Fly High! - Sembilan
06:46
Fly High!
Sembilan
Oi menyeret Al untuk menemaninya ke toilet saat murid-murid
berduyun-duyun menuju lapangan basket untuk mengikuti upacara bendera yang
digelar setiap hari Senin pagi. Oi mengeluh perutnya sakit dan tak tahan lagi
hingga menyeret Al ke toilet. Hingga upacara dimulai, Oi tak kunjung keluar
dari toilet. Al pun dengan sabar menunggu di depan toilet.
“Al? Ngapain?” Arwan yang sedang
berkeliling untuk melakukan penilaian kelas menemukan Al di depan toilet. Arwan
akan menuju kelas XI-IPS1. Toilet berada tepat di samping kelas XI-IPS1. Karena
itu ia bisa melihat Al ketika akan masuk ke kelas XI-IPS1.
“Siapa di sana?” Tanya rekan Arwan.
Setiap hari Senin ada anggota OSIS yang berpatroli ke kelas-kelas untuk menilai
kebersihan kelas saat upacara bendera berlangsung.
“Ini Al.” Jawab Arwan. “Anak PMR
dia.”
“Oh. Piket ya? Kok nggak pakek scarf? Kelas berapa kamu?”
“Sekelas sama aku.” Jawab Arwan.
“Ngapain di toilet?”
“Ini temenku sakit perut. Tadi mau
aku ajak ke UKS, nggak tahan katanya. Minta ke toilet aja. Maaf, saking
paniknya lupa nggak pakek scarf.” Al
pun memberi penjelasan.
“Oh ya udah.” Rekan Arwan pun masuk
ke dalam kelas XI-IPS1.
“Oi kenapa?” Arwan bertanya tentang
Oi.
“Tahu tuh. Diare kayaknya. Ini yang
kedua dia masuk toilet.”
“Kamu kan apotek berjalan. Emang
nggak bawa obat diare apa?”
“Bawa. Di tas. Kalau aku ke kelas
kan ntar bisa keliatan dari lapangan basket. Mana aku nggak pakek scarf. Kalau guru tim tata tertib
sekolah tahu aku bukan OSIS kan gawat.”
“Iya juga sih. Atau, mau aku
ambilin?”
“Nggak usah!” Oi yang menjawab dari
dalam bilik toilet yang tertutup rapat.
“Kamu habis makan apa Oi? Kok sampek
diare?” Tanya Arwan.
“Kemaren emak masak jangan pedes[1]
banget. Nyesel aku makan banyak-banyak.”
Al dan Arwan kompak tersenyum
mendengar jawaban Oi.
“Ya udah, aku lanjutin tugas dulu
ya. Hati-hati, jangan sampai tertangkap tim TATIB.”
Al tersenyum dan mengangguk. Arwan
pun pergi meninggalkannya. Oi keluar dari salah satu bilik toilet. Wajahnya
sedikit pucat dan dipenuhi peluh.
“Oi, kamu baik aja? Kita ke UKS aja
yuk?” Al khawatir melihat kondisi Oi.
“Ancrit!”
Oi mengumpat. “Kebelet lagi!” Ia kembali masuk ke dalam bilik toilet.
Al menghela napas dan menggelengkan
kepala.
Saat upacara bendera selesai dan
murid membubarkan diri untuk kembali ke kelas masing-masing, Al dan Oi menyusup
di antara murid untuk kembali ke kelas. Sesampainya di kelas, Al langsung
memberikan obat diare pada Oi. Oi pun segera meminumnya.
Al dijuluki apotek berjalan karena
ia selalu membawa obat-obatan di dalam tasnya. Meyra yang memintanya melakukan
hal itu. Saat sekolah dulu, Meyra pun selalu melakukan hal yang sama; membawa
obat-obatan di dalam tasnya. Karena Meyra tergolong jenis murid yang gampang
sakit. Saat menstruasi pun ia selalu kesakitan. Karenanya ia selalu membawa obat
dalam tasnya. Obat-obatan yang bisa digunakan disaat genting seperti obat
pengurang rasa nyeri, obat diare, obat flu, plester, dan minyak kayu putih
selalu ia bawa.
Saat Al masuk SMA, Meyra sengaja
mempersiapkan tas kecil berisi obat-obatan yang bisa dibawa Al ke sekolah.
