau kayak gitu.
Kaget dan
panik, aku lempar dia pakek guling. Gulingnya jatuh ke lantai, dia nyaman aja
dalam posisi itu. Bergeming masih pelototin aku.
Ayat
Kursi, lupa. Mau baca mantra, yang keluar malah Surat Al Ikhlas. Ya udah baca
itu sampai kelar. Itu lupa sama mantranya tiba-tiba. Mantra yang berupa senjata
yang hanya boleh dipakek kalau pas kepepet aja. Lha ini kepepet malah lupa sama
mantranya.
Kelar
baca Al Ikhlas tiga kali, dianya masih anteng dalam posisinya. Aku yang masih
dalam posisi terbaring pun makin dibuat gusar. Terus berusaha mengingat mantra.
Alhamdulillah akhirnya inget juga dan segera merapalkan mantra itu.
Sosok itu
hilang. Meninggalkan aku yang terengah-engah sendirian di dalam tempurung
kura-kura. Fiuh... lega akhirnya sosok itu pergi juga. Aku memungut guling yang
tergeletak di lantai. Lalu menata bantal, dan berusaha tidur lagi. Ayat Kursi
lancar aja kebaca. Kenapa tadi pas ketakutan malah lupa? Ampun!!!
Keesokan
harinya, sambil rumatan nyambi kirim pesan WhatsApp
ke Tunjung. Curcol tentang kejadian semalam. Maksa Tunjung buat tengok markas.
Aku khawatir aja sosok semalem itu masih ada di markas.
Alhamdulillah,
sore harinya Tunjung beneran sambangin markas. Langsung dah aku mengulangi
curcolanku di WhatsApp. Kurang afdol
aja rasanya kalau nggak diceritain secara lisan. Hehehe.
Seperti
yang kuduga, itu makhluk masih ada di markas. Yew! Panik lah. Nggak mau kalau
ntar malem didatengi lagi. Ya dia emang ada di sekitar kami, tapi kalau sampai
mawujud kayak semalem kan serem.
Aku
memberondong Tunjung dengan banyak pertanyaan standar macam: dia asalnya dari
mana, ikut aku sejak kapan, dan kenapa ikut aku. Satu lagi, wujudnya kayak apa.
Kata Tunjung, dia nggak ikut tapi dia sengaja datang berkunjung karena
penasaran ke aku.
What??
Penasaran?? Ke aku?? Bisa kalian bayangin nggak? Dipenasaranin sama makhluk
halus trus disamperin sampai dia nampak wujud kayak gitu. Serem!!!
Aku jadi
penasaran juga dong! Ketemu aku di mana dan kok bisa dia nyampek markas.
"Bisa
aja lah. Lawong dia nggak terbatas ruang dan waktu. Mau ke mana aja, suka-suka
dia!" Jawab Tunjung.
"Maksudnya,
kok bisa langsung nemuin aku? Padahal dia nggak ikut pas pertama ketemu aku. Apa
dari bauku mungkin? Hehehe."
"Baumu
yang kecut itu a?"
"Ya
ALLOH! Bauku wangi, tau!"
"Kan
udah dibilang karena dia nggak terbatas ruang dan waktu, jadi ya gampang lah
mau ke mana aja. Apalagi hanya buat nemuin seorang kamu."
"Yawes
apa pun itu! Ngapain pakek acara penasaran sama aku coba? Udah! Suruh dia pergi
aja, bisa? Ngapain juga dia di sini."
Itu kita
bahasnya sehabis Maghrib. Dan, tiba-tiba ekspresi Tunjung berubah. Kayak orang
kesakitan.
"Minggir!
Aku butuh tempat! Buat netralisir." Kata Tunjung. Ia kemudian duduk
berselonjor di atas lantai ruang tengah markas.
Aku?
Mondar-mandir agak jauhan. Nonton Tunjung.
"Gara-gara
umak ini!" Cerca Tunjung padaku.
"Kok
gara-gara aku sih?" Protesku.
"Umak
nyuruh dia pergi. Dia marah ke aku. Kayak, ngapain kamu ikut campur urusan
orang."
"Waduh!
Sekarang gimana?"
Tunjung
kembali diam. Sesekali ia memejamkan mata.
Aku masih
jalan mondar-mandir di depannya.
"Itu
sandalmu lepasen!" Perintah Tunjung tiba-tiba.
Aku pun
buru-buru melepas sandalku. Lalu duduk diam, kembali menunggu. Beberapa saat
kemudian, Tunjung terlihat rileks. Kembali memainkan ponselnya.
"Gimana,
Njung?" Tanyaku penasaran.
"Jangan
sekarang. Dia masih di sini."
Ampun!!!
Jadi, dia nggak mau pergi???
Besoknya
Tunjung main ke markas lagi. Udah nggak sabar pengen tahu ceritanya. Aku
langsung memberondong dia dengan pertanyaan tentang peristiwa kemarin.
"Jadi
dia itu apa ya, salah paham gitu ke kamu." Tunjung memulai penjelasan.
"Salah
paham gimana?"
"Dia
kira kamu bisa lihat dia. Soalnya pas dia ketemu kamu, katanya kamu liatin dia
terus."
"Yelah!
Liatin dia gimana coba? Emang dia tinggalnya di mana?"
"Di
pohon besar yang ada akar-akarnya gitu."
"Semua
pohon ada akarnya, Njung."
"Ya
tau! Itu pohon gede yang akarnya kelihatan sampai luar."
Aku diam
sejenak. "Ah ya! Inget aku! Jadi, dia tinggalnya di situ?"
"Iya.
Jagain stempel katanya."
"Wow!"
"Katanya
kamu liatin dia terus. Pas dia tanya, kamu bisa lihat aku? Kata dia, kamu
anggukin kepala. Makanya dia yakin kamu bisa lihat dia. Dia penasaran kamu
siapa, kok bisa lihat dia. Makanya dia ke sini buat ketemu kamu."
"Ya
ampun."
"Aku
bilang kamu nggak bisa lihat makhluk astral. Cuman kadang bisa ngrasain
keberadaan mereka. Dia protes, kok kamu bisa lihat dia pas malam itu. Aku
bilang, manusia dalam kondisi antara sadar dan nggak kadang emang jadi bisa
lihat makhluk astral kayak dia. Baru lah dia paham kalau kamu nggak bisa lihat
dia. Semalem aku minta kamu lepas sandal, karena dia kan marah tuh. Dia
berusaha nempel ke siapa aja yang bisa ditempeli. Dirasuki. Kalau kaki kita
nyentuh bumi kan nggak bisa."
"Ya
ampun. Salah paham begitu, tho ceritanya. Trus, apa dia nggak papa pas aku
bacain mantra pengusir?"
"Palingan
mental dia. Tapi, dia kayak sempleh gitu lengannya."
"Duh!
Masa gara-gara mantra itu? Maafin aku ya siapa pun kamu. Habisnya aku kaget dan
takut. Jadi, langsung baca mantra itu deh. Maaf ya..."
"Atau
mungkin emang penampilannya kayak gitu ya?"
"Entahlah.
Trus, tadi pagi-pagi kenapa kamu nyuruh aku nyalain dupa tiga biji di pojok
bilik lama?"
"Dia
mau pergi kalau dikasih sangu."
"Jadi,
dupa itu sangunya?"
"Iya.
Besok nyalain lagi ya. Tiga biji di tempat yang sama."
Jadi
makhkuk astral itu salah paham tho. Dikira aku bisa lihat dia. Padahal ya, pas
di TKP itu aku nggak lihat dia. Tapi, emang aku menghadap ke arah pohon besar
itu. Aku anggukin kepala, karena waktu itu aku lagi ngobrol sama temenku. Nggak
tahunya malah jadi salah paham. Heuheuheu.
Untung
saja ada Tunjung yang bisa jadi jembatan komunikasi. Jadi kesalahpahaman itu
bisa diluruskan.
Salah
paham sama sesama manusia bisa diajak ngobrol langsung buat lurusin salah
pahamnya. Kalau sama makhkuk tak kasat mata kayak gitu kan susah. Alhamdulillah
bisa dijelasin, bisa dilurusin. Alhamdulillah juga aku nggak sampai migren dan
nggak harus minum air degan ijo. Hehehe.
Maaf jika
ada salah kata. Terima kasih buat yang udah mau mampir dan baca.
Based
on true story.
Tempurung
kura-kura, 25 Oktober 2017.
.
shytUrtle .
0 comments