Istri Untuk Anakku

05:07

Istri Untuk Anakku

Ketika hati mencintai seseorang, namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
  
       
          Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah.  Dari belum kawin menjadi kawin. Aku memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi suamiku.”
***

Pertemuan Pertama

 


Genap dua bulan sudah Galuh tinggal di rumah mewah keluarga Sukaryo. Galuh benar-benar menjadi bagian dari keluarga ini kini. Anak-anak Sukaryo yang dulu tak menyukainya kini amat menyanyangi Galuh. Tembok penghalang itu mulai runtuh. Galuh pun tak terlihat seperti menantu namun lebih pantas disebut sebagai anak angkat dalam keluarga itu walau statusnya masih istri dari Sukaryo.

Seperti biasa Galuh mengantar teh untuk Sukaryo.
“Bisa tinggal sejenak?” pinta Sukaryo saat Galuh hendak pergi.
Galuh pun duduk di depan meja kerja Sukaryo.
“Masalah itu… kau pasti juga telah mendengarnya.” Sukaryo memulai obrolan.
“Iya. Paklek Harto cerita.”
“Lalu bagaimana menurutmu?”
“Iya?”

Sebulan terakhir Sukaryo sering meminta pendapat Galuh tentang masalah-masalah yang ia hadapi dalam pekerjaan. Galuh banyak membantu Sukaryo dalam menyelesaikan masalah pekerjaan dengan urunan pendapatnya.

“Apa benar-benar harus menempuh jalur hukum?” imbuh Sukaryo.
“Saya sama sekali tidak memikirkan jalur hokum.” Jawab Galuh.
“Hm?” Sukaryo menatap Galuh dengan ekspresi tak paham.
“Menurut saya, itu akan memakan banyak biaya. Dan, kadang membutuhkan waktu yang lama kalau kita kurang beruntung.”
“Lalu? Ada aku pecat saja dia?”
“Jangan pecat dia.”
“Apa?! Kau tahu apa yang ia lakukan?!”
“Iya. Saya telah mendengar semua. Biarlah ia tetap bekerja pada Bapak. Tapi, turunkan jabatannya. Setara dengan perawat tanaman di kebun, misalnya. Dia akan menanggung rasa malu yang teramat sangat. Upah yang setimpal untuk pengkhianatan yang telah ia lakukan. Selain itu, perlahan uang yang telah ia gelapkan akan kembali pada Bapak. Karena jabatannya turun, gajinya pun ikut turun, kan?”
 Sukaryo terdiam. Menimbang usul Galuh. “Bagaimana kalau ia memilih berhenti?”
“Anda yakin dia berani melakukannya setelah Anda menyita sertifikat rumah dan benda-benda mewah miliknya? Ya, bisa jadi dia punya tabungan atau apa pun itu untuk kabur. Tapi, melebihi itu semua ia bukan tipe orang yang paham akan dunia luar. Kabur tidak ada di dalam kamusnya. Itu menurut saya. Dia butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Kalaupun dia memilih kabur, saya rasa ia tak akan selamat. Rakyat sangat mencintai Anda. Mereka tidak akan membiarkan orang yang membuat Anda terluka selamat begitu saja. Saya yakin dia akan tetap tinggal dan tidak akan memilih berhenti.”
“Siapa yang menyita itu semua?”
“Lek Harto. Maaf, beliau sempat mengajak saya berunding. Saya mendukung beliau untuk melakukan penyitaan.”
Sukaryo tersenyum tulus. Ia menatap Galuh dengan kagum. “Baiklah. Terima kasih.”

Gadis yang sebelumnya dianggap gadis ingusan itu oleh Sukaryo, semakin mengenalnya ia semakin dibuat kagum. Galuh bukanlah gadis ingusan. Galuh adalah gadis dengan pemikiran terbuka dan bijak. Dan belakangan gadis itu sering menjadi penasehat pribadinya.

Sukaryo tersenyum. Menatap punggung Galuh yang berjalan menuju pintu, meninggalkan ruang kerjanya.
***

"Mas Galih pulang! Mas Galih pulang!" Panca berteriak penuh semangat sore itu.

Semua segera keluar menyambut kedatangan Galih, putra ketiga Sukaryo. Semua dibuat terkejut dengan kepulangan Galih yang mendadak. Secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.

Bukan tanpa pemberitahuan. Galih yang sejak kecil memang dekat dengan Harto telah memberi tahu pakleknya itu tentang rencana kepulanganya. Tapi, ia meminta Harto merahasiakan hal itu.

Harto pun memegang janjinya pada Galih. Ia tetap bungkam, tak memberi tahu keluarga besarnya perihal kepulangan Galih.

Galih memiliki kulit putih bersih dan wajah yang tampan. Senyumnya menawan. Postur tubuhnya pun sempurna. Ia bak pangeran dalam negeri dongeng.

Senyum tak lepas dari wajah tampan Galih ketika ia mendapat sambutan dari keluarga besarnya. Sepasang mata elangnya terus bergerak, mencari sosok ibu tirinya di antara anggota keluarganya.

***


Galuh pergi mengunjungi keluarganya. Murti tersenyum lebar melihat banyaknya bingkisan yang dikirim Sukaryo untuknya dan juga keluarganya.

Bukannya menyambut Galuh dengan baik setelah gadis itu pergi dari rumahnya untuk tinggal bersama Sukaryo. Murti malah sibuk dengan bingkisan-bingkisan yang dibawa Galuh.

Galuh memakluminya. Ia paham betul bagaimana seorang Murti. Ia tetap memilih tinggal untuk menunggu Joko, Anjar, dan Ratna.

Sebenarnya Galuh mendapat izin menginap dari Sukaryo. Tapi, sore itu ia tiba-tiba dijemput Ima. Pelayan pribadinya. Dengan berat hati Galuh pun kembali ke rumah Sukaryo.

"Kenapa saya tiba-tiba dijemput?" tanya Galuh di tengah-tengah perjalanan.
"Hari ini Mas Galih, putra ketiga Tuan Besar pulang," jawab Ima. "Mas Galih tiba-tiba datang tanpa memberi kabar."
"Mungkin dia ingin memberi kejutan?"
"Mengejutkan sekali. Tiba-tiba saja beliau muncul." wajah Ima tiba-tiba bersemu merah.
"Eh? Kenapa wajah mbakku ini jadi bersemu merah gitu?" goda Galuh.
"Kau tidak tahu betapa tampannya beliau sekarang. Benar-benar seperti pangeran."
"Aku lihat di foto keluarga. Menurutku dia biasa saja."
"Itu foto beberapa tahun yang lalu. Sepertinya udara di Jakarta membuatnya menjadi semakin tampan. Aku penasaran bagaimana reaksi dan komentarmu setelah bertemu nanti."
"Ok!" Galuh menganggukkan kepala sambil tersenyum usil pada Ima.
"Ah! Berhenti tersenyum seperti itu padaku!" Ima sambil menangkup wajahnya yang semakin memerah.

***


Bermacam-macam menu tersaji di meja makan. Akan ada jamuan besar.

Sukaryo menjemput Galuh ke kamarnya. Ia terlihat sangat bahagia malam itu. Rona itu terpancar jelas di wajahnya.

Sepanjang perjalanan menuju ruang makan, tak hentinya Sukaryo bercerita tentang Galih. Menurutnya, putra ketiganya itu adalah anak yang paling bandel. Sejak kecil sifatnya keras. Galih tak segan memberontak jika diminta melakukan suatu hal yang bertentangan dengan dirinya.

Galuh hanya diam dan menyimak. Sesekali ia tersenyum. Di dalam hati ia menyimpulkan bahwa Galih adalah putra kesayangan Sukaryo.

Sukaryo dan Galuh tiba di ruang keluarga. Tatapan Galuh langsung tertuju pada pemuda yang duduk membelakanginya, sedang asik bercanda dengan Gendis dan Ragil. Sukaryo berdehem. Semua langsung diam dan menaruh perhatian padanya.

Galih pun sama. Ia berhenti bercanda dengan kedua adiknya. Ia menoleh, tatapannya bertemu pandang dengan Galuh yang berdiri di samping kiri Sukaryo.

Subhanallah... Indah sekali makhluk ciptaan-Mu ini ya ALLOH. Galuh memuji ketampanan Galih dalam hati. Ia tak paham kenapa. Tapi, detak jantungnya tiba-tiba saja berdetub dua kali lebih cepat dari sebelumnya ketika Galih menatapnya lurus seperti itu. Tiba-tiba saja ia merasa gugup. Mbak Ima, benar yang kamu bilang. Dia sangat tampan dan mempesona. Galuh kembali membatin.

"Halo, Ibu!" sapa Galih sembari tersenyum iseng.
Lamunan Galuh buyar. Kedua mata bulatnya melebar ketika menyadari Galih sudah berdiri jarak satu langkah di depannya. Wajah putihnya pun segera bersemu merah.
"Anak ini!" Lasmi menjewer pelan telinga Galih. "Berhenti menggoda Galuh! Ayo kita makan!"
"Maaf, Eyang Putri." Galih merangkul Lasmi dan berjalan bersama, memimpin keluarga besarnya menuju ruang makan.

Keluarga besar Sukaryo duduk mengitari meja makan yang maha besar itu. Mereka menikmati jamuan makan malam untuk menyambut kepulangan Galih.

Sejak duduk di meja makan, di samping kiri Sukaryo dan berhadapan dengan Lasmi. Galuh lebih banyak menundukkan kepala. Pura-pura benar menikmati makanan di hadapannya. Ia tahu Galih yang duduk di samping kanan Lasmi beberapa kali menatapnya.

Walau ada dorongan di dasar hatinya untuk mengangkat kepalanya dan menatap Galih. Galuh seolah tak punya kuasa untuk melakukannya. Ia terus menunduk, berusaha fokus pada makanan dalam piring di hadapannya.

Galih terlihat sangat santai. Ia tak merasa sungkan karena beberapa kali menatap Galuh yang duduk di seberang meja dan berhadapan dengan Lasmi. Awalnya ia tak percaya dengan kabar bahwa ayahnya menikah lagi dengan gadis sebayanya. Tapi, hari ini ia melihatnya langsung. Ibu barunya bahkan terlihat lebih muda darinya.

Galih memperhatikan Galuh yang sibuk membantu adik juga keponakannya belajar usai makan malam bersama. Ia berdiri di ambang pintu ruang bermain. Bersandar pada kusen pintu dan melipat tangan di dada.

Ya ampun! Dia itu benar ibu baruku? Bapak sebenernya suka apa gimana sama gadis itu? Dia memang manis. Dan, orang-orang di rumah ini tak henti memujinya. Hah! Menyebalkan! Kita lihat saja. Seberapa kuat kamu jadi ibu bagi kami. Aku penasaran, apa benar dia mau nikah sama Bapak cuman gara-gara salah paham itu. Atau jangan-jangan dia matre kayak buleknya.

Galih tersenyum mencibir. Ia lalu pergi meninggalkan ruang bermain.

Galuh menghela napas lega. Akhirnya Galih pergi juga dari ambang pintu ruang belajar. Sejak menyadari keberadaan Galih di sana, ia berpura-pura cuek dan tetap fokus pada anak-anak. Akting seperti itu membuatnya seolah tak bernapas. Ketika Galih menghilang dari sana, barulah ia merasa seolah mendapatkan napasnya kembali.

***


Tiga hari berlalu. Sejak pertemuan pertama mereka, Galih dan Galuh tak pernah saling bertegur sapa. Melihat sikap cuek Galih, benar membuat Galuh ciut nyali untuk memulai obrolan dan berusaha akrab dengan anak ketiganya itu.

Siang itu, tanpa sengaja Galuh berpapasan dengan Galih, usai ia mengantar kopi untuk Sukaryo. Galuh memberanikan diri untuk tersenyum pada Galih sebagai wujud sebuah sapaan.

"Tunggu!" Galih menghentikan langkahnya.
Mendengar seruan itu, Galuh pun turut menghentikan langkah. Namun ia masih bertahan berdiri membelakangi Galih.
Galih membalikan badan. Ia melihat Galuh yang berdiri memunggungi dirinya. Ia pun berjalan mendekati Galuh dan berhenti tepat di hadapan ibu tirinya yang masih sangat muda itu.
Galuh segera menundukkan kepala ketika Galih berhenti dekat di hadapannya.
"Kenapa kamu malah menundukkan kepala?" tanya Galih. "Ini jelas aneh! Aneh sekali bagiku. Gadis muda seperti mu, kenapa mau menerima pernikahan dengan pria tua beranak banyak seperti bapakku. Aku tahu alasannya kenapa. Alasan kenapa kau masuk ke dalam keluargaku adalah—"
"Kau merasa tahu apa alasannya?" Galuh memotong. Ia telah mengangkat kepala untuk menatap Galih. "Tahu apa?!"
"Cewek muda kayak lo, kenapa mau dinikahi duda kayak kayak bapakku. Simple reason! Because of money, right?" jawab Galih mencibir.
"Kau menganggapku seperti itu? Anak nakal!" tanpa ragu dan sungkan Galuh menjewer telinga kiri Galih dengan tangan kanannya. "Berani sekali kau berkata demikian pada ibumu! Di mana sopan santunmu?!"
"Aaa!!! Sakit! Sakit!" Galih merintih.
"Dengarkan aku wahai Tuan Muda! Sebaiknya Tuan Muda tidak berpikiran rendah dengan mengadili seseorang seperti yang baru saja Anda lakukan. Baru tiga hari saja Anda memperhatikan saya, tapi Anda sudah merasa tahu dan benar untuk menilai saya. Bagaimanapun juga, saya adalah istri sah Tuan Sukaryo, bapak Anda! Itu artinya, saya adalah ibu Anda. Terlepas dari alasan apa pun! Jika Tuan Muda berani berkata-kata tidak sopan pada saya lagi seperti tadi. Saya tidak segan melakukan sesuatu yang lebih dari ini!" Galuh melepas telinga Galih. Kemudian ia berjalan pergi meninggalkan Galih.
Galih mengusuk telinga kirinya dan menatap punggung Galuh yang berjalan semakin menjauh. "Ibu? Seperti itu kah pribadinya yang asli? Monster! Ah! Sakit!" ia mengusuk telinganya yang baru saja dijewer Galuh.


Galuh bergegas memasuki kamarnya. Menutup pintu rapat-rapat dan menyandarkan punggungnya. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah. Lalu meletakkan telapak tangan kanan di dadanya.

"Ya ALLOH... Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Galuh lalu kemudian menarik tangan kanan dari dadanya dan mengamatinya. "Aku menjewer Tuan Muda? Aku... menjewernya? Apa ini kekuatan seorang ibu??"

***


Usai pertemuan siang itu, penilaian Galuh pada Galih sedikit bergeser. Awalnya Galuh berpikir sosok Galih benar seperti pangeran dengan wajah tampan dan hati yang maha baik. Tapi, mengingat kata-kata yang terlontar dari mulut Galih siang itu, Galuh merasa salah menilai. Tidak semua pangeran tampan itu baik hati. Dan ia tak mau lagi mencoba membuat sebuah pertemanan dengan Galih.

Malam itu Galuh duduk di balik meja di dalam kamarnya. Ia sedang membaca sebuah novel romantis. Sedang radio kesayangannya sedang memutar lagu-lagu romantis.

Membaca cerita romantis ditemani lagu-lagu romantis. Galuh meletakkan novel di atas meja. Ia menopang dagu dengan kedua tangannya dan berandai-andai. Ia melamun.

Galih yang tak sengaja melintas tak jauh dari kamar Galuh menghentikan langkah. Ia melihat Galuh sedang duduk menopang dagu menghadap ke jendela. Tatapanya lurus, namun kosong. Lalu gadis itu tersenyum.

"Apa dia gila? Senyum-senyum sendiri gitu," gumam Galih. Tiba-tiba muncul ide usil di benaknya.

Galih mengeluarkan perlengkapan DVD player. Lalu ia memutar musik rock keras-keras tak jauh di luar jendela kamar Galuh.

Galuh tersadar dari lamunan. Ia kaget mendengar musik rock yang tiba-tiba saja mengalun keras dan terdengar begitu dekat dari kamarnya. Ia pun menengok keluar jendela. Alisnya berkerut.

Di luar sana Galih sedang mengadakan entah konser solo atau apa. Pemuda itu menggerak-gerakan badannya. Berjoged mengikuti alunan musik rock. Ia juga turut bernyanyi dan jingkrak-jingkrak tak karuan.

Galuh bisa melihat itu semua dari dalam kamarnya. Ia menghela napas panjang melihat tingkah Galih. Ia menundukkan kepala, berusaha fokus pada novel yang tergeletak di atas meja. Tapi, tiba-tiba saja alunan musik rock itu terhenti.

Galuh kembali mengangkat kepala, melihat keluar jendela. Ia menahan tawa melihat Galih yang sedang diomeli Harto. Galuh tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia lalu beranjak menuju jendela dan menutupnya.

"Paklek!" protes Galih pada Harto yang tiba-tiba mematikan DVD player-nya.
"Di sini bukan rumah kontrakanmu. Ada banyak orang tinggal di sini. Dan, nggak semua suka musik rock! Semua bersiap tidur, tapi kamu malah nyetel musik keras-keras. Ini bukan Jakarta, Le! Aku ke sini sebelum Eyang Putrimu bertindak."
"Eyang? Waduh! Gawat! Paklek, bantuin berberes ya!" Galih bergegas memboyong DVD player-nya ke kamar.
Harto menggelengkan kepala melihat Galih. Ia lalu menoleh, menatap jendela kamar Galuh yang sudah tertutup rapat. Kemudian ia membantu Galih membereskan perlengkapan DVD player.

***


"Kalian ingin tampil saat pentas seni nanti?" Galuh menatap anak-anak yang duduk bersila di hadapannya.
"Iya, Kak. Kami ingin tampil di pentas seni saat acara bersih desa nanti. Kakak kan sudah biasa melatih anak-anak di kampung kakak. Kami dulu selalu menonton pertunjukan kalian." jawab Gendis.
"Kami bisa mengumpulkan banyak teman. Apa tidak bisa?" sambung Panca.
"Tapi, waktu kita terlalu mepet." Catur pesimis.
"Kalian mau tampil apa? Menari India? Dance?" Galuh kembali bertanya.
"Kok menari India sih, Kak?" protes Catur.
"Maaf. Kakak hanya bercanda. Hmm, apa ya enaknya? Ah! Bagaimana kalau drama?"
"Drama?? Kak, kita hanya punya waktu seminggu." Catur keberatan.
"Kakak pernah melatih anak-anak di kampung kakak main drama hanya dalam waktu sejam."
"Sejam??" pekik Catur.
"Iya. Jadi, kalian serius mau tampil?"
"Mau! Mau! Mau!" Gendis, Ragil, Wulan, dan Danar antusias.
"Baiklah! Serahkan semua pada kakak!" Galuh membusungkan dada.


Galih kembali memperhatikan Galuh yang sedang berkumpul dengan adik dan keponakannya. Ia kemudian tersenyum.

Apa yang ada di benaknya? Mengiyakan kecerobohan Eyang dan menerima pernikahan itu. Lalu, ia mengabdikan diri di rumah ini walau Bapak tidak akan pernah menyentuhnya. Apa tujuannya? Apa yang ia dapat? Wanita seperti apa Galuh Widati itu?

***

 

 


Tempurung kura-kura, 04 Oktober  2017.
. shytUrtle .
 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews