Bilik shytUrtle

Unek-unek di Kepala Tentang Depresi

05:32



Unek-unek di Kepala Tentang Depresi

Sebelumnya terima kasih kepada teman-teman yang sudah membagikan postingan saya. Terima kasih. Semoga tulisannya bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Tahun ini aku kehilangan dua orang yang sama-sama bersinar dan berbakat. Keduanya divonis meninggal dengan cara bunuh diri. Bunuh diri karena depresi yang mereka alami. Juli lalu Om Chester Linkin Park. Desember ini Jonghyun SHINee.

Syok dan sedih. Kenapa orang-orang hebat itu harus pergi dengan cara demikian?

Depresi bukan masalah sepele yang bisa dijadikan candaan. Depresi bukan masalah sepele yang tak perlu ditanggapi atau diberi perhatian.

Please stop! Berhenti beranggapan seperti itu!

Depresi adalah masalah yang serius. Masalah yang harus ditanggapi dan diberi perhatian secara khusus. Kalau nggak percaya, coba googling aja. Apa itu depresi dan apa dampaknya.

Mengutip dari artikel di Alodokter dot com. Depresi bukanlah kondisi yang bisa diubah dengan cepat atau secara langsung. Tanpa penanganan dan pengobatan yang tepat, depresi bisa mengganggu hubungan dengan orang di sekitar Anda. Untuk depresi yang berat atau parah, depresi bisa berakibat pada hilangnya hasrat untuk hidup dan keinginan untuk bunuh diri. Akibat dari depresi yang paling parah adalah kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

See? Depresi bukanlah masalah sepele!

Aku pernah pada titik yang saat itu hampir saja aku melakukan bunuh diri dengan melompat dari atap gedung. Itu ketika aku masih SMA.

Sejak kecil aku hidup terisolasi dari lingkungan luar. Aku nggak begitu pandai bergaul. Di sekolah, aku nggak populer. Masuk dalam jajaran tiga besar, lima besar, atau sepuluh besar apakah termasuk berprestasi?

Entahlah. Aku selalu merasa diriku kurang dari yang lain. Kurang pintar, kurang cantik, kurang pandai bergaul, kurang pandai berolah raga. Rasa itu semakin parah ketika aku masuk SMP. Aku tidak cantik. Aku tidak pintar. Aku tidak pandai bergaul.

Terlebih ketika SMP aku sakit-sakitan. Usai MOS sakit. Mau ujian sakit. Kelas II SMP harus operasi sinusitis. Hiatus dari sekolah. Kelas III terkena tipes. Hiatus lagi dari sekolah hingga 1,5 bulan lamanya.

Tubuh jadi kurus. Pikiran ketakutan. Bagaimana jika aku tidak bisa mengejar ketinggalan dan nggak lulus? Harus mengulang satu tahun lagi bersama adik kelas. Itu mimpi buruk! Ancaman!

Aku yang dengan segala rasa minder dan kurang percaya diri itu dicurigai, dituduh mencontek ketika mendapat nilai bagus di kelas. Aku yang hanya bisa diam dan berpikir, harus belajar dengan baik agar bisa lulus dan masuk SMA. Bukankah masa SMA adalah masa yang paling indah? Aku menaruh harapan besar masa SMA ku pun menjadi masa yang paling indah.

Tapi, aku tetap tak bisa menepis rasa kurang percaya diri itu. Minder itu. Rasa tidak diinginkan oleh lingkungan itu. Rasa sendirian dan terbuang. Merasa tidak disayang dan dikucilkan oleh keluargaku sendiri. Aku merasa orang tuaku hanya peduli dan menyayangi kedua kakakku.

Aku mendengar bisikan-bisikan bahwa aku nggak berguna. Aku nggak diinginkan. Orang-orang di sekitarku membenciku. Bisikan-bisikan bahwa aku lebih baik pergi bersamanya yang mengerti aku. Karena dengan bersamanya aku bisa bebas dan bahagia.

Sampai pada sore itu, menjelang Maghrib. Aku sudah berdiri di ujung atap dan siap meluncur ke bawah di tangkap bambu-bambu yang berjajar menahan deretan tanaman tomat. Bisikan itu semakin terdengar jelas di telingaku. Membuaiku untuk terbang menuju kebebasan yang abadi.

Tubuhku sudah condong ke depan dengan kedua tangan terbuka. Siap terbang menyambut kebebasan. Tapi, tiba-tiba sesuatu menarikku ke belakang. Membuatku jatuh terduduk. Aku terdiam sejenak, kemudian menangis tersedu. Menyadari betapa bodohnya aku yang hampir saja melakukan bunuh diri.

