cUrioUs -W- way

My Curious Way: Candi Jago dan Candi Kidal

05:18



My Curious Way: Candi Jago dan Candi Kidal

Beberapa waktu lalu iseng mengetik 'Poncokusumo' pada kolom pencarian Mbah Google. Aku terkejut ketika menemukan beberapa artikel yang menceritakan tentang keindahan wisata alam di Poncokusumo. Terkejut sekaligus sadar diri jika selama ini aku terlalu lama mengurung diri dalam tempurung kura-kura dan tak peduli pada banyaknya perubahan di sekitarku. Dalam waktu dua tahun, begitu banyak perubahan. Dan aku nggak tahu tentang itu. Parah!

Aku malu. Aku warga Kecamatan Poncokusumo dan mengaku hobi menulis, tapi nggak pernah nulis tentang daerahku sendiri. Amat malu sekali pakek banget. Artikel yang aku baca dari hasil pencarian Mbah Google membuatku malu, sekaligus menyadarkanku jika aku harus melalukan sesuatu. Ya, melakulan sesuatu; menulis tentang daerah tempat tinggalku yang super duper indah sekali pakek banget ini. Namun, keinginan itu terhalang situasi dan kondisi; kondisi fisik dan mentalku yang lagi down.

Pertemuan dengan seorang pemuda trail rider pada tanggal 05 Juli 2016 silam yang menjadi permulaan bagiku untuk menulis kisah fiksi yang 'lebih Indonesia'. Kisah fiksi yang 'lebih Malang'. Bukan fan fiction atau kisah fiksi yang berbau Korea.

Dari pertemuan singkat di sore pada hari terakhir puasa Ramadhan itu menginspirasiku untuk menulis sebuah novel yang tokohnya Indonesia banget. Jawa banget. Malang banget. Setting-nya pun Malang banget. Poncokusumo banget malahan.

Kenapa harus menciptakan setting khayalan atau meminjam daerah lain jika aku punya tempat yang tak kalah cantik untuk di eksplor? Akhirnya, dalam waktu sepuluh hari, novel tentang gadis (masih tetep ya) pecinta Kpop dan pemuda trail rider itu pun selesai. Setting-nya Malang banget! Poncokusumo banget! Entah kenapa tiba-tiba aku merasa puas dan bangga. Hehehe.

Setelah novel selesai dan masuk tahap persiapan terbit, ide baru muncul di otak cancer-ku. Novel itu kan terinspirasi dari kisah nyata, dan tempat-tempatnya pun nyata. Kenapa nggak aku kumpulin aja foto tempat yang menjadi setting dalam novel itu? Bukan tempat-tempat di kota Malang, tapi tempat-tempat di sekitarku yang mungkin nantinya pembaca nggak tahu. Atau bahkan bertanya-tanya, "Tempat itu beneran ada nggak sih?"

Dengan munculnya ide itu, aku membulatkan tekad untuk pergi; keluar dari dalam tempurung kura-kura dan mengumpulkan foto-foto tempat yang menjadi setting novel 'Cintaku Bersemi di Kios Bensin'. Karena belum berani keluar sendiri, perburuan pertama aku pun minta bantuan Thata--adik sepupuku. Dia yang jadi joki. Nganterin aku berburu foto tempat yang menjadi setting dalam novel.

Aku pernah menuliskan dalam catatanku: "Mencoba keluar, melawan ketakutan dan berhasil itu membuat ketagihan. Serius!" Itu benar sekali. Setelah berhasil mengumpulkan foto-foto setting dalam novel, aku jadi ketagihan untuk keluar dan mengumpulkan foto-foto tempat indah di sekitarku.

Dorongan lain yang turut menjadi cambuk adalah sebuah komentar yang berbunyi: "Kamu penulis tapi nggak pernah nulis tentang daerahmu sendiri."

Itu nampar banget! Iya, nampar banget! Akhirnya, aku memutuskan untuk mengalahkan ketakutanku. Aku keluar dari dalam tempurungku dan mulai menjelajahi alam sekitarku yang cukup lama aku abaikan.

Ini adalah tulisan pertamaku tentang pesona keindahan alam di sekitarku. Aku mulai dengan dua situs sejarah yang berada tak jauh dari tempat tinggalku yaitu Candi Jago dan Candi Kidal. Walau beda kecamatan, tapi dua candi ini deket dari Sarang Clover. Jadi, mari kita mulai perjalanan kita!


Candi Jago


Candi Jago terletak di desa Jago kecamatan Tumpang. Kalau dari markas Sarang Clover, jarak tempuhnya kurang lebih lima kilometer. Deket banget. Lima belas menit naik motor udah nyampek.

