Istri Untuk Anakku
04:27
Istri
Untuk Anakku
Ketika hati mencintai seseorang,
namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
“Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu
yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah. Dari belum kawin menjadi kawin. Aku
memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak
gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih
pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di
wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan
keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini
amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi
suamiku.”
***
Rasa Itu Mendekatkan Keduanya
Galuh meletakkan teh di atas meja kerjs Sukaryo.
Ia tetap berdiri di seberang meja. Tak bergegas pergi seperti biasanya jika
Sukaryo tak menahannya untuk tinggal.
"Ada yang ingin kamu sampaikan, Galuh?"
Sukaryo pun bertanya.
"Iya. Ini tentang anak-anak." Jawab
Galuh.
"Anak-anak? Ada apa dengan mereka?"
Ekspresi Sukaryo berubah serius.
Galuh tersenyum. "Anak-anak ingin tampil
saat pentas seni untuk acara bersih desa. Mereka takut untuk meminta ijin pada
Bapak."
"Tampil? Apa yang ingin mereka
tampilkan?"
"Karena permintaan mereka, saya sudah
menulis satu naskah drama yang bisa di pentaskan saat pentas seni nanti."
"Drama? Kamu yakin? Kamu yakin kalian akan
berhasil? Waktunya mepet."
"Percayakan pada kami. Inshaa ALLOH, kami
mampu."
Sukaryo diam sejenak. Memandang Galuh.
"Baiklah. Kalian boleh membuat pertunjukan."
Galuh tersenyum lebar. Wajahnya berbinar.
"Terima kasih, Bapak."
Sukaryo tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Oya, aku lupa ingin menanyakan ini padamu."
"Iya?"
"Apa Galih masih sering mengganggumu?"
"Itu..."
"Tolong maafkan dia. Seperti yang lain, dia
hanya butuh waktu. Lama-lama dia pasti bisa menerimamu sebagai bagian dari
keluarganya."
"Iya, Bapak. Kalau begitu, saya pamit.
Anak-anak pasti akan sangat senang mendengar tentang ijin yang Bapak berikan.
Permisi." Galuh menundukan kepala, membalikkan badan, lalu berjalan menuju
pintu.
Saat akan keluar dari ruang kerja Sukaryo, pintu
terbuka. Harto hendak masuk ke dalam ruang kerja Sukaryo dan berpapasan dengan
Galuh. Keduanya saling beradu pandang, lalu sama-sama tersenyum. Sebagai tanda
sapaan satu sama lain dalam diam. Galuh pun keluar.
Harto berjalan masuk. Kedua matanya menangkap
tatapan dan ekspresi Sukaryo yang tertuju pada Galuh yang sudah menghilang di
balik pintu. Ia pun duduk di kursi seberang, berhadapan dengan Sukaryo.
Sukaryo paham jika Harto sedang memperhatikannya.
"Dia datang untuk meminta ijin untuk anak-anak. Mereka ingin tampil saat
pentas seni. Aku rasa kamu sudah tahu." Ujarnya.
"Iya. Ide bagus, kan? Anak-anak bisa
mengekspresikan diri mereka."
"Iya."
"Lalu, apa arti tatapan itu?"
"Em?" Sukaryo yang sedang menyesap
tehnya melirik Harto.
"Tatapan sampean, pada Galuh."
Sukaryo meletakkan cangkir teh di tangannya
kembaki ke atas tatakan. Ia menghela napas panjang. "Aku rasa aku mulai
menyanyanginya. Begitu menyayanginya."
"Wajar, Mas. Dia kan istrimu. Jadi, ini
artinya Mas mulai ada hati sama Galuh? Mas mulai menyukai Galuh?"
"Entahlah. Dia istriku, sahabatku, juga
anakku."
"Kehadirannya di rumah ini memang membawa
aura berbeda. Aura yang mampu mengembalikan keceriaan dalam rumah ini. Lihat
Ibu dan anak-anak."
