My 4D’s Seonbae - Episode #38 “Kutangkap Kau!”

05:40


Episode #38 “Kutangkap Kau!”




Kedua mata sipit Jihoon terbelalak, terkejut ketika memasuki rooftop Luna. Ada seorang pemuda tidur di sofa.

“Itu oppa-ku. Kemarin dia datang.” Luna melenggang ke dapur usai membuka pintu untuk Jihoon. “Duduk di karpet nggak papa, kan?”
Jihoon buru-buru menyusul Luna ke dapur. “Kenapa kamu nggak bilang?” Ia melirihkan suaranya.
“Kamu sendiri nggak bilang kalau mau ke sini pagi-pagi. Nggak usah ngomomg lirih. Dia kalau lagi tidur, ada bom jatuh pun nggak akan bangun.”
“Aku denger!” Dinar tiba-tiba duduk. Kedua matanya masih terpejam. Sedang tangan kanannya sibuk menggaruk-garuk dadanya.
Luna dan Jihoon kompak menatap Dinar dari dapur. Ketika Dinar membuka mata dan menatap ke arah dapur, Jihoon terkejut dan segera menyapa.
Annyeong hasimnikka.” Jihoon membungkuk sopan.
Dinar menyipitkan mata. “Kamu ini… Oh, Park Jihoon ya?” Ia mengangguk-anggukan kepala. “Pagi sekali ke sini? Selalu begitu ya? Adikku merepotkanmu dengan memintamu menjemputnya? Jangan mau! Kamu kan pacarnya! Bukan kacungnya!” Dinar mengoceh dengan kondisinya yang masih setengah sadar.
Mendengar kalimat Kamu kan pacarnya! membuat Jihoon merasakan panas di wajahnya. Luna mengerutkan kening melihat wajah Jihoon yang memerah.
“Luna tidak pernah meminta saya untuk menjemput. Kalau boleh jujur, belakangan ini saya baru rajin berkunjung kemari. Sebelumnya tidak pernah.” Jihoon menjelaskan dengan sopan.
“Kamu nggak memanggil Luna dengan sebutan seonbae? Dia kan kakak kelasmu.” Dinar mengoreksi bagaimana Jihoon memanggil Luna.
“Sebenarnya kami seumuran. Jika di luar sekolah, kami sepakat untuk tidak menggunakan gelar senior-junior.”
“Oh gitu. Oh iya ya! Kalau dari awal sekolah di Korea, Luna pasti masih kelas satu.” Dinar kembali diam. Mengamati Jihoon dari atas ke bawah.
“Seleramu lumayan juga. Kamu suka cowok cantik rupanya. Karena statusnya adalah adik kelasmu, kesannya kamu ini suka berondong ya. Tapi, kamu emang ada bakat pedopil, kan? Waktu kamu masih SD, Cue bersemangat ketika menceritakan tentangmu yang kesengsem sama adik kelas yang baru kelas satu. Kamu bilang adik kelasmu itu tampan dan imut. Padahal, waktu itu kamu sudah kelas enam.” Dinar mengoceh menggunakan Bahasa Indonesia. Ia kemudian cekikian sendiri mengingat kisah yang diceritakan Rania.
Jihoon kebingungan. Ia tak paham semua yang dikatakan Dinar. Ia pun mendekati Luna dan bertanya, “Oppa-mu ngomong apa?” dengan suara lirih.
“Mengolokku.” Luna segera membalikkan badannya. Kembali sibuk  dengan pekerjaannya di dapur. Sebelum berangkat sekolah, setidaknya ia harus membuat sarapan untuk Dinar.
“Kamu masak apa lagi?” Merasa diabaikan, Dinar kembali menggunakan Bahasa Korea.
“Omelet.”
“Telur dadar lagi?”
“Ini omelet! Bukan telur dadar!”
Dinar terkekeh.
“Sini aku bantu aduk.” Jihoon meminta mangkuk di tangan Luna.
“Nanti seragammu kotor.”
“Nggak. Kan hanya mengaduk telurnya. Bukan menggorengnya.”
Luna akhirnya menyerahkan mangkok di tangannya pada Jihoon. Kemudian ia sibuk menyiapkan sayuran.
“Begini, kan?” Jihoon bertanya apakah cara ia mengaduk telur sudah benar. “Kamu tadi keren sekali waktu mengaduknya. Bisa begitu cepat gitu. Bagaimana? Aku hanya bisa begini.”
“Nggak papa.”
Dinar masih duduk di sofa. Memperhatikan Luna yang sibuk membuat sarapan dibantu Jihoon. Ia pun tersenyum. Kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi yang letaknya di dekat dapur.
“Jihoon-aa, kamu pernah makan masakan Luna?” Dinar bertanya sebelum masuk ke kamar mandi.
“Hanya mie instan asal Indonesia.” Jihoon memiringkan kepala. Ia memang belum pernah makan masakan Luna.
“Kalau begitu, suruh dia membuat telur dadar untukmu juga. Dia pandai memasaknya.”
“Ini omelet! Bukan telur dadar!” Luna kembali protes.
Dinar tersenyum pada Jihoon, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.
Jihoon membalas senyum pada sosok Dinar yang sudah menghilang. Kemudian ia mendekati Luna, berdiri sangat dekat hingga lengannya saling bersentuhan dengan lengan Luna. “Dengar apa kata oppa-mu, kan?”
“Bukannya kamu udah sarapan?”
“Karena ke sini pagi-pagi, aku tidak sempat sarapan.”
“Hmm, baiklah! Sebagai bayaran mengaduk telur itu.”
“Asik!” Jihoon antusias.
“Jangan terlalu keras mengaduknya!”
“Oh! Oke!” Jihoon memperlambat gerak tangannya.
Luna dan Jihoon sama-sama terdiam. Di dapur hanya terdengar suara dari adukan telur yang dibuat oleh tangan Jihoon, dan suara pisau yang menyentuh telenan yang ditimbulkan dari aktivitas Luna memotong sayur.
“Awal hari yang menyenangkan. Aku memasak sarapan denganmu di dapur. Romansa remaja SMA bisa begini juga ya? Aku merasa beruntung karena pacarku seorang gadis yang mandiri. Kalau tidak, momen seperti ini hanya bisa di dapatkan saat kita telah dewasa dan tinggal bersama, kan?”
“Auw!” Luna memekik. Jari telunjuknya teriris saat Jihoon menyelesaikan kalimatnya.
“Eh?” Melihat tangan Luna berdarah, Jihoon segera meletakkan mangkok dan meraih tangan Luna. Namun, secepat kilat Luna menarik tangannya dan membasuhnya di bawah guyuran air kran.
Jihoon melongo. “Harusnya kan tokoh utama laki-laki menghisap jari tokoh utama wanita.” Ujarnya lirih.
“Sejak kapan kamu jadi nggak waras gitu?” Luna mengolok.
“Sejak bertemu denganmu.”
Luna mencibir sembari mematikan kran. Kemudian ia berjalan menuju kamarnya untuk mengambil plester dalam kotak obat.
“Kamu lupa kalau ada aku di sini?” Dinar keluar dari kamar mandi.
Jihoon tersenyum malu-malu, lalu meraih mangkok dan kembali mengaduk telur.