Zaman masih SD dulu, Candi Jago adalah tempat wisata favoritku bersama teman-teman satu geng. Sebulan sekali kami pergi bersama-sama ke Candi Jago dengan naik mikrolet. Setelah mengumpulkan uang saku selama enam hari, pada hari Minggu beramai-ramai kami pergi ke Candi Jago. Berkumpul di telon Wates, naik mikrolet ke Tumpang. Dari terminal Tumpang jalan kaki ke Candi Jago. Nyampek candi, buka bekal yang berupa cemilan atau makanan ringan sambil bermain-main. Bahagia itu sederhana ya. Hehehe.

Kira-kira dua puluh tahun kemudian, pada hari Minggu 02 Oktober 2016 lalu, aku kembali mengunjungi Candi Jago sebagai langkah pertama ritual mengalahkan ketakutan diri.
Kenapa memilih Candi Jago? Pertama jarak tempuhnya dekat. Dan lokasinya pun berada di tengah pemukiman padat penduduk. Tidak mengharap sesuatu yang buruk terjadi, tapi jika terjadi apa-apa padaku, akan sangat mudah untuk meminta pertolongan orang lain.

Zaman SD dulu main ke Candi Jago gratis. Nggak ada pungutan biaya bila ingin masuk ke area candi. Aku pikir peraturan akan berubah. Jadi ada HTM-nya begitu. Tapi ternyata tidak. Masuknya gratis. Tapi kalau pengunjung pengen ngisi kas, boleh juga. Seikhlasnya.
Juru kunci Candi Jago laki-laki. Bapak-bapak gitu. Cuman pas aku ke sana, bapaknya lagi sibuk bersihin area candi. Jadi nggak sempet nanya-nanya. Bapaknya ramah banget. Selalu tersenyum dan nyapa pengunjung.

Setelah dua puluh tahun tentu saja banyak yang berubah dari Candi Jago. Kalau bentuk candinya nurut aku sama. Yang beda taman di sekitarnya. Tampilannya jadi makin cantik dan bersih. Tapi papan tulisan tentang sejarah Candi Jago yang dulu ada di sebelah barat, di deket pintu masuk udah nggak ada. Pintu masuk sebelah barat ini pun tertutup rapat sekarang. Jadi untuk masuk ke area candi hanya menggunakan pintu masuk di sisi utara-timur. Deket pintu masuk ada pos penjaga. Area parkir berada di dekat bangunan pos penjaga. Tapi yang bisa masuk hanya sepeda dan motor saja. Untuk mobil, parkirnya di pinggir jalan di dekat area candi.

Dulu, walau hari Minggu, candi selalu sepi. Tapi tidak dengan sekarang. Hari Minggu, suasana di area candi cukup ramai. Banyak anak-anak usia sekolah (kira-kira SD kelas enam atau SMP kelas tujuh) berada di area candi. Bahkan ada (entah mahasiswi atau siswi SMA) yang sedang melakukan penelitian. Dia membawa tumpukan kertas bergambar relief, sambil mencocokannya dengan relief sebenarnya di Candi Jago. Bahkan, jika beruntung, kita bisa bertemu wisatawan asing di Candi Jago. Sayangnya hari itu kami belum beruntung ketemu wisatawan asing. Tapi kami bertemu wisatawan lokal dari luar kota.

Sejarah tentang Candi Jago bisa cek di Wikipedia aja ya. Ini link-nya: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Candi_Jago

Atau baca di sini: http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_jago

Atau baca di sini: http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/candi-jago.html

Menurut artikel dari link terakhir, pada sisi kiri candi (barat laut) terdapat relief yang menceritakan tentang kisah kura-kura yang ingin bisa terbang. Aku pernah baca tentang fabel itu--kura-kura ingin bisa terbang lalu dibantu burung bangau- tapi nggak nyangka kalau fabel itu berasal dari relief di Candi Jago. Payahnya lagi, saat sampai di area candi, aku sempat mengalami serangan panik karena cuaca yang terlalu panas dan takut ketinggian. Jadi saat di sana, aku lebih banyak duduk menenangkan diri di tempat yang teduh.

Sebaiknya kalau mau berkunjung ke Candi Jago, jangan terlalu siang. Karena panas banget di sana. Pukul setengah sembilan saja udah panas banget. Sekedar saran, kalau mau berkunjung ke suatu tempat wisata, nggak ada salahnya googling dulu. Biar tahu apa aja keunikan dari tempat itu. Jangan kayak aku. Berkunjung dulu baru googling. Tuh jadinya nggak bisa mencari dan mengabadikan relief tentang fabel kura-kura ingin bisa terbang.

Kalau dulu, main ke Candi Jago harus bawa bekal cemilan dan air. Karena, dulu walau dekat pemukiman padat penduduk, nggak ada warung. Sekarang di sisi kanan candi, di pinggir jalan udah ada toko yang jual aneka macam cemilan dan minuman. Jadi jangan khawatir kelaparan dan kehausan. Hehehe.

Bapak penjaga candinya kelar bersihin area candi, eh masih ada aja pengunjung bandel yang 'MALAS BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA'. Heran deh sama golongan pengunjung macem gini. Udah dikasih enak masuknya gratis, tempat sampah pun udah disediakan. Tapi tinggal nyemplungin sampah sisa dia makan dan minum ke tempat sampah kenapa males sih? Sambil ngomel karena kesel sama sikap pengunjung macem gitu, kami memunguti sampah bekas minuman yang dibiarkan tergeletak di kursi taman, lalu membuangnya ke dalam 'juglangan' yang letaknya di sebelah selatan pojok.

Bapaknya juga balik nyapu taman karena ada plastik bekas snack berserakan. Bapaknya senyum, lalu menundukan kepala kepada kami yang juga sibuk memunguti bekas minuman di bangku taman di bawah pohon rindang yang sedang berbunga lebat berwarna kuning. Semoga para pengunjung jadi lebih sadar diri untuk membuang sampah pada tempatnya. Kasihan kan bapaknya panas-panas harus nyapu taman berulang-ulang. Jadilah pengunjung yang bijaksana. Terlebih di tempat-tempat wisata yang berlabel 'GRATIS'.

Ada sisa-sisa ritual.
 

Katanya yang ditutup ini adalah terowongan yang menghubungkan Candi Jago dan Wendit.

Candi Jago dari belakang

Candi Jago




Bonus



Candi Kidal



Walau sejak kecil hidup di kecamatan Poncokusumo yang masih masuk kawedanan Tumpang, yang sama artinya masih tetanggaan (walau jauh sekali) sama desa Kidal. Aku belum pernah sama sekali mengunjungi Candi Kidal. Karena kecanduan keluar dari dalam tempurung kura-kura untuk mencari udara segar, rute dan destinasi di minggu selanjutnya adalah Candi Kidal.

Perjalanan pada hari Minggu 09 Oktober 2016, aku dianterin Bapak dan ditemenin Rara. Karena hari itu cuaca dari pagi mendung dan jarak tempuh lumayan jauh, Ibu nggak kasih izin aku pergi sendiri. Akhirnya Ibu meminta Bapak nganterin aku ke Candi Kidal.

Keuntungan dibonceng adalah bisa fokus menikmati pemandangan selama perjalanan. Apalagi ini perjalanan pertama menuju desa Kidal tempat Candi Kidal berada. Aku pun menyiapkan pocket camera-ku. Siapa tahu ada obyek menarik yang bisa diabadikan saat dalam perjalanan.

Rute baru yang menyenangkan. Di rute ini, ada bagian kita disuguhi pemandangan hamparan sawah di kanan-kiri jalan. Dan jauh di depan kita tampak perbukitan hijau yang benar-benar indah. Jadi mending pelan-pelan aja laju kendaraannya. Biar puas nikmati lukisan Tuhan yang maha indah itu.


Dari markas Sarang Clover, lokasi Candi Kidal lumayan jauh. Bahkan, sempat kelewatan candinya karena tertutup truk yang memuat tebu dan berhenti di depan area candi.

Sama seperti Candi Jago, posisi Candi Kidal juga strategis. Malah lebih gampang di cari karena berada di tepi satu-satunya jalan utama di jalur besar itu. Candi Kidal pun terletak di tengah-tengah pemukiman padat penduduk.

Artikel Wikipedia tentang Candi Kidal bisa baca di sini: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Candi_Kidal

Atau bisa baca juga di sini: http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_kidal

Area parkir terdapat di bagian depan area candi. Di dekat pos penjaga. Pagi itu yang jaga mas-mas masih muda. Aku masuk ke pos jaga, nanya tata krama kalau berkunjung ke Candi Kidal. Kata masnya nggak papa masuk dulu. Jadi aku dan Rara masuk dulu ke area candi.
Kalau di Candi Jago, begitu masuk kita disuguhi pemandangan bagian belakang candi. Di Candi Kidal, kita langsung disambut sama kemegahan Candi Kidal dari bagian depan.

Jalan setapak berpaving di tengah-tengah taman itu membawa kami menuju area utama Candi Kidal. Sama seperti di Candi Jago, area Candi Kidal juga asri dan bersih. Banyak pohon rindang di sekitar candi.


Oya, buat yang beser (kayak aku) nggak usah khawatir. Di Candi Jago dan Candi Kidal ada toiletnya. Gratis dan bersih toiletnya. Jadi jangan takut kebelet pipis trus kesulitan nyari toilet.


Sama kayak Candi Jago, hanya ada satu buah bangunan candi di Candi Kidal. Kalau nurut aku bentuknya Candi Kidal lebih mungil dari Candi Jago. Kita bisa mengelilingi candi dari jarak dekat melewati jalan berumput. Atau jarak jauh melewati jalan cor. Pilih aja yang nyaman yang mana. Suka-suka elu deh. Hehehe. Kalau mau lebih dekat biar bisa nyentuh candinya dan memahami reliefnya, ya ambil jarak dekat aja.

Di bagian depan candi, tepatnya di tangga, ada tulisan peringatan kalau pengin naik ke atas candi harus menghubungi petugas. Aku pun melarang Rara yang sebenarnya pengin naik ke atas candi dengan menegaskan tulisan peringatan itu.


Tapi beberapa menit kemudian penegasanku itu diuji. Saat aku dan Rara duduk beristirahat di bawah pohon kelengkeng. Ada pengunjung datang. Seorang pria dengan dua anak kecil. Pria dan kedua anaknya itu langsung naik ke atas candi.

"Loh, Ma! Orang itu kok naik sih?" Rara protes sambil menuding pria dan kedua anaknya yang udah menaiki candi, lalu berselfie ria di atas sana.
"Padahal kan tulisannya kalau mau naik harus bilang petugas dulu!" Imbuh Rara terdengar kesal.
"Mungkin mereka nggak bisa baca tulisannya. Atau bisa baca tapi mengabaikannya. Rara mau jadi kayak gitu?" tanyaku.
"Ya nggak, Ma! Nanti kalau melanggar larangan, kata Omma bisa terjadi sesuatu."
"Iya. Larangan dibuat pasti karena ada alasannya. Ya, kan? Kalau nggak ada alasannya, pasti siapa aja boleh naik kayak di Candi Jago. Rara mau naik? Kalau mau ayo kita bilang dulu sama penjaga di depan tadi."
"Nggak deh, Ma. Liat dari sini aja udah bagus. Serem kayaknya di atas."

Ya, begitulah. Kalau bukan pengunjung yang 'SUKA BUANG SAMPAH SEMBARANGAN'. Kita bakalan ketemu sama 'PENGUNJUNG YANG HOBI MELANGGAR LARANGAN'. Padahal udah jelas tertulis kalau mau naik hubungi petugas, tapi ya tetep dilanggar. Nanti kalau terjadi sesuatu, nggak jarang nyalahin petugas. Repot wes!

Tetaplah menjadi pengunjung yang bijak. Yang taat pada aturan.

Oya, di Candi Kidal ini tamannya unik. Ada pohon beringin yang di potong menyerupai induk ayam. Trus ada tanaman bunga perdu yang dibentuk seperti bintang dengan lingkaran di tengah-tengahnya.



Suasana di Candi Kidal tenang banget. Cocok deh buat yang butuh ketenangan. Duduk di bawah pohon kelengkeng yang rindang sambil menatap kemegahan Candi Kidal itu sesuatu banget.

Sebelum pulang, kami kembali mengunjungi pos jaga. Juru kuncinya ternyata seorang ibu yang tadi, pas di dalem area candi sempet memperhatikan dan tersenyum pada kami. Mas-mas yang tadi masih ada. Anaknya mungkin.

Ibunya menyambut kami dengan ramah. Menyodorkan buku tamu untuk diisi sambil bertanya kami orang mana. Tanpa malu aku jawab aku orang Wates. Maaf ya, aku merasa geli baca buku tamu. Pengunjung sebelumnya menulis alamatnya 'Malang'. Ha?? Malang?? Masak orang Malang wisata ke Candi Kidal pakek baju baby doll sih? Nggak pakek helm juga. Ok! Stop kura-kura! Berhenti mengomentari itu semua! Bisa jadi emang anak Malang yang lagi berlibur di rumah saudaranya di sekitar area candi atau desa deket-deket situ, ya kan?

Ok! Aku hanya tersenyum, lalu menulis nama, alamat, dan tujuanku datang ke Candi Kidal di buku tamu.

"Selalu ramai ya Bu?" Iseng-iseng aku ngajak ngobrol.
"Nggak mesti, Mbak. Kadang ramai, kadang sepi."
"Hmm... Hari ini pengunjungnya lumayan ya."
"Alhamdulillah."
"Trus, ngisi kas nggak, Bu?" Candaku sambil tersenyum.
"Seikhlasnya, Mbak." Si Ibu ikutan senyum. Malu-malu gitu ekspresinya.

Setelah mengisi buku tamu dan mengisi kas. Aku menyalami ibu penjaga candi, lalu berpamitan. Parkirnya gratis. Kurang enak opo??

Wes, monggo yang mau wisata sejarah. Kunjungi saja Candi Jago dan Candi Kidal. Tempatnya bagus banget. Bersih, nyaman, dan tenang. Toilet, udah ada. Kalau butuh pemandu atau mau tanya-tanya, para penjaganya juga ramah-ramah. Pasti mau jadi guide kalau dimintai tolong nemenin keliling gitu. Panas emang, tapi jangan khawatir. Banyak tempat duduk di bawah pohon yang teduh kok. Gratis. Kalau mau isi kas monggo, nggak juga nggak papa. Nggak bakalan dimarahi juga sama penjaganya kalau nggak ngisi kas. Hehehe.

Candi Kidal




 

Selamat menikmati keindahan Candi Jago dan Candi Kidal, shi-gUi.

Bonus: burung berjajar di atas kabel



Bonus XD
 

Photo by: shytUrtle and Mbak Maimun si Fotografer Usil (Kekeke. Piss, Mbak!)

Tempurung kura-kura, 18 Oktober 2016.
.shytUrtle.


Bilik shytUrtle

Bilik shytUrtle: Diary Melawan Anxie #7

04:25



Bilik shytUrtle: Diary Melawan Anxie #7


Posting terakhir: 05 Oktober 2016.
Update kondisi dari 06 Oktober- 10 Oktober 2016.

Kemarin baca postingan Mbak Sri Rahayu tentang puasa. Setuju sama Kakak Cantik satu itu; puasa memang terapi terbaik bagi penderita GERD. Dengan catatan yang lambungnya udah kuat ya. Aku dulu waktu masih dalam tahap harus makan tiap dua jam sekali, ya manut aja. Nggak puasa dulu. Bahkan, sempet takut nggak bisa ikutan puasa Ramadhan karena takut nggak kuat. Ramadhan tahun 2015 adalah Ramadhan pertama setelah dinyatakan membaik dari GERD.

Parno? Jelas ada. Dulu sebelum kena GERD, kalau puasa nggak pernah sahur. Setelah kena GERD, sahur. Karena waktu itu takut mau sahur buah, sahur tetep nasi dalam porsi kecil dengan lauk telur rebus. Banyak-banyak minum air putih (sampai beser) dan menjelang imsya' minum Ranitidine.

Ketika sukses menjalani puasa sehari penuh tanpa sensasi, rasanya senang sekali. Sampai ingin merayakannya dengan menyalakan kembang api. Hehehe.

Alhamdulillah puasa sebulan penuh berjalan lancar. Minum Ranitidine hanya tiga hari pertama. Sisanya bisa dilalui tanpa bantuan obat.

Kalau diajak puasa tubuh masuk fase angel. Keren kan? Karenanya jadi ketagihan. Lanjut dengan puasa-puasa sunah. Selama puasa, terasa berat pas bayar hutang puasa Ramadhan beberapa waktu lalu. Entah kenapa kok ada aja sensasi yang muncul. Padahal sahur udah, minun Ranitidine udah. Usut punya usut, baru inget kalau aku lagi pengobatan lagi, dan obat yang aku minum adalah obat hormon.

Kata Emak; biasanya kan kalau nggak puasa, pagi perut langsung dibanjiri air putih, lalu disambung buah-buahan. Jadi kamu nggak ngrasain mual atau pusing. Kalau puasa kan nggak bisa tuh.

Hmmm... masuk, masuk. Lalu konsultasi ke Mbak Dian sama Mbak Sri. Lalu proses sahur balik kayak zaman awal belajar puasa dulu; menjelang imsya' minum Ranitidine.

Alhamdulillah itu membantu. Puasa pun kembali lancar dan enjoy. Sebenernya aku sempet menolak. Masak iya mau minta bantuan Ranitidine terus? Tapi, setelah ngajak ngobrol tubuh, ada kalanya tubuh butuh bantuan Ranitidine, dan ada kalanya nggak. Ini kita sendiri yang bisa tahu. Makanya sering-sering aja ngobrol sama diri sendiri biar makin mengenali diri sendiri. Hehehe.

Aku sering gitu. Misal lagi kumat, aku tanya deh tubuhku mau apa. Kalau ada bisikan, misal: air putih anget. Aku turuti. Alhamdulillah sembuh. Kayak gitu deh pokoknya. Yang paling ngerti diri kita ya kita sendiri, kan?


Setiap hari adalah perjuangan. Diajak puasa kok masih ada aja sensasi muncul? Oh ya, aku lagi konsumsi obat hormon jadi itu pengaruhnya. Trus, gimana biar puasanya nyaman?

Karena makan sahur dan minum Ranitidine malah bikin sensasi A, B, C, D, muncul di pagi hari. Aku pun coba-coba sahur dengan minum air putih hangat saja. Dua mug air putih hangat. Menjelang imsya' minum Ranitidine.

Alhamdulillah puasa lancar. Tanpa sensasi. Hari berikutnya sahur dengan air putih hangat tanpa Ranitidine. Lancar lagi. Alhamdulillah. Berikutnya sahur air putih hangat lagi plus Ranitidine. Lancar sampai finish. Alhamdulillah.

Kadang percobaan itu memang perlu. Dengan begitu, tubuh akan menemukan apa yang cocok untuknya. Tapi nggak boleh takut atau ragu saat mau melakukan percobaan. Mikir simpel aja; kalau gagal berarti hari ini belum dikasih izin buat puasa (atau buat berhasil). Nggak papa. Besok coba lagi.

Gitu terus. Nanti yang namanya parno dan pikiran negatif jadi capek sendiri gangguin kita. Soalnya kita tetep tegar dan nggak mau nyerah. Kita mau coba lagi dan lagi sampai tubuh kita dimampukan.

Ingat! Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Sekutu terkuat kita adalah diri kita sendiri. Jadi, bagaimana kita mau menjadikan diri kita sendiri sebagai musuh atau sekutu, ya ada di tangan kita sendiri.

Beberapa waktu lalu kakak sulungku ngobrol dengan salah seorang temannya yang punya latar belakang psikolog. Tak membuang kesempatan itu, kakak sulungku pun mengkonsultasikan aku.

"Halah! Nduk Yu itu nggak papa. Dia cuman kurang keluar rumah aja. Suruh keluar. Jangan jadi vampir terus. Kemarin keluar baik-baik aja kan dia? Nah, dia itu nggak papa. Sehat. Suruh banyakin keluar aja. Jangan banyak ngetik. Ya ngetik emang kerjaan dia ya. Banyakin keluar aja dah. Nggak perlu ke psikiater juga. Dia itu nggak papa. Sehat dia."

Tuh kan. Kata Kak Lee juga gitu. Aku nggak perlu ke psikiater. Yang aku perlukan hanya self healing. Kak Kania pun berpendapat sama. Ada yang nggak beres sama jiwaku dan harus aku sendiri yang memperbaikinya.

Alhamdulillah makin ke sini makin membaik. Bisa mengendalikan keadaan kalau rasa tak nyaman atau gemetaran itu muncul. Misal muncul gangguan fisik semacam mual, pusing, dll, mulai bisa menghadapinya dengan kepala dingin. Nggak panik lagi. Kalau dilawan-lawan nggak hilang, jalan terakhir yang aku pilih adalah tidur. Jika bangun tidur semua sensasi hilang, maka itu cuman pengaruh dari pikiran/mental yang sakit. Kalau bangun tidur sensasi masih ada, ya mulai mencari cara untuk penyembuhan secara fisik. Pakai obat gosok dan pijit, misalnya.


Kondisi pada tanggal 6, 7, 8 Oktober stabil. Aku menikmati hari-hariku dengan baik.

Satu hal yang kadang masih menggangguku yaitu pagi. Pada hari-hari tertentu, pagi terasa berat bagiku. Untung setiap Senin (seperti hari ini) pagiku berjalan dengan baik. Mungkin karena pengaruh bahagianya hari Minggu masih nempel kali ya?
Pada hari-hari tertentu, pagi terasa bagai monster bagiku. Dan itu tak bisa ditebak munculnya pada hari apa.

Pada pagi di hari-hari tertentu tubuhku terasa tak nyaman. Mulai dari mual, pusing, kliyengan. Itu sangat mengganggu sekali. Terlebih munculnya ketika aku sudah berada di tempat kerja. Menjengkelkan sekali kan?

Menyerah? TIDAK! Aku menikmati setiap detik siksaan itu sambil terus meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja. Aku sehat secara fisik dan mental.

Siksaan itu kadang berlangsung lama, kadang singkat. Kadang hilang setelah aku berjemur, kadang masih nemplok walau aku sudah berjemur. Kadang hilang setelah aku 'bergerak', kadang masih ada walau aku sudah 'bergerak'. Kadang hilang pada pukul sembilan pagi. Kadang hilang pada pukul dua belas siang. Dalam seminggu bisa muncul tiga kali, bahkan lebih.

Lalu aku berpikir; ada yang salah dengan mentalku. Mungkin, karena dulu sensasi selalu muncul di pagi hari, mentalku bisa jadi masih merekam trauma itu. Karena secara fisik aku telah melakukan hal yang benar mulai dari bangun tidur. Sedang sensasi itu seringnya muncul setelah aku mandi pagi dan bersiap berangkat kerja.

Kadang aku sampai ngomel ke diriku sendiri. Kamu ini mau aku nggak kerja? Bla bla bla!
Karenanya mulai memasukan sugesti baru saat meditasi. Sugesti untuk menghilangkan pikiran 'pagi seperti monster bagiku'. Aku sedang dalam tahap melawan hal itu.

Pagi adalah hal yang menyenangkan.
Setiap hariku berjalan menyenangkan dan seperti apa yang aku inginkan.

Anehnya, kalau hari libur, sensasi 'pagi adalah monster' tidak berlaku. Lucu kan? Jadi anggap saja "EVERYDAY IS SUNDAY", kayak kata Joger.

Perjuangan masih belum berakhir! Semangat!!!


Minggu, 09 Oktober 2016.

Mencoba keluar, melawan ketakutan dan berhasil itu membuat ketagihan. Serius!

Minggu lalu aku berhasil mengalahkan ketakutanku. Keluar, nyetir motor sendiri, mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitar tempat tinggal. Itu menyenangkan! Dan aku ketagihan.
Minggu lalu, setelah touring, langsung menyusun rencana untuk perjalanan minggu berikutnya. Kami sepakat untuk mengunjungi Candi Kidal.

Jam berangkat dan rute pun mulai ditentukan. Jika minggu lalu hanya pergi berdua, minggu ini rencananya ada beberapa orang lagi yang mau ikut. Ah, senangnya! Kita touring kayak dulu lagi. Touring jarak pendek.

Manusia hanya bisa berencana. Tuhan-lah Yang Maha Menentukan. Hujan sejak Sabtu malam tak kunjung reda. Bahkan air PDAM mati. Itu bikin jengkel! Bisa bayangkan kura-kura hidup tanpa air? Nah, begitulah galaunya diriku saat air PDAM mati. (Bagian ini ngapain sih ditulis!)

Minggu pagi hujan masih mengguyur. Air PDAM pun masih belum ngalir. Alhasil di rumah nggak bisa masak. Nasi sisa kemarin tinggal sedikit. Ada pepaya nggak bisa ngupas, karena kalau dikupas nggak bisa nyuci buat bersihin getahnya.

Sampai pukul setengah delapan pagi, masih mendung. Jangan kau tanya bagaimana dinginnya. Super! Dalam kondisi seperti itu, Ibu membeli tempe menjes goreng. Masih panas. Tentu saja aku tergoda. Makanlah sebiji tempe menjes goreng. Enak. Nambah lagi satu. Jadilah menjes goreng panas sebagai menu sarapan.

Pukul setengah sembilan pagi, matahari ngintip malu-malu. Lalu sinarnya mulai benderang beberapa menit kemudian. Rencana ngambang, nggak digagalin, juga nggak dilanjut.

Akhirnya Ibu meminta Bapak mengantarku ke Candi Kidal saja. Mumpung masih pagi dan ada matahari, begitu kata Ibu. Jadilah kami pergi bertiga saja--aku, Rara, dan Bapak.

Karena nggak jadi joki yang nyetir motor sendiri, aku pun memilih mengenakan hoodie saja (tanpa kaos di dalemnya, atau jaket di luarnya). Dipadukan dengan celana panjang. Kaos kaki dan masker nggak ketinggalan. Di dalam tas, peralatan tempur masih setia menemani: air mineral, minyak kayu putih, safe care, counter pain, tas obat.

Berangkat! Aku pikir cukuplah persiapanku. Toh tujuannya hanya ke candi. Di candi pasti panas. Dan lagi, aku dibonceng, nggak membonceng. Itu cukup!

Keuntungan dibonceng adalah bisa senyam-senyun sendiri menikmati pemandangan indah di kanan-kiri jalan. Dan bisa fokus ke kamera kalau-kalau ada obyek yang menarik saat dalam perjalanan. Kawanan trail rider, misalnya. Hahaha. Masih aja itu! Heuheuheu...
Sampai di area candi, tepat sekali! Panas! Aku bersyukur menggunakan hoodie yang tak begitu tebal dan ada kupluknya. Jadi selama berkeliling area candi aku bisa memakai kupluk untuk melindungi kepala dari panas.

Selesai dengan Candi Kidal, aku pikir Bapak akan langsung mengajakku pulang. I'm wrong. Karena masih pagi dan masih panas, Bapak mengajak kami lanjut menuju kolam pemandian Jenon. Itu karena di perjalanan tadi aku nanya Jenon itu di mana. Akhirnya sama Bapak diajakin ke sana juga. Yawes. Aku manut jokine wae.

Pemandangannya indah. Blusukan gatau di desa apa. Ada bukitnya pula. Gunung apa gitu namanya. Cantik sekali. Makin bening ini mata karena lihat yang indah-indah. Hehehe.
Nyampek lokasi Jenon ternyata udah di bangun. Masuknya bayar. Aku? Nggak masuk. Bukan masalah bayarnya sih. Cuman kalau masuk trus di dalem nggak nyemplung kolam kan rugi. Mau ngapain di dalem sana? Foto-foto doang? Mau nyebur ke kolam juga nggak bawa baju ganti. 
 Akhirnya kami nggak masuk. Kata Bapak, "Kamu cukup tahu jalannya aja. Jadi kapan-kapan kalau mau maen sama temen-temenmu nggak bingung nyari-nyari lokasinya di mana."
Thanks, Dad.

Dari Jenon, blusukan lagi. Entah di mana. Jalannya makadam. Kanan-kiri hutan. Ada hutan bambu juga. Kebun kopi. Uh, indah banget. Coba kebun kopinya pas tanaman kopinya lagi berbunga, pasti baunya harum banget.

Tahu-tahu dibelokin ke Sumber Agung. Tempatnya teduh (cenderung singup). Sayang banget. Andai dikelola dengan baik, bisa jadi tempat wisata yang bagus itu. Sebentar saja kami di sana. Dan karena ada orang memotong pohon bambu, Bapak nggak kasih izin kami buat turun ke area kolam di Sumber Agung.

Aku pikir perjalanan selanjutnya adalah pulang. Ternyata aku salah lagi.
"Kita lanjut ke Gubugklakah ya? Katanya kamu mau survey lokasi buat tanggal tiga puluh. Aku kasih liat rute yang seru!" kata Bapak penuh semangat.

Aku bengong. Lanjut ke Gubugklakah? Naik? Dan aku hanya pakai hoodie tipis ini? Karena Rara setuju, lagi-lagi aku manut wae.

Merapatkan kupluk hoodie dan masker. Makin naik angin makin kenceng dan makin dingin. Nyampek di jalan menurun gerimis. Rara minta putar balik, tapi aku minta lanjut. Nekat? Biarin! Udah nyampek separo perjalanan juga. Kalau hujan ya ngiyub! Berteduh. Karena, kami nggak bawa mantel.

Akhirnya lanjut. Melewati jalan sempit berkelok-kelok di tengah-tengah hutan bambu. Makin dingin dan gerimis masih setia menemani.

Walau kedinginan, pemandangan alam yang benar-benar indah mengalihkan perhatianku. Rasa khawatir kena sindrom enter wind (masuk angin) langsung hilang.
Setelah menunjukan rute yang bisa menjadi alternatif untuk perjalanan tanggal 30 Oktober nanti, kami pun pulang.

Baru saja masuk rumah, hujan kembali mengguyur. Alhamdulillah. Hal lain yang membuatku senang adalah air PDAM sudah kembali mengalir. Hurray!!!

Harus mempersiapkan fisik dan mental untuk touring tanggal 30 Oktober 2016. Rutenya cukup menguji nyali. Pasti bisa!!!


Senin, 10 Oktober 2016.

Musim hujan telah tiba. Ayo, ayo persiapkan diri. Siapkan alat tempur! Semangat! Semangat!
Walau pagi ini amat sangat dingin sekali pakek banget, alhamdulillah Senin pagiku angel banget. Walau hujan mengguyur dan sempat menggigil kedinginan di toko, semua berjalan dengan baik. Alhamdulillah.

Barusan mempersiapkan makan siang. Lalu Wan Bos datang bergabung dan menceritakan salah seorang tetangga yang meninggal tadi pagi. Menurut Wan Bos, Pak A meninggal usai makan. Pak A tersedak lalu tak sadarkan diri dan meninggal.

Efeknya: aku makan siang dengan rasa tak nyaman. Jantung berdetub kencang nggak karuan. Jadi sambil makan diselingi minum air putih dikit-dikit.

Setelah makan masih berdetub kencang jantungku. Plus sendawa-sendawa. Aku nikmati saja. Mungkin karena dingin jadi terlalu banyak angin di dalam perut. Alhamdulillah sekarang udah normal lagi.

Ya ampun... selemah itu kah mentalku? Mungkin Wan Bos lupa jika aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Udah tahu aku makan dengan canggung, masih aja lanjut ceritanya. Tuhan...

Orang memang tak akan pernah bisa atau mungkin sulit memahami orang sepertiku. Jadi, berusaha memahami mereka saja dan berdamai dengan diri sendiri jika sensasi muncul.

Setiap hari adalah perjuangan. Semangat!!!

Tempurung kura-kura, 10 Oktober 2016, 12.15 PM.
.shytUrtle.

Search This Blog

Total Pageviews