Merasa ada yang tak beres pada diriku, aku mulai menceritakannya pada salah satu temanku. Ia menyarankan agar aku berbicara pada keluargaku. Tentang masalahku. Ia juga menyarankan agar aku lebih dekat dengan Tuhan.

Aku berpikir aku sudah melakukan banyak hal, tapi sepertinya hal itu kurang membuatku menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Lalu, aku pun mulai berbicara pada kakak sulungku. Tentang masalahku.

Perlahan aku mulai memperbaiki apa yang salah pada diriku. Mulai membuka diri dan melihat diri sendiri dengan sudut pandang yang lebih positif. Aku mulai bisa menikmati hidupku bersama teman-temanku. Mulai bisa menerima adanya diriku. Mulai bisa mengatasi krisis kepercayaan diri. Kakak sulungku menjadi tempatku berkeluh kesah. Ia pun memberiku sebuah buku, karya Dr. Robert Anthony. Tentang rahasia membangun percaya diri. Buku itu benar-benar membantuku bertumbuh.

Setelah belasan tahun dalam keadaan aman, aku kembali dihadapkan pada situasi sulit. Ketika aku divonis GERD pada November 2014. Penyakit dengan sejuta sensasi dan ribuan keluhan. Dari GERD, mendapat sakit psikis bernama psikosomatis dan gangguan kecemasan (anxiety).

Kembali mengalami krisis kepercayaan diri. Sakit dengan sejuta sensasi yang tak kunjung membaik walau sudah rutin melakukan pengobatan. Merasakan sakit dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hanya bisa berbaring di atas ranjang. Tidak bisa melakukan aktifitas apa pun. Tidak bisa bekerja. Berat tubuh berangsur menyusut. Selalu mual membuat tak enak makan. Mual di pagi hari sampai dituduh hamil. Wanita single yang tidak pernah punya pacar tiba-tiba dicurigai hamil. How do you feel? Me? Broke!

Merasa nggak berguna. Merasa jadi beban bagi keluarga. Bahkan, sempat berpikir mungkin sudah waktunya aku mati. Dihantui ketakutan akan datangnya kematian. Dibelenggu rasa nggak berguna dan merasa jadi beban bagi yang sehat. Setiap malam insomnia. Sampai-sampai aku melukai diriku sendiri dengan menyayati lengan kiriku.

Kakak sulungku selalu berpesan, jangan banyak melamun, sabar, selalu istighfar. Bahkan, ia berpesan pada orang tuaku jangan sampai membiarkan aku sendirian. Dalam kondisiku yang seperti itu, ia hanya takut aku melakukan hal nekat seperti belasan tahun yang lalu; hampir bunuh diri.

Karena alasan itu, ibu melarang aku mengunci kamar dan setiap malam menengokku ke kamar. Secara diam-diam. Jika aku bisa terlelap, seringnya aku tindihen. Itu pula yang di waspadai ibuku.

Memiliki sakit psikis itu benar-benar menyiksa dan melelahkan. Tidak hanya pikiran saja yang sakit. Tapi, juga fisik. Terlebih datangnya serangan panik itu tidak bisa di duga. Lagi enak-enaknya makan siang, nggak sengaja denger berita kematian di TV. Langsung tubuh gemetaran, pusing, mual, rasanya mau ambruk saja. Melihat keramaian langsung pusing, sesak napas, gemetaran. Nyetir motor sendiri gemetaran, sesak napas, pusing, mual.

Aku benar-benar lelah dengan itu semua. Aku takut keluar rumah. Takut bertemu banyak orang. Semakin merasa nggak berguna. Semakin merasa jadi beban keluarga. Setiap hari merasa kelelahan padahal tidak melakukan aktifitas yang berlebihan. Lebih sering mengurung diri. Jika keluar dan terkena matahari, rasanya mata sakit, kepala pusing, mual. Itu semua melelahkan.

Aku tiba pada titik aku merasa tidak sanggup lagi menghadapi itu semua. Aku merasa tubuhku udah sangat lelah dan nggak sanggup lagi untuk bertahan. Aku menangis dan memohon untuk dibawa ke psikiater saja. Aku berpikir hanya itu satu-satunya jalan. Keluargaku nggak menolak. Mereka mengatakan akan mendukung apa pun itu asal bisa membuatku sembuh.

Tapi, ketika ijin sudah di dapat. Aku kembali meragu. Kembali terombang-ambing. Lalu aku berpikir aku butuh seseorang untuk diajak bicara. Aku kembali membuka diri, berbicara pada orang-orang yang aku percaya bisa sebagai tempat aku menemukan solusi.