Sarapan telah siap. Roti bakar dan omelet tersaji di meja ruang tamu. Dinar, Luna, dan Jihoon duduk mengitari meja. Dinar memimpin doa, lalu mereka sarapan bersama. Di tengah sarapan, Dinar dan Jihoon berbagi pengalaman berkecimpung di dunia hiburan. Dinar membagi pengalamannya berkarir di Indonesia hingga iseng ikut trainee di salah satu agensi kenamaan Korea saat ia tinggal di Korea. Jihoon pun membagi pengalamannya selama berkarir hingga memutuskan vakum demi menikmati masa remaja yang normal. Walau baru pertama kali bertemu, keduanya langsung akrab. Hal itu karena sikap Dinar yang mudah bergaul.

Dinar mengantar Luna dan Jihoon ke teras. “Padahal pagi ini aku pengen nganter kamu ke sekolah.” Ujarnya menggunakan Bahasa Indonesia. “Tapi, ntar Cue tahu. Jadi nggak seru.”
“Emang mas punya rencana apa?”
“Salah sendiri semalam tidur cepat. Eh? Itu siapa?” Dinar menuding ujung tangga teratas.
Luna yang posisinya membelakangi ujung tangga pun menoleh. Jihoon yang berdiri di samping kanannya turut menoleh.
“Itu yang namanya Daniel.” Jawab Luna.
Dinar mengamati pemuda yang berjalan mendekat dengan senyum menghiasi wajahnya. “Ini dong keren! Laki banget!” Ia memuji Daniel.
Luna tersenyum samar mendengarnya.
Annyeong hasimnikka.” Daniel membungkuk di depan Dinar. Menyapa pemuda itu dengan ramah.
“Cing, dia tahu gue?” Tiba-tiba Dinar menggunakan bahasa seperti yang sering digunakan Rania.
“Tahu lah.” Jawab Luna lirih.
Jihoon diam memperhatikan. Di dalam dirinya, muncul rasa tak suka karena Daniel tiba-tiba muncul.
“Oh, temannya Luna ya?” Dinar menyapa Daniel. “Kalau dia Park Jihoon, kamu pasti Kang Daniel.”
Nee, Hyungnim.” Daniel sedikit membungkukan badan.
“Aku tahu dari kehebohan itu. Lalu, menonton video yang diunggah adikku. Maaf ya. Adikku sangat merepotkan kalian.”
Animnida.” Daniel dan Jihoon secara bersamaan. Keduanya saling memandang karena terkejut dengan kebetulan itu. Begitu juga Luna dan Dinar. Sama-sama dibuat terkejut dengan momen itu.
“Bagaimanapun terima kasih karena kalian sudah menjaga adikku dengan cara kalian masing-masing. Hati-hati di jalan. Ngomong-ngomong, kalian akan berangkat sekolah sama-sama? Naik bus?”
“Iya.” Luna yang menjawab.
“Baiklah. Hati-hati di jalan. Aku ingin ikut, tapi Luna melarangku.”
Luna mengerutkan kening mendengar ungkapan Dinar.
“Lagi pula ada kalian. Jadi, aku bisa tenang.” Dinar tersenyum manis. Ia kemudian beralih menatap Luna. “Ntar aku kirim pesan ke kamu. Baca saat kamu luang ya.” Ia berpesan dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Luna penasaran, tapi ia pun mengangguk. Lalu, ia berangkat ke sekolah bersama Daniel dan Jihoon.
***

Hampir tidak ada obrolan sepanjang perjalanan menuju ke sekolah. Sebenarnya Luna ingin bertanya pada Daniel tentang Daerin. Tapi, ada Jihoon. Walau penasaran, ia pun menahan diri.
Jihoon sebenarnya merasa terganggu ketika Daniel tiba-tiba muncul. Tapi, ia tak bisa mengantisipasi kejadian itu. Karena, sebelum ia rajin menjemput Luna, Daniel lebih dulu menjadi rekan pulang-pergi Luna ke sekolah. Satu hal yang ia sesali karena ia membiarkannya terjadi. Lebih tepatnya, ia terlambat tahu tentang hal itu. Andai saja ia lebih memperhatikan Luna sejak pertama setuju menjadi kekasih palsu Luna, pasti kesempatan itu tidak akan ada untuk Luna dan Daniel menjadi dekat. Andai saja Luna lebih terbuka padanya. Tapi, kemandirian itu lebih sering membuat Luna bungkam.
Walau harapannya adalah mendapat kesempatan untuk bisa tetap dekat dengan Luna, Daniel hanya tak merubah kebiasaan yang ia lakukan seperti sebelum semua menjadi rumit seperti saat ini. Ia memang telah menyatakan perasaannya pada Luna. Tapi, ia tak mau terlalu berharap. Luna sangat sulit ditebak. Ia tidak tahu apakah gadis itu juga memiliki rasa yang sama dengannya. Ia bersyukur karena Luna tak berubah walau berulang kali ia mengungkap perasaannya pada gadis itu. Karena itu, ia pun tak ingin berubah sikap dan perhatian pada Luna.
Tahu-tahu bus berhenti di halte dekat sekolah. Daniel turun lebih dulu, disusul Luna, lalu Jihoon. Masih dalam diam, ketiganya berjalan menuju sekolah. Luna merasakan ponselnya bergetar lagi dan lagi, ia pun segera memeriksanya. Pesan membanjir dari Dinar. Membaca pesan-pesan itu membuat langkahnya memelan.
“Kenapa?” Tanya Jihoon yang sudah berhenti jarak dua langkah di depan Luna. Daniel yang berada satu langkah di depannya turut menghentikan langkah.
Anee.” Luna menggeleng dan tersenyum canggung.
“Apa terjadi sesuatu?” Jihoon tak puas dengan jawaban Luna.
“Nggak kok.” Luna menyimpan ponselnya kembali. Demi meredam rasa curiga Jihoon dan Daniel. Ia pun mempercepat langkah, mendahului Jihoon dan Daniel. Membuat dua pemuda itu menatapnya dengan ekspresi bingung.

