Review bacaan dan tontonan

Review Buku I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki

01:50


I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki



Judul: I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki

Penulis: Baek Se Hee

Terbit: Cetakan pertama, Agustus 2019

Penerbit: Penerbit Haru

Jumlah halaman: 236 hlm ; 19 cm

ISBN: 978-623-7351-03-0




Katanya mau mati, kenapa malah memikirkan jajanan kaki lima? Apa benar kau ingin mati?

"Esai ini ditulis apa adanya berdasarkan pengalaman penulis yang mengalami distimia." - dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ


Aku: Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standar dan biasa saja?

Psikiater: Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki?

Aku: Iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri.

I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki adalah esai yang berisi tentang pertanyaan, penilaian, saran, nasihat, dan evaluasi diri yang bertujuan agar pembaca bisa menerima dan mencintai dirinya.

Buku self improvement ini mendapatkan sambutan baik karena pembaca merasakan hal yang sama dengan kisah Baek Se Hee sehingga buku ini mendapatkan predikat bestseller di Korea Selatan.




Awalnya saya nggak begitu tertarik sama buku ini. Tapi, karena Haru gencar promosinya, jadinya penasaran juga. Kekeke.

Ketika buku ini akan diterbitkan, ada special offer. Untungnya toko buku online langganan saya masuk dalam list toko buku online yang ikut program special offer dari Penerbit Haru. Jadilah beban saya menjadi ringan. Tidak perlu perang dengan bengis. Hehehe.

Saya sengaja memilih paket yang menawarkan buku dengan tanda tangan penulisnya. Uwu!!! Seneng, tapi nggak terlalu seneng juga. Wkwkwk. Gimana tho? Kan gampang, tanpa perang kayak kapan hari pas rebutin edisi bertanda tangan di Shopee. Jadi ya seneng, tapi biasa aja.

Inilah penampakan apa aja yang saya dapat dari paket yang saya pilih. Ada tanda tangan Mbak Se Hee. Keren kan! Tanda tangan asli. Pakek spidol item. Kekeke.







Nah, sekarang kita bahas isi bukunya ya! Seperti yang tertulis di bagian belakang buku yang kemudian saya tulis ulang di atas, buku ini berupa esai yang berisi percakapan antara penulis dan psikiaternya. Lalu, ada pula ungkapan isi hati dan pemikiran penulis. Simpelnya, buku ini adalah diary dari penulis yang membagi pengalamannya selama pengobatan kepada psikiater.

Pada bagian awal buku ada penjelasan dari Dokter Jiemi Ardian tentang apa itu distimia. Karena dalam buku ini, penulis didiagnosis menderita distimia. Menurut penjelasan Dokter Jiemi, distimia adalah bentuk kronis (jangka panjang) dari depresi.

Serem ya! Terkesan rumit juga. Tapi, pengalaman penulis sebagai penyintas depresi menyenangkan untuk disimak. Salah satu alasan yang membuat saya memutuskan untuk mengadopsi buku ini adalah karena buku ini berisi pengalaman penulis yang berusaha sembuh dari sakit mental yang ia alami. Saya meras, wah teman senasib dong!

Terlebih buku ini dilabeli sebagai buku bestseller di Korea dan ada beberapa idol yang membacanya. Dikemas promo apik dari Haru membuat saya kepincut dan beli melalui program special offer.


Selama saya membaca buku ini, saya merasa ada banyak hal yang sama, yang juga saya rasakan. Penulis pun didiagnosis mempunyai gangguan kecemasan. Walau saya tidak sampai memeriksakan diri ke psikiater, saya pun mempunyai masalah berupa gangguan kecemasan.

Memahami seseorang dengan gangguan mental memang sulit. Pemikiran mereka rumit. Tapi, sebagai sesama survivor, sedikit banyak saya paham pada pemikiran penulis. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya merasa kami memiliki banyak kesamaan. Yang paling kentara adalah sama-sama memiliki kepercayaan diri yang rendah.

Apa yang dirasakan penulis, beberapa saya pun pernah merasakannya. Bagaimana pemikiran itu sangat mengganggu dan membuat lelah.

Memang metode yang benar adalah berkonsultasi kepada ahlinya; psikolog atau psikiater. Sampai sekarang saya pun masih memendam keinginan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Tapi, saya juga takut jika nantinya harus mengkonsumsi obat. Karena itu, saya lebih memilih untuk melakukan self healing saja.

Buku ini bagus. Yang membuat saya sedikit nggak nyaman hanya adanya halaman berwarna pink (saya menyebutnya pink) dengan tulisan hitam. Jujur mata saya jadi sedikit sakit setiap kali membacanya. Terlebih saat membaca malam hari di dalam kamar. Lalu, ada sedikit typo. Tapi, tidak mengganggu karena bukan typo yang parah.



Nah, buat kalian yang merasa punya sakit jiwa. Waduuu! Sakit jiwa. Hehehe. Intiny punya masalah sama jiwa kita, boleh lah baca buku ini. Buku ini memberi kita gambaran bagaimana psikiater menuntun pasien untuk memiliki pemikiran lebih baik tentang dirinya.

Oya, buku ini belum selesai. Penulis menuliskan bersambung ke volume 2. Jadi, bakalan ada lanjutannya. Mungkin kisahnya setelah melakukan liburan sendirian.

Ah iya! Ngomong-ngomong soal liburan, psikiater mengatakan perbanyak jalan dan menyerap sinar matahari. Seperti yang kita tahu, sinar matahari mengandung vitamin D. Dan, vitamin D sangat bagus dikonsumi bagi penderita gangguan jiwa. Katanya, bisa mengatasi depresi. Pantas saja psikiater meminta penulis lebih banyak jalan kaki dan menyerap sinar matahari.

Sekian ulasan saya. Maaf jika ada salah kata. Terima kasih dan semoga bermanfaat.


Tempurung kura-kura, 31 Oktober 2019.
- shytUrtle -

Review bacaan dan tontonan

Review tvN Drama Stage: History of Walking Upright

07:51

tvN Drama Stage: History of Walking Upright




Profile

TV Movie: History of Walking Upright (literal title)

Revised romanization: Jigribbohaengui Yeoksa

Hangul: 직립보행의 역사

Director: Jang Jung-Do

Writer: Choi Sung-Wook

Network: tvN

Episodes: 1

Release Date: December 16, 2017

Runtime: Saturday 24:00

Language: Korean

Country: South Korea



Cast

- Kang Mi-Na as Mi-Na
- Byeon Woo-Seok as Jong-Min

Additional Cast Members:

Lee Jini - Sun-Mi

Lim Won-Hee - Mi-Na's father

Lee Min-Ryeong

Yang Hye-Ji


Notes

First script reading took place August 24, 2017 at Studio Dragon in Sangam, South Korea.

Part of tvN's OPEN series to discover talented story tellers. There will be 10 specials in the series.

2018 tvN Drama Stage:

Drama Stage: Assistant Manager Park's Private Life | Bakdaeriui Eunmilhan Sasaenghwal (tvN / 2017)

Drama Stage: Assistant Manager B and Love Letter | Bjooimgwa Leobeureteo (tvN / 2017)

Drama Stage: History of Walking Upright | Jigribbohaengui Yeoksa (tvN / 2017)

Drama Stage: Picnic Day | Sopoongganeun Nal (tvN / 2017)

Drama Stage: Today I Grab the Tambourine Again | Oneuldo Tanbeorineul Moshibmida (tvN / 2017)

Drama Stage: Anthology | Moonjib (tvN / 2018)

Drama Stage: Not Played (tvN / 2018)

Drama Stage: Our Place's Tasty Soybean Paste | Woori Jibeun Matna Dwenjang Matna (tvN / 2018)

Drama Stage: Fighter Choi Kang-Soon | Paiteo Choikangsoon (tvN / 2018)

Drama Stage: The Woman Who Makes the Last Meal | Majimak Siksareul Mandeuneun Yeoja (tvN / 2018)



Alasan nonton drama spesial ini adalah karena ada Byeon Woo Seok. Waktu itu lagi chat sama Kookie Noona. Saya lagi baper sama Joon, salah satu makcomblang dalam drama Flower Crew: Joseon Marriage Agency yang diperankan oleh Byeon Woo Seok. Lalu, Kookie Noona mengirimkan link drama spesial Byeon Woo Seok. Jadilah nonton.

Drama spesial ini tentang highschool story. Cerita SMA itu memang selalu menarik buat disimak ya. Demikian juga dengan drama spesial dari tvN ini.


Berkisah tentang Mina (Kang Mina) seorang gadis SMA yang ceria. Ia gemar membawa skateboard setiap kali ke sekolah. Uniknya, Mina punya kemampuan menghilang atau menjadi tidak tampak. Ini tuh seperti Harry Potter dan teman-temannya kalau pakai jubah tak tampak. Yap! Macem kamuflase sama udara gitu.


