Istri Untuk Anakku

06:04







Istri Untuk Anakku

Ketika hati mencintai seseorang, namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
  
       
          Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah.  Dari belum kawin menjadi kawin. Aku memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi suamiku.”
***

Benih Cinta Mulai Bersemi


Mendekati hari H pementasan, Galuh dan timnya semakin giat berlatih. Anak-anak yang kebagian peran untuk berlaga di atas panggung semakin minim membuat kesalahan. Para pengisi suara pun semakin apik dalam membawakan dialog.

Sore itu Galuh dan timnya mengadakan gladi bersih, sebelum pementasan esok. Keluarga besar Sukaryo yang menjadi penontonnya. Gladi resik digelar di ruang keluarga yang maha luas di kediaman keluarga Sukaryo.

Sukaryo turut duduk untuk menyaksikan jalannya gladi bersih. Tatapannya terus terfokus pada Galuh yang sibuk memainkan keyboard. Galih yang duduk tak jauh dari tempat Galuh pun sama. Sering tatapannya terfokus pada Galuh. Harto yang memperhatikan keduanya hanya bisa menghela napas panjang.

Gladi bersih berjalan dengan lancar. Keluarga besar Sukaryo tidak sabar untuk menunggu esok. Tak sabar untuk menonton anak-anak mereka ketika tampil di atas panggung.

***


Karnaval digelar sebagai salah satu bagian dari acara bersih desa. Warga yang tak terlibat dalam karnaval berkumpul di jalan utama untuk melihat arak-arakan. Begitu juga anggota keluarga Sukaryo. Sebagian besar dari mereka juga turun ke jalan untuk menonton karnaval. Galih baru saja tiba. Tapi, ia tak melihat Galuh di dalam gerombolan keluarganya.

Galuh berdiam di ruang bermain. Ia baru saja memeriksa ulang segala keperluan untuk pementasan. Ia duduk di kursi di balik keyboard dan melamun.

Galih tiba di rumahnya. Sepi, karena hampir seluruh penghuni rumah itu pergi menonton karnaval. Sukaryo pun pergi. Ia duduk di panggung penghormatan bersama Kepala Desa dan para perangkatnya.

Galuh tersadar dari lamunan. Ia tersenyum sendiri, lalu mengelus tuts-tuts keyboard di hadapannya. Jari-jarinya mulai menari di atas tuts-tuts keyboard. Memainkan instrumen lagu Bunda milik Potret. Ia pun bernyanyi.

Galih tiba di ruang bermain. Ia berdiri di ambang pintu, memperhatikan Galuh yang sedang memainkan keyboard dan juga bernyanyi.

Galih terenyuh mendengar nyanyian Galuh. Ia dan Galuh adalah sama. Sama-sama tak memiliki ibu. Tapi, ia lebih beruntung dari Galuh. Karena ia masih memiliki ayah dan keluarga yang baik. Tidak seperti Galuh. Mendengar nyanyian Galuh, ia pun merasakan rindu yang teramat sangat pada almarhumah ibunya.

Galuh tertunduk. Tak bisa menyelesaikan permainan juga nyanyiannya. Ia terisak.

Melihat Galuh menangis, rasa iba di hati Galih semakin menjadi. Ada rasa bersalah juga yang memenuhi ruang di dadanya. Ia berpikir tentang apa yang bisa ia lakukan untuk gadis yang sedang tertunduk dan menangis itu.

Galih berjalan memasuki ruang bermain. Mendekati Galuh yang tak menyadari kehadirannya. Ia menyentuh pundak Galuh yang bergoyang karena isak tangis gadis itu. Membawa gadis itu menghadap padanya, lalu memeluknya.

Galuh terkejut ketika tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya. Ketika menyadari itu Galih, ia bermaksud menghindar. Tapi, Galih malah merengkuhnya ke dalam pelukan.

Galuh sempat berontak dan sadar seharusnya ia menolak. Tapi, dekapan Galih terasa begitu hangat. Rasa hangat yang membuatnya merasa aman dan nyaman. Rasa itu justeru membuatnya semakin terisak dalam dekapan Galih.

Galih tersenyum. Lalu melepaskam dekapannya ketika yakin Galuh sudah kembali tenang. Gadis itu bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapannya. Ia kembali tersenyum dan menatap wajah Galuh yang basah. Lalu, diusapnya dengan lembut sisa air mata di wajah Galuh.

"Apa kau bisa menari?" Tanya Galih lirih.
"Apa?" Pekik Galuh.
Galih terkekeh. Ia lalu mengambil DVD player di kamarnya, kemudian memutar sebuah musik rock.
"Kau mau kita jingkrak-jingkrak di sini?" Galuh berkacak pinggang.
"Pintar!" Galih mengacungkan jempol kepada Galuh. "Mumpung semua sedang pergi. Kita bisa konser sepuasnya. Atau, kau mau dansa? Dengan musik klasik? Aku punya kok!"
"Aku tidak bisa berdansa."
"Kalau gitu, kita jingkrak-jingkrak aja. Kalau kamu nangis terus, mukamu jadi jelek tau! Kita mau ada pertunjukan. Aku nggak mau kamu terlihat jelek. Keluarga Sukaryo itu terkenal dengan ketampanan dan kecantikannya. Menangis membuatmu jelek. Jadi, ayo joged!"
Galuh tersenyum. Tersipu.
"Tuh kan! Kalau senyum jadi cantik. Ayo kita joged. Rock and roll!!!" Galih mulai menggerakkan badannya.

Galuh malu-malu. Tapi, Galih menariknya. Mengajaknya berjoged, berjingkrak-jingkrak. Lama-lama Galuh pun ikut berjoged, berjingkrak-jingkrak. Sesekali keduanya ikut bernyanyi.

Galuh dan Galih menari, bernyanyi, dan tertawa bersama. Musik tak terdengar lagi ketika Galih merangkul Galuh. Keduanya berada sangat dekat. Seperti dua sahabat yang sama-sama menyukai musik rock usai jejingkrakan bersama. Napas keduanya terengah-engah. Keringat mereka pun bercucuran.

"Maaf," Galuh yang menyadari dirinya terlalu dekat dengan Galih pun menarik diri.
Galih berdehem. Lalu berkacak pinggang. "Caraku manjur kan? Aku senang kau berhenti menangis."
Galuh tersenyum dan menganggukan kepala. "Terima kasih. Aku merasa lebih baik sekarang."
"Baguslah! Aku nggak mau pertunjukan kita kacau hanya gara-gara kamu."
"Kita akan melakukan yang terbaik. Aku permisi dulu." Galuh pun bergegas meninggalkan ruang bermain.

Galih menatap punggung Galuh yang berjalan menjauhinya. Ketika Galuh tak lagi ada dalam jangkuan pandangnya, ia pun tersenyum. Ia kemudian duduk di kursi di balik keyboard. Disentuhnya tuts-tuts keyboard itu. Ia pun kembali tersenyum sendiri.

Galuh masuk ke dalam kamarnya. Ditutupnya pintu rapat-rapat. Ia lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Diam menatap langit-langit kamar. Ia meletakkan telapak tangan di dadanya. Jantungnya masih berdetub kencang. "Semoga ini hanya efek jejingkrakan tadi," gumam Galuh. Ia pun menarik bantal, dan menutup wajahnya dengan bantal itu.

***


Hampir semua orang di rumah besar hunian keluarga Sukaryo tampak sibuk. Terutama para wanita. Mereka sibuk merias anak-anak yang akan melakukan pementasan.

Galih duduk diam. Memperhatikan kesibukan orang-orang yang lalu lalang di hadapannya. Kakak dan kakak iparnya, dibantu beberapa pelayan sedang sibuk mendandani anak-anak. Ia telah lupa pada kertas naskah di pangkuannya yang sempat ia baca beberapa menit lalu.

Tatapan Galih terhenti pada Galuh yang baru saja muncul di ruang keluarga. Ia benar-benar terpesona melihat penampilan Galuh.