Sesampainya di kelas, Luna langsung duduk di bangkunya dan buru-buru mengeluarkan ponselnya. Ia membaca ulang semua pesan yang dikirim Dinar dengan pelan. Selesai membaca, ia menatap keluar jendela. Tatapannya menerawang, sedang pikirannya sibuk mencerna keseluruhan isi pesan Dinar. Otaknya terstimulasi usai membaca pesan-pesan yang dikirim Dinar. Ia pun dipenuhi rasa antusias. Tapi, ia berusaha keras untuk menahan diri.
Dengan adanya antusiasme yang meledak-ledak di dalam dirinya, Luna tidak bisa konsentrasi penuh saat mengikuti pelajaran. Konsentrasinya terbagi, antara memperhatikan guru yang sedang mengajar di depan kelas dan menyusun ide-ide yang bermunculan di otaknya yang pagi ini sangat aktif. Saat terdengar dering bel tanda istirahat, Luna merasa senang. Ia tak merapikan peralatannya, tapi  begitu guru keluar dan meninggalkan kelas, ia langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri meja Sungwoon.
“Ikut denganku sekarang!” Pinta Luna sembari meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja Sungwoon. Karena terlalu antusias, hal itu terdengar seperti gebrakan.
Mwo??” Sungwoon yang mendapat serangan secara tiba-tiba pun terkejut.
Jisung, Woojin, dan Seongwoo yang posisinya berdekatan dari meja Luna dan Sungwoon pun turut terkejut. Mereka dibuat heran dengan tindakan Luna yang tak biasa itu.
Sungwoon yang mendongakkan kepala demi menatap Luna tiba-tiba merasakan panas di wajahnya. Ia pun tersipu. Namun, buru-buru ia mengendalikan dirinya dan berkata, “Ke mana? Ada situasi genting kah?”
Luna mengangguk mantab. Jisung, Seongwoo, dan Woojin masih menyimak dalam diam. “Ayo cepat!” Luna menarik tangan kiri Sungwoon. Memaksa pemuda itu untuk berdiri.
Sungwoon tak bisa mengelak. Ia pun bangkit dari duduknya, membiarkan Luna menuntunnya. Lebih tepatnya, menyeretnya pergi keluar kelas.
Jisung dan Seongwoo kompak melongo melihat kejadian itu. Sedang Woojin berujar, “Ada apa sebenarnya?” Sambil menatap Jisung dan Seongwoo secara bergantian.

Luna berjalan mondar-mandir di depan Sungwoon yang duduk di bangku yang berada di depan basecamp Klub Teater. “Bagaimana? Bisa tidak?” Luna menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah kiri dan menatap Sungwoon.
“Mendadak sekali? Apa aku bisa?” Sungwoon sangsi.
“Pasti bisa!” Luna kini menghadap sepenuhnya pada Sungwoon.
Sungwoon mengangkat kepala. Mendongak demi menatap Luna. “Kalau begini kau terlihat mengerikan. “
“Aku tidak punya waktu lagi. Aku pikir, ini kesempatan terbaik. Aku butuh bantuanmu.”
“Bagaimana kalau aku tidak bisa membujuknya?”
“Setidaknya buat dia mengaku!”
Sungwoon terkejut karena Luna setengah berteriak.
Luna yang menyadari reaksi Sungwoon pun berdehem. “Maaf. Tapi, aku benar-benar butuh bantuanmu. Jika kita bergerak sekarang, aku yakin masih terkejar.”
Sungwoon menatap Luna dalam diam selama beberapa detik. “Baiklah. Akan aku coba.”
Seringaian lebar muncul di wajah ayu Luna. “Terima kasih. Kalau begitu, tunggu apa lagi? Bergerak lah sekarang! Aku akan mengatur sisanya.”
Melihat ekspresi itu, Sungwoon merasa ngeri. Ia pun bangkit dari duduknya, lalu berkata, “Akan kukabari kamu secepatnya.”
“Oke. Terima kasih, Ha Sungwoon.” Wajah Luna kembali melunak. Ia pun tersenyum tulus.
Sungwoon mengangguk dan buru-buru pergi.
Luna duduk di tempat Sungwoon sebelumnya duduk. Ia menghela napas dan menyeringai. Kemudian, ia meraih ponselnya dan mengetik pesan pada Dinar.