"Kau benar."
"Jadi, benar Mas Karyo mulai menyukai
Galuh?"
"Jika aku tidak menyukainya, untuk apa aku
menikahinya? Sejak pertama kali melihat Galuh, aku menyukai gadis itu."
"Hanya untuk menolong Ibu dari rasa malu.
Aku rasa begitu. Karena, aku pun menyukai gadis itu sejak pertama kali
melihatnya. Tapi, Mas Karyo menyukainya dalam arti apa? Cinta?"
"Terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa ini
adalah cinta."
Harto menganggukkan kepala dalam diam.
***
"Kita hanya punya waktu satu minggu.
Terhitung dari sore ini. Ayolah! Kamu pasti bisa! Mbak Ima aja mau belajar dan
bisa. Masa Catur nggak bisa?" Galuh berusaha membujuk Catur. "Orang-orang
hanya akan mendengar suaramu."
"Masalahnya, pengucapan intonasinya itu
susah, Kak! Harus pakek emosi! Pakek rasa. Nggak hanya baca!" Catur
melipat tangan di dada. Ia cemberut.
"Memang nggak gampang. Tapi, bisa
dipelajari. Mbak Ima aja mau belajar dengan keras. Masa Catur nggak mau? Kakak
ajari."
"Kakak membandingkan aku sama Mbak Ima
terus!" Catur makin sewot.
"Ayolah! Kita nggak punya banyak waktu. Kita
butuh pengisi suara agar drama kita bisa dipentaskan dengan selamat! Untuk
meminimalisasi kesalahan dialog. Makanya kita pakai pemain di atas panggung dan
pengisi suara di belakang panggung."
"Aku mau jadi pemain! Tampil di atas
panggung!"
Galuh menghembuskan napas dengan kasar. Menatap
anak-anak yang duduk di hadapannya. "Catur yang paling besar di sini.
Kakak berharap, sangat berharap Catur mau bekerja sama menjadi pengisi
suara." Ia masih tak mau menyerah untuk membujuk Catur.
"Assalamualaikum." Suara itu menyita
perhatian orang-orang yang ada di dalam ruang bermain.
"Rahma??" Galuh menoleh ke arah pintu
dan menemukan Galih datang bersama Rahma. "Kamu ke sini?" Ia seolah
tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kurang apa?" Galih yang tiba-tiba
duduk bersila di dekat Galuh menyela. "Waktu kita hanya seminggu ya?"
Ia meraih kertas yang tergeletak di depan Galuh dan membacanya.
"Pengisi suara. Mbak Ima bisa menjadi
pengisi suara untuk beberapa karakter. Di bantu Rahma," Galuh menatap
Rahma yang duduk di dekat anak-anak. Gadis itu mengangguk tanda setuju.
"Jadi, masih kurang pengisi suara laki-laki. Ada dialog yang bersamaan.
Aku nggak bisa menghilangkan dialog itu. Catur nggak mau jadi pengisi suara.
Walau ada Rahma, tetep aja suara laki-lakinya kurang kuat. Sedang aku nggak
bisa jadi pengisi suara karena aku main keyboard buat iringi drama."
"Mas Galih aja yang jadi pengisi
suaranya." Panca memberi usul.
"Setuju!" Catur langsung setuju.
Semua pun menatap Galih.
"Ok! Ok! Aku bantu." Galih pun bersedia
membantu. "Pengisi suara ngumpet kan?"
"Iya!"jawab Catur. "Begini baru
bagus." Ia pun tersenyum lebar.
"Ok! Lengkap sudah! Rahma jadi pengisi suara
juga. Catur, kamu harus serius kalau akting. Orang akan lebih fokus pada akting
pemain di panggung daripada dialognya!" Galuh memperingatkan Catur.
"Siap Kakak!" Jawab Catur penuh
semangat.