Galuh yang memakai kebaya terlihat anggun. Kulitnya yang putih tampak semakin bersinar dalam balutan kebaya lengan pendek berwarna merah. Kebaya hasil rancangan dan jahitannya sendiri. Ia memadukan kebaya itu dengan kain satin dengan warna senada sebagai rok bawahan.

Galih menatap Galuh tanpa berkedip. Gerak kedua mata elangnya terus mengikuti Galuh yang sedang sibuk dengan para pemain drama.

Sukaryo tiba di ruang keluarga ditemani Harto. Tatapan keduanya pun langsung tertuju pada Galuh. Mereka pun dibuat kagum oleh kecantikan Galuh malam itu. Sukaryo tersenyum. Ia lalu mengajak Harto untuk berangkat lebih dulu ke tempat pertunjukan.

Galuh mengalihkan pandangan. Tatapannya terhenti pada Galih yang sedang duduk dan menatapnya. Melihat tatapan itu, jantung Galuh tiba-tiba berdetub dua kali lebih kencang.

Galih yang sedang asik menikmati pesona Galuh tertangkap kedua mata cantik Galuh. Ketika kedua mata itu memandangnya, ia merasakan jantungnya seolah jatuh ke pangkuannya. Setelahnya, detuban jantungnya pun berubah lebih kencang. Ia melihat Galuh buru-buru mengalihkan pandangan. Galih bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju Galuh, lalu berdiri di samping kanan gadis itu.

"You look so amazing and beautiful tonight. I love it." Bisik Galih dekat di telinga Galuh.

Galuh yang sudah gugup sejak merasakan debaran jantungnya yang tiba-tiba berdetub dua kali lebih kencang semakin dibuat gemetaran usai mendengar bisikan Galih yang memuji penampilannya malam ini. Ia pun menautkan jari-jari tangannya untuk meredam rasa gugupnya.
"Ternyata kamu bisa dandan juga ya," imbuh Galih dengan nada bicara lebih santai. "Semoga pertunjukan kita malam ini sukses ya." Galih tersenyum manis, lalu berjalan meninggalkan Galuh.
Galuh pun tersenyum dan menggelengkan kepala. Lalu, ia menyusul langkah Galih.

***


Setelah penampilan pembuka dan penampilan beberapa warga. Tiba giliran Catur dan timnya untuk tampil membawakan drama. Ima, Galih, dan Rahma berada di bawah, di samping kanan panggung. Bertindak sebagai pengisi suara. Dari sana mereka bisa memantau penampilan anak-anak di atas panggung karena Rahma pun bertindak sebagai narator. Sedang Galuh naik ke atas panggung untuk memainkan keyboard, untuk mengiringi jalannya pertunjukan.

Saat Galuh tiba di atas panggung, ia merasakan aura yang berbeda. Tak seperti sebelumnya. Itu karena ia kini adalah istri dari Sukaryo. Bukan gadis lajang seperti dulu. Ia sempat menatap ke depan. Ada kursi kehormatan untuk para petinggi desa dan undangan. Ia tahu, Sukaryo, suaminya juga berada di sana. Galuh tiba-tiba merasa kerdil dan malu. Ia yakin orang-orang sedang membicarakannya kini. Ia pun segera menundukan kepala.

Galih memperhatikan Galuh dari bawah panggung. Melihat Galuh tiba-tiba menundukkan kepala, ia pun khawatir.

"Sudah kubilang jangan rapuh!" Gumam Rahma tiba-tiba. "Nggak ada gunanya mikirin omongan orang, kan?!" Ia menoleh ke arah kiri. Menatap Galih yang berdiri di samping kirinya. Lalu Ima yang berdiri di samping kiri Galih.
"Tapi, berada di atas panggung sendirian dengan statusnya yang sekarang tentu bukan hal mudah, Rahma." Ima berkomentar.
"Aku tahu! Gelar istri Tuan Sukaryo memang jadi beban tersendiri buat Mbak Galuh. Tapi, aku udah bilang abaikan saja malam ini. Demi pertunjukan kita."
Galih terdiam di antara obrolan dua gadis yang mengapitnya. Ia kembali menatap panggung. Galuh masih tertunduk.
"Sampai kapan Mbak Galuh mau kayak gitu?! Aku nggak bisa mulai baca narasi kalau dia belum buka acara dan memainkan instrumen pengiringnya!" Rahma mulai kesal.
"Bagaimana kita menegurnya?" Tanya Ima.

Saat Galih hendak pergi untuk menyusul Galuh ke atas panggung, tiba-tiba terdengar suara Galuh mengucap salam dalam speaker.

Galih kembali menatap ke arah panggung. Di atas sana Galuh sudah mengangkat kepala, wajahnya pun dihiasi senyum. Gadis itu kemudian menyampaikan kata pembuka sebagai tanda pertunjukan mereka akan dimulai. Galih pun tersenyum dan menghela napas lega.

Rahma pun mulai membacakan narasi ketika Galuh mulai memainkan keyboard-nya. Pertunjukan drama pun dimulai.

Penonton benar terhibur dengan pertunjukan tim Catur. Karena itu pertunjukan perdana mereka di desa, dan singkatnya waktu latihan. Beberapa pemain di atas panggung tak luput dari membuat kesalahan. Mungkin karena mereka juga gugup. Tapi, hal itu justeru memberikan hiburan tersendiri. Drama dengan nuansa komedi itu sukses membuat penonton tertawa hingga pertunjukan berakhir.

Semua pemain drama berkumpul di atas panggung. Galuh tak turun. Alunan musik I Have A Dream - Westlife mulai terdengar. Gendis maju dan pura-pura bernyanyi. Sedang yang sebenarnya bernyanyi adalah Galuh yang berada di belakang para pemain drama. Ragil, saudara kembar Gendis pun berakting sama. Galih yang masih berada di belakang panggung yang menjadi pengisi suaranya.

Selanjutnya Rahma, Ima, dan Galih naik ke atas panggung. Galuh turut maju bersama mereka. Mereka berdiri di belakang para pemain drama. Bersama-sama mereka menyanyikan lagu I Have A Dream.

Sukaryo tersenyum menatap panggung. Hanya dalam waktu seminggu, Galuh berhasil mewujudkan keinginan anak-anaknnya untuk tampil pada pentas seni saat bersih desa. Harto yang duduk di samping kirinya pun menunjukan senyum bangga.

Tangan kiri Galih yang bebas tak memegang microphone meraih tangan kanan Galuh. Ia menggenggam tangan Galuh dengan erat sembari bernyanyi bersama yang lain di atas panggung.

Galuh menoleh ketika Galih tiba-tiba menggenggam tangan kanannya yang tak memegang microphone. Galih tersenyum dan tetap bernyanyi. Sementara jemari tangannya semakin erat menggenggam jemari tangan Galuh.

***


Pagi itu rumah besar tampak sepi. Lasmi dan Sukaryo masih terlelap dalam tidurnya usai melihat pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Pertunjukan yang digelar malam berikutnya setelah pentas seni.

Galih merasa bosan. Anak-anak pergi ke sekolah. Sedang sebagian besar dari penghuni rumah itu sepertinya masih terlelap usai kelelahan menonton wayang. Ia pun berjalan-jalan keliling rumah dan menemukan Galuh sedang duduk sendirian di teras samping.

Galih celingukan, mengamati sekitarnya. Ia lalu berjalan mengendap-endap dan mendekati Galuh. Ia pun menutup kedua mata Galuh dengan kedua tangannya.

Galuh yang sedang duduk membaca dibuat terkejut karena tiba-tiba ada tangan yang menutup kedua matanya.