Dengan langkah ringan Luna berjalan menuju kantin. Ia menghabiskan hampir seluruh jam istirahatnya di depan basecamp Klub Teater yang terkunci. Ia telah menentukan pilihan. Hal itu membuatnya semakin antusias. Jika tak meleset, pulang sekolah nanti semua yang ia atur akan di jalankan. Ia berharap Tuhan akan berpihak padanya. Ia tak merasa ragu sedikitpun pada orang-orang yang ada di pihaknya. Tapi, ia merasa ragu pada satu hal. Ia berharap satu hal itu bisa ia genggam demi mewujudkan rencananya hari ini.
Ketika sampai di kantin, Luna melihat Hyuri sedang makan siang bersama Myungsoo dan Taemin. Luna berjalan dengan langkah sedang ketika memasuki kantin. Usai mencuci tangan, ia pun mengambil menu untuk makan siang. Suasana di kantin boleh dibilang sepi. Karena hanya tersisa beberapa murid saja di sana. Luna membawa nampan berisi menu makan siangnya. Ia menatap Hyuri, tapi gadis itu tak melihatnya karena terlalu asik mengobrol dengan Myungsoo dan Taemin. Seringaian samar kembali terukir di wajah Luna. Ia pun berjalan mendekati meja Hyuri.
“Maaf, apa boleh saya bergabung?” Luna menyapa dengan sopan saat sampai di meja Hyuri.
“Eh! Luna!” Hyuri tersenyum lebar. “Duduk aja.”
Luna pun duduk di samping kanan Hyuri. Berhadapan dengan Taemin yang duduk di seberang meja. Ia tersenyum manis pada Taemin yang menatapnya dengan ekspresi terkejut.
“Tumben sendirian?” Myungsoo yang duduk di samping Taemin menyapa Luna.
“Hari ini saya terlalu banyak menyendiri. Dan, sepertinya teman-teman yang belakangan akrab dengan saya tidak merasa khawatir. Jadi, beginilah. Terima kasih sudah diizinkan bergabung.” Luna menundukkan kepala.
Taemin memperhatikan Luna dalam diam. Walau ia berusaha rileks, ia yakin Luna telah menyadari rasa was-was yang berusaha ia sembunyikan.
“Soal surat ancaman itu, benar ya?” Tanya Hyuri tanpa basa-basi.
Kedua mata Taemin melebar ketika mendengarnya. Jantungnya pun seolah copot dari tempatnya.
“Bukannya saya sudah pernah membahasnya, ya? Atau Hami pernah cerita?” Luna balik bertanya.
“Masa sih? Sepertinya belum. Itu, bagaimana?” Hyuri penasaran. “Kalian sudah menemukan pelakunya? Wah, pasti sangat sulit ya. Sampai harus memeriksa CCTV.”
“Iya. Sebenarnya saya tidak terlalu terganggu, tapi Ha Sungwoon merasa hal itu harus diusut hingga tuntas. Saya sudah melarangnya. Tapi, tidak bisa dan sampai di sini.”
“Tentu saja harus diusut hingga tuntas! Surat ancaman itu masalah yang serius. Korban bisa jadi trauma, kan? Tidak baik untuk kesehatan mental.” Hyuri mendukung tindakan Sungwoon. “Tapi, syukur ya Luna baik-baik saja. Kalau aku, pasti sudah takut untuk ke sekolah.”
“Sebenarnya saya pun begitu. Tapi, saya merasa beruntung punya teman-teman yang sangat baik yang selalu siap membantu saya.” Luna tersenyum manis.
Taemin menelan sisa makanan dalam mulutnya dengan susah payah. Suara ramah itu, senyuman itu, semua tingkah Luna bak racun yang melumpuhkannya secara perlahan. Ketika ia sedang memperhatikan Luna dengan seksama, gadis itu tiba-tiba menatapnya. Membuat detak jantungnya berhenti selama beberapa detik. Ia pun mengembangkan senyum. Berusaha sealami mungkin. Ia yakin jika yang terpampang di wajahnya kini adalah senyum tak tulus yang jelas dipaksakan.
Luna menyadari perubahan sikap Taemin. Senyum kaku itu, tapi ia memilih diam daripada menegur. Ia pun membalas senyum terpaksa di wajah Taemin dengan sebuah senyuman tulus.
***

Hari dengan jumlah jam yang sama di sekolah, namun terasa begitu lama bagi Luna. Setelah jam istirahat selesai, ia sempat ingin pergi ke ruang UKS saja. Membolos dengan alasan kurang enak badan. Tapi, tindakannya itu akan mengundang perhatian. Walau tidak bisa berkonsentrasi penuh saat mengikuti pelajaran, ia tetap duduk di bangkunya.
Berusaha fokus pada penjelasan guru pengajar, namun sia-sia. Jantungnya terus berdetub dengan ritme tak karuan. Ia gusar. Tangannya yang memegang pulpen membuat coretan-coretan abstrak di atas lembar kosong pada buku di hadapannya. Luna berusaha keras mengendalikan dirinya sendiri yang terlalu antusias. Bukan! Lebih tepatnya terlalu cemas.
Luna melirik Sungwoon. Pemuda itu fokus mendengar penjelasan guru. Bagaimana ya? Apa dia berhasil? Kalau tidak bagaimana? Membuat orang mengaku tidak lah mudah. Bagaimana kalau gagal?
Tangan Luna kembali bergerak-gerak dengan kasar membuat coretan di bukunya setelah ia mengalihkan pandangan dari Sungwoon. Lalu, nanti bagaimana? Semua sudah, kan? Iya, sudah. Apa mereka orang-orang yang tepat? Tepat! Pasti tepat! Aku tidak salah dalam memilih! Aku yakin itu. Tapi, bagaimana dengan tempatnya? Apa Mas Dinar menyiapkannya dengan baik? Lalu, kirim sekarang ya? Pesannya. Bagaimana kalau tidak dibaca? Iya, kirim sekarang!
Luna meletakkan pulpen. Kedua tangannya bergerak ke bawah meja. Ia berganti sibuk dengan ponselnya. Mengetik sambil sesekali melirik ke depan demi memeriksa perhatian guru. Jika ketahuan, ponselnya bisa di sita. Karena itu, ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Ia kembali menaruh perhatian pada ponselnya. Memeriksa kalimat yang ia ketik. Setelah yakin kalimat itu benar, ia pun mengirim pesan itu.
Luna menghela napas setelah pesan terkirim. Ia menyimpan ponselnya. Kedua tangannya ia tautkan dan ia letakkan di atas meja. Tatapannya menatap lurus ke depan kelas. Seringaian samar terkembang di wajah Luna yang mendadak berubah tenang.
Selesai. Sekarang, aku serahkan pada-Mu. Tolong bekerja samalah denganku. Tolong... Luna mengucap doa dalam hati.
***