Mina bersahabat dengan seniornya yang bernama Jong Min (Byeon Woo Seok). Jong Min seorang bintang olah raga di sekolah. Ia digandrungi banyak gadis.



Seperti biasa, pagi itu Mina dan Jongmin berangkat bersama. Jongmin meminta Mina menunggunya karena ia ingin mengatakan sesuatu pada Mina. Mina yang diam-diam menyukai Jongmin pun senang. Ia yakin Jongmin akan mengutarakan rasa sukanya dan memintanya untuk menjadi pacar Jongmin.



Sepulang sekolah pun mereka bertemu. Jongmin mengajak Mina pergi ke toko asesoris dan meminta Mina memilih cincin, anting, dan bando. Mina senang bukan kepalang. Tapi, saat mereka berpisah, Jongmin tak memberikan barang-barang itu. Mina tetap berpikir positif; ia yakin Jongmin akan memberikan barang itu besok padanya dan di depan teman-teman sekolah mereka.



Keesokan harinya Jongmin tidak muncul di tempat mereka janjian. Saat sampai di kelas, Mina mendapati fakta bahwa Jongmin memberikan hadiah yang mereka beli kemarin kepada teman sekelas Mina. Mina pun patah hati.




Drama ini genrenya komedi romantis. Nonton akting Mina di sini tuh berasa nonton Jiun versi cewek. Ngegemesin banget. Hehehe.

Banyak adegan lucu yang bikin terpingkal-pingkal. Pun ada adegan yang bikin nyesek.

Tadinya saya pikir drama ini akan banyak adegan fantasi karena kemampuan unik Mina. Harapan saya pupus. Drama ini lebih memfokuskan pada kisah remaja yang sedikit rumit sekaligus tentang bagaimana arti dari pertemanan dan bertindak sesuai hati nurani dan kebenaran.

Waktu Jongmin marahin Mina ikutan sebel. Padahal Mina udah belain ceweknya sampai terlibat perkelahian dengan cewek-cewek sekelasnya. Oya, drama ini juga menggambarkan bullying yang lumayan kejam.

Kalau kalian butuh tontonan ringan dengan selipan humor, drama spesial ini bisa jadi pilihan. Selain Byeon Woo Seok, ada oppa cakep yang lewat sekilas-sekilas doang. Kayaknya guru. Sayangnya nggak ada dialog sama sekali itu babang tamvan. Kekeke.

Sekian ulasan dari saya. Mohon maaf jika ada salah kata. Semoga bermanfaat. Terima kasih dan selamat menonton.

Photo by: Hancinema.


Tempurung kura-kura, 29 Oktober 2019.
- shytUrtle -

Khayalan shytUrtle

AWAKE "Rigel Story" - Bab VIII

05:15

AWAKE - Rigel Story
  




 Bab VIII
 

Tahun ajaran baru dimulai. Setelah mengikuti MPLS, murid kelas X menjalani hari pertama di sekolah. Selain perkenalan dengan wali kelas, hari pertama diisi dengan pemilihan pengurus kelas dan peminjaman buku paket ke perpustakaan. Belum ada pelajaran di hari pertama sekolah usai liburan panjang semester.
Demi menghindari kepadatan di perpustakaan, petugas perpustakaan memberikan jadwal pengambilan buku. Hari Senin untuk murid kelas XII, Selasa untuk kelas XI, dan Rabu untuk kelas X. Jadi, selama tiga hari itu jam aktif pelajaran belum berlaku bagi seluruh murid.
Hari pertama di sekolah berjalan lancar. Walau saat MPLS ada siswi yang hampir kesurupan, murid senior dan junior tak terlalu meributkan hal itu. Karena, mereka telah menerimanya sebagai ‘tradisi perkenalan tahun ajaran baru’. Setiap tahun kejadian itu pasti ada. Jadi, walau Pearl dan gengnya menebar rumor tentang kesurupan ada hubungannya dengan Rue, tak banyak yang menanggapi hal itu dengan serius.
Hari ketiga pengambilan buku paket. Rue bukan murid yang di rekurt untuk menjadi relawan di perpustakaan. Tapi, ia berada di sana. Ia tak membantu relawan atau petugas perpustakaan. Ia duduk saja di dalam perpustakaan sambil membaca sebuah buku.
Keberadaan Rue di perpustakaan membuat pengurus kelas dari kelas X yang mengantri untuk mengambil buku paket jadi sedikit heboh. Mereka yang mengidolakan Rigel saling berbisik dan terlihat antusias melihat Rue duduk sendirian di perpustakaan. Walau ada beberapa murid senior yang juga menghabiskan waktu di perpustakaan, tetap Rue yang terlihat menonjol di mata para junior.
Bangunan perpustakaan hampir setara dengan ruang kelas. Hanya sedikit lebih luas dari kelas. Rak buku di letakkan di pinggir. Di bagian tengah ada satu deretan rak yang memisahkan meja dan kursi untuk pengunjung perpustakaan. Namun, karena rak-rak buku itu hanya setinggi leher orang  dewasa, perpustakaan pun tak terlihat terlalu padat.
Ada meja yang di jajar memanjang di sela antara rak di pinggir dan rak tengah. Bangku-bangku ditata berjajar  menemani meja-meja itu. Setiap bangku ditata di sisi kanan dan kiri meja yang berjajar. Meja petugas berada di sisi kiri pintu masuk. Di dekat meja petugas ada pintu yang menghubungkan perpustakaan dengan kantor kepala perpustakaan.

“Buku sejarah sekolah?” Suara itu menyita perhatian Rue.
Rue mengangkat wajahnya. Tepat di hadapannya, seorang pemuda duduk bersila di atas meja. Pemuda itu mengenakan Gwanbok (hanbok/pakaian tradisional Korea untuk pegawai kerajaan abad ke-17) berwarna biru. “Begitu kah cara seorang bangsawan duduk? Nggak sopan banget!”
Pemuda itu menoleh, dan menatap Rue dengan wajah memberengut. “Aku kan sudah mati. Untuk apa bertingkah sopan? Di depanmu pula!”
Rue tersenyum. “Goong Doryeonim[1], boleh aku bertanya sesuatu?”
Hantu yang mengenakan Gwanbok itu sebenarnya tak mengingat namanya sendiri. Tapi, ia mengaku jika hantu-hantu di SMA Horison sering memanggilnya Goong. Goong adalah Bahasa Korea yang memiliki arti istana/palace. Mungkin karena ia memakai baju pegawai kerajaan di era Joseon, jadi hantu lainnya memanggilnya Goong. Rue sendiri heran. Kenapa hantu era Joseon itu bisa berada di SMA Horison.
“Mengorek informasi harus membayar.” Goong melipat tangan di dada dan bersikap sok angkuh.
Rue tersenyum. “Ya udah. Nggak jadi.”
“Lho? Kok nggak jadi?” Goong menurunkan tangannya yang terlipat.
Rue hanya mengangkat kedua bahunya. Tanpa berbicara. Ia kembali fokus pada buku di hadapannya.
Goong mengikuti arah pandangan Rue. “Kenapa kamu membaca buku sejarah SMA Horison? Jam pelajaran kan belum aktif.”
“Apa pernah ada murid yang meninggal di sekolah? Ah! Mungkin tertulis di buku sejarah ini. Mari kita cari!” Rue seolah berbicara dengan dirinya sendiri.
“Tidak ada!” Goong menjawab pertanyaan Rue. “Jika murid meninggal karena kecelakaan atau sakit ada. Tapi, meninggal di sekolah tidak ada. Terlebih meninggal karena ulah salah satu dari kami. Karena tahu sekolah ini angker, pihak sekolah tidak pernah lupa melakukan persembahan dan doa bersama sebagai tanda saling menghormati dengan kami.
“Sekolah pernah merencanakan untuk membangun arena wall climbing. Tapi, sebagian besar dari kami sengaja protes. Itu akan terlalu beresiko. Karena, seperti manusia, banyak juga pendatang yang tiba-tiba muncul di sini. Walau mereka hanya sekedar mampir, tapi tidak semuanya bisa diatur. Kami hanya tidak ingin jadi kambing hitam kalau terjadi kecelakaan dengan adanya wall climbing. Lagian manusia zaman sekarang aneh. Untuk apa memanjat dinding tinggi seperti itu? Ingin menirukan cicak? Atau, Spiderman?”
Senyum tersungging di bibir tipis Rue. Ia mendapatkan informasi yang ia mau dengan mudah. Goong memang mudah dibodohi. Bukan pertama kalinya Rue memanfaatkan hantu era Joseon itu.
“Ngomong-ngomong soal pendatang, kami sedikit merasa tak nyaman.” Goong melanjutkan. “Auranya… seperti penjajah. Aku khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi.”
“Saat MPLS, murid tersesat dan murid kesurupan, apa itu ulah salah satu dari kalian?”
“Bukan. Murid-murid tahun ini sopan-sopan. Ya, walau beberapa dari mereka membicarakan kami. Tapi, itu wajar. Kami sama sekali tak berniat juga tak berminat mengganggu mereka.”
“Apa ulah pendatang itu?”
“Entahlah. Auranya gelap sekali jadi kami…” Goong diam, lalu menatap Rue. “Ya! Kau mengorek informasi dariku!”
“Aku? Kapan?”
“Itu tadi!”
“Kan, Doryeonim yang mulai cerita. Aku hanya menjadi pendengar yang baik. Kalau aku tidak merespon, Doryeonim berpikir aku tidak sopan. Aku hanya menanggapi cerita Doryeonim.
“Ah! Kau ini!” Goong sewot.
Rue tersenyum dan menyandarkan punggung ke punggung kursi. Ia menoleh ke arah kiri. Ternyata Hanjoo sudah duduk dekat di sampingnya.
Hanjoo tersenyum. Saat ia tiba di perpustakaan, ia melihat Rue sedang duduk membaca buku. Ketika ia mendekat, baru ia sadari jika Rue sedang berkomunikasi dengan makhluk astral. Hanjoo bisa mengetahui hal itu karena Rue terlihat sedang dalam kosentrasi penuh.
“Ngobrol sama siapa?” Hanjoo buka suara setelah Rue membalas senyumnya.
“Pangeran Joseon.”
“Aku bukan Pangeran Joseon!” Goong protes.
Rue hanya tersenyum menanggapi aksi protes Goong.
“Buku sejarah sekolah?” Hanjoo membaca buku yang terbuka di depan Rue.
“Tidak ada murid yang meninggal di sekolah. Informasi yang aku dapat, lebih akurat dari apa yang ada di dalam buku ini.”
“Pangeran Joseon?” Mulut Hanjoo bergerak tanpa suara.
Rue mengangguk dan tersenyum.
“Kamu yang terbaik.” Hanjoo memberikan dua jempolnya.
“Ayo! Aku rasa kita harus melakukan penyelidikan.” Rue bangkit dari duduknya.
“Penyelidikan?”
Rue mengangguk. Ia kemudian menoleh pada Goong yang masih duduk bersila di atas meja dengan ekspresi sewot. “Kamsahamnida, Doryeonim.” Rue berterima kasih menggunakan Bahasa Korea. “Seperti biasanya, di tempat biasanya.”
Ekspresi Goong berubah cerah. “Tiga ya?” Ia menunjukkan tiga jari tangannya pada Rue. Girang karena Rue akan membakar dupa favoritnya di tempat favoritnya.
Rue mengangguk.
Saranghamnida, Rue!” Goong membentuk love sign dengan mengangkat kedua tangannya di atas kepala.
Rue tersenyum, menggeleng pelan, dan pergi bersama Hanjoo.
***