Dari sana aku mendapat gemblengan, mendapat support untuk maju, bertindak, dan melawan. Tanpa bantuan psikiater. Alhamdulillah berkat keberanian itu aku sembuh dari penyakit psikis yang aku alami.

Walau tidak sampai pada depresi, tapi apa yang aku alami sangat menyiksa jiwa dan raga. Nggak bisa bayangin gimana rasanya orang-orang yang udah masuk pada tahap depresi. Dan, mereka yang bisa bertahan adalah orang hebat. Om Chester misalnya. Beliau hebat karena bisa bertahan hidup sampai umur 41 tahun. Walau akhirnya beliau menyerah pada keadaan dan bunuh diri.

Jonghyun pun demikian. Sejak kecil ia mengidap SAD (Seasonal Affective Disorder). Itu artinya dia telah mengalami depresi sejak lama. Dan, bisa bertahan hingga umur 27 tahun adalah hebat. Walau pada akhirnya ia pun menyerah dan memilih bunuh diri.

Walau aku tidak mengidap SAD dan tidak tinggal di negara empat musim. Cuaca dingin memang cukup mempengaruhi padaku yang hidup dengan adanya anxie. Terlebih awal Desember lalu secara tiba-tiba aku hampir pingsan di tempat kerja tanpa adanya tanda-tanda aku sakit. Setelah di cek, ternyata tensiku drop. Seiring dengan drop nya kondisi fisikku, anxie yang udah setahun nggak pernah kambuh muncul lagi. Kembali menggerogoti pikiran serta fisikku.

Hari-hari penuh siksaan dan perjuangan pun terulang. Jika tidak ada matahari dan hawa terlalu dingin, aku merasa gusar. Aku merasa pusing, mual, bahkan sakit di sana-sini. Ketika matahari bersinar, aku merasa tenang. Hanya dengan 10 menit saja berjemur, aku sudah merasa tenang. Jika lebih dari itu, rasa pusing juga muncul. Bagaimana hidup dengan semua sensasi seperti itu?

Seperti kata Dokter Andri, depresi itu bisa di deteksi karena ada gejalanya. Hanya saja kadang ketika si penderita mencoba mencurahkan keluhannya, kita yang kurang tanggap.

Masa iya sih kamu depresi? Kelihatan baik-baik saja dan ceria gitu?

Seringnya begitu kan? Mulai sekarang, mari kita berusaha lebih peka. Orang yang selalu ceria dan menguatkan yang lain seringnya ia lah yang paling rapuh dan butuh dikuatkan. Jika kita memiliki orang dekat yang seperti itu dan tiba-tiba dia curhat, tolong dengarkan. Bisa jadi dia memang sedang dalam kondisi yang tidak baik dan benar-benar butuh dukungan.

Di sisi lain, kadang orang yang depresi enggan membagi rasa sakit yang ia alami. Untuk tipe yang seperti ini yang membutuhkan perhatian secara lebih detail.

Depresi itu bisa menyerang siapa saja. Nggak harus orang terkenal. Terlebih di jaman sekarang yang apa-apa serba mudah, tapi juga susah.

Jika Anda merasa ada yang tak beres pada diri Anda. Bicaralah! Bicara pada siapa yang Anda percaya. Ungkapkan semuanya. Kadang kita memang butuh bantuan orang lain untuk menemukan masalah kita. Untuk menemukan solusi dari masalah kita.

Jangan memendamnya sendiri. Tubuh kita, otak kita, pikiran kita punya batasan. Jika sudah merasa nggak mampu menahan beban, jangan takut untuk mencari bantuan. Kita nggak sendiri. Seburuk-buruknya kita, pasti kita memiliki satu orang yang peduli sama kita.

Seandainya tak ada, kembalilah pada Tuhan. Ceritakan semua pada-Nya. Pasrahkan semua pada-Nya. Tuhan sangat menyayangi makhluk-makhluk-Nya. Ia tak akan memberi kita ujian di luar kemampuan kita. Ia nggak akan ngasih ujian, tanpa ngasih solusi. Kita nggak pernah sendirian. Karena kita punya Tuhan yang selalu ada untuk kita. Walau kadang kita sering mengabaikan Dia.

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Mari menjadi lebih tanggap dan lebih peduli. Karena gangguan mental, depresi, dan sejenisnya bisa menyerang siapa saja. Termasuk saya, juga Anda.

Semoga kita semua diberkahi dengan kesehatan fisik dan mental. Semoga semua makhluk berbahagia. Aamiin...

Maaf jika ada salah kata.
Terima kasih.
Tempurung kura-kura, 23 Desember 2017.
. shytUrtle .


Search This Blog

Total Pageviews