Bel tanda jam pelajaran terakhir usai berdering, Luna langsung merapikan barang-barangnya. Ia bangkit dari duduknya, dengan semangat menyangklet tas punggungnya. Jisung, Woojin, dan Seongwoo kembali dibuat heran ketika melihat tingkah Luna. Biasanya gadis itu akan keluar kelas paling akhir, tapi hari ini ia jadi murid pertama yang bangkit dari duduknya.
“Kamu buru-buru ya?” Suara Jisung berhasil menahan Luna yang sudah hendak meninggalkan bangkunya.
“Iya. Oppa-ku yang kedua ada di sini. Jadi, aku mau lekas pulang.” Luna tersenyum lebar.
“Wah, yang idol itu ya? Ada di tempatmu?” Jisung berseri-seri.
“Tentu saja! Mau di mana lagi?”
“Tapi, kita kan ada latihan?”
“Aku izin untuk hari ini saja.”
“Bagaimana dengan Jihoon?”
“Ada banyak hal yang bisa ia lakukan tanpa aku. Maksudku, soal latihan. Jadi, jangan terlalu khawatir.”
“Kalau dia nanyain kamu gimana?”
“Bilang aja oppa-ku menjemputku dan aku pergi bersamanya.”
“Gitu ya? Baiklah.” Jisung mengangguk setuju.
Sungwoon bangkit dari duduknya, menyangklet tas punggung, dan berjalan keluar kelas tanpa berkata apa-apa pada teman satu gengnya. Luna menatap punggung Sungwoon dengan ekspresi khawatir.
Seungwoo menyadari perubahan ekspresi Luna. Ia pun bertanya, “Kalian baik-baik saja? Saat istirahat tadi, kau tiba-tiba menyeretnya. Setelah kembali, Sungwoon lebih banyak diam. Semuanya baik-baik aja, kan?”
“Aku sedikit merepotkannya. Aku rasa dia terbebani. Aku sangat menyesal, tapi hanya dia yang bisa melakukannya.”
“Wah, tentang apa itu?” Jisung penasaran.
“Rekaman CCTV.”
“Oh.” Jisung mengangguk dan diam.
“Kita pergi sekarang?” Woojin sudah berdiri di samping kanan Luna.
“Eh? Kalian mau pergi bersama?” Jisung menuding Woojin, lalu Luna.
Oppa-ku ingin bertemu denganku di suatu tempat. Woojin yang tahu tempat itu. Jadi, aku memintanya mengantarku.” Luna menjawab.
“Kamu aneh banget hari ini.” Seongwoo langsung mengutarakan kecurigaannya.
“Karena oppa-ku datang secara tiba-tiba. Semua jadi sedikit kacau.”
Jisung bergumam. “Semangat ya. Sepertinya mengurus oppa-mu itu merepotkan sekali.”
Gomawo. Sangat. Dia pembuat onar. Sudah ya, aku pergi!” Luna tersenyum lebar lalu pergi bersama Woojin.
“Kamu nyadar nggak sih kalau tingkahnya aneh hari ini?” Seongwoo bertanya pada Jisung.
“Iya. Biasanya dia tenang dan pendiam. Tapi, hari ini sepertinya dia gusar. Lalu, kenapa dia pergi bersama Woojin?” Ponsel Jisung bergetar. Ia pun segera memeriksanya. Sebuah pesan dari Jaehwan. Ia pun membuka pesan itu.
“Wah! Jaehwan juga izin tidak datang ke pertemuan klub hari ini. Apa ini hanya kebetulan?” Jisung mengangkat kepala dan menatap Seongwoo.
Seongwoo mengangkat kedua bahunya, tanda tidak tahu.
***

Seongwoo pergi menyusul Daerin ke kelasnya. Tapi, gadis itu sudah tidak ada di sana. Seongwoo heran, tak biasanya Daerin keluar kelas di awal. Setiap ia menjemput, Daerin selalu masih berada di dalam kelas. Walau bukan menjadi murid terakhir yang meninggalkan kelas, Daerin tak pernah meninggalkan kelas di awal sepanjang ia menjemputnya.
Karena tak menemukan Daerin, Seongwoo pun mengubah tujuannya menuju basecamp Klub Fotografi. Selama berjalan menuju basecamp, ia berpikir tentang Daerin yang sudah tidak ada di kelasnya. Lalu, ia teringat pada sikap aneh Luna seharian ini. Mengingat fakta tentang Daerin dan Luna yang seorang teman rahasia, Seongwoo pun menghubungkan keganjilan yang dilakukan dua gadis itu pada hari ini.
Luna hampir selalu menjadi murid yang paling akhir meninggalkan kelas. Daerin hampir tidak pernah meninggalkan kelas di awal. Tapi, hari ini kedua gadis itu terkesan sama-sama bergegas meninggalkan kelas. Seongwoo menelengkan kepala saat tiba pada pemikiran itu.
Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Jaehwan yang berjalan bersama Rania. Keduanya berjalan cepat, sepertinya sedang terburu-buru. Tapi, yang menjadi perhatian Seongwoo adalah ekspresi Jaehwan dan Rania. Keduanya sama-sama terlihat serius, atau mungkin panik.
“Ada apa sih sebenarnya?” Seongwoo bertanya pada dirinya sendiri. “Ini hanya kebetulan atau memang mereka sedang merencanakan sesuatu?” Ia pun membuka pintu basecamp dan menemukan Minhyun sedang duduk di sofa.
“Eh, kebetulan ada kamu.” Sapa Seongwoo membuat Minhyun yang sedang fokus dengan kamera di tangannya mengangkat kepala dan menatapnya.
“Kenapa? Kau mencariku?” Tanya Minhyun yang sudah menaruh perhatian pada Seongwoo yang berdiri di dekat pintu yang sudah di tutup.
“Boleh tanya sesuatu nggak?” Seongwoo duduk di dekat Minhyun.
“Apa?”
“Anu… itu, apa hari ini Rania bersikap aneh?”
Kening Minhyun berkerut mendengar pertanyaan Seongwoo.
“Bukan apa-apa, mungkin saja kau tahu Kalian kan sekelas. Atau, kamu tidak sengaja memperhatikan. Kudengar belakangan kau mulai akrab dengannya.”
“Apa terjadi sesuatu?”
“Apa? Oh! Nggak! Belum sih! Eh? Aku juga nggak tahu.” Seongwoo nyengir.
“Luna ya?”
Seongwoo tercenung sejenak, lalu ia pun mengangguk. “Daerin juga. Mungkin saja Rania juga.”
“Daerin?”
Seongwoo mengangguk. “Mereka berhubungan. Sepertinya begitu.” Ia tersenyum canggung.
Minhyun diam, mengingat kejadian di kelas seharian ini. Ia memang jadi lebih memperhatikan Rania belakangan ini. Karena misi duet itu, ia sengaja membuat dirinya akrab dengan Rania agar tidak canggung dan bisa tampil alami saat pertunjukan nanti. Karena alasan itu terkadang, secara diam-diam ia jadi memperhatikan Rania. Tapi, menurut pengamatannya, seharian ini Rania bersikap wajar.
“Dia bersikap wajar saja.” Suara Minhyun terdengar ragu. “Iya. Sikapnya wajar saja.” Ia mengulang dengan nada suara lebih meyakinkan.
“Barusan, waktu jalan ke sini, aku liat dia. Jalan sama Jaehwan. Mereka kayaknya buru-buru, dan ekspresi mereka, sepertinya panik?” Seongwoo sangsi dengan pernyataannya sendiri.
“Mereka memang janjian pulang bareng. Saat pergantian jam pelajaran Jaehwan ngajak Rania pulang bareng. Rania menyanggupi, tapi sepertinya mereka jadi pulang bareng ya.”
“Gitu ya?” Seongwoo menyerah.
“Kamu khawatir pada Daerin? Tapi, dia tidak ada hubungannya dengan Rania dan Luna, kan?”
Seongwoo mengangkat wajah, tercenung menatap Minhyun. Benar yang dikatakan Minhyun, dalam pandangan awam, Daerin memang tidak memiliki hubungan dengan Luna dan Rania. Jadi, walau ia akan mengatakan bahwa ketiga gadis itu sama-sama berusaha segera keluar dari sekolah, Minhyun pun tidak akan percaya. Lagi pula, Minhyun tidak akan repot-repot mencari tahu tentang Luna dan Rania. Rekan satu klubnya itu sudah tahunan mendiamkan Luna, dan Rania adalah teman Luna. Jadi, tidak ada alasan bagi Minhyun untuk merasa khawatir walau entah karena alasan apa pemuda itu tiba-tiba dekat dengan Rania.
Seongwoo menghela napas pelan. Menyerah pada keadaan. Di dalam hati, ia memanjatkan doa. Berharap semua akan baik-baik saja.
***