Esya, Hongjoon, dan Axton berkumpul di kantin untuk makan siang. Mereka sengaja memilih waktu mendekati bel masuk. Menurut mereka waktu akhir akan memberi tempat yang longgar di kantin. Sayangnya prediksi mereka salah. Kantin masih cukup padat ketika mereka datang.
Usai memesan makanan, mereka pun duduk di meja yang sama. Mereka menikmati makan siang dalam keheningan. Hingga ada dua siswa meminta izin duduk bergabung di meja mereka. Axton mempersilahkan. Dua siswa itu pun duduk bergabung.

“Kira-kira tadi Kak Rue ngapain ya? Di perpustakaan. Kaget aku liat dia duduk sendirian di sana.” Siswa berambut cepak memulai obrolan dengan teman yang duduk di hadapannya. Mau tak mau, Axton, Hongjoon, dan Esya pun mendengar obrolan itu. Karena mereka duduk di meja yang sama.
“Katanya, kalau dia lagi diem dan konsentrasi gitu. Artinya dia lagi komunikasi sama makhluk astral.” Siswa berambut lurus yang dipangkas rapi dengan belah tengah menanggapi.
“Masa sih? Kamu tahu dari mana?”
“Baca-baca di internet. Kita liatnya orang itu lagi diem. Padahal aslinya lagi ngobrol sama makhluk astral.”
“Aku nggak percaya. Fokus baca aja kali dia tadi.”

“Kenapa cowok makan sambil bergosip sih!” Esya mengomentari dengan lirih.
“Bukannya itu hal biasa? Kita aja yang terlalu hening.” Axton turut berbisik.
Dua siswa itu bangkit dari duduknya. Sudah selesai makan.
“Busyet! Patas banget makannya!” Axton dibuat heran dengan kecepatan makan dua rekan seangkatannya itu. “Mereka laper apa doyan?”
Hongjoon tersenyum melihat reaksi heran Axton.
Axton kembali menatap Esya yang duduk berdampingan dengan Hongjoon bersebarangan dengannya. “Esya, kamu Orion kan?”
“Iya. Kenapa?”
“Bener yang mereka omongin tadi?”
“Apa?”
“Keliatannya diem, padahal lagi komunikasi sama makhluk astral. Rigel pernah bahas itu?”
“Tidak pernah. Tapi, aku pernah baca artikel, katanya emang seperti itu. Orang dengan indera keenam, kalau komunikasi dengan makhluk astral memang seperti itu.”
“Woa!” Axton terkagum-kagum. “Trus, Kak Rue komunikasi sama siapa di perpustakaan?”
“Mana aku tahu!”
“Hehehe. Sekolah kita kan banyak penghuninya ya.”
“Udah jangan dibahas lagi!”
“Oke. Oke.”
Hongjoon hanya diam dan menyimak. Ia pun penasaran tentang apa yang dilakukan Rue di perpustakaan.

“Gimana caranya ya?” Hongjoon yang duduk di salah satu bangku di bawah pohon di samping kelas X-7 tiba-tiba bersuara.
Esya yang sedang menonton video di Youtube pun menoleh. “Cara untuk apa?” Ia balik bertanya.
Hongjoon menghela napas dan melirik tangan Esya yang memegang ponsel. “Video Rigel?”
“Bukan. Tapi, video favorit Rigel.”
“Video favorit Rigel?”
Esya bergumam dan menganggukkan kepala. “Reality show ini adalah reality show favorit Rigel.”
“Tayang di TV?”
“Iya. Tapi, tayangnya malem. Aku nggak kuat kalau begadang buat nonton. Makanya aku nonton rekamannya  di Youtube. Boleh dibilang, reality show ini adalah panutan Rigel. Sama-sama memburu penampakan hantu di tempat-tempat seram.”
Hongjoon terdiam. Menelaah penjelasan Esya. Ia pun tersenyum ketika menyadari di dunia perburuan hantu ada idola dan panutan.
“Rue sangat mengidolakan Master Parama.”
“Master Parama?”
“Iya. Paranormal pengasuh program reality show misteri The World Between Us. Dalam sebuah video, Rue pernah mengungkapkan jika dia sangat mengidolakan Master Parama. Dan, ia juga berharap suatu saat Rigel bisa bergabung dalam The World Between Us. Ada yang bilang, Rigel udah ngirim lamaran untuk menjadi peserta dalam The World Between Us. Kami, Orion mendukung tindakan Rigel. Kami berharap mereka lolos. Mau nonton?”
“Nggak ah.” Hongjoon langsung menolak.
“Tadi, kamu nanya cara apa?”
“Nggak jadi. Nggak enak juga dibahas di sini.”
Esya menghela napas panjang dan menggeleng pelan. Lalu, ia kembali fokus pada layar ponselnya.
***

“Pendatang? Penjajah?” Dio merasa salah dengar ketika Rue menjabarkan hasil wawancara dengan Goong.
Byungjae mengaduk-aduk jus jeruk di hadapannya. “Apa artinya pendatang itu menjajah makhluk halus yang ada di sekolah kita?”
Sepulang sekolah, Rigel berkumpul di sebuah warung internet yang memiliki cafe yang terletak di pinggir jalan yang mereka lewati saat berangkat dan pulang sekolah. Banyak pengunjung berseragam sekolah seperti mereka. Karena tempat itu memang tempat favorit sebagian besar pelajar di area itu.
“Emangnya bisa pendatang menjajah penduduk asli?” Dio kembali bicara. Kemudian ia memiringkan kepala. Merasa ada yang salah dengan pertanyaannya. “Belanda juga pendatang yang menjajah penduduk asli Indonesia, kan? Ya ampun! Kenapa aku bego banget sih!” Ia menyadari jika hal seperti itu bisa saja terjadi. Tidak hanya di dunia manusia. Tapi, juga di dunia makhluk astral.
“Jika Goong memiliki firasat buruk, kita harus lebih hati-hati.” Hanjoo ikut bersuara setelah menyeruput jus stroberi di hadapannya.
“Ah! Stroberi!” Rue mengeluh setelah melihat jus stroberi milih Hanjoo.
“Teringat pada Strawmato?” Dio paham maksud dari keluhan Rue.
Tomato-nya di sini. Tapi, tidak dengan Strawberry.” Byungjae meralat. “Kapan Strawberry akan kembali?”
“Dia baik-baik saja kan?” Dio menyambung.
“Mm.” Rue mengangguk. “Dia bilang, aku nggak perlu khawatir. Dia pasti akan kembali tepat waktu.”
“Dia pasti menikmati waktu mudiknya. Kadang aku juga pengen pulang ke Venezuela.”
“Aku juga kangen Korea.” Byungjae pun terbawa suasana.
Rue dan Hanjoo kompak tersenyum saat menatap Dio dan Byungjae.
“Lalu, apa misi kita selanjutnya?” Byungjae kembali antusias. “Menyelidiki si pendatang?”
“Daripada itu, aku lebih ingin menyelidiki Geng Mutiara!” Dio menolak misi yang diajukan Byungjae.
“Kenapa dengan mereka? Oh! Saat evaluasi itu ya? Kamu masih kesal?”
“Bukan hanya itu! Sepanjang tahun, Pearl ingin menjatuhkan Rue. Terlebih setelah Rue terpilih sebagai Presiden Sekolah. Rue, tahun ini kamu maju mencalonkan diri lagi aja. Aku yakin kamu bakalan menang mutlak. Biar makin kebakaran alis itu Pearl!”
“Kebakaran alis? Hahaha.” Byungjae tergelak.
“Cewek nggak punya jenggot tahu!” Dio kesal karena Byungjae menertawakannya.
“Aku sih lebih setuju Kevin yang jadi next School President. Dia lebih bertanggung jawab daripada aku.” Rue mengomentari usul Dio.
“Iya aku tahu. Tapi, jabatanmu sebagai Presiden Sekolah berguna untuk membujuk penghuni lain di sekolah untuk tidak mengganggu murid. Negosiasimu berhasil. Karena kamu Presiden Sekolah, mereka menganggap dan menghormati kamu.”
“Rue,” Hanjoo meminta perhatian. “Jika benar tersesatnya Hongjoon dan siswi kesurupan itu ulah hantu pendatang, berarti dia lebih kuat dari semua makhluk astral yang ada di sekolah dong?”
“Bisa jadi begitu.” Rue membenarkan.
“Kamu nggak ngerasa gitu kalau misal ada sesuatu yang baru di sekolah?” Dio turut bertanya.
“Nggak. Belum sih. Kupikir itu wajar karena MPLS.”
“Lalu, Dewa Kematian alias Malaikat Maut, apa ada hubungannya dengan si pendatang itu?” Byungjae tak mau kalah.
“Hey! Buat apa Dewa Kematian ngurusin arwah yang jelas udah mati? Tugas mereka kan mencabut dan membimbing arwah. Tsk!” Dio kesal dengan pertanyaan Byungjae.
“Teka-teki yang rumit ya.” Hanjoo tersenyum. “Semoga kita semua selalu dalam lindungan Yang  Maha Kuasa.”
“Aamiin…” Byungjae, Dio, dan Rue kompak mengamini.
***

Rue sampai di tempat tinggalnya. Ia hendak menaiki tangga untuk menuju tempat tinggalnya ketika wanita paruh baya itu berjalan menghampirinya. Wanita itu memberikan sepucuk surat kepada Rue. Setelah berterima kasih, Rue pun berjalan menaiki tangga.
Rue tinggal bersama kakeknya yang meninggal setahun yang lalu. Rumah hunian mereka terdiri dari dua lantai. Suatu ketika, salah satu saudara dari kakek Rue minta izin tinggal bersama. Rue tak bisa menolak keinginan sang kakek untuk berbagi rumah dengan saudara mereka. Walau ia merasa tak nyaman, ia hanya bisa berusaha memaklumi dan menerima keadaan.
Menyadari ketidaknyamanan Rue, mendiang kakek Rue membuat bangunan khusus untuk Rue di lantai dua. Akses naik ke lantai dua dari dalam rumah di tutup. Tangga dipindahkan keluar. Bangunan di lantai dua itu terdiri dari satu kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan ruang tamu. Bangunan sederhana yang memberi Rue kebebasan.
Sejak bangunan itu jadi, Rue tinggal di lantai dua sendirian. Sedang mendiang kakeknya tinggal di lantai dasar bersama salah satu saudara yang menumpang tinggal beserta keluarganya yang terdiri dari istri dan dua orang anak laki-laki.
Rue meletakkan tas punggungnya di sofa. Usai mengambil air putih dari dapur, ia pun duduk dan memeriksa surat yang ditujukan untuknya. Rue membuka surat itu dan membaca isinya.
Ayah sedikit kecewa karena kau sama sekali tidak berkunjung saat liburan panjang. Ayah sudah menyiapkan rencana liburan untuk kita. Tapi, tidak apa-apa. Ayah senang melihatmu menikmati waktu liburan bersama teman-temanmu. Datanglah berkunjung. Atau, izinkan Ayah yang menemuimu. Harapan Ayah masih sama, tolong hentikan hobi ekstremmu itu Anakku. Berburu penampakan bukanlah hobi yang aman.

Rue menjatuhkan punggung usai membaca surat dari ayahnya. Walau ia memiliki ayah dan ibu, kadang Rue merasa dirinya yatim piatu. Sejak kecil ia dirawat oleh kakek dan nenek dari ayahnya. Sejak sang nenek meninggal, Rue hidup bersama sang kakek. Yang ia tahu, ayah dan ibunya berpisah. Tapi, ia tak tahu alasan pasti yang menyebabkan perpisahan kedua orang tuanya.
Walau kedua orang tuanya masih hidup, Rue sangat jarang bertemu keduanya. Terlebih bertemu dengan sang ibu. Kadang Rue berpikir, mungkin dia bukanlah anak kandung ibunya. Karena dibanding dengan sang ayah, ibunya lebih jarang menemui Rue. Frekuensi pertemuannya dengan sang ibu bisa dihitung dengan jari.
Rue memejamkan kedua mata dan memijat keningnya. Setiap kali menerima surat dari sang ayah, kepalanya selalu bereaksi; menjadi pusing. Rue membuka mata dan menatap langit-langit ruang tamu. Ia menghela napas panjang, lalu kembali memejamkan kedua matanya.
***



[1] Sebutan Tuan Muda dalam Bahasa Korea

Khayalan shytUrtle

Fly High! - Lima Belas (Selesai)

05:32

Fly High!

 

 

 

Lima Belas (ending)

 

 

Pasca siaran langsung Al dan Oi di program I Love Asian, ada gerakan protes kecil dalam SMA Wijaya Kusuma. Siswi kelas XII yang menjadi anggota grup chat kaum minoritas pecinta Kpop dan K-drama membuat permohonan pada pihak sekolah agar Al dan Oi bisa tampil dalam pentas seni ulang tahun sekolah.

Pihak sekolah mempertimbangkan hal tersebut. Diskusi panitia perayaan ulang tahun sekolah yang terdiri dari murid dan guru pun digelar. Namun, lagi-lagi pro dan kontra. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Pihak yang menolak sampai menghubung-hubungkan penampilan Al dan Oi dengan kasus skandal idola Kpop yang sedang ramai dibicarakan di sosial media dan portal berita online. Menurut pihak kontra, hal itu akan membawa dampak buruk bagi murid. Demi menghindari pro dan kontra yang semakin berbuntut panjang, panitia akhirnya memutuskan Al dan Oi tetap tidak bisa tampil di sekolah. Anggota grup chat kecewa. Namun, Al dan Oi justru bersyukur.
Keduanya sebenarnya sudah menolak ide dari senior mereka itu. Namun, para anggota mendukung. Karena itu Al dan Oi tidak punya pilihan lain selain diam. Ketika pihak kontra sampai menghubungkan penampilan Al dan Oi dengan kasus skandal idola Kpop yang sedang panas dibicarakan, bukan hanya Al dan Oi yang marah. Tapi, anggota grup chat juga geng Al dan Oi di kelas XI-IPA2. Bahkan, Jia sempat emosi dan akan membeberkannya di sosial media. Al melarangnya. Beruntung Jia bisa diluluhkan.
Sikap Eri tak berubah. Walau Al dan Oi tak membongkar jati diri Eri sebagai orang yang terus mengolok keduanya sebagai pecinta plastik dan udel ketika siaran di program I Love Asian. Gadis yang selalu peringkat pertama di kelas XI-IPA2 itu seolah tak tahu terima kasih. Ia masih saja memanggil Al dan Oi dengan julukan lesbian pecinta plastik dan udel.
Al dan Oi tak ambil pusing. Tapi, Jia yang emosi. Gadis bertubuh mungil itu terus saja mengatakan, Seharusnya kalian sebut saja nama Eri saat siaran. Atau, kita buat postingan dengan menyebut akun Facebook Eri. Al yang telaten menenangkan Jia.
Teman-teman sekelas Al dan Oi pun merasa senang. Karena ketika siaran langsung, Al dan Oi menyebut nama kelas mereka dalam ucapan terima kasih. Mereka pun meminta Al dan Oi sabar dalam menghadapi sikap Eri. Alih-alih berubah menjadi baik, Eri semakin menunjukkan rasa tidak sukanya pada Al dan Oi. Terlebih setelah ada gerakan protes kecil dari rekan-rekan yang ‘sejenis’ dengan Al dan Oi. Bagi Eri, hal itu karena Al dan Oi tidak bisa menerima kenyataan bahwa keduanya tidak lolos dan tidak bisa tampil dalam pentas seni ulang tahun sekolah. Karenanya, ia yang lolos pun merasa pantas untuk mengolok Al dan Oi.
***

Al dan Oi mendapat giliran jaga di UKS saat jam istirahat. Dari kelas, keduanya langsung menuju ke ruang UKS. Oi terkejut ketika masuk ke dalam UKS. Al yang menyadari reaksi kaget Oi pun bertanya.

“Ada apa?” Al berbisik.
“Liat itu!” Oi menuding seorang siswa yang sedang berbaring di salah satu ranjang di dalam ruang UKS.
Al mengamati siswa itu. “Kak Agung?”
“Iya.” Oi mendadak berseri-seri. Lalu, dengan perlahan ia berjalan ke bagian belakang UKS yang menjadi basecamp ekstrakurikuler PMR.
Saat melewati ranjang tempat siswa bernama Agung berbaring, tiba-tiba pemuda itu bangkit dari tidurnya dan duduk. Membuat Oi yang mengendap-endap kaget hingga spontan menghentikan langkah dan menoleh ke arah kanan, menatap Agung dengan ekspresi kaget.
“Maaf, Kak.” Oi segera membungkukkan badan dan meminta maaf. “Kakak istirahat lagi aja. Lagi nggak enak badan ya?”
“Udah jam istirahat?” Agung, siswa kelas XII itu balik bertanya.
“Udah.”
“Oh.” Agung pun turun dari ranjang dan memakai sepatunya.
“Kalau nggak enak badan, istirahat aja Kak.”
“Nggak kok. Tadi cuman males ikutan pelajaran.” Setelah selesai memakai kedua sepatunya, Agung langsung meninggalkan UKS tanpa berpamitan pada Al dan Oi yang berada di sana.
Ruang UKS memang tidak pernah dikunci saat jam sekolah aktif. Hal itu demi memudahkan siswa yang sakit untuk beristirahat di sana. Jika jam istirahat belum tiba, ada guru BP yang bergantian berjaga di UKS. Ketika jam istirahat tiba, gantian anggota PMR yang berjaga. Walau termasuk sekolah favorit, SMA Wijaya Kusuma tidak memiliki petugas khusus seperti perawat untuk menjaga UKS.
Oi terbengong di tempatnya berdiri. Ia menatap Agung yang sudah keluar dari UKS dan berjalan menjauh.
Al yang sebelumnya berhenti di dekat pintu pun mendekati Oi. “Beresin ranjangnya.” Ia menepuk pundak Oi.
Oi pun mendekati ranjang dan merapikannya. Ia meraih bantal yang sebelumnya digunakan Agung. Tanpa ragu, ia mengendus aroma bantal itu.
“Ih! Oi! Norak tahu!” Al memprotes tindakan Oi.
“Baru parfumnya ketinggalan.” Oi masih menghirup aroma parfum Agung yang tertinggal di bantal.
Eling, Oi! Dia pacar orang!”
“Ya tahu! Aku kan cuman kagum. Nggak salah tho aku kagum ke Kak Agung? Udah cakep, atlit pula!”
Sejak pertama melihat Agung saat MOS, Oi memang sudah mengagumi kakak kelasnya itu. Menurutnya, Agung yang cuek dan cool itu keren. Selain itu, Oi selalu menyebut Agung tampan. Mirip aktor Teddy Syah. Prestasi non akademik sebagai pemain sepak bola muda yang tergabung dalam salah satu klub sepak bola di kota Malang menambah nilai plus Agung di mata Oi.
Tapi di mata Al, Agung adalah sosok yang angkuh dan sombong. Al heran kenapa Oi bisa menyukai kakak kelasnya itu. Agung menjadi kakak pendamping kelas Al dan Oi saat MOS. Sejak saat itu lah Oi mengidolakan Agung. Sahabatnya itu sempat patah hati, bahkan sampai menangis tersedu-sedu ketika tahu Agung sudah memiliki pacar. Walau pacar Agung sudah lulus, kabar yang terdengar hubungan keduanya masih langgeng.
“Oi! Ntar kalau ada yang liat, malu-maluin tahu!” Al kembali menegur Oi yang masih mengendus jejak Agung di atas bantal.
“Iya iya!” Oi kesal. Ia meletakan bantal dan menepuk-nepuknya dengan keras. “Jadi viral nggak bikin dia penasaran sama aku gitu? Padahal banyak cowok yang PDKT sejak video kita viral.”
“Dia udah jadi pacar orang Oi!”
“Kali aja butuh hiburan. Aku siap menghibur.”
“Oi!” Al membentak Oi.
Oi pun tergelak. “Tenang, Al. Aku masih waras kok. Mending jadi simpenan Kang Daniel daripada jadi simpenan Kang Agung.”
“Dasar sarap!”
Oi hanya tertawa menanggapi olokan Al.
***

Seperti yang direncanakan, Gia akhirnya bergabung di Smule. Meyra pun mulai membuat proyek kolaborasi untuk AOG. Meyra yang memilih lagu dan menentukan part menyanyi AOG. Jika file rekaman bagus—tak terganggu suara kendaraan yang lewat dan sejenisnya, Meyra mengunduh file rekaman AOG. Merubahnya menjadi video dan mengunggahnya ke kanal Youtube-nya.

Selain proyek di Smule, AOG juga mulai membuat proyek video dance cover. Proyek pertama mereka adalah dance cover Wanna One - I.P.U (I Promise You). Video dance cover pertana AOG berhasil dibuat. Dalam prosesnya, bergantian Al, Oi, dan Gia membuat kesalahan. Pada rekaman ketujuh barulah mereka berhasil menari tanpa kesalahan sedikit pun.
Video dance cover pertama AOG diunggah Meyra ke kanal Youtube-nya. Tak lupa ia membagikan link video di semua akun sosial medianya. Karena sebelumnya sempat viral, setiap postingan Meyra yang berhubungan dengan AOG selalu mendapat perhatian dari orang-orang yang secara khusus mengikuti perkembangan AOG pasca viralnya video mereka.
Setelah video itu diunggah dan dibagikan, ada beberapa akun yang mengaku sebagai agensi dance cover dan cover sing Kpop yang mengirim pesan pribadi pada Meyra, Al, Oi, dan Gia. Menawarkan agar AOG bergabung bersama mereka. Agar lebih mudah jika akan mengikuti event-event Kpop di kota Malang.
Meyra membebaskan Al, Oi, dan Gia. Jika mereka ingin bergabung dengan agensi yang melamar mereka, Meyra pun tak keberatan. Tapi, Al, Oi, dan Gia sepakat menolak. Mereka tidak ingin bergabung dengan agensi manapun. Karena, mereka khawatir tidak bisa mengikuti aturan agensi. Terlebih mereka tinggal jauh di pinggiran kota. Ketiganya merasa tak sanggup jika harus sering-sering ke kota untuk berkumpul dengan agensi.
AOG mendadak terkenal karena tragedi pecinta plastik dan udel, setelah membuat video cover dance Kpop, Meyra menyarankan Al, Oi, dan Gia membuat video tarian India. Ketiga adiknya itu setuju saja. Meyra mengusulkan AOG melakukan tarian diiringi lagu Jiya Re yang merupakan salah satu original soundtrack dari film Jab Tak Hai Jaan
Meyra menemukan video tarian diiringi lagu itu yang apik di Youtube. Lalu, menunjukkannya pada Al, Oi, dan Gia. Ia senang ketika ketiga adiknya itu setuju menirukan tarian itu. Bahkan, Al, Oi, dan Gia sempat mengajak Meyra untuk bergabung menari karena di dalam video tutorial penari berjumlah empat orang. Tapi, Meyra menolak.
Proyek video kedua AOG adalah dance Jiya Re. Setelah video itu di unggah, Meyra sempat berharap AOG akan diundang untuk siaran di acara Bollywood Lover. Tapi, hal itu tak kunjung jadi nyata. Tapi, sebuah komunitas pecinta Bollywood terbesar di Malang menghubungi Meyra. Mengundang Meyra dan ketiga adiknya untuk bergabung. Mereka sering mengadakan event, bahkan sering ikut siaran di acara Bollywood Lover ketika mempromosikan event yang akan mereka gelar.
Bahkan, sebagai bentuk apresiasi, salah satu anggota komunitas yang asli keturunan India sengaja mengirim baju khas India untuk Meyra, Al, Oi, dan Gia. Baju dengan bahan kain Saree yang dijahit seperti pakaian orang India modern. Baju yang bisa digunakan keempatnya sehari-hari, tanpa merasa takut dipandang aneh. Karena tak ada peraturan yang mengikat dan menyusahkan, Meyra, Al,  Oi, dan Gia pun bergabung dalam komunitas pecinta Bollywood terbesar di kota Malang itu.
Al dan Oi tak mau ambil pusing pada haters mereka baik di dunia maya ataupun di dunia nyata—di sekolah. Keduanya hanya menjalani hidup yang mereka pilih. Hidup yang membuat mereka bahagia. Selama itu tak melanggar aturan dan norma, keduanya tak mau ambil pusing pada orang-orang yang membencinya.
***

Al terkejut menatap foto yang baru ia unduh dari grup chat pecinta Kpop dan K-drama dari SMA Wijaya Kusuma. Foto itu adalah poster tentang acara yang akan digelar di sekolah pada hari Sabtu esok. Bulan April telah tiba. Setelah kelas XII melaksanakan UNBK, jadwal kegiatan untuk perayaan ulang tahun sekolah pun di keluarkan.

Kegiatan dimulai pada tanggal 09 April 2019 hingga tanggal 22 April 2019 yang menjadi puncak acara perayaan. Al sudah paham tentang jadwal itu. Karena semua murid mendapatkan surat edarannya. Susunan acara mulai dari upacara pembukaan, syukuran, jalan santai, pameran, hingga pentas seni sudah tersusun rapi dalam jadwal.
Tapi, poster yang baru ia terima di grup benar-benar membuatnya terkejut. Salah satu siswi kelas XII yang mengirimnya. Poster tentang sebuah acara yang akan digelar di aula. Mendatangkan seorang motivator yang juga alumni SMA Wijaya Kusuma. Tapi, bukan nama motivator yang membuat Al terkejut. Melainkan pesan yang menyertai poster itu.

Katanya, ini nanti ada tiga pembicara. Salah satunya, Elmeyra Adeera. Itu Manajer Eonni bukan?

Tulis kakak senior Al yang mengirim poster acara yang akan digelar Sabtu esok. Acara khusus bagi murid kelas XII yang baru saja menyelesaikan UNBK.
Saat Al sedang tercenung, bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa benar Meyra akan menjadi salah satu pembicara dalam acara hari Sabtu esok. Ponselnya bergetar. Al terkejut hingga melempar ponselnya. Untung saja ia duduk di atas kasur. Hingga ponsel itu meluncur bebas ke atas kasur. Oi menghubunginya lewat panggilan video.
“Al! Itu Mey Eonni, kan?! Kenapa kamu nggak bilang kalau Mey Eonni jadi salah satu pembicara?” Oi langsung mengoceh ketika Al menerima panggilannya.
“Aku juga baru tahu dari grup.” Al Terdengar datar.
“Datar banget sih! Emang kamu nggak kaget? Nggak seneng?”
“Ya kaget lah! Sampai lempar hape gara-gara kaget kamu vicol.”
“Yo maap! Trus, kita jawab apa di grup?”
“Jawab, iya. Emang mau apa? Ntar aku juga bakalan bilang baru tahu dari grup.”
Eonni di rumah?”
“Nggak. Tau tuh. Tumben malem Jumat keluar.”
“Nginep?”
“Nggak tahu. Belum nanya budhe.”
“Tanya dong! Kalau nginep, berarti besok langsung ke sekolah? Acaranya kan jam 10. Kita ke sekolah juga yuk!”
“Emang bisa masuk? Itu kan khusus buat kelas XII.”
“Arwan jadi panitia?”
“Mana aku tahu.”
“Yah! Al nggak asik!”
“Emang aku nggak tahu kok!” Al sewot.
Yo wes. Kalau ada kabar dari Mey Eonni, kasih tahu aku ya. Aku takut mau japri. Takut ganggu.”
“Sama.”
“Ya udah. Kita tunggu Mey Eonni kasih kabar aja. Aku bangga banget bacanya. Mey Eonni emang pantes jadi pembicara.”
Al tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Ia pun bangga pada kakak sepupunya itu.
Yo wes. Aku mau ngimbrung di grup. Kayake dah rame nih. Bye, Al!” Oi mengakhiri panggilannya.
Al bangkit dari duduknya dan keluar kamar. Ia mencari ibu Meyra dan menemukan wanita cantik itu sedang sibuk di dapur.
“Budhe, Mbak Mey ke mana sih?” Tanya Al pada ibu Meyra.
“Ke kota. Ada perlu katanya.” Jawab ibu Meyra tanpa mengalihkan pandangan dari wajan di atas kompordi hadapannya.
“Pulang nggak?”
“Katanya sih kalau nggak kemaleman ya pulang.”
“Oh.”
“Kamu sibuk nggak?”
Mboten[1]. Ada apa Budhe?”
“Sini bantuin budhe goreng krupuk.”
Al pun mendekat dan membantu ibu Meyra menggoreng kerupuk.
***

Al dan Oi berjalan bersama menuju sekolah. Hari Sabtu ini keduanya tetap ke sekolah walau libur. Semalam Meyra mengirim pesan untuk keduanya. Meminta keduanya datang ke sekolah untuk membantunya. Al dan Oi pun senang. Mereka memang ingin datang ke acara khusus murid kelas XII itu. Begitu Meyra meminta mereka datang, kedunya pun bersemangat. Al dan Oi ingin melihat dan menyimak Meyra saat berbicara di depan kakak kelas mereka.

Saat sampai disekolah, Al dan Oi langsung menuju ruang tamu sekolah yang berada di dekat ruang kepala sekolah. Tak langsung masuk, keduanya duduk menunggu di salah satu bangku yang berada di depan ruang tamu sekolah. Kemudian Al menghubungi Meyra. Tak lama kemudian, Meyra keluar bersama seorang temannya.
Tadinya Al dan Oi menduga Meyra ditemani Linda. Ternyata keduanya salah. Gadis yang menemani Meyra hampir serupa dengan Aning—potongan rambut dan pakaian seperti laki-laki. Bahkan, teman Meyra benar-benar terlihat seperti laki-laki. Meyra memperkenalkannya sebagai Didi. Meyra juga menyebut Didi sebagai my partner in crime.
“Kalau kami dilarang masuk gimana Eonni?” Oi ragu.
“Ntar aku bilang kalian kru yang bantuin aku. Didi nanti bakalan rekam aku pas jadi pembicara. Duh! Ada kalian kok aku makin gugup ya?” Keluh Meyra. “Kayaknya aku kudu telpon Linda dan minta resep anti gugup ke dia.”
“Kok Linda Eonni?”
“Linda pernah jadi pembicara juga di sekolahnya. Ya kayak gini. Berbagi pengalaman, memotivasi adik-adik kelas XII yang akan lulus.”
“Woa!” Oi terkesima. Begitu juga Al. Walau hanya diam, ekspresinya menunjukkan kekaguman.
“Padahal tadi juga udah telponan. Masih gugup gini. Nggak mungkin kan aku ngomong sambil liat rambut adek-adek kelas XII? Pasti ada kontak mata. Itu bikin gugup. Sialan banget sih!”
Al dan Oi kompak tersenyum melihat tingkah dan mendengar ocehan Meyra. Kakak perempuan mereka itu memang selalu seperti itu saat gugup. Setelah itu, pasti Meyra akan mencari toilet.
“Al, toilet di mana ya? Anterin. Aku kebelet pipis.”
Al dan Oi tersenyum lebih lebar. Tebakan keduanya benar adanya.
“Kamu anterin Mey Eonni. Aku nemenin Kak Didi di sini.” Oi membagi tugas.
Al dan Meyra pun pergi. Oi dan Didi duduk di bangku yang berada di dekat ruang tamu sekolah.

Acara dijadwalkan dimulai pada pukul sepuluh pagi. Al, Oi, dan Didi masuk lima belas menit sebelum acara dimulai. Didi menyiapkan tripod dan kamera yang akan digunakan untuk merekam Meyra. Karena ada kru fotografi yang disewa sekolah untuk mengabadikan momen motivasi itu, Didi harus mencari tempat yang tepat agar bisa merekam dengan baik. Akhirnya ia menata tripod dan kamera di sisi kanan panggung. Dari sana cahaya tak terlalu silau, pun tak terlalu jauh. Dari sudut itu, Didi bisa merekam Meyra dengan baik.

Acara dimulai pada pukul sepuluh lebih lima belas menit. Moderator acara itu seorang guru perempuan. Guru Bahasa Indonesia kelas XII. Setelah membuka acara, moderator memperkenalkan para pembicara, termasuk Meyra. Moderator menyebutkan Meyra akan menjadi pembicara ketiga. Setelah berbasa-basi sejenak dan sambutan dari kepala sekolah, moderator pun mempersilahkan pembicara pertama untuk memulai sesi motivasi.
Al, Oi, dan Didi duduk di kursi yang Oi ambil dari bagian belakang aula. Ada tumpukan kursi plastik di sana. Oi mengambil tiga buah. Untuk Al, Didi, dan dirinya sendiri. Ketiganya duduk sambil ikut menyimak materi yang disampaikan pembicara.
Pembicara pertama menyampaikan materinya dalam waktu yang cukup singkat. Ketika membuka sesi tanya jawab, tak banyak pula murid yang mengajukan pertanyaan. Pembicara pertama menghabiskan waktu empat puluh lima menit. Moderator kembali menyapa, berbasa-basi selama tujuh menit. Kemudian mempersilahkan pembicara kedua untuk menyampaikan materi.
Sesi pembicara kedua lebih panjang dari pembicara pertama. Para murid pun banyak yang bertanya saat sesi tanya jawab di buka. Melihat hal itu, kepercayaan diri Meyra menurun. Sebenarnya sejak ia duduk di atas sofa yang berada di atas panggung, ia sudah merasa gugup. Namun, perlahan ia bisa menguasai dirinya. Ketika pembicara kedua mengakhiri sesi motivasinya yang menghabiskan waktu lebih dari satu jam, rasa gugup itu kembali menggerayangi Meyra.
Krisis percaya diri dan gugup. Rasanya Meyra ingin menghilang saja. Ia merasa pengalaman yang ia bagi tidak sebagus pengalaman pembicara pertama dan kedua. Terlebih, murid pasti sudah bosan karena duduk lama dan mendengarkan orang mengoceh. Meyra mengumpulkan keberanian. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan menyampaikan materi dengan cepat, lalu segera mengakhiri sesi untuknya.
Ketika moderator memanggil namanya untuk mengisi sesi ketiga, jantung Meyra seolah terjun bebas ke lantai panggung. Susah payah ia membuat dirinya tenang, sembari bangkit dari duduknya dan menerima mic yang diberikan moderator. Meyra melihat ke tempat Al, Oi, dan Didi berkumpul. Didi berdiri di belakang kamera, memberi tanda oke padanya dengan tangan kanan. Sedang Al dan Oi, duduk di atas kursi. Kedua adiknya itu melakukan gerakan tanda memberi semangat ala-ala orang Korea.
Meyra tersenyum. Menarik napas, lalu menghembuskannya dengan pelan. Lalu, ia mengalihkan pandangan pada murid-murid kelas XII yang duduk berjajar di hadapannya. Tangan kanan Meyra yang memegang mic pun terangkat. “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Meyra memulai sesinya.
Murid kelas XII menjawab salam Meyra dengan serentak.
Meyra tersenyum. “Jujur ini adalah pertama kalinya saya berbicara di atas panggung, di depan ratusan manusia seperti ini. Jadi, mohon maaf jika saya terlihat kaku. Saya gugup sekali di sini.”
Murid-murid kompak tertawa.
Lagi-lagi Meyra tersenyum. “Saya merasa senang, merasa terhormat, sekaligus merasa minder karena bisa berada di sini. Terlebih berada satu panggung dengan dua pembicara sebelumnya, Pak Priyo dan Pak Setia Budi.
“Terima kasih kepada bapak berdua yang mau berbagi panggung dengan saya. Dan, terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak SMA Wijaya Kusuma yang telah mempercayakan satu sesi di atas panggung ini untuk saya.
“Di sini saya yang paling muda dan kebetulan juga yang tingkat pendidikannya paling rendah. Saya hanya lulusan SMA. Tapi, saya bangga menjadi lulusan SMA Wijaya Kusuma. Dan, inshaa ALLOH pengalaman yang saya bagi tidak kalah menarik dari pengalaman Pak Priyo dan Pak Setia Budi. Maaf ya, Pak. Saya sedikit sombong. Ini untuk ngusir rasa minder saya.”
Bukan hanya Pak Priyo dan Pak Setia Budi yang tertawa. Tapi, juga murid-murid kelas XII. Tingkah Meyra memang terlihat menggemaskan.
Meyra pun kembali bicara. Membagi pengalamannya selama sekolah di SMA Wijaya Kusuma pun tentang kehidupannya pasca lulus dari SMA Wijaya Kusuma. Tentang kegagalannya memasuki perguruan tinggi sesuai minatnya. Tentang pengkhianatannya pada kedua orang tuanya karena diminta masuk ke perguruan tinggi sesuai minat kedua orang tuanya. Tentang depresi yang sempat ia alami dan bagaimana ia bangkit dari keterpurukan itu.
“Kali aja di sini ada yang sudah baca buku saya, semua yang saya tulis di situ nyata. Benar-benar terjadi dalam hidup saya. Kebetulan yang membuka jalan untuk saya kembali bangkit adalah Kim Jaejoong. Saya biasa manggil dia Mas Jeje.
“Tahun 2008 saya mendapat hadiah kalender meja dari salah satu teman saya yang dulunya bekerja jual VCD mp3 dan video lagu Asia. Entah kenapa ketika saya melihat foto Mas Jeje, ada sesuatu yang aneh yang saya rasakan. Belakangan baru saya sadari itu cinta pada pandangan pertama. Love at the first sight.”
Murid-murid kembali tertawa.
“Dari Mas Jeje, pintu ke dunia baru saya terbuka. Saking pengennya bisa terhubung sama Mas Jeje, saya sampai belajar komputer. Zaman sekolah di sini, saya ikut kursus komputer yang diadakan sekolah. Zaman nggak enak dulu. Komputer masih hitungan jari. Tapi, saya nggak serius belajarnya.
“Pas kenal Mas Jeje, jadi nyesel. Kenapa dulu nggak belajar dengan baik? Untung ada Rendra. Dia alumni sini juga. Sekarang udah jadi guru Biologi. Dia yang bantuin saya belajar komputer dan Internet. Saya dibikinin Friendster. Sekarang udah nggak ada. Dan, dibuatin Facebook juga.
“Dari sana saya ketemu sesama fangirl. Lalu, memulai usaha. Jualan kaos, hoodie, dan jaket. Alhamdulillah bisa jalan sampai sekarang. Walau saya gagal meraih impian saya, jadi pemandu wisata. Alhamdulillah dengan bisnis kaos ini saya bisa jalan-jalan. Ternyata nggak harus jadi pemandu wisata buat bisa jalan-jalan.”
Terdengar tawa murid lagi.
“Dan, yang paling penting. Saya bisa mengatasi ketakutan saya. Walau tanpa jadi pemandu wisata atau bidan, bidan itu impian emak saya. Alhamdulillah saya bisa hidup dan menghidupi orang tua saya yang sekarang sudah pensiun.
“Alhamdulillah Theona Shop, online shop saya juga udah punya toko di Malang kota. Silahkan mampir kalau ke Malang. Yang lagi sibuk dengan kamera di sana itu yang pegang toko di Malang. Cabang online shop-nya ada di Bekasi, Tangerang, dan Jakarta. Kami semua fangirl yang bisa sukses bergantung hidup dari idola kami.”
Suasana hening sejenak. Di tempat duduknya, Al dan Oi tiba-tiba merasa terharu.
“Intinya, jangan pernah takut menjadi diri sendiri. Apa pun itu! Jika adik-adik punya impian, kejar! Perjuangkan. Jika adik-adik menyukai sesuatu, nggak papa. Tekuni. Sekalipun hobi adek-adek itu dipandang sebelah mata. Lakukan apa pun itu yang membuat kalian bahagia. Karena, yang paling utama dari kehidupan ini adalah kebahagiaan.
“Punya banyak duit, tapi nggak bahagia. Percuma! Hidup nggak tenang. Ngenes. Hidup hanya sekali. Harus dijalani dan dinikmati. Jangan takut menjadi berbeda. Menjadi berbeda itu menyenangkan.
“Tapi, jangan melakukan sesuatu yang menyalahi aturan. Bagaimanapun juga, sesuatu yang menyalahi aturan itu hanya bahagia yang semu. Percaya deh. Dan, yang paling penting. Jangan melupakan atau meninggalkan Tuhan. Hanya Tuhan yang setia bersama kita ketika semua pergi dari kehidupan kita. Dan, hanya Tuhan sandaran paling kuat bagi kita.
“Apa pun impian kalian, bertanggung jawab lah dengan pilihan kalian. Perjuangkan. Berusaha dan berdoa. Bersandar pada Tuhan. Seandainya kalian gagal kayak saya, jangan menyerah. Cari sela, bangkit lagi. Tuhan pasti kasih jalan. Yakinlah, Tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan. Walau Dia sering tidak memberi apa yang kita minta.
“Maaf jika sharing pengalaman saya ini nggak jelas. Bahkan mungkin bikin enek karena cerita tentang kehidupan fangirl. Saya berharap, apa yang saya alami dan saya bagi di sini bisa bermanfaat buat adik-adik. Saya harap, apa yang saya alami, yang baik-baik aja nurun ke adik-adik.”
“Aamiin.” Terdengar suara kompak mengamini harapan Meyra.
“Jangan lupa baca buku saya. Di perpustakaan sekolah udah ada. Maaf banyak promosi dari tadi. Monggo yang mau tanya. Jangan tanya soal kehidupan pribadi ya.”
Tawa murid kembali pecah. Sesi tanya jawab pun dimulai. Tak terduga, banyak murid yang mengajukan pertanyaan pada Meyra.
Selesai dengan tanya jawab, Meyra akan mengakhiri sesinya. “Tadi saya nanya sama panitia, apa bisa saya kasih persembahan untuk adik-adik kelas XII. Katanya bisa. Jadi, nanti saya ada bagi buku dan kaos gratis untuk 10 orang yang beruntung. Tapi, sebelum itu saya mau nyanyi. Boleh nggak saya nyanyi?”
“Boleh!!” Terdengar suara beberapa gadis antusias. Oi ikut berteriak bersama kakak-kakak seniornya menjadi anggota grup chat.
“Yah. Kok cuman dikit. Nggak jadi nyanyi deh. Boleh nggak sih saya nyanyi?”
“Boleh!” Kali ini suara lebih banyak dan lebih meriah.
“Terima kasih. Lagu ini untuk adik-adik yang baru saja lulus. Tetaplah bersemangat! Jalan kalian baru dimulai. Sebelumnya, Al dan Oi bisa tolong naik ke atas panggung untuk bantu saya nyanyi?”
Al dan Oi pun bangkit dari duduknya. Bersama berjalan menuju panggung. Lalu, naik ke atas panggung dan bergabung bersama Meyra.
“Persembahan dari kami. Wanna One Always Indo version.” Meyra menyebut judul lagu yang akan ia nyanyikan bersama Al dan Oi.
Murid kelas XII bertepuk tangan. Lalu, alunan musik Wanna One - Always mulai terdengar. Meyra, Al, dan Oi menyanyikan lagu itu namun liriknya diubah ke dalam bahasa Indonesia agar semua yang ada di aula bisa memahami makna dari lagu Always.
Saat reff kedua dinyanyikan, Arwan, Fuad, Jia, Nurul, Aning, Rifqi, Rina, Lila, dan Yani masuk ke dalam aula. Membagikan mawar merah segar pada seluruh murid kelas XII yang duduk di depan panggung.
Hanya reff ketiga, Meyra, Al, dan Oi menyanyikannya dengan lirik bahasa Korea hingga lagu berakhir. Pada saat reff ketiga itu dinyanyikan, siswi-siswi anggota grup chat mengangkat tangan kanan yang memegang mawar merah. Mereka menangis karena terharu. Murid lain yang melihatnya pun mengikuti. Mengangkat tangan kanan yang memegang mawar merah, menggerakannya ke kanan dan ke kiri.
Melihat hal itu dari atas panggung, Meyra, Al, dan Oi dibuat merinding, sekaligus merasa haru. Bahkan, Meyra tak bisa menahan tangisnya. Selesai bernyanyi, Meyra, Al, dan Oi saling berpegangan tangan, lalu kompak membungkuk pada penonton. Lalu, ketiganya saling berpelukan dan menangis di atas panggung. Beberapa siswi kelas XII pun ikut menangis karena terbawa suasana.
***

Penampilan Al dan Oi yang menemani Meyra menjadi pembicaraan di SMA Wijaya Kusuma. Jia yang sengaja merekam momen itu, membagikan videonya di grup chat. Dari sana video penampilan Al dan Oi tersebar.

Meyra sengaja meminta bantuan Jia dan Nurul untuk membagikan mawar merah segar pada seluruh murid kelas XII. Baginya, mawar merah cocok untuk mewakili ucapan selamat pada tiap murid. Meyra sengaja tidak memberi tahu Al dan Oi tentang ia meminta bantuan Jia.
Jia dan Nurul senang. Setelah mendapat persetujuan Meyra, mereka pun meminta bantuan teman satu gengnya, plus Lila dan Rina. Berkat Jia dan Nurul, konsep yang disusun Meyra sukses di jalankan.
Buku hasta karya Meyra yang ada di perpustakaan sekolah pun mendadak jadi incaran murid yang penasaran pada kisah hidup Meyra. Meyra memberikan lima buah buku untuk perpustakaan sekolah. Kelimanya menjadi rebutan murid yang penasaran dan ingin membaca secara gratis.
Saat puncak perayaan ulang tahun sekolah, Meyra pun mendapat undangan untuk hadir. Gadis itu pun datang ditemani Linda. Duduk di bawah tenda, di deretan kursi untuk tamu undangan. Sementara itu, Al, Oi, Jia, Nurul, dan Aning membuka stan di bazaar. Stan yang menjual buku karya Meyra, kaos, hoodie, jaket, dan pernak-pernik Kpop yang merupakan produk Theona Shop. Stan itu juga menjual Gimbab Akang Niel. Tidak hanya Gimbab, Linda menambah menu dengan kimchi dan tteokbokki—kue beras khas Korea. Stan Al ramai dipadati pembeli. Barang-barang yang mereka jual laku keras. Bahkan beberapa sold out. Termasuk produk makanan Korea buatan Linda.
Meyra dan Linda yang merasa bosan pun memilih meninggalkan lapangan basket dan menuju stan Al dan Oidi bazar. Tidak membuang kesempatan, beberapa murid—terutama anggota grup chat—meminta foto bersama Meyra. Al dan Oi tersenyum menatap Meyra yang sibuk meladeni ajakan foto bersama.
Aku nggak peduli dikatain lesbian pecinta plastik dan udel. Yang penting Tuhan tahu aku normal. Dan yang paling penting, Tuhan tahu aku tidak meninggalkan-Nya. Aku senang berada di jalan ini. Menjadi fangirl tak selamanya buruk. Buktinya Mey Eonni. Dia bisa sukses bermula dari menjadi seorang fangirl. Mulai sekarang, aku akan terus percaya diri dan meminta bimbingan Tuhan dalam menapaki jalanku. Mari nikmati masa SMA yang menyenangkan ini! Oi tersenyum lebar. Ia semakin bersemangat dalam menjalani hidupnya. Ia pun optimis dan siap menghadapi tantangan apa pun.
Lakukan apa pun yang membuatmu bahagia, tapi jangan menyalahi aturan dan norma. Dan, jangan meninggalkan Tuhan. Akan aku ingat selalu tiga hal itu. Terima kasih, Mbak Mey. Karenamu, hidupku jadi penuh warna. Aku bahagia. Semoga kelak, aku pun bisa sukses sepertimu. Aamiin. Al tersenyum menatap Meyra yang masih sibuk meladeni permintaan foto.
“Al! Oi! Eri mau tampil lho! Kalian nggak liat?” Rifqi mendatangi stan Al dan Oi hanya demi memberitahu bahwa Eri akan tampil.
Al dan Oi saling melempar pandangan, lalu kompak tersenyum.
“Kami lagi sibuk.” Ujar Oi. “Kamu nggak liat apa ramainya stan kami?”
Rifqi baru menyadari jika stan Al dan Oi dipadati pembeli. Di dekatnya, ada Meyra yang sibuk meladeni permintaan foto bersama. “Butuh bantuan nggak?” Rifqi menawarkan bantuan.
“Tolong ambilin barang kami di mobil Kak Didi dong. Beberapa dah habis dan tinggal dikit nih. Ada di parkir di luar, deket timur gerbang. Mobilnya warna merah.” Al meminta bantuan Rifqi.
“Oke! Jangan lupa upah part time-nya ya!” Ujar Rifqi seraya pergi meninggalkan stan.
Al dan Oi kompak tertawa bersama. Lalu, kembali sibuk meladeni pembeli.


- The End -


[1] Tidak


Search This Blog

Total Pageviews