"Ok. Coba kita bagi tugas lagi." Galuh
menyambar kertas dialog di tangan Galih.
Semua pun sibuk membahas drama yang akan mereka
pentaskan saat pentas seni nanti. Setelah memperbarui bagian dialog, Galuh pun
membagikan naskah pada para pengisi suara. Peran pun sudah ia bagi.
Galih memegang kertas di tangannya. Tapi, kedua
mata elangnya sibuk memperhatikan tingkah Galuh yang sedang memberikan
pengarahan pada anak-anak yang mendapat tugas sebagai pemain drama.
Rahma mencolek Galih karena dialog tiba pada
giliran Galih. Galih tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia lalu fokus pada
kertas di tangannya.
Sementara yang lain istirharat dari latihan,
Galuh dan Rahma sibuk dengan keyboard. Galuh duduk dan jari-jari tangannya
memainkan tuts-tuts keyboard. Ia dan Rahma berdiskusi tentang musik yang akan
digunakan untuk mengiringi drama.
Galih duduk menyandarkan punggung pada tembok. Ia
terus memperhatikan Galuh yang sibuk dengan keyboard dan sesekali berdiskusi
dengan Rahma. Ia kembali tersenyum sendiri saat memperhatikan Galuh.
***
Usai makan malam, Galuh sibuk sendiri di
kamarnya. Kemudian ia menuju ruang bermain dan belajar. Ia duduk di kursi di
balik keyboard. Ia diam sejenak dan menatap keyboard di hadapannya.
"Huft! Semangat!" Galuh menggerakkan
jari-jari tangannya. Lalu jari-jarinya mulai menari di atas tuts-tuts keyboard.
Karena tugas itu lah Galuh tak bisa menjadi
pengisi suara. Ia akan memainkan keyboard, membuat alunan musik untuk
mengiringi drama.
Setelah berulang kali mencoba, akhirnya Galuh
mulai baik dalam memainkan instrumen In The Morning Light. Walau tak sempurna,
tapi alunan musik yang terdengar hampir menyerupai versi asli dari instrumen
yang menjadi salah satu original soundtrack dari Final Fantasy itu.
Galih berdiri di ambang pintu. Kedua tangannya
terlipat rapi di dada. Ia melihat Galuh yang sedang memainkan keyboard.
Mendengar alunan musik yang dihasilkan dari permainan itu. Ia kagum dan juga
semakin penasaran pada sosok gadis yang sedang duduk dan memainkan keyboard
itu. Semakin ia memperhatikan Galuh, semakin ia dibuat kagum.
Galuh selesai dengan permainan keyboard-nya. Ia
tersenyum pada keyboard-nya.
"Terima kasih atas kerjasamanya." Galuh
berbicara pada keyboard di hadapannya. Ia kemudian menoleh dan menemukan Galih
sedang berdiri di ambang pintu. "Kau di sana? Bagaimana menurutmu? Kau
mendengarnya kan?" Tanya Galuh tanpa sungkan.
Galih sempat terkejut melihat reaksi Galuh usai
menemukannya. Ia pun berjalan masuk ke dalam ruang bermain. "Itu
lumayan."
"Untuk pagi yang teduh, sejuk, dan damai.
Cocok tidak?" Galuh menatap Galih yang sudah berdiri di dekat keyboard.
Galih memperhatikan ekspresi Galuh yang sedang
menatapnya. Wajah gadis itu berseri-seri. "Bagus. Cocok kok. Kamu yang
buat?"
"Itu salah satu original soundtrack Final
Fantasy."
"Oh. Kirain kamu yang nyiptain lagu
itu."
"Aku mana bisa nyiptain lagu." Galuh
tersenyum lebar.
Melihat senyuman Galuh, Galih pun tersenyum
samar. Galuh kembali sibuk dengan keyboard di hadapannya.
"Aku mau bantu, itu karena
adik-adikku." Ujar Galih.
"Karena apa pun itu, terima kasih sudah
bersedia membantu." Jawab Galuh yang kemudian kembali menatap Galih dan
tersenyum tulus.
Melihat senyum terkembang di wajah Galuh, membuat
jantung Galih tiba-tiba berdetub dua kali lebih kencang dari sebelumnya. Dengan
senyuman tulus itu, Galuh terlihat begitu cantik.
Galuh bangkit dari duduknya. "Maaf, aku
permisi dulu." Ia menundukkan kepala. Lalu berjalan pergi meninggalkan
Galih sendirian di ruang bermain.
Galih menghela napas panjang. Lalu meletakkan
telapak tangan kanannya di atas dadanya untuk mengecek debaran jantungnya yang
masih berdetub kencang.
***
Setiap sore Rahma datang untuk berlatih bersama.
Dulu, Galuh dan Rahma selalu bekerja sama melatih anak-anak di kampungnya untuk
pertunjukan jika ada pentas seni di bulan Agustus. Pentas seni untuk
memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Karena telah terbiasa dengan itu
semua, keduanya pun tak kesulitan ketika harus bekerja sama untuk melatih
anak-anak Sukaryo.
"Ah masa dramanya ditutup begitu saja? Kok
menurutku kurang seru ya?" Keluh Rahma. "Nggak ada nyanyi bersama
atau apa gitu?"
"Nyanyian? Nyanyi apa?" Tanya Catur.
"Setelah pertunjukan usai, semua pemain dan
pengisi naik ke atas panggung, lalu bernyanyi bersama. Seperti yang selalu kita
buat di akhir pertunjukan. Hanya saja, sekarang kita nyanyi apa? Masa nyanyiin
lagu Gebyar-gebyar kayak pas pentas Agustusan?"
Galih dan Ima diam saja. Menyimak.
"Nggak nyambung lah, Mbak! Ini kan bukan
pentas Agustusan!" Protes Catur.
"Nggak papa kan? Kita memang hidup di
Indonesia." Panca ikut bersuara.
"Mbak punya usul?" Rahma beralih
menatap Galuh. "Mbak Ima? Mas Galih? Oh! Gimana kalau Panen Raya? Lagunya
Iwan Falls."
"Nggak punya instrumen karaokenya. Kalau
diiringi pakek keyboard kurang seru. Kurang hidup, kurang semangat." Jawab
Galuh.
"Iya juga." Rahma setuju.
"Gimana kalau I Have A Dream?" Galuh
mengusulkan sebuah lagu. "Versi Westlife. Kan ada versi karaokenya."
"Aku hapal kalau lagu itu. Pernah disuruh
hapalan di sekolah." Catur bersemangat.
"Boleh lah!" Rahma setuju.
"Aku bisa, tapi suaraku jelek." Ima
malu-malu.
"Suaraku apa bagus? Kayak suara kaleng yang
diseret kucing suaraku." Ujar Galuh membuat yang lain tertawa.
"Mas Galih ikut nyanyi ya!" Ajak Catur.
Semua menatap Galih.
"Masa Mas Galih nggak bisa nyanyi?"
Tanya Rahma.
"Semua bisa diatur." Sahut Galuh.
"Kalau nggak bisa nyanyi, mangap-mangap aja. Kan kayak nyanyi tuh. Lipsync."
Semua kembali tertawa mendengar celetukan Galuh.
"Mangap-mangap, kayak ikan dong?
Hahaha." Sahut Panca.
"Aku bisa kok nyanyi!" Galih tak
terima.
"Ok. Bagus! Deal! Kita nyanyi I Have a Dream
sama-sama di akhir pertunjukan!" Galuh menutup voting.
Membantu anak-anak mempersiapkan drama, membuat
Galuh mendapatkan kembali kehidupannya yang dulu, yang seolah sempat menghilang
saat ia memutuskan untuk menikah dengan Sukaryo. Semangat dan antusiasme itu
terlihat sangat jelas padanya. Berlatih bersama-sama setiap sore, menjadi waktu
yang paling di tunggu-tunggu oleh Galuh.
Sukaryo pun turut senang melihatnya. Galuh dan
anak-anaknya semakin akrab. Sesekali ia melihat jalannya latihan. Hanya untuk
mengobati rasa penasarannya.
Lasmi, Puspita, dan Ratih pun sering melihat
jalannya latihan. Mereka sering kali saling memuji Galuh. Mereka selalu dibuat
kagum setiap kali melihat Galuh memainkan keyboard sambil sesekali bernyanyi.
Keyboard itu tak pernah dipakai dengan benar sejak dibeli dan diletakan di
ruang bermain. Keyboard itu baru berfungsi dengan benar ketika Galuh datang ke
rumah besar itu.
Galih juga merasakan hal yang sama. Kagum pada
Galuh. Ia merasa telah salah menilai ibu tirinya itu. Sebelumnya ia berpikir
Galuh adalah gadis biasa yang menikahi ayahnya hanya demi harta. Tapi, perlahan
ia mulai paham bahwa Galuh hanyalah korban dari kesalahpahaman neneknya. Galih
merasa iba pada Galuh. Sekaligus malu karena sempat berpikir picik tentang
gadis itu.
***
"Rumah ini terasa hidup sejak ia
datang." Lasmi tersenyum. Ia menutup curahan hatinya.
Harto sedari awal hanya mendengarkan. Ia pun
turut tersenyum.
"Aku rasa aku bisa istirahat dengan tenang
setelah ini. Tapi, aku tetap membutuhkanmu untuk membantuku mengawasi ini
semua. Tetap mendampingi masmu."
"Iya, Bu."
Harto berjalan meninggalkan kamar Lasmi.
Langkahnya terhenti. Ia memperhatikan Galih dan Galuh yang berada di dalan
ruang bermain. Hanya berdua saja.
Galih sedang menunggui Galuh yang memainkan
keyboard. Melihat bagaimana cara Galih menatap Galuh, rasa khawatir kembali
menyeruak di dada Harto.
Hal yang paling dikhawatirkan Harto saat ini
adalah kedekatan Galih dan Galuh. Ia khawatir dua muda-mudi itu saling jatuh
hati. Harto tak memungkiri jika keduanya terlihat serasi. Tapi, status Galuh
adalah ibu tiri Galih. Jika keduanya saling jatuh cinta, maka itu akan menjadi
cinta terlarang.
Harto pernah mengungkapkan tentang rasa
khawatirnya itu pada Galuh. Galuh menyanggupi akan menjaga jarak sebisa
mungkin. Kedekatan mereka beberapa hari terakhir hanya karena drama. Setelah
semua itu selesai, Galuh berjanji akan kembali menjaga jarak dengan Galih.
Setiap kali mengingat itu semua, Harto selalu
merasa bersalah. Galuh memang lebih pantas untuk Galih. Tapi, nasi sudah
menjadi bubur. Galuh telah menjadi istri Sukaryo dan menjadi ibu tiri Galih.
Yang bisa ia lakukan sekarang adalah mengantisipasi munculnya benih cinta
terlarang di antara Galin dan Galuh.
Ya ALLOH... aku hanyalah
manusia biasa. Begitu pun Galuh, Galih, dan Mas Karyo. Aku harap Engkau mau
membantu Galuh untuk membentengi dirinya yang rapuh. Dia adalah istri Mas Karyo
dan ibu tiri Galih. Tolong jangan hembuskan napas cinta di antara Galuh dan
Galih. Tolong jagalah kami.
Harto menghela napas. Lalu ia berjalan masuk ke
ruang bermain. Menyapa Galih dan Galuh.
***
Tempurung kura-kura, 15 Oktober 2017.
. shytUrtle .
0 comments