Kim Jiyoon, Jang Ki Bang, dan Bang Yoon Ho sampai di lapangan basket yang sudah tidak digunakan lagi itu. Tempatnya rusuh dan tak terawat. Banyak barang rongsokan menumpuk di sana-sini. Dulunya lapangan basket dan gedung serbaguna yang berdiri di sebelahnya itu adalah tempat tongkrongan sebagian besar remaja SMA termasuk murid SMA Hak Kun. Karena letaknya yang tak jauh dari SMA Hak Kun. 25 menit berjalan kaki dengan langkah cepat sudah bisa mencapai tempat itu. Tapi, sejak tanah tempat berdirinya gedung dan lapangan basket outdoor itu jadi sengketa, tempat itu ditinggalkan. Mereka yang biasa berkumpul di sana kesal karena adanya preman-preman yang mengusir dan tak jarang menarget mereka. Akhirnya tempat itu benar-benar di tinggalkan.
Takut-takut, Jang Ki Bang dan Bang Yoon Ho mengikuti Kim Ji Yoon berjalan menuju bagian tengah lapangan basket.
“Ya! Apa benar ini tempatnya?” Tanya Bang Yoon Ho pada Kim Ji Yoon.
“Benar! Dalam pesan itu ditulis, di sini lah tempatnya.” Ji Yoon membenarkan.
“Apa sih yang begitu menarik perhatianmu hingga kamu menuruti isi pesan itu? Bagaimana kalau ini jebakan?” Jang Ki Bang mengutarakan isi kepalanya.
“Untuk apa menjebak kita?” Ji Yoon balik bertanya.
“Sebenarnya, apa isi pesan itu? Sampai-sampai kamu bersemangat datang ke sini.” Yoon Ho penasaran.
“Mezzaluna mengajakkku bertemu di sini.” Ji Yoon menjawab dengan jujur. Saat jam pelajaran terakhir, ia merasakan ponsel yang ia simpan di sakunya bergetar. Kedua matanya terbelalak ketika melihat sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan dari Luna. Gadis yang selama ini mengabaikannya itu, tiba-tiba mengiriminya pesan.

Maaf sekali karena mengirim pesan ini secara tiba-tiba. Tapi, ini sangat mendesak. Bisa kah kita bertemu? Saat pulang sekolah nanti. Di gedung sengketa dekat sekolah, saya akan menunggu Seonbae di sana. Ini sangat mendesak. Saya harap Seonbae tidak mengabaikan pesan saya.

“Bodoh!” Yoon Ho memaki Ji Yoon. “Jika itu dari Luna, kenapa kau tidak mengabaikannya saja?! Malah membawa kami ke sini! Sebaiknya kita pergi saja! Oh astaga!” Yoon Ho terkejut saat berbalik. Luna sudah berdiri di jalan masuk yang sebelumnya ia lewati untuk sampai ke lapangan basket outdoor tempat dirinya sekarang berada bersama Ji Yoon dan Ki Bang.
Berada di tempat yang berantakan dan terabaikan, lalu munculnya seorang gadis yang secara tiba-tiba seperti itu membuat suasana seolah dalam film horor. Luna yang rambut panjangnya—dengan ujung rambut ikal—terurai, berdiri dalam posisi santai namun misterius karena seutas senyum yang terkembang di wajahnya. Mengamatinya, Yoon He bergidik ngeri hingga mundur selangkah.
“Benar kan itu Luna.” Berbanding terbalik dengan Yoon He, Ji Yoon malah tersenyum puas.
“Kamu ini bodoh ya? Justru karena itu Luna, seharusnya kita menghindarinya! Bodoh!” Yoon He kembali memaki Ji Yoon.
“Halo!” Luna menyapa dengan menggunakan pelafalan dalam Bahasa Indonesia. “Terima kasih sudah bersedia datang.” Ia melanjutkan dengan menggunakan Bahasa Korea kemudian membungkuk sopan. Dengan tangan yang bertautan di depan tubuhnya, sikapnya sangat sopan.
Sikap Luna membuat Yoon He semakin muak. Hingga ia berteriak, “Maumu apa?! Membawa kami ke tempat seperti ini?!”
“Yoon He-ya, kamu bisa tenang nggak sih? Luna, maafkan temanku ya.” Ji Yoon meminta maaf.
Luna memberikan tatapan dingin, lalu menyeringai.
“Kenapa kau ingin bertemu dengan kami di sini?” Ji Yoon bertanya.
“Kami? Jadi, bukan hanya kau?” Yoon He menoleh, menatap Ji Yoon yang menjulang tinggi di samping kanannya. Yoon He semakin tidak bisa menutupi kepanikannya.
“Tenang dulu!” Ji Yoon menenangkan Yoon He. “Aku yang sengja mengajak kalian.” Ia kembali menatap Luna usai menoleh pada Yoon He. “Mezzaluna, katakan! Untuk apa kau mengatur pertemuan ini?”
Masih dengan wajah datar yang dihiasi sedikit senyum—lebih tepatnya seringaian, Luna tetap tenang di tempatnya. “Penyelesaian.” Jawabnya singkat.
“Penyelesaian untuk apa? Kita kan tidak ada masalah.” Ji Yoon mengangkat kedua tangannya ke sisi kanan dan kiri, lalu tersenyum mencibir.
“Begitu ya? Kalau be—” belum selesai Luna bicara, ia merasakan sesuatu menabrak lengan kanannya. Matanya berkedip ketika melihat Daerin melangkah terburu-buru mendekati Ji Yoon, lalu tanpa ia duga, secara tiba-tiba menghadiahi Ji Yoon dengan satu pukulan.
Tinju dari tangan kanan Daerin mendarat tepat di hidung Ji Yoon. Ji Yoon pun terhuyung ke belakang. Yoon He dan Ki Bang dibuat ternganga oleh aksi Daerin.
“Wah!” Lirih terdengar suara decak kagum seorang gadis dari arah belakang Luna. Rania sudah berada di sana. Jarak satu langkah di belakang Luna.
Jaehwan yang berdiri di samping kanan Rania pun dibuat ternganga oleh tindakan Daerin. Sedang Sungwoon yang berdiri di samping kiri Rania tersenyum tipis. Woojin yang berdiri di samping kiri Sungwoon pun menunjukkan ekspresi yang kurang lebih sama dengan Sungwoon.
“Ya! Kenapa kau memukulku!” Ji Yoon yang berhasil menguasai keseimbangan dirinya berteriak pada Daerin. Tangan kanannya memegangi hidungnya. Ketika ia turunkan, ia lega tak melihat darah menempel di telapak tangan kanannya. Syukurlah hidungnya tak patah.
Yoon He dan Ki Bang kompak mengambil satu langkah menjauh dari Daerin yang terlihat menggoyang-goyangkan tangan kanan yang usai ia gunakan untuk meninju Ji Yoon.
Sial! Ternyata sakit! Daerin mengumpat dalam hati. Ia masih menggerak-gerakan tangan kanannya. Terasa sakit di pangkal jari-jari tangan kanannya. Ternyata wajah Ji Yoon cukup keras, dan ia tak pernah memperhitungkannya. Ia hanya ingin meninju pemuda itu dan ia tak menolak keinginannya.
“Ini penganiayaan! Aku bisa melaporkanmu!” Ji Yoon mengancam Daerin.
Setelah sakit di tangannya mereda, Daerin menegakkan posisinya. “Begitu ya? Bagus lah! Aku pun akan memperkarakanmu karena kasus penganiayaan pada Kang Daniel dan Park Jihoon!” Ia tak gentar.
“Apa?” Pekik Yoon He.
“Eh? Kapan?” Ki Bang Justru penasaran.
“Ya! Kau main pukul?” Yoon He memaki Ji Yoon.
“Sepertinya bukan hanya itu.” Luna yang sebelumnya berada pada jarak lima langkah dari Ji Yoon berjalan maju. Ia berhenti di samping kanan Daerin. “Kalau tindakan rasis pada Rania tidak terlalu berperngaruh ya?” Ia menoleh demi menatap Daerin, seolah meminta persetujuan. “Mungkin bisa dengan surat ancaman itu. Tindakan yang membahayakan orang lain. Aku bisa menuntutnya dengan alasan itu, kan?”
“Tentu saja!” Daerin membenarkan. “Asal ada bukti dan saksi, itu bisa dilaporkan.”
“Berkomentar rasis juga termasuk tindakan merugikan orang lain, kan? Hmm, sepertinya itu bisa dijadikan tambahan. Korban sudah ada di sini. Aku dan Rania. Lalu, saksi pun sudah ada di sini. Kim Jaehwan, Park Woojin, dan Ha Sungwoon. Jadi, sudah cukup ya? Semua yang terlibat bisa dijerat secara hukum, kan?”
“Eh! Aku tidak ikut-ikut lho!” Ki Bang spontan membantah.
“Aku juga!” Yoon He ikut-ikutan membantah.
“Jang Ki Bang Seonbaenim sepertinya memang murni tidak terlibat,” Luna menatap Jang Ki Bang sejenak, lalu ia beralih pada Bang Yoon He dan berkata, “Tapi, apa iya Bang Yoon He Seonbaenim tidak terlibat? Hmm… kita bisa melihat dari bukti-bukti yang sudah terkumpul.”
“Ini jebakan!” Pekik Yoon He makin panik.
“Aku tidak melakukan penganiyaan pada Kang Daniel dan Park Jihoon!” Kim Ji Yoon setengah berteriak ketika membantah tuduhan Luna. Napasnya terengah-engah. Ia menatap Luna yang tetap terlihat tenang dengan tatapan penuh kebencian.
“Tidak ya? Tapi, saya menangkap pelakunya lho!”
“Pelaku? Pelaku apa?”
“Tentu saja pelaku pengeroyokan Kang Daniel dan Park Jihoon. Dan, saya sudah menyimpannya.”
Mendengar kata menyimpannya sembari memperhatikan bagaimana Luna bersikap, Ji Yoon bergidik ngeri. Ia merasa berhadapan dengan psikopat yang siap mengeksekusinya. “Sudah kukatakan aku tidak melakukan penganiayaan pada Kang Daniel dan Park Jihoon!” Ia terus membantah.
“Tap—” ketika Luna hendak kembali berbicara, Yoon He tiba-tiba berteriak.
“Kalau kamu memang melakukannya, katakan saja! Kita sudah terjebak!” Yoon He terlihat frustasi. “Baiklah! Aku mengaku! Foto-foto di cafe itu adalah ulahku! Aku tidak sengaja berada di sana saat kau tiba-tiba muncul menjadi pelayan cafe. Pasti seru jika aku membuat keributan yang akan memojokkanmu. Kim Ji Yoon setuju! Dia bilang, Itu akan menjadi kejutan!
“Lalu, tentang surat ancaman. Aku akui aku juga terlibat. Aku yang mencari informasi tentang kelasmu yang akan digunakan untuk kegiatan di hari Sabtu. Dan, kebetulan Lee Taeyong ada dalam daftar siswa yang akan ikut kegiatan itu. Karena kami pernah memergoki ia hendak membolos, kami menggunakannya untuk mengancamnya agar dia mau menaruh surat-surat iseng itu di lokermu.
“Itu semua hanya untuk main-main. Tapi, tentang pengeroyokan Kang Daniel dan Park Jihoon, aku sama sekali tidak tahu. Aku sudah mengakui semuanya. Jadi, tolong jangan bawa masalah ini ke polisi. Jebal…” Yoon He memohon.
“Untuk main-main?” Daerin mendelik ketika menatap Yoon He. “Hal membahayakan seperti itu kau sebut main-main?!” Sama seperti ketika berbicara kepada Ji Yoon, ia tak lagi menggunakan bahasa kesopanan junior kepada senior.
“Itu bisa berdampak buruk pada psikologi Luna! Itu termasuk kejahatan psikis yang tidak bisa dimaafkan! Aku tidak bisa menganggap ini hanya sebuah tindakan iseng yang bisa dimaafkan begitu saja!” Daerin sudah di puncak emosinya.
“Aku tidak terlibat! Sungguh!” Jang Ki Bang yang ketakutan terus berusaha membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
“Mengaku dengan mudah. Jadi kurang seru ya.” Luna bergumam, kemudian menyeringai.
Ji Yoon yang memperhatikan Luna kembali dibuat bergidik. “Sudah jelas, kan? Yang kami lakukan hanya semua yang disebutkan Yoon He. Kami tidak tahu menahu tentang penganiayaan yang dialami Kang Daniel dan Park Jihoon. Aku akui aku melontarkan komentar rasis pada Rania.
“Aku akui aku lah pemilik ide surat ancaman setelah postingan tentang Lee Daehwi dan Han Joohee viral. Aku akui, aku lah yang mendukung Bang Yoon He untuk mengunggah fotomu dan Daniel. Tapi, aku sama sekali tidak tahu tentang pengeroyokan Kang Daniel dan Park Jihoon. Sungguh! Aku benar-benar tidak tahu.”
Daerin menghela napas usai mendengar pengakuan Kim Ji Yoon. Sedang Luna, masih menatap pemuda itu dengan datar.
“Tapi, tanpa bukti kuat kalian tidak akan bisa berbuat apa-apa. Polisi tidak akan mudah percaya pada laporan anak SMA seperti kalian.” Ji Yoon masih berusaha bersikap sombong di depan Luna.
“Bukti ya? Masih ingat saat meneror Rania? Saya ada videonya. Park Woojin yang merekamnya. Iya, kan Park Woojin?” Luna bertanya tanpa menoleh.
“Iya. Saya yang merekamnya.” Woojin membenarkan.
“Saya masih menyimpannya. Lalu, tentang foto di cafe. Setelah memeriksa CCTV di cafe, saya menemukan ada Bang Yoon He Seonbaenim di sana. Bahkan, ketika beraksi untuk mengambil foto kami secara diam-diam. Rania adalah saksi ketika saya dan Park Jihoon memeriksa CCTV di cafe. Oh, saya hampir lupa. Rania adalah korban dari komentar rasis yang Kim Ji Yoon Seonbaenim lalukan. Jadi, lengkap sudah ya.
“Oh belum! Untuk kasus surat ancaman. Selama ini Ha Sungwoon bekerja keras untuk menyelidikinya. Saya beruntung karena mendapatkan video pengakuan Lee Taeyong. Tapi, demi memastikannya, Ha Sungwoon hari ini sengaja menemui Lee Taeyong. Hasilnya, Ha Sungwoon memperoleh rekaman suara Lee Taeyong yang mengakui perbuatannya.
“Lee Taeyong mengaku dirinya lah yang menaruh surat-surat ancaman itu di loker Mezzaluna. Rekaman suara itu memperkuat video rekaman pengakuan Lee Taeyong yang saya dapatkan karena sebuah keberuntungan. Lee Taeyong juga ada dalam rekaman CCTV yang disimpan Ha Sungwoon. Lalu, untuk kasus pengeroyokan Kang Dan—”
“Sudah kukatakan aku tak tahu tentang kasus itu!” Kim Ji Yoon memotong penjelasan Luna.
Luna tetap tenang. Ia masih berdiri seperti sebelumnya. “Apa perlu kami putarkan semua bukti?” Ia melanjutkan penjelasannya. “Kim Jaehwan adalah saksi ketika Kim Ji Yoon Seonbaenim berkata rasis kepada Rania. Posisi saya dan Rania adalah korban. Lengkap sudah ya? Kalau begini sudah bisa diajukan laporannya, kan Kang Daerin?”
“Bisa. Drama ini bisa dibawa ke ranah hukum.” Daerin tanpa keraguan.
“Ji Yoon-aa! Kita tidak bisa mengelak! Kau masih mau membusungkan dada di depan mereka?” Yoon He makin panik. “Sudah. Akui saja dan minta maaf.”
“Sebenarnya, saya bisa saja membongkar semua ini di sekolah. Tapi, saya masih memiliki niat untuk menyelesaikannya secara baik-baik dengan seonbaenim sekalian. Murid lain tidak perlu tahu. Menurut saya, agar kebencian kepada Kim Ji Yoon Seonbae dan gengnya tidak semakin bertambah.
“Tapi, kalau tidak mau, sedikit saja rekaman yang diunggah ke komunitas sekolah, sepertinya cukup untuk membuat kehebohan. Yang mana ya? Oh! Kasus surat ancaman saja? Tim Tata Tertib Sekolah sudah memberi perhatian, kan?
“Jadi, bisa dimulai dari sana. Lalu, dilanjutkan dengan pengakuan ketua gerombolan yang menganiaya Kang Daniel dan Park Jihoon. Semalam saya mendengar pengakuannya yang seperti ini, Saya menyerang Kang Daniel atas perintah—
“Sudah! Cukup! Maumu apa?” Kim Ji Yoon akhirnya menyerah.
Seringaian samar terkembang di wajah Luna. “Sekedar informasi, Ayah Kang Daerin adalah seorang hakim. Kalau mau melaporkan tindakan Daerin, harus dipikir ulang ya. Jangan sampai jadi senjata makan tuan atau bumerang buat diri sendiri. Semua ini, yang kita bicarakan pada hari ini sudah direkam. Pengakuan Bang Yoon He Seonbaenim dan Kim Ji Yoon Seonbaenim sudah tersimpan. Sekarang, keputusan ada di tangan seonbaenim sekalian. Mau mengikuti penyelesaian dengan cara saya. Atau, masih kukuh pada pendirian seonbaenim.
Suasana berubah hening sejenak. Yang terdengar hanya hembusan angin di sekitar mereka.
Kim Ji Yoon menurunkan tangannya yang berkacak pinggang. Ia menghela napas dengan kasar. “Aku menyerah padamu. Sekarang, terserah bagaimana kamu.”
Luna tersenyum lebar. “Terima kasih atas kerjasamanya.” Ia membungkuk hinggal 90° di depan Kim Ji Yoon.
***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews