Khayalan shytUrtle

AWAKE "Rigel Story" - Bab XXIV

04:44

AWAKE - Rigel Story

 


 



Bab XXIV

 

 


Sepanjang perjalanan pulang Rue memikirkan kejadian di sekolah. Kesurupan massal, munculnya Malaikat Maut di tengah kesurupan massal, rapat dadakan dan kesepakatan yang dicapai. Ia bertanya-tanya, apakah pembina ekstrakurikuler Metafisik juga melihat keberadaan Malaikat Maut. Sebenarnya ia ingin bertanya langsung, namun urung. Menurutnya situasi sedang tidak pas.
Hongjoon menyambut Rue seperti tempo hari ketika gadis itu pulang. Ia mengerutkan kening melihat wajah lesu Rue.
“Ada masalah di sekolah?” Tanya Hongjoon.
Rue menjatuhkan tubuh lelahnya di sofa. Ia memejamkan mata dan memijat keningnya.
Walau penasaran, Hongjoon tak bertanya lagi. Ia berdiri tak jauh dari Rue dan menunggu.
Rue membuka mata, mendesah, lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menuju kamar mandi.
Hongjoon yang memperhatikannya mengerucutkan bibir. “Apa dia sudah kehilangan kemampuan untuk melihat dan mendengarkan aku?” Gerutunya.

Rue keluar dari kamar mandi. Kepalanya terbungkus handuk. Hongjoon yang duduk di ruang tamu memperhatikannya. Ekspresi Rue terlihat lebih santai. “Hari ini terjadi kesurupan massal di sekolah.” Ujar Rue sembari mengeringkan rambutnya yang basah.
“Ap-apa?? Kesurupan massal??”
“Iya. Di kelasmu. 23 siswi kesurupan. Merepotkan sekali.”
“Esya bagaimana?”
“Dia baik.”
“Yano? Axton?”
“Semua baik.”
“Syukurlah.” Hongjoon lega. “Sebelumnya pernah kejadian kayak gitu?”
“Ini yang pertama.”
“Kenapa bisa gitu ya?”
“Pasukan setan. Ingat tidak? Itu ulah mereka. Itu kenapa aku melarangmu ke sekolah. Bahaya.”
Hongjoon diam. Membayangkan situasi di sekolah yang sedang genting.
“Kami akan melakukan ritual pembersihan.”
“Kami?? Rigel??”
“Semua yang punya kemampuan diminta bergabung. Pembina ekstrakurikuler Metafisik yang akan memimpin ritual.”
Hongjoon menatap Rue dalam diam. Ia merasa khawatir. “Kapan itu? Boleh aku pergi bersama Noona?”
“Kamis malam. Nggak boleh. Aku nggak akan bisa lindungin kamu.”
“Selama ini Noona selalu menjagaku!”
Rue terkejut mendengar pengakuan Hongjoon. Ia menatap Hongjoon dalam diam.
“Anu, maksudku saat jurit malam itu.”
“Ini berbeda. Kau tetap di sini saja. Tunggu aku kembali. Jangan menyusulku ke sekolah. Paham?”
Hongjoon diam.
“Kalau kau sampai nekat pergi, maka aku akan menganggapmu tidak ada. Selamanya!”
“Kejam sekali. Selamanya itu kan lama sekali.”
Rue mengabaikan protes Hongjoon. Ia berjalan menuju kamar tidurnya. Hongjoon mengerucutkan bibir karena kesal.
“Hongjoon.” Rue kembali membuka pintu.
Hongjoon mengangkat kepala dan menatap Rue.
“Selama kau di sini, apa kau pernah melihat sosok pemuda dengan kostum serba hitam?”
“Itu ya? Beberapa kali muncul. Aku melihatnya seperti sedang menunggu Noona saat Noona hendak berangkat ke sekolah. Dia siapa?”
“Jadi, kau juga melihatnya. Dia tidak mengajakmu bicara?”
Hongjoon menggelengkan kepala.
Rue diam sejenak, lalu kembali menutup pintu kamarnya.
“Aneh sekali dia hari ini.” Hongjoon menelengkan kepala.
***


Sehari pasca kesurupan massal muncul gosip di antara murid. Gosip tentang penyebab kesurupan massal itu adalah Rue. Bahkan, ada pula hasutan dan provokasi agar tak memilih Rue sebagai ketua Dewan Senior yang baru.
Rue tak terlalu ambil pusing. Tapi, Dio dan Byungjae yang tersulut mendengar gosipan-gosipan itu. Hanjoo dan Nath terus menenangkan keduanya.
“Kamu lupa apa kata Goong? Kalau kamu nggak jadi ketua yang baru, akan gawat kan?!” Byungjae terus membujuk Rue untuk melakukan serangan balik.
Byungjae dan Dio yakin jika pelakunya adalah Pearl. Memanfaatkan kejadian luar biasa di sekolah yaitu kesurupan massal untuk menyerang Rue.
“Ritual akan dilakukan besok malam, dan statusku saat ini masih ketua Dewan Senior. Percayalah! Gosipan dan hasutan itu tidak akan bekerja pada kita.” Rue meyakinkan Byungjae.
“Iya ya. Ritualnya besok.” Byungjae memiringkan kepala.
“Sekarang fokus saja pada ritual besok. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang antara kami dan pasukan setan itu. Seperti yang dibahas kemarin, untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi, kita harus mengalahkan mereka dan mengintrogasi mereka.”
Mendengarnya, Nath, Dio, Byungjae, dan Hanjoo merasa ngeri. Jika melihat kekhawatiran Rue belakangan ini, keempatnya yakin yang disebut sebagai pasukan setan pastilah berjumlah luar biasa.
“Katanya para alumni yang mendengar tentang ini akan turut membantu. Semoga saja besok berjalan dengan lancar.” Nath mengucap harapan yang segera diamini Dio, Byungjae, Hanjoo, dan Rue.
Kelimanya yang sedang duduk berkumpul di depan UKS melihat Pearl, Ruby, dan Linde yang baru kembali dari kantin. Pearl sudah tak lesu lagi. Bahkan ia tertawa-tawa seolah sedang sangat bahagia ketika lewat di jalan yang berada di depan ruang UKS.
“Sungguh aku pengen jambakin dia lagi.” Dio geram.
“Byungjae.” Panggil Rue.
“Iya?” Byungjae menaruh perhatian pada Rue.
“Tolong unggah video di Gedung Kematian. Setelah selesai, bagi link-nya di grup chat Rigel. Lalu, tolong kerjasamanya untuk membagikan link. Tapi, esok saja kita serempak membagikan link nya.”
“Wah... wah... serangan balik ya?” Dio tersenyum puas.
“Walau kita tidak menyebutkan Pearl, aku yakin Orion yang bersekolah di sini bisa menebak pelakunya adalah Pearl. Jangan-jangan kalian sudah merencanakannya.” Nath menyipitkan mata ketika menatap Dio, lalu Rue.
Dio dan Rue kompak tersenyum.
***


Malam ini Rue akan pergi ke sekolah untuk ritual. Gadis itu mengatakan mungkin ia akan menginap. Hongjoon merasa khawatir. Ia ingin Rue tak pergi saja. Tapi, ia tahu gadis itu tidak akan mendengar usulnya untuk tetap tinggal. Tanggung jawabnya sebagai ketua Dewan Senior mengharuskannya untuk tetap pergi.

“Kenapa ritualnya harus Kamis malam sih? Ah ya! Mereka bilang itu malam yang sakral. Apa aku bisa pergi? Tidak! Tidak! Aku nggak mau Kak Rue menganggapku tidak ada selamanya. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan seperti ini. Dia satu-satunya yang aku punya sekarang. Aku nggak mau kehilangan dia.” Hongjoon berjalan mondar-mandir di teras rooftop.
“Aku sudah bilang jangan pergi. Tapi, dia nggak bisa tinggal. Apa Esya, Yano, dan Axton juga datang? Ah! Nggak mungkin! Itu kan ritual diam-diam. Tidak semua murid diberi tahu.”
“Terima kasih sudah memintanya tetap tinggal.”
“Astaga!” Hongjoon kaget ketika tiba-tiba mendengar suara. Suara seorang pemuda. Ia pun membalikkan badan dan menemukan sosok pemuda dengan kostum serba hitam. Dia... dia kan yang ditanyakan Noona kemarin. Ia membatin sambil mengamati pemuda itu dari atas ke bawah.
Pemuda yang biasa disebut Rue dengan panggilan Malaikat Maut itu tersenyum. “Kau jangan khawatir. Rue adalah gadis yang hebat.”
“Iiiyaaa aku tahu itu. Tapi, kau siapa? Apa sama sepertiku?”
“Rue sering menyebutku Malaikat Maut atau Dewa Kematian.”
“Apa?” Pekik Hongjoon. “Lal-llu untuk apa kau datang ke sini?” Hongjoon terdiam sejenak, lalu mendelik. “Kau datang untuk menjemputku?”
Malaikat Maut tersenyum. “Nggak. Aku datang untuk menemani Rue.”
Kedua mata sipit Hongjoon semakin membelalak. “Noon-noona?? Kau datang untuk menemaninya?”
“Air doa ini berat!” Gerutu Byungjae yang keluar dari dalam rooftop.
Hongjoon dan Malaikat Maut kompak menatap pada Byungjae.
“Angkat sampai bawah aja. Om Toni bakalan ikut kita. Ayo!” Dio menepuk pundak Byungjae.
“Bantuin napa!”
“Kamu kan cowok. Masa nggak kuat!”
“Ayo.” Hanjoo menghampiri Byungjae. Lalu, bersama-sama membawa satu tas plastik berisi beberapa botol air doa yang disiapkan Rue.
Hongjoon dan Malaikat Maut memperhatikan aktivitas ketiga teman Rue.
“Turuti apa yang Rue katakan. Tetaplah di sini.” Malaikat Maut kembali berbicara.
“Tapi, apa maksudmu kau akan pergi mendampinginya, anu menemai Rue?”
Rue keluar lalu mengunci pintu. Menyita perhatian Hongjoon dan Malaikat Maut. Hongjoon bergegas mendekati Rue.
Noona, jangan pergi!” Hongjoon meminta Rue untuk tinggal.
“Nggak bisa. Aku haru pergi. Ritual ini, aku nggak bisa lakuin dari jarak jauh.” Rue melirik Malaikat Maut, sambil terus berjalan menuju tangga.
“Tapi, Noona. Itu cukup berbahaya.” Hongjoon mengejar Rue. “Noona! Ada yang ingin aku katakan padamu!”
“Tunggu sampai aku kembali. Kita akan membahasnya nanti!” Rue berlari kecil menuruni tangga.
Hongjoon pasrah melihat Rue pergi. Ia membalikkan badan, namun Malaikat Maut sudah menghilang.
***


Toni mengantar Rigel menuju SMA Horison. Hening setelah mobil melaju selama beberapa menit. Suasananya terasa canggung.

“Aku akan tinggal. Turut bergabung dalam ritual.” Toni memecah keheningan.
“Wah! Bunda Berta yang meminta Om menemani Rue?” Dio yang duduk di samping kiri Toni memberi respon.
“Keinginanku sendiri. Tapi, Berta mendukung. Ia pun akan membantu. Jadi, Rue jangan ragu. Walau yang memimpin ritual bukan kamu, tapi mereka menganggap kamu lah pemimpinnya. Kau harus yakin dan percaya diri dalam membawa pasukanmu ke medan perang.”
“Kita beneran perang?” Tanya Byungjae.
“Kalau pelajaran sejarah kamu nyimak nggak sih? Emangnya ada penjajah yang mau pergi secara suka rela saat diusir sama rakyat dari negeri yang mau mereka jajah?” Dio yang merespon pertanyaan Byungjae.
“Iya juga sih. Hehehe.” Byungjae meringis.
“Kalian bantu doa aja. Itu kekuatan yang luar biasa.” Toni mengingatkan tugas Dio, Byungjae, dan Hanjoo.

Mobil Toni sampai di SMA Horison. Ia membawa mobil masuk ke area sekolah dan memarkirkannya di area parkir yang biasa digunakan guru. Rombongan Rue—termasuk Toni—langsung menuju ruang UKS. Di sekolah lumayan ramai. Walau didominasi anggota ekstrakurikuler PMR dan Metafisik, ada beberapa anggota eksul yang sengaja datang dan menginap di sekolah demi menonton jalannya ritual.
Beberapa anggota Dewan Senior dan MPK juga hadir. Nicky dan Kevin ada di antara anggota Dewan Senior dan MPK yang hadir. Alumni yang hadir pun bukan dari ekstrakurikuler Metafisik saja, beberapa alumni PMR juga hadir.
Bekerja sama, anggota ekstrakurikuler PMR dan Metafisik mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk ritual. Anggota Dewan Senior dan MPK yang hadir turut membantu. Karena mendapat izin untuk merekam jalannya ritual, Rigel pun mulai mempersiapkan kamera mereka.
Setelah semua persiapan selesai, orang-orang yang akan terlibat dalam ritual berkumpul di tengah lokasi ritual yang digelar di tanah lapang di taman belakang sekolah. Dio, Byungjae, dan Hanjoo siap dengan kamera masing-masing. Menyebar di pinggir area ritual. Toni ada bersama Byungjae.
Rue terus memanjatkan doa. Ia merasa lebih gugup dari sebelumnya. Walau ia bukan satu-satunya gadis yang akan turut andil dalam ritual pengusiran, ia merasakan gugup yang lebih dari saat ia beraksi bersama Rigel.
“Rue.” Nicky menghampiri Rue. “Tolong hati-hati.”
Rue tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia kembali melihat Malaikat Maut tak jauh di belakang Nicky. Rue menarik napas dan menghembuskannya. Ia pun berjalan masuk ke dalam area ritual.
***


Pembina ekstrakurikuler yang memimpin jalannya ritual membagi tugas. Ada yang bertugas membuat pagar gaib untuk melindungi siapa saja yang berada di taman belakang sekolah. Semua yang ada di sekolah malam itu diminta mendekat ke lokasi agar lebih mudah untuk membuat pagar perlindungan.
Tim kedua bertugas membuat pagar gaib untuk melindungi orang-orang yang akan melaksanakan ritual. Orang-orang yang akan maju untuk melawan secara langsung pasukan setan yang sudah sejak lama bersiaga di taman belakang sekolah. Rue berada dalam tim inti, orang-orang yang akan maju melawan pasukan setan. Ia satu-satunya gadis yang berada di dalam tim inti yang berjumlah tujuh orang itu.
Ketika ritual dimulai, angin dingin yang cukup kencang tiba-tiba muncul. Tim pembuat pagar gaib tetap fokus untuk membuat benteng pertahanan. Sedang tim inti mulai siaga. Setelah angin dingin yang cukup kencang, tiba-tiba muncul kabut. Tujuh orang tim inti melihatnya dengan jelas. Termasuk Rue. Kabut tebal itu perlahan mulai pecah. Samar-samar terlihat pasukan setan yang pernah dilihat Rue. Pasukan yang berisi berbagai jenis buto dengan satu pimpinan seorang buto dengan wajah mengerikan.
Raja Buto yang memimpin pasukan setan bertubuh sangat besar dan memiliki wajah yang mengerikan. Wajahnya putih dengan dua mata lebar melotot berwarna merah. Hidung dan mulutnya besar dengan empat gigi taring besar yang mencuat keluar. Rambutnya berwarna coklat panjang dan acak-acakan. Tubuhnya kekar berwarna abu-abu.
Pemimpin ritual meyakinkan agar pasukannya tak merasa gentar. Karena, bagaimanapun manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna.
Walau yang kedua kalinya melihat pasukan buto, Rue masih dibuat terperangah. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mampu menghadapi mereka. Dalam hati ia terus memanjatkan doa. Meminta bantuan dan perlindungan Tuhan. Ia juga meminta restu pada ibunya, kakek, dan leluhurnya. Rue memantapkan hati. Ia pasti bisa melawan pasukan buto itu.
Angin dingin berhembus semakin kencang. Raja Buto mulai melancarkan serangan. Sadar ia dan pasukannya akan diusir, ia pun memulai serangan.
Tim yang melakukan ritual pembersihan kukuh. Ketika pasukan buto mulai maju dan menyerang, mereka pun bertahan dan melakukan perlawanan. Tim inti pun berpencar untuk membantu tim perlindungan melakukan pertahanan dan perlawanan.
Terdengar bunyi ledakan. Lingkaran api muncul mengitari Rue dan dua tim inti lainnya. Melihat Rue dan dua anggotanya dikepung lingkaran api, pemimpin ritual meminta anggota yang bebas dari tugas memadamkan api. Beruntung mereka telah menyiapkan beberapa tong berisi air di lokasi ritual. Tim pun bergerak cepat untuk memadamkan api.
“Rue diseret ke alam mereka!” Seru seorang pria yang turut terjebak dalam lingkaran api bersama Rue.
“Rue!” Mendengarnya, Nicky hendak mendekati lingkaran api. Kevin dengan sigap, menahannya dan memintanya tetap tenang.
“Kita harus percaya pada mereka. Tolong percayalah pada Rue.” Kevin menenangkan Nicky.
Nicky melihat pada Dio, Byungjae, Hanjoo. Tiga anggota Rigel itu tetap pada posisi mereka walau mendengar bahwa Rue diseret ke alam gaib. Sedang dari balik kobaran api, samar-samar ia melihat tubuh Rue yang duduk dengan kepala tertunduk. Sepertinya tak sadarkan diri. Nicky menguatkan dirinya. Ia hanya bisa berdoa agar Rue baik-baik saja.
“Buat pagar perlindungan untuk Rue!” Pemimpin ritual berseru. Memberi perintah tim untuk membuat perlindungan gaib untuk Rue.
***


Khayalan shytUrtle

AWAKE "Rigel Story" - Bab XXIII

04:00

AWAKE - Rigel Story

 


 



Bab XXIII

 


Rue duduk di atas permadani di ruang tamu. Punggungnya bersandar pada sofa. Di samping kanannya, Hongjoon pun berada dalam posisi yang sama. Sudah beberapa menit berlalu, tapi tidak ada percakapan di antara keduanya. Rue menoleh ke arah kanan, namun tak berniat memulai obrolan. Ia memilih menunggu.
“Rasanya sangat aneh setelah melihat ragaku, Nenek, Esya, Mama, dan Paman Darwin. Aku tidak tahu perasaan apa ini.” Hongjoon akhirnya bersuara.
Rue diam. Mendengarkan.
“Rasanya kosong, hampa. Ada sesal dan sedih. Kenapa?”
Rue masih menatap Hongjoon yang berbicara tanpa menatapnya.
“Kenapa aku harus berada di fase ini.” Hongjoon menundukkan kepala semakin dalam. Lalu, kembali terdiam.
Ada rasa iba di hati Rue. Namun, ia tidak bisa memberikan penghiburan apa pun untuk Hongjoon. Ia pun tetap diam, namun tak beranjak dari sisi Hongjoon.
***


Rue terkejut. Ketika ia sampai di tangga terbawah, sosok Malaikat Maut sudah menyambutnya. Ia mengerutkan kening, lalu lekas beranjak untuk berangkat ke sekolah.
Saat sampai di sekolah, Rue merasakan sesuatu hal yang tak biasa, hal aneh yang tak bisa ia pahami apa sebabnya. Ia membagi apa yang ia rasakan pada Hanjoo. Namun, ia tidak bisa menjelaskan atau memberi alasan spesifik tentang apa yang ia rasakan.
Hari Senin berjalan seperti biasa. Setelah upacara bendera, pelajaran pun dimulai. Semua berjalan lancar hingga jam pelajaran usai. Rue merasa lega. Walau rasa tak nyaman itu masih ada, setidaknya tak terjadi apa-apa di sekolah.
Keesokan harinya pun sama. Saat keluar dari rooftop, Rue menemukan Malaikat Kematian sudah berdiri di dekat tangga. Rue melewatinya dengan kepala tertunduk, lalu buru-buru menuruni tangga.
Di sekolah, rasa aneh yang kemarin ia rasakan kembali memeluk Rue. Namun, lagi-lagi ia belum paham rasa apakah itu. Ia berusaha menepis rasa tak nyaman itu dan berkosentrai mengikuti pelajaran.
Saat sedang fokus mengikuti pelajaran di dalam kelas, Rue mendengar suara ribut-ribut di luar. Bukan hanya dirinya yang merasa penasaran, namun seluruh murid di kelasnya. Guru terpaksa menghentikan aktivitas mengajar karena suara ribut-ribut dari luar. Beberapa murid bahkan bangkit dari duduknya demi melihat apa yang terjadi di luar kelas.
Seorang siswa datang ke kelas Rue. Menemui guru yang sedang mengajar. Siswa itu menyampaikan maksud kedatangannya. Lalu, guru memanggil Rue untuk maju.

Kesurupan massal di aula.

Mendengar kabar itu, Rue langsung minta izin meninggalkan kelas bersama siswa yang menjemputnya. Keduanya segera keluar dari kelas dan berjalan cepat menuju aula.
Kelas X-8 sedang melakukan kegiatan di aula. Guru Bahasa menggiring mereka ke aula untuk mempraktikan pertunjukkan dramatisasi puisi. Namun, tiba-tiba banyak siswi yang jatuh pingsan kemudian menjerit-jerit. 23 murid perempuan di kelas X-8 mengalami kesurupan massal.
Murid yang bisa menyembuhkan kesurupan dipanggil ke aula. Termasuk Rue. Ketika ia sampai, terlihat kacau di dalam aula. Murid-murid yang kesurupan berada di tengah-tengah aula. Murid yang berani membantu memegangi murid yang kesurupan. Tidak hanya murid kelas X-8 yang ada di sana. Beberapa anggota Dewan Senior dan MPK juga ada di dalam aula. Juga beberapa guru.
Dio, Hanjoo, dan Byungjae menghampiri Rue yang sedang mengamati murid-murid yang kesurupan. Ketika menemukan Yano sedang memegangi satu siswi yang kesurupan, Rue segera menghampirinya.
“Menjauh dari sini.” Rue menatap Yano dengan ekspresi khawatir.
Dio, Byungjae, dan Hanjoo menyusul Rue. Turut mengerubuti siswi kesurupan yang dipegang oleh Yano, Axton, dan Esya. Axton dan Esya yang ada bersama Yano turut menatap Rue dengan bingung.
“Kalian, tolong bawa Yano pergi.” Pinta Rue pada Axton dan Esya.
Tak membantah, Axton dan Esya pun menuruti perintah Rue. Hanjoo dan Dio segera mengambil alih tugas keduanya.
“Tapi, kenapa?” Tanya Yano.
“Kamu udah pernah kesurupan. Itu sedikit berbahaya.” Byungjae turut menggiring Yano. “Itu juga alasan kenapa aku nggak mendekat. Padahal selama ini aku hanya hampir kesurupan. Rue nggak mau kita celaka. Itu aja.”
Mendengar penjelasan Byungjae, Yano pun akhirnya menurut. Ia pergi agak menjauh bersama Byungjae, Esya, dan Axton.
Rue menyembuhkan siswi yang kesurupan. Setelah siswi itu sadar, anggota PMR yang berjaga segera memberinya air doa yang sengaja di sediakan Rue di UKS. Rue, Dio, dan Hanjoo bangkit dan beralih pada siswi lainnya. Satu siswi lagi berhasil di sembuhkan dari kesurupan.

Murid-murid yang penasaran mulai berdatangan ke aula. Dengan sigap anggota Dewan Senior dan MPK yang berada di dalam aula menghadang murid-murid yang ingin masuk ke dalam aula. Beberapa guru dan staf sekolah yang berada di aula turut membantu. Karena kejadian luar biasa itu, aktivitas belajar mengajar dihentikan. Semua fokus ke aula, untuk membantu murid-murid yang kesurupan.
Walau ada beberapa siswi yang gampang disembuhkan, ada beberapa yang sulit. Bahkan, ada  yang sudah sembuh kesurupan lagi. Murid-murid yang bisa menyembuhkan pun mulai kuwalahan dan panik. Tak terkecuali Rue.
Pearl, Ruby, dan Linde tiba di aula. Mereka diizinkan masuk karena Ruby dan Linde adalah anggota Dewan Senior. Ketiganya hanya menonton. Tak membantu. Linde memberi tahu Pearl jika Yano ada bersama Byungjae. Namun, Pearl bersikap acuh.
“Rue, kalau kayak gini terus, persediaan air doa nggak bakalan cukup.” Nadia menghampiri Rue.
“Sisa berapa?” Tanya Rue.
“Di aku satu botol.”
“Ya udah. Nanti disadur aja dulu. Campur sama air yang belum didoai.”
“Oke.” Nadia pun pergi.
“Rue, kalau gini kita yang susah. Kenapa kayak nggak ada habisnya?” Siswa kelas XII yang juga anggota PMR yang bisa menyembuhkan siswa kesurupan menghampiri dan mengeluh pada Rue. “Bantuan juga belum datang. Kamu ada ide?”
Rue mengamati sekitar dengan cepat. Setelah menemukan anggota eskul metafisik yang ia cari, ia pun bergegas mendekati siswa itu.
Kebetulan siswa yang Rue cari ada bersama Nicky. Melihat Rue datang, Nicky pun tersenyum senang, namun Rue mengabaikannya. “Kak.” Rue langsung menyapa siswa yang ia cari. Nicky sedikit kecewa dibuatnya.
“Kita harus melakukan sesuatu.” Rue mengutarakan maksud kedatangannya.
“Aku juga sedang memikirkannya.” Siswa itu memiliki pemikiran yang sama.
“Lainnya menyembuhkan, lainnya lagi membuat pagar pelindung. Sampai bantuan datang. Bagaimana?” Rue memberi usul.
“Ide bagus. Jadi, bisa menghalau mereka yang berusaha merasuki siswi lain.”
Rue menganggukkan kepala. “Kita harus membatasi area ini. Dan, meminta semua untuk tetap siaga. Kakak tahu kan kalau jumlah mereka banyak sekali?”
Nicky bergidik mendengar pertanyaan Rue. Dengan mengusuk tengkuk, ia mengamati sekelilingnya.
“Iya. Banyak sekali. Karena itu kami meminta bantuan. Tadi coba di telepon nggak bisa. Karenanya, ada yang berangkat jemput pembina dan senior yang bisa dijangkau.” Siswa kelas XII itu membenarkan pertanyaan Rue. “Aku akan kumpulkan anggota yang mumpuni dan mari kita buat pagar pelindung.” Ia pun pergi meninggalkan Rue dan Nicky.
“Rue.” Nicky memanggil Rue ketika gadis itu akan pergi.
“Eh! Kak Nicky.” Rue baru menyadari keberadaan Nicky.
Nicky menatap wajah Rue yang dipenuhi peluh. Ia pun merasa kasihan. “Hati-hati ya.” Akhirnya hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutnya.
Rue tersenyum dan kemudian pergi.

Rue dan beberapa murid yang dipilih untuk membuat pagar pelindung siaga di sekeliling area murid kesurupan. Ada delapan murid yang bekerja sama membuat pagar gaib untuk menghalau makhluk-makhluk astral yang datang untuk memanfaatkan raga siswi-siswi yang kesurupan.
Guru menggiring murid yang menonton untuk kembali ke dalam kelas. Mereka di ajak untuk melakukan doa bersama. Bahkan, para guru sepakat untuk memulangkan murid lebih awal demi menghindari masalah yang lebih serius.
Pearl melipat tangan di dada. Menonton jalannya proses perlindungan dan penyembuhan. Ruby dan Linde masih setia di sisinya.
Karena Axton, Esya, dan Yano kembali ke kelas bersama murid kelas X-8 yang tak kesurupan sesuai perintah guru, Byungjae pun bergabung dengan anggota Dewan Senior dan MPK yang berada di dalam aula. Beberapa guru yang paham tentang kesurupan pun turut membantu murid.
Nicky ada bersama Byungjae. Berdiri tak jauh di belakang Rue. Keduanya sama-sama fokus pada Rue. Sedang Dio dan Hanjoo masih sibuk membantu murid-murid yang berusaha menyembuhkan murid yang kesurupan.
Rue menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri. Otot lehernya terasa tegang karena terus berkonsentrasi untuk membuat pagar pelindung. Keringat mengucur di seluruh tubuhnya hingga membuat seragamnya terasa lengket. Dari 23 siswi yang kesurupan, kini tersisa 13 orang saja.
Rue menghela napas dan berjongkok. Membuat pagar pelindung gaib lebih menguras energinya dibanding menyembuhkan siswi yang kesurupan. Ia tersenyum lega ketika bantuan datang. Pembina ekskul metafisik dan tiga orang alumni itu pun segera membantu. Mereka membenarkan tindakan membuat pagar itu dan meminta terus melakukannya hingga proses penyembuhan seluruhnya selesai.
Rue mengusap peluh di keningnya. Ketika ia sejenak mengalihkan pandangan, ia melihat sosok Malaikat Maut berdiri tak jauh dari Pearl. Saat itulah konsentrasinya buyar dan salah satu siswi yang kesurupan menyerangnya.
Siswi kesurupan yang berhasil lepas dari pegangan dua orang siswa itu mendorong tubuh Rue yang berjongkok hingga Rue jatuh terpelanting ke belakang. Nicky dan Byungjae segera menangkap tubuh Rue dan menahannya.
Siswi kesurupan hendak menyerang lagi, Goong tiba-tiba menghadang di depan Rue. Membuat siswi itu mundur, namun tetap siaga. Hanjoo dan dua siswa langsung menangkap siswi itu.
“Tetap pada kesadaranmu, Rue!” Goong mengingatkan. “Kau tidak boleh kalah! Kau pasti bisa!”
“Dia sama lemahnya seperti kalian yang ada di sini! Sebentar lagi kalian pasti kalah dan tunduk pada kami! Hahaha.” Siswi yang kesurupan itu sumbar.
Mendengarnya, Rue tak terima. Ia membenahi posisinya, dari terduduk kembali jongkok. Ia menggelung rambutnya yang dikuncir ekor kuda dan dikepang.
“Dia marah.” Bisik Byungjae sambil mengajak Nicky mundur.
Nicky tetap mengawasi Rue dari belakang. Ia tak paham pada apa yang dimaksud Byungjae.
“Kalau dia sudah menggelung rambutnya seperti itu, tandanya Rue marah. Ia pasti akan menghajar makhluk astral itu.” Byungjae melanjutakan.
Nicky yang masih memperhatikan Rue menelan ludah.
Rue menyeringai, lalu mendekati siswi yang kesurupan. Ia berlutut di depan siswi yang kesurupan, lalu menyatukan jari tengah dan jari telunjuknya. Ia mengarahkan kedua jarinya itu lurus pada titik pusar siswi kesurupan, lalu ia pun merapalkan mantra.
Siswi kesurupan menjerit-jerit. Ia meronta kesakitan. Namun, Rue tak memberinya belas kasihan. Ia terus menyerang dengan mantra. Untuk memberi pelajaran makhluk astral yang sombong itu.
***


Murid-murid SMA Horison di pulangkan lebih awal. Setelah melalui proses yang lumayan panjang, seluruh siswi yang kesurupan pun bisa disembuhkan.
Untuk melepas lelah, Rue memilih duduk tak jauh dari basecamp PMR. Berdiam di bawahnya rindangnya rerimbunan pohon bambu membuatnya merasa sejuk. Ia tak sendiri, ada Goong bersamanya. Goong menceritakan apa yang ia tahu sebelum kesurupan massal terjadi.
“Kami sudah berusaha menghalau. Tapi karena kekuatan mereka lebih banyak dan lebih besar, pada akhirnya kami tidak bisa berbuat apa-apa.” Goong menyesal tidak bisa membantu Rue lebih dari itu.
“Terima kasih. Goong-nim[1] sudah menyelamatkan aku.”
Goong yang lesu pun tersenyum. “Kami ingin mereka pergi, Rue. Kami tidak mau dijajah. Kamu liat sendiri kan? Bagaimana brutalnya mereka. Jika dibiarkan, mereka bisa melakukan lebih dari itu Rue.”
“Rue!” Hanjoo muncul dan berjalan menuju Rue. Goong diam.
“Kita diundang dalam rapat dadakan untuk membahas kejadian hari ini.” Hanjoo saat sampai di dekat Rue.
Goong bangkit dari duduknya. “Aku ikut!” Ia antusias.
Rue menatap Goong dengan heran.
“Aku ingin tahu apa yang akan kalian bahas. Ayo pergi!” Goong melayang, mendahului Rue dan Hanjoo.
Rue menghela napas dan bangkit dari duduknya.
“Kenapa?” Tanya Hanjoo.
“Aku lelah sekali.”
“Aku aja yang cuman bantu pegang lelah, apalagi kamu.”
Keduanya pun berjalan menuju kantor Dewan Senior. Menurut Hanjoo, rapat akan digelar di sana.

Walau menggunakan kantor Dewan Senior, tak semua anggota Dewan Senior dan MPK yang diundang dalam rapat. Kevin dan Nicky yang dipercaya memilih siapa saja anggota yang di ajak rapat. Selain beberapa anggota Dewan Senior dan MPK, ada perwakilan guru, pembina eksul PMR dan Metafisik, dan beberapa anggota ekskul Metafisik. Sekitar 20 orang yang menghadiri rapat dadakan dan tertutup itu.
Bukan Kevin atau Nicky yang memimpin rapat, tapi ketua dari ekstrakurikuler Metafisik. Siswa yang saat di aula ditemui Rue untuk bekerja sama membuat pagar gaib itu langsung membuka rapat dan menjelaskan tujuan diadakannya rapat itu.
Rapat siang itu membahas tentang kejadian luar biasa yang tiba-tiba saja menyerang SMA Horison. Sepanjang sejarah tidak pernah ada kesurupan massal. Fenomena itu baru pertama kali terjadi.
Siswa kelas XII yang memimpin rapat juga menjelaskan hasil pengamatan pembina ekstrakurikuler Metafisik. Menurutnya, kesurupan massal itu terjadi karena serangan mendadak dari makhluk astral yang jumlahnya sangat banyak. Bahkan, si pembina sempat berbicara sendiri. Menyampaikan apa yang dia lihat.
“Apa Rue sama sekali tidak bisa merasakannya?” Tanya Pembina Ekskul Metafisik pada Rue setelah ia berbicara panjang lebar di depan forum. “Padahal kita sempat membahasnya saat salah satu anggotaku kesurupan kala itu ya.”
Rue diam. Ia mengamati sekeliling dengan cepat. Selain melihat Goong yang turut dalam rapat, ia juga menemukan Malaikat Kematian. Ia menelan ludah. Masih merasa ragu untuk mengungkapkan apa yang ia lihat.
“Sebenarnya Rue sempat melihat pasukan setan.” Dio tiba-tiba angkat bicara. Walau ia telah dicoret dari daftar anggota Dewan Senior, Kevin tetap mengundangnya untuk rapat. Dio hadir sebagai anggota PMR.
Suasana menjadi sedikit ribut.
“Waktu itu,” Dio kembali bicara demi mendapat perhatian anggota rapat, “saat ada murid bernama Yano kesurupan. Rue pergi mengejar makhluk astral yang menggunakan raga Yano. Hanjoo mengikutinya. Lalu, Rue melihatnya. Pasukan setan itu. Di taman belakang sekolah.”
Pembina ekstrakurikuler Metafisik menghela napas usai mendengar penjelasan Dio. Anggota rapat kembali berkasak-kusuk.
“Rue berpikir mungkin saja itu migrasi besar-besaran. Tapi, secara pribadi saya beranggapan bahwa pasukan itu sengaja dikirim ke SMA Horison untuk menebar teror.” Dio menambahkan hasil penilaiannya.
“Murid-murid yang kesurupan juga selalu mengutarakan ancaman dan peringatan. Apa pun itu, entah migrasi besar-besaran atau sengaja dikirim, saya secara pribadi sangat setuju jika teror ini segera dihentikan.
“Sekolah kita sedang masuk nominasi untuk mendapatkan penghargaan sekolah terbaik. Walau image sekolah memang terkenal angker, tapi kejadian hari ini cukup mencoreng citra sekolah. Jika dibiarkan berlarut-larut, saya khawatir nantinya akan timbul kejadian yang lebih serius.” Kevin mengutarakan pendapatnya.
“Pihak sekolah tentu mengharapkan yang terbaik. Apa pun itu, asalkan bisa membuat sekolah kembali stabil, kami akan setuju.” Salah satu perwakilan guru turut menyampaikan pendapat.
“Baiklah. Kalau begitu kita akan bergerak. Secepatnya!” Pembina esktrakurikuler Metafisik mengambil kesimpulan yang disetujui sebagai kesepakatan bersama.
Rue sama sekali tak berkomentar. Ia menatap Goong yang turut antusias. Lalu, beralih pada Malaikat Maut. Tatapannya bertemu pandang dengan tatapan Malaikat Maut. Untuk pertama kalinya Rue tak segera menghindari kontak mata itu.
***



[1] Tuan
 


Search This Blog

Total Pageviews