"Ini aku!" Bisik Galih.
"Galih! Apa-apaan sih kamu!" Protes Galuh.
"Nggak sopan kepada Ibu?" Galih melepas kedua tangannya dari menutup kedua mata Galuh. Ia mengintip Galuh dari samping. Wajah gadis itu bersemu merah. Ia pun tersenyum, lalu beralih ke hadapan Galuh. "Maafkan aku."
"Jangan ulangi lagi!" Bentak Galuh. Ia malu dan sadar jika tindakan Galih itu adalah candaan yang tak seharusnya dilakukan. Tapi, di dalam hatinya ia merasa senang. Menyadari hal itu, Galuh pun menunduk dan menggigit bibir bawahnya.
"Tidak mau berterima kasih?" Ujar Galih.
Galuh pun mengangkat kepala. "Untuk apa? Candaan barusan?"
"Mesin tua di kamarmu." Galih sembari mengalihkan pandangan ke arah taman.
"Mesin..." gumam Galuh. Ia lalu kembali menatap Galih, "Itu... kamu?"
Galih pun tersenyum dan mengangguk.
Semalam Galuh memang memilih tak pergi untuk menonton Wayang. Tapi, ia dan Ima sempat keluar untuk menemani anak-anak jalan-jalan. Ketika kembali pulang dan tiba di kamarnya, ia menemukan mesin jahit tua peninggalan orang tuanya di kamarnya. Mesin jahit kesayangannya.
Galuh tersenyum lebar. "Jadi, itu kamu?" Ia kembali menatap Galih.
"Kamu pikir siapa? Bapak?" Galih balik bertanya.
Galuh menundukkan kepala mendengar pertanyaan itu.
"Hah..." Galih menghela napas. "Bapak terlalu sibuk untuk mengurusi hal kecil seperti itu. Rahma bercerita tentang kamu dan mesin jahit tua bersejarah itu. Jadi, aku berinisiatif untuk membawanya ke mari. Semoga kamu suka."
"Tentu saja suka!" Galuh bangkit dari duduknya. "Makasih ya." Ia berterima kasih dan tersenyum tulus pada Galih.
Galih tersenyum samar dan mengangguk. "Tapi, makasih aja nggak cukup!"
"Kok??"
"Gimana kabar online shop kamu?"
"Sejak menikah, tidak ada yang bisa aku lakukan. Sebenarnya itu sedikit membosankan."
"Kamu nggak cerita ke Bapak soal itu?"
"Seperti kamu bilang, beliau terlalu sibuk untuk mengurusi hal kecil seperti ini."
"Tapi, kamu kan is—" Galih tak melanjutkan ucapannya. Ia pun berdehem. "Buatin aku baju!"
"Em??" Galuh menatap tak paham pada Galih.
"Sebagai ucapan terima kasih karena aku udah bawain mesin bersejarah itu ke sini. Makasih aja nggak cukup. Susah tau bawanya ke sini!"
Galuh tersenyum dan mengangguk.
"Jadi saat luang kamu nggak perlu bengong kayak gini."
"Aku nggak bengong. Aku lagi baca!" Galuh menunjukkan buku di tangan kanannya.
"Di sini banyak anak-anak, mereka bisa jadi model kamu, kan? Bikin baju, lalu foto, dan upload. Jalanin lagi online shop kamu. Keluarga kami kan terkenal ganteng dan cantik. Aku yakin itu bisa mendongkrak penjualan online shop kamu. Walau bajunya nggak terlalu bagus, tapi kalau yang pakek ganteng atau cantik kan tetep keliatan bagus."
"Pedenya kamu kelewatan ya!"
Galih dan Galuh pun tertawa bersama.

***


Sejak Galih membawa mesin jahit kesayangannya ke rumah besar, Galuh pun mengisi waktu luangnya dengan menjahit. Ia membuat kebaya untuk Lasmi, lalu baju untuk si kembar Gendis dan Ragil. Ia juga membuat kemeja untuk Catur dan Panca. Ia terlampau bersemangat hingga menjadi sangat produktif dalam menjahit baju. Kadang ia menjahit sampai larut malam.

Galih kesal melihat tingkah Galuh. Ia yang membawa mesin jahit itu untuk Galuh, tapi gadis itu malah tak memenuhi permintaannya. Ia kesal melihat anak-anak memamerkan baju hasil jahitan Galuh padanya.

Galih berjalan dengan langkah cepat. Ia lalu masuk ke dalam kamarnya. Menghempaskan pantatnya dengan kasar ke atas kasur. Ia kesal karena Galuh menjadi sibuk dengan mesin jahit dan lebih sering mengacuhkannya. Ia kesal karena kesibukan Galuh dengan mesin jahitnya itu bukan untuk membuat baju pesanannya. Tapi, baju untuk nenek dan adik-adiknya.

Galih benar-benar kesal. Ia kesal pada Galuh. Lalu, tatapannya tertuju pada sebuah kotak berwarna biru yang berada di atas meja belajarnya. Kotak yang asing dan bukan miliknya. Ia pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja belajarnya.

Galih menarik kursi di balik meja belajarnya dan duduk. Ia membuka kotak kardus berwarna biru itu dan menemukan sebuah kemeja yang terlipat rapi di dalamnya.

Galih tersenyum lebar. Mengambil kemeja berwarna biru itu dari dalam kotak kardus dan merentangkannya. Ia tersenyum lebar menatap kemeja itu. Galuh tak mengabaikannya. Galuh memperhatikannya dan memenuhi permintaannya.

***


Galuh berjalan dengan membawa kotak kardus di tangannya. Ia berjalan menuju kamar tidur Sukaryo. Sebelumnya ia sudah pergi ke ruang kerja Sukaryo. Tapi, pria itu tak berada di sana. Ia pun memutuskan untuk langsung mengantar kotak itu ke kamar Sukaryo.

Galuh berdiri di depan pintu kamar Sukaryo. Ia tampak ragu, tapi akhirnya mengetuk pintu itu juga. Ketika Sukaryo membuka pintu, ia pun terkejut.

"Mm-maaf..." ujar Galuh terbata. "Maaf, mengganggu istirahat Bapak."
"Ada apa?" Tanya Sukaryo.
"Seharian ini Bapak sangat sibuk. Besok pun sepertinya akan begitu. Saya datang untuk mengantar ini," Galuh mengulurkan kotak dengan kedua tangannya.
"Apa ini?" Sukaryo menerima kotak kardus pemberian Galuh.
"Baju. Seperti yang lain. Semoga Bapak suka."
"Oh! Aku pikir kau hanya ingat pada Ibu dan anak-anak saja. Maafkan aku karena melupakan mesin jahit itu. Kata Galih, itu belahan jiwamu."
Galuh tersenyum dan menunduk.
"Galih juga cerita kalau kamu punya online shop."
"Iya. Tapi, menurut saya itu bukan online shop. Karena belum saya resmikan sebagai online shop. Hanya memposting beberapa hasil jahitan. Alhamdulillah ada yang suka dan mau beli."
"Dan semua itu terhenti sejak kau menikah."
Galuh kembali menundukkan kepala.
"Sayang sekali. Sekarang belahan jiwamu sudah di sini, jadi kenapa kau tidak memulainya lagi? Dan mulai serius dalam mengurus bisnismu itu. Aku membelikanmu laptop agar kau lebih mudah dalam mengerjakan itu semua. Jadi, kamu nggak perlu ke warnet lagi. Toh di rumah ini ada wifi."
Galuh senang mendengarnya. Tapi bersamaan dengan rasa senang itu, muncul juga rasa sungkan juga takut di hatinya.
"Bagaimana? Kau setuju?"
"Saya sangat berterima kasih untuk itu. Tapi, sebelum memulainya kembali. Saya harus menyiapkan beberapa stok barang dengan desain unik dan menarik."
"Baiklah. Jika kau merasa belum membutuhkan laptop itu, aku akan menyimpannya di ruang kerjaku. Kau bisa mengambilnya kapan saja jika kau mau."
"Terima kasih, Bapak." Galuh membungkukkan badan.
Sukaryo tersenyum dan menganggukkan kepala.

***

 



Tempurung kura-kura, 21 Oktober  2017.
. shytUrtle .
 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews