Khayalan shytUrtle

AWAKE "Rigel Story" - Bab XX

04:23

AWAKE - Rigel Story

 


 


Bab XX

 

Nath mengantar Rigel pulang. Ia pun turut tinggal sejenak di markas Rigel. Rue menyibukan diri dengan memasak untuk keempat temannya. Dio duduk di atas sofa. Turut menonton video rekaman di Gedung Mati yang sedang ditonton Nath dan Byungjae. Sedang Hanjoo sibuk dengan buku sketsanya.

“Itu mengerikan sekali. Momen Byungjae diseret makhluk astral. Kamera bergoyang hebat. Pantas Dio marah besar pada Pearl. Aku juga pantas dimarahi.” Kedua mata Nath berkaca-kaca usai menonton video rekaman Rigel di Gedung Mati.
“Makanya! Jangan mudah percaya pada Pearl!” Dio ketus.
“Ini jadi pelajaran buatku. Aku benar-benar minta maaf.”
“Udah berlalu. Kami juga selamat. Jenna nggak boleh terus-terusan merasa bersalah, oke? Itu membuat kami nggak nyaman.” Byungjae menenangkan Nath.
Nath tersenyum dan mengangguk.
“Rue! Ponselmu terus bergetar!” Dio berseru. Karena ponsel Rue diletakan di nakas dekat dengan sofa tempat ia duduk.
“Biarin aja!” Rue berteriak dari dapur.
“Dio beneran nggak papa dikeluarin dari Dewan Senior?” Nath penasaran.
“Aku keliatan nggak baik ya?” Dio balik bertanya.
“Nggak sih. Heran aja liat Dio bisa nyantai banget gitu.”
Dio tersenyum lebar. “Aku udah tau resikonya. Itu kenapa tetep aku lakuin di ruang publik. Karena alibiku kuat. Aku juga sengaja bongkar kebusukan Pearl di depan forum. Tujuannya emang biar dia gagal jadi calon ketua Dewan Senior.”
“Wah! Dio berpolitik.” Byungjae kagum.
“Harus dong! Walau Pearl punya bad attitude, dia tetap punya pendukung. Dia pasti akan memanfaatkan kesempatan apa aja untuk menjatuhkan Rue. Kalau begini, bener nggak akan bikin dia berhenti, tapi seenggaknya dia nggak jadi calon ketua lagi.
“Jujur nih ya. Dari awal aku udah curiga teror di sekolah itu ada hubungannya sama Pearl. Nggak tahu kenapa feeling-ku lebih condong ke dia daripada ke nominasi sekolah. Terlebih waktu Nath cerita soal pertemuannya dengan Pearl yang nggak sengaja itu. Trus, kejadian ini. Bisa jadi teror itu ulah dia juga.”
“Masa dia bisa datengin pasukan setan?” Byungjae tak percaya.
“Pasukan setan?” Nath kaget.
“Bisalah. Pearl punya duit. Tinggal ke dukun, beres urusan. Karena dia tahu kalau melawan Rue secara terang-terangan dia nggak mampu.” Dio dengan yakin.
“Ada ya manusia kayak gitu?” Byungjae masih terheran-heran.
“Tapi masa iya Pearl segitunya ke Rue? Alasannya apa?” Nath pun sama. Merasa heran. Jika dugaan Dio benar, baginya tindakan Pearl sangat keterlaluan.
“Itu dugaanku aja. We never know until we found the truth, right?”
“Nyari buktinya gimana?” Tanya Byungjae.
“Tanya Rue. Dia yang tahu.”
Rue tiba di ruang tamu dengan membawa masakannya. Ia memasak mie goreng untuk dimakan bersama-sama.
“Wah. Sedapnya.” Byungjae menghirup masakan yang dibawa Rue. “Aku siapin alat makannya.” Ia pun bangkit dari duduknya dan menuju dapur. Di sana Rue telah menyiapkan peralatan makan. Byungjae pun langsung membawanya ke ruang tamu.
“Rue yang terbaik.” Byungjae kembali duduk. “Dio kalau nggak bisa duduk bawah, duduk di atas sofa aja nggak papa.”
“Nggak papa ya aku duduk atas. Maaf.” Dio merasa sungkan.
“Lagian kamu emang ratu kami hari ini. Hehehe.”
“Ratu apaan. Aku dah bongkar aib Rigel tau!”
“Ratu Arogan!” Byungjae tergelak.
“Dasar!” Dio memukul pundak Byungjae.
“Hanjoo. Makan dulu.” Rue meminta Hanjoo menghentikan aktivitasnya.
“Bentar. Ntar lagi kelar.” Hanjoo masih fokus menggambar.
“Rue, apa yang dibilang Dio itu beneran?” Tanya Nath.
“Yang mana?”
“Pearl kirim pasukan setan buat neror sekolah lewat bantuan dukun.”
“Bisa dong.”
“Ya ampun. Dia itu kenapa sih? Sampai segitunya ke kamu? Salah kamu apa?”
“Orang yang sedang cemburu itu bisa jadi sangat mengerikan. Dia bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuh.” Hanjoo menyahut. Ia meletakkan buku sketsa dan pensilnya. Lalu, bergabung untuk makan.
“Cemburu? Ke Rue?”
“Cemburu itu maknanya luas, Jenna.” Byungjae bersuara di sela mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Iya juga sih.”
“Gimana masakan Rue?”
“Enak as always.”
Nath dan Byungjae kompak tersenyum.
Rue makan sambil memeriksa ponselnya. Nath meliriknya, lalu tersenyum. Ia teringat ketika Pearl menegurnya di food court. Teman masa kecilnya itu masih mengingat bagaimana Rue selalu menegurnya setiap kali ia makan sambil membaca buku. Ia masih belum bisa mempercayai jika Pearl bisa bertindak nekat pada Rue.
Kening Rue berkerut. Dio menyadarinya dan bertanya, “Kenapa?”
“Pesan dari Yano.”
“Kenapa lagi? Neneknya ngambek? Kemarin gimana?”
“Monoton. Tetep aja kayak gitu.”
“Itu Yano ngapain kirim pesan?”
“Hari ini Jin Hongjoon nggak masuk katanya.”
“Trus, ngapain dia ngomong itu ke kamu? Minta kamu terawangin Jin Hongjoon lagi di mana? Eh, itu anak yang nyasar waktu jurit malam, kan?”
“Iya. Katanya Esya juga nggak masuk.”
“Siapa lagi itu?”
“Saudaranya Hongjoon.”
“Trus ngapain Yano ngasih tahu kamu?”
“Nggak tahu juga.”
“Kamu bales apa?”
“Ntar aja.” Rue meletakkan ponselnya dan lanjut makan.

Rigel menikmati makan malam bersama di markas. Lalu, terdengar sebuah ketukan di pintu.

“Hola! Halo! Spada! Kak Rue? Di dalam?”
Dio menghela napas usai menelan makanan di dalam mulutnya. “Rio?”
Rue tersenyum dan mengangguk.
“Kenapa dia selalu dateng saat kamu masak sih? Aromanya kecium sampek bawah apa?”
Rue mengangkat kedua bahunya.
“Biar aku aja yang buka.” Hanjoo bangkit dari duduknya dan membuka pintu.
Pemuda bernama Rio yang tinggal di lantai dasar rumah Kakek Rue itu tersenyum lebar saat pintu terbuka. “Wah! Ada Kak Hanjoo.” Ia langsung menerobos masuk. “Wah. Lagi pesta. Pantesan aku pengen banget ke sini. Kali ini Kak Rue masak apa?”
“Mie goreng. Ambil piring kalau mau.” Jawab Hanjoo seraya berjalan melewati Rio dan kembali duduk.
“Ada yang nitip hadiah lagi?” Tanya Dio pada Rio yang membawa tas kertas.
“Iya. Namanya Jin Hongjoon. Katanya, dia murid yang hilang saat jurit malam.” Jawab Rio sembari duduk bergabung.
Rigel kompak menghentikan acara makan mereka. Baru saja mereka membahas Hongjoon, tiba-tiba Rio datang membawa hadiah dari Hongjoon. Dio, Rue, Nath, Byungjae, dan Hanjoo saling memandang dalam diam.
“Kapan dia nitipnya?” Tanya Dio pada Rio.
“Semalam. Dia anak orang kaya ya? Sebagai balasan nitip hadiah ini, dia ngasih aku sekotak coklat impor yang terkenal dan mahal itu.”
Dio, Rue, Nath, Byungjae, dan Hanjoo kembali saling memandang dalam diam.
***


Hongjoon kebingungan. Ketika ia membuka mata, ia sedang terbaring di padang rumput yang sejuk dan hijau. Ia bangkit dari tidurnya dan mengamati sekitar. Tidak ada apa-apa selain dirinya dan padang rumput hijau yang subur.

Hongjoon pun bangkit dan mulai berjalan. Ia tidak tahu arah. Hanya terus berjalan. Ia tersenyum ketika menemukan rombongan orang yang sedang berjalan ke satu arah. Hongjoon bergegas mendekati rombongan itu.

“Permisi. Kalau boleh tahu, kita ini di mana ya?” Hongjoon mencoba bertanya pada salah satu pria yang sedang berjalan mengikuti rombongan.
Hongjoon kaget. Pria itu berwajah pucat dan tatapannya kosong.
“Kenapa kau berdiri di sana! Cepat masuk ke dalam barisan!” Seorang pria dengan kostum serba hitam membentak Hongjoon. Lalu, menyeretnya masuk ke dalam barisan.
Walau bingung, Hongjoon tetap berjalan di dalam barisan. Mengikuti arus.

Hongjoon berjalan mengikuti arus. Barisan panjang itu sampai di sebuah tempat yang memiliki dua gerbang maha besar. Terbuat dari besi yang kokoh dengan ukiran-ukiran yang tidak bisa ia pahami. Di depan gerbang terdapat sebuah pos yang dijaga oleh dua orang pria yang juga mengenakan kostum serba hitam.

Merasa ada yang aneh, Hongjoon mengamati penampilannya. Ia mengenakan setelan putih yang baju bagian atasnya berkerah Shanghai. Ia bingung, karena ia pergi dengan tidak mengenakan kostum itu.
Hongjoon kembali mengamati sekitar. Orang-orang di sekitarnya berwajah pucat pasi dan tanpa ekspresi. Ia semakin dibuat bingung. Tak tahu di mana ia berada.

“Berikutnya!” Panggil salah satu petugas yang berjaga di bangunan di depan pintu besi raksasa.
Hongjoon maju.
“Nama.”
“Jin Hongjoon.”
“Tanggal lahir.”
“31 Oktober 2003.”
Petugas yang berhadapan dengan buku catatan maha tebal di hadapannya membolak-balik lembaran buku. “Tidak ada.”
“Tidak ada?” Petugas yang memanggil dan menanyai Hongjoon bingung.
“Iya. Tidak ada data itu dalam buku ini.”
Petugas yang memanggil Hongjoon mengamati Hongjoon dari atas ke bawah. Ia pun mengambil buku bersampul putih. “Jin Hongjoon, 31 Oktober 2003.” Ia mengucapkan kalimat itu di atas buku maha tebal bersampul putih.
Hongjoon terkejut ketika melihat buku itu terbuka sendiri. Lembaran demi lembarannya terbuka. Lalu, berhenti di satu halaman.
Petugas memeriksa halaman itu, lalu mendesah. “Kenapa kalian membawa jiwa orang yang masih hidup ke sini?” Ia menegur orang-orang berkostum hitam yang mengawasi barisan.
Hongjoon terkejut mendengarnya. Jiwa orang yang masih hidup?
“Kau tersesat, Nak. Belum waktunya bagimu untuk ada di barisan ini.” Petugas itu menjelaskan kepada Hongjoon. “Kembalikan dia ke dunia asalnya!”
“Tunggu. Tuan, tolong bisa jelaskan saya diman—” belum selesai Hongjoon bertanya, dua orang bertubuh besar dengan kostum serba hitam menangkapnya dan menyeretnya keluar barisan.
Hongjoon berusaha berontak, namun sia-sia. Dua orang itu menyeretnya mendekati sebuah lingkaran maha besar berwarna putih bersih. Bagian tengah lingkaran itu berputar-putar membentuk pusaran. Melihatnya, Hongjoon pun ketakutan.
“Tut-tunggu! Apa yang akan kalian lakukan? Hey!” Hongjoon masih berusaha berontak ketika dua orang pria bertubuh besar itu mengangkat tubuhnya. Ia menjerit ketika tubuhnya di lemparkan ke dalam pusaran.
Tubuh Hongjoon berputar-putar. Tubuhnya tersedot ke dalam pusaran. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali pasrah. Setelah cukup lama berputar-putar dalam pusaran, Hongjoon berhasil lolos. Namun, tubuhnya melayang di udara bebas. Ia terkejut menyadarinya.
“Aaa!!!” Jerit Hongjoon ketika tubuhnya bergerak bebas ke bawah. Meluncur dalam udara bebas.
“Auw!” Pekik Hongjoon ketika tubuhnya menimpa sesuatu dan mental, lalu terjatuh di atas sebuah permadani.
Hongjoon tidak merasakan sakit walau tubuhnya berputar-putar dalam pusaran dan kemudian terjatuh. Ia pun bangkit dari posisi tengkurap. Ia yang berlutut mengamati karpet biru nan lembut tempatnya terjatuh.
“Di mana lagi ini?” Gumamnya sambil mengamati sekitar. Kedua mata sipit Hongjoon melebar ketika ia menemukan seseorang tengah duduk menekuk kedua kaki di atas sofa.
Seorang anak perempuan yang menatapnya dengan ekspresi penasaran. Seorang anak perempuan yang ia kenal sebagai Ruta Way.
Hongjoon tertegun menatap Rue yang juga menatapnya. Ia bingung, tak tahu bagaimana ia bisa jatuh di depan Rue.
***


 


 

Khayalan shytUrtle

AWAKE "Rigel Story" - Bab XIX

05:14

AWAKE - Rigel Story

 


 

Bab XIX

 

 




Hanjoo mengantar Rue sampai ke rooftop. Ia bahkan mampir sejenak ke tempat tinggal Rue. Keduanya duduk berdampingan di sofa. Di meja tersaji dua mug coklat panas.
“Udah merasa baikan?” Tanya Hanjoo.
Rue mengangguk. “Kenapa kita begitu dekat seperti saudara, itu karena statusku diakui sebagai anak Bibi Rita.”
“Itu juga alasan kenapa kamu nggak bisa jatuh hati padaku?”
“Ngawur!”
Hanjoo tergelak, lalu menghela napas. “Fakta yang mengejutkan ya.”
“Pantas saja aku merasa ada getaran aneh ketika Om Toni tiba-tiba muncul dan menolong Byungjae. Ternyata dia bukan orang biasa.”
“Dan juga penjaga yang dikirim Bunda Berta untukmu. Aku penasaran seperti apa rupa Bunda Berta sekarang. Kita sudah pisah selama berapa tahun ya”
“Banyak tahun!”
“Tapi, Bunda Berta janji bakalan dateng di ulang tahunmu yang ke tujuh belas. Mari menunggu untuk pertemuan itu.”
Rue menghela napas dan mengangguk.
“Marahmu sudah reda? Pada Bunda Berta.”
“Sedikit.”
“Setiap ibu pasti tidak ingin anaknya celaka. Karenanya, seorang ibu pasti akan melakukan apa saja untuk melindungi anaknya.”
“Tapi, rasanya sakit.” Rue kembali menangis.
Hanjoo merengkuh Rue ke dalam pelukannya. Membiarkan gadis itu meluapkan air matanya.
***


Karena tahu Dio masih belum sepenuhnya pulih, Senin pagi Toni menjemput Dio. Lalu, menjemput Rue, Byungjae, dan Hanjoo. Kemudian mengantar mereka ke sekolah. Dio kaget melihat mata Rue bengkak. Ia yakin itu bekas tangisan. Tapi, Rue tak mau bercerita jujur. Hanjoo menyanggupi akan menceritakan semuanya nanti. Dio pun setuju untuk menunggu.

Bengkak di kaki Dio udah kempes. Tapi, masih terasa sakit untuk berjalan. Karenanya ia tak mengenakan sepatu. Ia pun sedikit pincang saat berjalan. Hal itu membuatnya menjadi pusat perhatian. Tak jarang dari mereka yang penasaran sengaja bertanya langsung  pada Dio. Gadis itu menjawab jika kakinya terkilir saat ia terjatuh. Jika ada yang mendesaknya untuk bercerita lebih lanjut, ia memilih meminta maaf karena tidak bisa menceritakan detailnya.

Sejak pagi Dio sudah mengincar Pearl, tapi ia belum berjodoh bertemu dengan teman masa kecil Rue itu. Ia sudah cukup lama menahan emosinya. Hari ini ia tidak bisa membendungnya lagi. Dengan kaki pincang, ia berkeliling ke tempat-tempat Pearl biasa berada. Namun, nihil.

“Jangan-jangan dia nggak masuk. Ck! Dasar pengecut!” Dio kesal. Lalu, sepasang mata cantiknya menangkap sosok Pearl yang sedang berada di belakang bangunan toilet kelas XI.
Karena lokasinya di tempat terbuka mudah saja bagi Dio mengenali Pearl. Gadis itu tak sendiri, masih dengan dua kroconya—Ruby dan Linde. Ada Nath bersama ketiganya. Dio yang berada di belakang gedung perpustakaan pun bergegas menuju tempat Pearl berada.

“Aku kan sudah minta maaf. Kenapa kamu masih mendesak aku kayak gini sih? Itu kan salahmu. Kenapa kamu pamit ke papamu kalau mau ikutan berburu Rigel?” Pearl menolak tuduhan Nath bahwa kesalahpahaman di Sabtu malam adalah ulahnya.
Nath merapatkan punggung pada tembok toilet. Menghindari sinar matahari yang cukup terik di jam istirahat. “Seenggaknya kamu kasih tahu aku kalau kamu nggak bisa dateng. Kenapa matiin ponsel juga?”
“Ini anak ngeyel ya. Kan udah aku bilang acaranya dadakan dan ponselku mati, kehabisan baterai.”
“Ya kan ada telepon rumah. Kamu bisa nelpon aku dari sana kan? Kasih tahu kalau batalin janjian kita.”
“Dibilang aku sibuk banget karena acara dadakan itu kok! Kenapa kamu ngeyel limpahin kesalahan ke aku sih?”
Nath menyadari kehadiran Dio. “Dio? Eh!!!” Nath terkejut karena Dio tiba-tiba menjambak dan menampar Pearl.
Ruby dan Linde yang kaget pun mencoba melerai. Tapi, Dio seperti kesetanan dan tidak bisa dikendalikan.
Dio masih menjambak rambut panjang Pearl. Walau gadis itu meronta kesakitan, Dio tak melepaskan tangan kanannya dari rambut Pearl.
“Dio. Udah.” Nath berusaha menenangkan Dio.
“Diem di situ aja kamu!” Bentak Dio. Membuat Nath urung maju untuk mendekatinya.
“Dio! Lepasin Pearl!” Ruby berteriak, namun tak berani mendekat. Saat ia berusaha melerai, tangan Dio tak sengaja menamparnya.
“Iya, Dio. Lepasin Pearl.” Linde pun sama. Menjaga jarak. Ia takut jadi korban seperti Ruby.
“Lepasin aku preman!” Pearl berontak. Ia menepuk dan mencakar tangan Dio yang menjambak rambutnya. Namun, Dio tetap kukuh.
“Pantes kamu jadi preman! Negara asalmu jadi negara kriminal nomer satu di dunia. Aaa, sakit! Dio! Lepasin!” Walau kesakitan, Pearl masih sempat memaki Dio.
Dio menarik Pearl lebih dekat padanya. “Benar. Venezuela emang negara nomer satu dengan tingkat kriminalitas paling tinggi dunia. Jika tahu fakta itu, harusnya kamu nggak cari gara-gara sama aku!”
“Aku nggak cari gara-gara sama kamu!”
“Karena ulahmu, Rigel hampir celaka tahu! Apa sih salah kami sampai kamu tega lakuin itu ke kami?”
“Itu salah Nath. Bukan salahku!”
“Ngeles aja ini anak!” Dio menjambak rambut Pearl makin keras.
“Aaa! Sakit!!”
Karena jam istirahat, apa yang dilakukan Dio pada Pearl segera menjadi pusat perhatian. Beberapa murid memperhatikan tak jauh dari lokasi, tapi tak satu pun dari mereka yang maju untuk melerai.
“Skenarionya kamu yang buat kan?!” Dio setengah berteriak. “Kamu nggak tahu betapa paniknya kami saat Byungjae hampir mati di Gedung Mati! Kamu nggak tahu kan!” Dio berteriak meluapkan emosinya.
“Dio. Udah Dio.” Nath berusaha menenangkan Dio.
“Kamu tahu? Sekarang aku benar-benar ingin kamu merasakan kayak apa yang kami rasakan saat berada di Gedung Mati.” Dio menjambak rambut Pearl semakin keras.
Pearl meronta. Nath maju dan berusaha melerai. Ruby dan Linde tetap menjaga jarak. Tak berani terlibat dalam perkelahian itu.
Byungjae dan Hanjoo berlari mendekat. Lalu, membantu Nath melerai Dio dan Pearl. Keduanya mendengar tentang Dio yang menyerang Pearl dari salah satu teman mereka yang sengaja datang mencari mereka.
Rue yang berada di perpustakaan bukannya tak mendengar ribut-ribut itu. Ia memilih diam dan tetap tinggal di perpustakaan karena merasa lelah meladeni Pearl. Ia pun pura-pura tuli dan tetap fokus pada buku yang ia baca.
***


Dio dan Pearl dibawa ke ruang Tata Tertib. Nath, Ruby, dan Linde turut berada di sana karena berstatus sebagai saksi. Guru yang tergabung dalam tim Tata Tertib Sekolah meminta  penjelasan Dio dan Pearl perihal perkelahian mereka. Byungjae dan Hanjoo menunggu di depan ruang Tata Tertib. Keduanya berharap masalah bisa diselesaikan tanpa melibatkan orang tua.

“Dio yang nyerang duluan, Pak. Dia jambak dan tampar saya.” Pearl ngotot.
“Iya, saya yang nyerang duluan, Pak. Tapi, Pearl juga balik menyerang saya. Ini buktinya. Tangan saya ada bekas cakaran dia.” Dio menunjukkan tangan kanannya yang dihiasi guratan-guratan berwarna merah. Ia terlihat lebih santai dibanding Pearl yang masih meledak-ledak.
“Saya membela diri. Siapapun kalau diserang pasti melakukan perlawanan.” Pearl tetap ngotot.
“Nggak papa deh Pak kalau mau panggil ortu.” Dio pasrah.
“Jangan, Pak! Jangan panggil orang tua kami, tolong jangan Pak.” Pearl memohon.
Dio menyincingkan senyum. Ia tahu jika Pearl paling takut kalau orang tuanya tahu ia membuat masalah di sekolah. Terlebih masalah dengan Nath dan Rue. Karena orang tua Pearl tahu jika Nath, Rue, dan Hanjoo adalah teman baik Pearl.
“Panggil ortu aja nggak papa, Pak. Ini ada Nath, Ruby, sama Linde yang jadi saksi. Saya siap kok digantung ortu saya.” Dio semakin memojokan Pearl.
“Tolong jangan libatkan orang tua, Pak. Tolong. Ini masalah kami. Kami akan selesaikan sendiri.” Pearl mengiba.
“Pusing saya!” Bentak guru yang diberi wewenang untuk menangani masalah Dio dan Pearl. “Kalian sama-sama anggota Dewan Senior. Tapi, apa yang kalian lakukan? Harusnya kalian memberi contoh yang baik untuk adik-adik kalian, tapi, ah! Malu saya!”
Dio, Nath, Pearl, Ruby, dan Linde menundukkan kepala.
“Baiklah. Selesaikan masalah kalian. Tapi, karena kalian adalah anggota Dewan Senior, saya akan tetap minta diadakan sidang untuk kalian.”
Senyum tersungging di wajah ayu Dio yang tertunduk. Ia merasa menang dari Pearl.
“Sudah! Kalian kembali ke kelas sana!”
Dio dan Nath yang bangkit lebih dulu. Keduanya pamit dan keluar dari ruang Tata Tertib.
“Gimana?” Byungjae menyambut Dio yang keluar dari ruang Tata Tertib bersama Nath.
“Surat panggilan untuk orang tua?” Sambung Hanjoo yang berdiri di samping kiri Byungjae.
Dio menggeleng, namun tetap bungkam.
Pearl, Ruby, dan Linde keluar dari ruang Tata Tertib. Pearl melerok dan pergi diikuti Ruby dan Linde.
“Jenna nggak papa?” Tanya Byungjae pada Nath.
“Nggak papa kok. Ulah Dio lebih bikin aku syok daripada sinar matahari.”
“Maaf ya, Nath.” Dio meminta maaf.
“Nggak papa. Kalau aku jadi kamu, aku juga bakalan ngelakuin hal yang sama. Ngomong-ngomong Rue ke mana?”
Dio, Byungjae, dan Hanjoo saling melempar pandangan. Namun, kompak tak menjawab pertanyaan Nath.
***


Karena didesak pihak Tata Tertib Sekolah, sidang digelar hari itu juga. Seluruh anggota Dewan Senior dan MPK dikumpulkan. Nicky selaku ketua MPK bertindak sebagai hakim bersama wakilnya dan dua anggota MPK lagi.

Rue yang memiliki hubungan dengan Dio tak diberi tempat sebagai salah satu orang penting dalam sidang. Posisinya digantikan Kevin. Sedang Hanjoo dan Byungjae berstatus sebagai saksi bersama Ruby, Linde, dan Nath. Walau Nath bukan anggota Dewan Senior pun MPK, tapi dia adalah saksi di tempat kejadian. Karenanya ia turut di undang dalam persidangan.

Kevin membuka persidangan. Tim investigasi dari pihak MPK pun mulai bertanya pada para saksi tentang kronologi perkelahian antara Dio dan Pearl. Ruby, Linde, Nath, Byungjae, dan Hanjoo pun menceritakan detail kejadian seperti yang mereka lihat. Jika Ruby dan Linde lebih membela Pearl, Nath pun membela Dio. Karena Byungjae dan Hanjoo datang terlambat, mereka bicara jujur tentang apa yang mereka lihat.

“Diovana, bisa jelaskan kenapa kamu tiba-tiba menyerang Pearl?” Si penanya beralih pada Dio.
“Saya marah dan kelas. Pearl membuat masalah dengan saya. Saya sudah cukup bersabar. Tapi, maaf. Saya hanya manusia biasa yang punya batas kesabaran. Karenanya saya meluapkan emosi dengan menyerang Pearl.” Dio terlihat santai.
“Itu bohong! Saya nggak bikin salah sama dia!” Pearl membantah.
“Tenang dulu Pearl. Kamu nanti dapat giliran bicara.” Si penanya yang seorang siswa kelas XII meminta Pearl menahan diri. “Masalah seperti apa itu? Masalah di sekolah atau lainnya?”
“Harus kah saya jelaskan detail masalahnya, Kak?” Dio balik bertanya. “Saya nggak keberatan. Lagi pula, ada Nathaline di sini. Dia bisa bersaksi. Iya, kan Nath?”
Nath menganggukkan kepala tanpa ragu.
“Tapi, bagaimana dengan Pearl?” Dio menatap Pearl. Gadis itu terengah-engah karena menahan emosi. Dio tesenyum mencibir.
“Intinya masalah pribadi ya? Bukan masalah organisasi?”
“Iya masalah pribadi saja. Tapi, karena saya anggota Dewan Senior, saya sadar ini mencoreng nama organisasi. Saya mohon maaf untuk kelalaian saya ini.” Dio meminta maaf dengan tulus.
“Bagaimana Pearl? Apa pengakuan Dio itu bertentangan denganmu? Kami paham apa yang kamu lakukan adalah bentuk pembelaan diri. Tapi, tetap saja di mata umum tindakanmu adalah perkelahian dengan Dio. Dan, itu memang mencoreng organisasi. Dewan Senior harusnya memberi contoh yang baik bukan hanya bagi junior, tapi juga bagi teman seangkatan dan murid lainnya. Tapi, apa yang terjadi hari ini, di jam istirahat, di ruang publik, di depan umum, telah mencoreng nama baik organisasi. Sekuat apa pun alibi kalian, bagiku kalian tetap bersalah.” Siswa kelas XII yang bertindak sebagai penanya menarik kesimpulannya sendiri.
Suasana hening sejenak di dalam aula. Karena menghadirkan seluruh anggota Dewan Senior dan MPK, sidang digelar secara tertutup di aula sekolah.
“Lagian masalah pribadi kenapa dibawa ke sekolah?” Senior yang bertugas sebagai penanya.
“Masalahnya, kalau di luar sekolah Pearl susah dicarinya, Kak. Itu tadi aja saya harus muter-muter dulu dengan kaki pincang.” Dio menanggapi.
“Tindakanmu bisa dilaporkan sebagai tindakan kekerasan lho!” Salah satu siswi senior berkomentar.
“Iya. Bener sekali. Seharusnya saya melaporkannya sebagai tindakan kekerasan.” Pearl yang mendapat dukungan langsung angkat bicara.
“Silahkan saja. Saya siap kok kalau mau dilaporkan. Malah saya senang. Nanti saya bisa mengungkapkan semuanya. Tentang jebakan untuk Rigel dengan Nathaline sebagai alat. Kami hampir mampus di Gedung Mati karena ulah Pearl, Kak. Salah kalau saya marah sampai gamparin dia?” Dio sengaja membuka permasalahan sebenarnya di depan forum.
Rata-rata yang hadir di aula terkejut mendengar pengakuan Dio. Terlebih Pearl. Dia tak menyangka Dio akan berkata blak-blakan seperti itu.
“Sabtu malam kemarin, Papa Nath menelpon Rue. Katanya, Nath mau ikutan kami berburu penampakan di Gedung Mati. Beliau mengatakan Nath udah menuju lokasi. Siapa sih yang nggak tahu pamor Gedung Mati? Rue panik. Lalu, bersama-sama kami pergi menuju Gedung Mati.
“Kami sudah mencoba menghubungi Nath. Tapi, terjadi kendala di sana-sini. Intinya, kami tidak bisa menghubungi satu sama lain. Pesan terakhir dari Nath berbunyi bahwa dia sudah sampai di lokasi dan menunggu kami. Gimana kami nggak makin panik? Membayangkan Nath berada di Gedung Mati entah dengan siapa.
“Saat sampai, tanpa pikir panjang kami langsung mencari Nath ke dalam gedung. Di sana kami mengalami kesialan. Saya terjatuh hingga kaki terkilir. Rue juga jatuh. Parahnya, Byungjae diseret hantu dan hampir jatuh dari lantai dua Gedung Mati.”
Banyak yang tercengang mendengar pengakuan Dio. Nicky langsung mengalihkan pandangan pada Rue. Gadis itu duduk dengan kepala tertunduk.
“Beruntung Tuhan masih sayang sama kami. Kami selamat. Setelah kami bertemu Nath, yang mengusulkan ide pertemuan di hari Sabtu itu adalah Pearl. Tapi, dia justru tidak bisa dihubungi. Saat Nath menegurnya, Pearl menuduh semua itu salah Nath. Saya tadi sempet denger pengakuan Pearl. Karena itu saya makin marah dan menyerangnya. Saya ngaku salah dan siap mendapat hukuman dari Dewan Senior.” Dio mengakhiri penjelasannya. Ia berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah karena emosi.
Suasana menjadi sedikit ribut. Anggota yang hadir saling berkasak-kusuk mengomentari tindakan Pearl.
Kevin terkejut mendengar semua fakta yang diungkap Dio. Ia menatap Pearl dengan ekspresi heran. Ia tak percaya Pearl tega melakukan rencana itu pada Rigel, hingga Rigel celaka.
Pearl mengamati sekelilingnya. Ia merasa diadili dan terpojok. “Say-saya hanya bermaksud bercanda. Saya memang berencana untuk tidak menemui Nath. Tapi, saya tidak menduga Papa Nath akan menelpon Rue dan menimbulkan kekacauan itu.” Pearl akhirnya mengakui perbuatannya.
“Bercanda kamu bilang? Tindakanmu hampir membuat Byungjae kehilangan nyawa lho! Begitu cara kamu bercanda?” Kevin tak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.
“Saya benar-benar minta maaf.” Pearl menundukan kepala.
“Tahu gini, tadi mending saya menolak permintaan tim Tata Tertib untuk menyelesaikan masalah perkelahian ini tanpa memberi tahu orang tua.” Kevin menggelengkan kepala. Terheran-heran atas ulah Pearl.
Nicky yang mendengar Rue hampir celaka pun geram. Namun, ia mengendalikan dirinya untuk tidak turut memojokan Pearl.
“Secara pribadi saya tidak menduga masalahnya separah itu. Walau tindakan Dio salah, menurut saya wajar jika ia melakukan penyerangan. Karena tindakan Pearl sudah keterlaluan. Sebagai wakil ketua Dewan Senior, saya mengusulkan keduanya dihukum. Karena keduanya sama-sama bersalah.” Kevin memasrahkan keputusan kepada hakim.
Nicky dan teman-temannya berunding sejenak. Seluruh anggota pun menunggu. Beberapa masih berkasak-kusuk, membicarakan fakta yang baru saja tersaji di depan mereka.
“Mohon tenang.” Nicky meminta perhatian. Seluruh anggota pun diam. “Insiden ini benar-benar membuat saya merasa malu. Bagaimana bisa, dalam satu naungan organisasi yang sama, tapi kalian tidak bisa saling menjaga satu sama lain.”
Rue, Dio, Hanjoo, Byungjae, Nath, Pearl, Linde, dan Ruby kompak menundukkan kepala.
“Setelah mendengar pengakuan dari kedua belah pihak, kami yang ditunjuk sebagai hakim dalam sidang kali ini telah sepakat untuk memberi hukuman padan Diovana dan Pearl. Jika teman-teman ada yang keberatan, nanti bisa menyampaikannya kepada kami.” Nicky melanjutkan.
Kembali terdengar kasak-kusuk di antara anggota.
“Kami sepakat Diovana dan Pearl, diberhentikan dari kepengurusan Dewan Senior periode ini. Pearl akan dicoret dari daftar calon ketua Dewan Senior berikutnya. Ada yang keberatan?”
Sedikit ribut. Para anggota membicarakan keputusan Nicky. Dio dan Pearl terdiam. Jika Dio terlihat santai, Pearl terlihat sangat kaget ketika mendengar keputusan Nicky. Nath yang duduk sebagai saksi pun kaget dengan keputusan Nicky.
“Maaf. Tapi, apa keputusan itu tidak terlalu berlebihan?” Siswi senior yang sebelumnya berkomentar bahwa tindakan Dio bisa dilaporkan sebagai tindakan kekerasan kembali bicara.
“Seperti yang kamu katakan tadi, tindakan Dio termasuk tindakan kekerasan. Pearl pun melakukan hal yang sama walau itu hanya bentuk pembelaan diri. Terlebih, semua kekacauan adalah Pearl sumbernya. Bisakah kita mendiamkan hal ini dengan membiarkan keduanya tetap menjadi anggota Dewan Senior?” Nicky balik bertanya.
“Tapi, tahun kemarin ada siswa anggota Dewan Senior yang terlibat perjudian dengan sesama murid dan tertangkap tim Tata Tertib masih bisa menjabat sebagai anggota.”
“Mm, itu ya? Kasusnya tidak di depan publik. Saya sangat menyesalkan ketua sebelumnya tidak mengambil tindakan tegas. Bagaimana kalau kita tanya Ketua Dewan Senior kali ini?” Nicky mengalihkan pandangan pada Rue.
“Maaf, Kak. Untuk kasus ini Ruta Way menyerahkan tanggung jawab kepada saya. Apa keberatan jika saya yang memberi jawaban?” Kevin angkat bicara.
“Aku rasa itu adil jika Kevin yang mengambil alih. Bagaimanapun Rue terlibat dalam masalah itu. Walau secara tidak langsung.” Salah satu rekan Nicky yang duduk sebagai hakim menyetujui permintaan Kevin.
“Baiklah. Kau diizinkan.” Nicky memberi izin Kevin untuk mengambil alih tanggung jawab Rue.
“Saya sangat menyesal karena dua anggota saya terlibat dalam perkelahian di depan umum. Sebagai wakil ketua, saya menerima keputusan hakim persidangan ini. Saya berharap, dua anggota saya yang terlibat dan mendapat hukuman bisa menerima keputusan hakim.” Kevin menyampaikan keputusannya dengan cepat.
Semua mata pun tertuju pada Dio dan Pearl secara bergantian.
Dio bangkit dari duduknya. “Saya menerima keputusan hakim. Saya mohon maaf sebesar-besaranya atas tindakan ceroboh yang saya lakukan di depan umum.” Ia membungkukkan badan hingga 90 derajat sebagai tanda permintaan maaf dengan tulus.
Pearl terkejut melihat reaksi Dio yang dengan mudah menerima keputusan hakim. Suasana di dalam aula kembali sedikit ribut.
***


Setelah sidang bubar, Kevin meminta maaf pada Dio. Ia merasa tak enak pada Dio walau yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan.

“Nggak papa. Aku emang salah kok. Aku tulus nerima keputusan Kak Nicky. Maaf ya aku bikin malu organisasi.” Dio memaklumi keputusan Kevin.
“Aku takut diserbu Orion tau!” Kevin bercanda.
“Terima resikonya.” Dio dan Kevin pun tertawa bersama.
“Bakalan sepi tanpa Diovana.” Kevin menghela napas panjang.
“Masih ada Rue, Byungjae, dan Hanjoo. Tolong bantu Rue ya.”
“Pasti. Aku selalu ada untuknya.” Kevin menyanggupi. “Rue, Kak Nicky pasti nggak enak banget ke kamu.”
“Trus, aku kudu nyamperin dia gitu?” Balas Rue.
“Ih! Ini anak!” Kevin gemas melihat tingkah Rue.
“Semua jadi kacau gara-gara aku.” Nath menundukan kepala.
“Ini bukan salah kamu, Sayang. Aku yang mau kok.” Dio merangkul dan mengusuk lengan Nath. “Lebih hati-hati aja ya ke depannya. Mungkin Pearl emang udah nggak pengen baikan sama kamu, Rue, dan Hanjoo.”
Pearl keluar dari dalam aula ditemani Ruby dan Linde. Wajahnya lesu dan kuyu. Ia belum bisa menerima keputusan dicoret sebagai anggota dan calon ketua Dewan Senior.
Pearl menghentikan langkahnya ketika sampai di samping kerumunan Rue dan teman-temannya. “Ini belum berakhir. Kalian pikir aku bakalan diam aja kalian permalukan kayak gini?”
“Lakukan saja semaumu. Kami nggak takut.” Dio menanggapi dengan santai.
“Ya. Tunggu saja. Kalian pasti akan menyesal telah melakukan ini padaku!” Pearl mengancam, lalu pergi.
“Serem banget dia.” Kevin kembali dibuat keheranan. “Dia mau ngapain?”
“Semoga nggak ngapa-ngapain. Udah. Jangan dipikirin.” Dio menenangkan Kevin.

Melihat Rue dan teman-temannya, Nicky yang baru keluar dari aula pun segera menghampiri. “Maaf kalau keputusanku keterlaluan.” Nicky meminta maaf pada Dio.
“Nggak papa, Kak. Emang aku yang salah. Tolong jangan terhasut aja. Tolong tetap percayai kami. Tolong tetap percaya pada Rue.” Dio meminta dukungan.
Nicky menatap Rue yang menundukkan kepala. “Aku selalu percaya pada kalian. Aku selalu percaya pada Rue.” Ia tak mengalihkan pandangan dari Rue.
“Selanjutnya, tolong lebih hati-hati. Aku nggak mau lagi denger Rigel terluka.” Nicky masih menatap Rue yang berdiri dengan kepala tertunduk.
“Terima kasih, Kak. Kami akan melakukan yang terbaik.” Dio berterima kasih.
Nicky masih menatap Rue. Berharap gadis itu mengangkat kepala dan menatapnya. Namun, Rue bergeming. Nicky pun menghela napas. “Ya udah. Aku pergi dulu.” Nicky pamit. Meninggalkan Rue dan teman-temannya.
“Kamu ngapain nunduk gitu sih! Sok cute amat di depan Kak Nicky.” Dio menggoda Rue. Namun, Rue bergeming.
“Rue? Are you okay?” Dio mulai khawatir. “Rue?” Ia membungkuk demi bisa melihat wajah Rue. “Rue? Kenapa?”
“Ada orang berdarah-darah berdiri di sampingku.” Rue berbisik.
Dio kaget. Kembali menegakkan badan dan mengamati ruang kosong di samping kiri Rue.
***





Search This Blog

Total Pageviews