Awalnya Al menolak. Namun, setelah mengalami nyeri haid hebat saat kelas X dan
ketika meminta obat ke UKS di sana kehabisan obat, Al setuju membawa tas obat
yang diberikan Meyra. Kala itu Al sampai di pulangkan di jam kedua pelajaran karena
nyeri haidnya tak kunjung reda. Sejak saat itu ia selalu membawa tas obat
pemberian Meyra.
Ternyata tas obat itu tidak hanya
berguna untuknya. Saat kelas X, ada teman sekelasnya yang diare dan sakit gigi.
Obat yang dibawa Al bisa menolong teman-temannya. Sejak saat itu, jika di kelas
ada yang sakit, mereka selalu meminta obat pada Al. Karena itu Al dijuluki
apotek berjalan.
“Masih sakit?” Tanya Al setelah Oi
minum obat.
“Masih mules. Duh, nyesel aku makan jangan pedes banyak-banyak.”
“Nggak biasanya kamu diare gini
sehabis makan pedes. Kamu kan porange
lombok[2].
Tahan banting aja walau makan lombok
sekilo.”
“Itu dia. Aku juga heran. Biasanya
nggak papa. Tapi, tadi pagi di rumah udah tiga kali. Kupikir udah bakalan
mampet. Eh, mau upacara tadi sakit lagi. Maaf ya. Kamu jadi satpamin aku di
toilet.”
“Nggak tega aku ninggalin kamu.”
“Kalian kenapa nggak ikut upacara?” Tanya
Aning yang baru memasuki kelas.
“Kejebak jadi satpam di toilet aku.
Oi diare.” Jawab Al.
“Wah! Habis makan apa kok sampek
diare, Oi?” Tanya Yani. Namun, Oi mengabaikannya. “Sekarang udah baikan?”
“Udah minum obat kok dia. Lima belas
menit lagi bakalan ilang sakitnya. Inshaa ALLOH.” Al yang memberi jawaban.
“Syukurlah. Untung ada Al si apotek
berjalan ya.” Yani tersenyum lebar.
“Gara-gara Al sama Oi hari ini kelas
kita nggak jadi juara kebersihan kelas minggu ini.” Eri yang tiba di kelas
tiba-tiba menyalahkan Al dan Oi. Menyita perhatian isi kelas XI-IPA2 yang belum
penuh penghuninya.
“Kok gara-gara Al sama Oi sih?” Tanya
Jia yang sudah duduk di bangkunya. Jia dan Nurul duduk di bangku nomer dua dari
depan pada urutan ketiga dari deretan bangku dekat pintu masuk. Posisinya cukup
dekat dengan bangku Eri dan Diana.
“Al ketangkep petugas OSIS lagi ada
di toilet. Dia ngaku tugas PMR, tapi nggak pakek scarf. Petugas OSIS tau Al anak kelas XI-IPA2. Jadinya poin kelas
kita dipotong karena Al bolos upacara. Lagian kamu aneh banget Al. Bolos
upacara malah di toilet. Kalau kamu males upacara kan bisa diem di UKS lebih
aman. Nggak pakek scarf, tapi ngaku lagi
piket UKS. Mana percaya petugasnya.”
“Al jagain aku di toilet. Dia nggak
bolos upacara tanpa alasan. Kalau mau marah, marahin aku.” Oi yang sakit
perutnya belum reda buka suara. Ia dibuat emosi oleh rasa sakit di perutnya dan
tingkah Eri.
“Kan bisa pakek scarf dulu tho?” Eri
masih ngotot menyalahkan Al.
“Hari ini bukan jadwal piket kami,
jadi kami nggak bawa scarf. Lagian
aku udah kebelet banget. Mana sempet Al pakek scarf? Itu aja dia mau jalan ke lapangan basket langsung aku tarik
buat nemenin aku ke toilet. Lagi pula, kalau kamu nemuin orang lagi sekarat,
masa kamu mau pakek scarf dulu
sebelum nolongin? Keburu matek!” Oi
semakin kesal.
“Udah lah. Lagian baru sekali ini
aja kelas kita nggak juara. Toh tiap minggu juara dan tiap bulan kita juga jadi
juara umum.” Rifqi menengahi.
“Kalau hari ini kita nggak juara,
kita nggak bakalan dapat gelar juara umum dan nggak bakalan dapat duit!” Eri
masih ngotot.
“Oh, jadi kamu abot[3]
sama duitnya? Jangan khawatir! Kalau minggu depan kelas kita nggak juara dan
nggak dapat duit, aku gantiin duitnya!” Oi menyombongkan diri. “Beli album kpop yang harganya ratusan ribu aja aku
mampu. Gantiin hadiah kebersihan yang cuman seratus rebu mah kecil!”
Eri melerok dan menghadap ke depan
kelas. Membelakangi Oi.
“Dasar setan! Kayak nggak pernah
sakit aja. Aku doain dia diganjar mencret yang lebih parah dari aku. Sampai
keciprit-ciprit. Biar malu sekalian.” Oi mengungkapkan kekesalannya.
“Wow!” Yani kaget mendengar makian
Oi untuk Eri.
“Oi! Doainnya yang baik-baik dong!
Biar baliknya baik ke kita.” Al menegur.
“Lucu kali ya kalau Eri sampai
keciprit-ciprit di kelas?” Aning terkekeh karena membayangkan ucapan Oi.
“Bakalan viral tuh.” Yani menimpali,
kemudian tertawa bersama Aning.
Arwan masuk ke dalam kelas dan
menghampiri bangku tempat Al dan Oi duduk. “Oi udah baikan?”
“Gara-gara umak, Al jadi dimarahin Eri!” Bukannya menjawab pertanyaan Arwan,
Oi malah memarahi teman sekelasnya itu.
“Kok? Dimarahi apa?” Arwan bingung.
“Tadi umak bilang ke teman umak
kan kalau Al sekelas sama umak? Aku
denger dari dalam toilet. Poin kelas kita dipotong dan Senin ini nggak jadi
juara kebersihan. Eri kalap dan marah ke Al soal itu.”
“Oalah.
Iya. Emang dipotong poinnya gara-gara Al ada di toilet. Padahal aku udah
jelasin, tapi tetep aja poinnya dipotong. Maaf ya Al.” Arwan benar menyesal.
“Nggak papa kok.” Al memaklumi.
“Bu Angeline datang!” Siswa yang
sebelumnya berdiri di depan pintu masuk ke dalam kelas. Memberi tahu jika guru
mata pelajaran jam pertama sedang menuju kelas XI-IPA2. Murid kelas XI-IPA2 pun
segara duduk di bangku masing-masing.
***
“Daebak[4]!”
Jia kaget saat mendengar kabar yang disampaikan Al. “Jadi, kita semua
diundang?” Ia memastikan.
“He’em.” Al mengangguk.
“Mbak Mey ultah ya?” Tanya Nurul.
“Ini masih bulan Februari. Mbak Mey
kan lahir bulan Mei.” Jawab Aning.
“Eh iya ya. Hehehe.”
“Katanya sih Mbak Mey mau berterima
kasih karena kalian udah dukung aku dan Oi saat audisi. Mbak Mey maunya geng
kita aja. Tapi, kalau mau ajak teman sekelas pun oke. Kayaknya baru dapat
rezeki nomplok dia. Trus, usulnya sih di Kedai Mie Bledek. Tapi, kalau kalian
mau tempat lain, boleh. Dia nurut aja katanya.”
“Di situ aja. Enak, pedes-pedes. Ada
baksonya juga. Deket dari sekolah pula.” Aning setuju traktiran digelar Kedai
Mie Bledek.
“Aku juga setuju di situ.” Nurul pun
sama. “Kalau yang lain, aku yakin setuju aja. Cowok-cowok itu dikasih makan apa
aja nggak bakalan nolak. Keranjang sampah kan mereka.”
“Hahaha. Iyo.” Aning setuju.
“Al, beneran Mey Eonni bolehin kita ajak temen sekelas?” Oi
meminta kepastian.
“He’em. Tanya sendiri kalau nggak
percaya.” Al membenarkan.
“Jia, bentar lagi kalau yang lain
dah pada masuk kelas, bikin pengumuman ya. Umumin undangan makan dari Mey Eonni. Aku penasaran, Eri bakalan dateng
apa nggak.”
“Setuju banget sama Oi!” Nurul mendukung.
“Aku juga penasaran. Hehehe.”
“Oke.” Jia setuju. “Nggak papa kan
Al?”
“Nggak papa. Mbak Mey udah acc. Aku yakin nggak bakalan semua
dateng.” Al pun setuju.
“Oke. Sebentar lagi pasti pada balik
ke kelas.” Jia melihat jam di pergelangan tangan kirinya.
***
Eri, Diana, Tiara, dan Neysa menghabiskan sisa waktu
istirahat mereka dengan duduk di bangku yang berada di dekat taman kecil di
dekat perpustakaan.
“Er, maaf banget ya. Tapi, aku
penasaran soal ini sejak masuk kelas XI-IPA2. Boleh nanya nggak?” Neysa meminta
izin.
“Tanya aja. Kayak apaan aja pakek
minta izin.” Eri mempersilahkan.
“Kenapa sih kamu nggak suka banget
sama Al dan Oi? Sampai kamu olokin mereka gitu?”
“Emang nggak suka butuh alasan ya?” Eri
balik bertanya.
“Umumnya kan gitu. Kita nggak suka
sesuatu pasti ada alasannya. Kayak aku nggak suka tomat karena rasanya yang aneh.”
“Aku nggak punya alasan. Nggak suka
aja sama mereka.” Jawab Eri enteng.
Neysa tertegun menatap Eri. Baginya
aneh karena tidak menyukai sesuatu tanpa alasan.
“Selalu heboh soal artis Korea dan
India. Apa hebatnya sih?” Eri menambahkan.
“Kok kamu nggak benci sama
cowok-cowok di kelas yang juga selalu heboh soal bola?” Buru Neysa yang masih
penasaran.
“Itu kan wajar?”
“Suka Korea dan India kan juga
wajar? Aku juga nonton drama Korea yang tayang di tivi. Bagus-bagus kok emang.”
“Aku juga nonton. Tapi, kalau kpop idol-nya aku emang nggak nyambung.”
Diana memiliki kebiasaan sama dengan Neysa.
“Kalau aku suka Black Pink. Aku juga sering nonton video kpop yang tayang di tivi. Dramanya juga nonton.” Tiara pun sama.
Eri mendesah. Menghela napas
panjang. “Mamaku juga suka nonton drama Korea. Bahkan, kadang minta aku buat download. Nggak seru katanya kalau
nonton di tivi karena pakek dubber.
Kadang aku juga nemenin mama nonton.”
Diana, Tiara, dan Neysa kompak
terbengong mendengar pengakuan Eri yang diungkapkan dengan suara lirih itu.
“Tapi, aku nggak addict kayak Al dan Oi. Cuman sekedar
nemenin Mama. Kalau India, aku nggak tahu sama sekali.”
“Film India banyak yang bagus lho!”
Diana antusias.
“Pas kelas X, awal-awal gabung PMR,
Al dan Oi sempet deket sama Mas Argo, kan?”
“Mas Argo? Pacarmu?” Tanya Tiara.
“Iya. Mereka sering sama-sama dulu.
Kadang aku mikir, apa karena ditolak Al atau Oi, trus Mas Argo nembak aku.”
“Nggak mungkin deh kayaknya.” Nesya
meragukan dugaan Eri.
“Nah, kamunya suka nggak sama Mas
Argo? Kalau nggak suka, kenapa kamu mau pacaran sama dia?” Buru Tiara.
“Suka lah. Kalau nggak suka aku
nggak bakalan jadian dan pacaran sama dia.”
“Kalau soal itu Mas Argo pernah
cerita. Pas nggak ada kamu. Kita lagi ngumpul di UKS. Trus, Angga iseng nanya
soal gimana Mas Argo bisa jadian sama kamu. Aku nggak tahu sih ya. Kan kelas X
kita nggak sekelas. Mas Argo deketin Al sama Oi tuh karena mau minta tolong
dicomblangin sama kamu.” Diana mulai bercerita apa yang ia tahu tentang Argo,
Al, dan Oi.
Eri, Nesya, dan Tiara pun menyimak.
“Kan dulu Mas Argo akrab sama Arwan
tuh. Nah katanya Arwan cerita, kalau berhasil PDKT dan jadian sama Hana karena
bantuan Al. Arwan, Hana, dan Al sekelas sama kamu kan pas kelas X? Oi juga,
kan? Karena itu Mas Argo deketin Al dan Oi, dibantu Arwan. Maunya minta tolong
buat comblangin dia sama kamu.
“Tapi, Al nolak. Katanya sungkan
sama kamu. Walau sekelas, Al nggak akrab sama kamu. Trus Silvia protes dong,
kenapa Mas Argo nggak minta bantuan dia. Padahal dia kan temen sebangkum di
kelas X. Kata Mas Argo, karena dia lebih mengenal Al dan Oi. Katanya waktu
kelas X, Al sama Oi sering main ke kelas XI-IPA1. Kelasnya Mas Argo. Karena di
sana ada Mbak Ari. Sepupunya Oi.
“Nah, Mas Argo tuh lumayan baik
berteman sama Mbak Ari. Jadi, karena Al dan Oi sering nyamperin Mbak Ari,
jadinya Mas Argo juga sering ngobrol sama mereka di luar kegiatan PMR. Mas Argo
juga bilang, dia ngomong ke Mbak Ari kalau mau minta bantuan Al dan Oi buat
jadi mak comblang. Tapi, Al sama Oi nolak. Sungkan sama kamu. Bagi mereka kamu
tuh kayak ratu yang nggak bisa mereka dekati. Karena kamu cantik dan pinter di
kelas. Gitu sih yang aku dengar.” Diana menutup penjelasannya.
Nesya dan Tiara menatap Eri yang
diam dan terlihat kaget usai mendengar penjelasan Diana.
***
Setelah bel tanda masuk berdering, murid-murid pun mulai
kembali ke kelas masing-masing. Begitu juga murid kelas XI-IPA2. Karena kelas
sudah penuh, Jia buru-buru maju ke depan kelas. Memanfaatkan jeda waktu
menunggu guru mata pelajaran berikutnya datang.
“Rek,
aku punya pengumuman penting.” Jia meminta perhatian.
“Pengumuman penting apa? Kamu akhirnya
jadian sama Haris ya?” Siswa bernama Fiki menggoda Jia. Selama ini di kelas
XI-IPA2 Jia memang selalu dijodoh-jodohkan dengan Haris.
“Opo
se, Fik. Menengo talah!” Jia
meminta Fiki diam. “Hari Sabtu nanti, kita semua dapat undangan makan-makan di
Kedai Mie Bledek. Dateng ya. Ngumpul jam 10 di Kedai Mie Bledek. Kita
makan-makan sepuasnya.”
“Siapa yang ngundang?” Tanya Rifqi.
“Mbak Meyra. Mbaknya Al.”
“Wah! Dalam rangka apa?”
“Ngajak teman boleh nggak?”
“Kalau aku ngajak pacarku boleh
nggak?”
“Byuh! Ngajak pacar nunggu gratisan.
Ra isin kowe?”
“Bisa makan sepuasnya kan? Nggak
dibatesi satu porsi aja?”
Para siswa yang antusias. Bahkan
yang bukan anggota geng Aning pun turut antusias.
“Nggak dalam rangka apa-apa. Cuman
diajak ngumpul dan makan-makan aja. Dateng ya. Kami tunggu jam 10 di Kedai Mie
Bledek. Boleh ajak pacar atau temen. Tapi, jangan banyak-banyak ya.” Oi bangkit
dari duduknya. Membantu Jia memberi penjelasan tentang undangan makan dari
Meyra.
“Buat ngrayain kalian ikuta audisi
ya?” Fuad menebak.
“Mey Eonni, eh maksudku Mbak Mey. Mbak Mey berterima kasih karena kalian
udah dukung kami untuk audisi. Jadi, dia ngajakin kita makan-makan.”
“Dasar lebay!” Eri mengomentari
penjelasan Oi dengan suara lirih.
“Tapi, pengumumannya kan baru Senin
depan. Kok makan-makannya hari Sabtu? Kan belum tahu tuh kalian lolos apa
nggak.” Tanya Rifqi.
“Mbak Mey nggak ngundang buat rayain
kami lolos kok. Sebagai wujud ucapan terima kasih karena kalian udah dukung
kami aja. Masalah lolos atau tidak, itu urusan belakangan. Gitu kata Mbak Mey.”
Giliran Al yang berbicara. “Jadi, tolong datang ya.”
“Pasti datang!” Arwan antusias.
“Aseek makan-makan gratis
sepuasnya.” Yani juga semangat.
“Akhirnya aku bisa ketemu sama Mbak Meyra.
Aku bakalan dateng, Al.” Lila antusias.
“Dari rumahmu kan tinggal melangkah
doang Lil.” Oi mengomentari letak Kedai Mie Bledek yang dekat dengan rumah
Lila.
“He’em. Tinggal jalan dikit,
nyebrang, udah sampai. Rina dateng juga kan?”
“Iya dong. Lumayan kan makan gratis.
Kamu naik angkot kan Al? Aku tungguin di terminal ya. Trus, kita naik angkot
aja ke kedainya barengan. Jalan kaki jam 10 udah panas.” Rina langsung menyusun
rencana.
“He’em. Ntar kita bisa barengan sama
Nurul, dan Jia. Aning, kamu juga nungguin di terminal?” Al menoleh ke belakang
untuk bertanya pada Aning.
“Iyo.”
Aning mengiyakan.
“Nah, kalau gitu kita berangkat
sama-sama ntar.”
“Emang kamu nggak dibonceng mbakmu
tah?” Tanya Aning.
“Nggak. Kayaknya dia bakalan ngikut
naik angkot.”
Kelas XI-IPA2 pun jadi ribut usai
Jia mengumumkan undangan makan dari Meyra. Saat guru datang, kelas itu masih
ribut.
“Ada apa tho ya kok ribut?” Tanya Bu Tutik. Guru Matematika yang akan
memberi materi usai jam istirahat.
“Itu Bu, Al ngundang kami, sekelas
untuk makan-makan di Kedai Mie Bledek hari Sabtu nanti.” Jawab siswa yang
menjadi ketua kelas.
“Wah. Ada traktiran? Ibu ikut
boleh?” Bu Tutik sudah berdiri di depan kelas, menghadap murid-muridnya. Selain
mengajar Matematika, Bu Tutik adalah wali kelas di kelas XI-IPA2.
“Boleh sekali, Bu. Datang nggeh, Bu. Ke Kedai Mie Bledek. Hari
Sabtu pukul sepuluh pagi.” Oi mempersilahkan.
“Kalau Bu Tutik berkenan datang,
nanti saya siap antar jemput. Jadi ojek pribadi.” Yani menawarkan diri.
“Beneran ya? Kalau gitu jemput saya
ya. Hari Sabtu nanti.” Bu Tutik setuju datang.
“Siap, Bu!” Yani siap menjadi ojek
pribadi Bu Tutik.
“Asik.” Oi senang.
“Hore Bu Tutik ikut!” Rifqi bertepuk
tangan.
Suasana kelas XI-IPA2 riuh.
Murid-murid senang karena wali kelas mereka setuju ikut acara makan-makan di
Kedai Mie Bledek.
Al dan Oi mengalihkan pandangan demi
menatap Eri. Sayangnya gadis itu menghadap depan. Hingga Al dan Oi hanya bisa
memperhatikan punggungnya saja. Keduanya penasaran apakah Eri akan datang
memenuhi undangan Meyra.
***
Hari Sabtu pun tiba. Al memberikan laporan terakhir tentang
jumlah temannya yang mengkonfirmasi hadir. Hampir seluruh murid kelas XI-IPA2
mengkonfirmasi kehadirannya. Al pun sudah memberikan prediksi jumlah yang
kemungkinan hadir pada Meyra. Kakak sepupunya itu merasa senang karena
antusiasme teman-teman Al.
Meyra sengaja berangkat lebih awal
dari Al. Walau jauh-jauh hari sudah memesan tempat, Meyra tetap berangkat lebih
awal untuk menunggu dan menyambut kehadiran teman-teman Al. Ia menyewa lantai
dua dari Kedai Mie Bledek untuk menjamu teman-teman Al.
Al dan Oi pun segera menyusul Meyra
usai memajukan jam janjian bersama Rina dan yang lain. Keduanya harus membantu
Meyra karena mereka lah yang harus menggiring teman-teman mereka ke lantai dua.
Hanya telat sepuluh menit dari jam
yang ditentukan. Bersama Aning, Nurul, Jia, dan Rina, Al dan Oi menuju Kedai
Mie Bledek. Saat sampai di sana, Lila sudah menunggu di parkiran bersama
beberapa teman perempuan sesama kelas XI-IPA2. Al membawa mereka masuk dan naik
ke lantai dua. Sedang Oi, Jia, Aning, dan Nurul memilih menunggu kedatangan
teman-teman yang lain di dekat pintu masuk kedai.
Di lantai dua, Meyra sudah menunggu
kedatangan teman-teman Al. Ia tak sendiri. Ada seorang gadis yang menemaninya.
Al mengenali gadis itu. Namanya Linda. Kpopers
juga. Fandom-nya ELF—fans Super Junior. Tapi, Linda juga seorang Wannable—fans Wanna One. Jika bertemu Oi, pasti kedunya bakalan heboh ngobrolin
Kang Daniel. Sayang Oi belum naik.
Al pun menyapa Linda. Lalu
memperkenalkan teman-temannya pada Meyra dan Linda. Lila sangat senang akhirnya
bisa bertemu langsung dengan Meyra. Bahkan, ia sempat merasa gugup saat akan
bertatap muka dengan Meyra. Lila berteman dengan Meyra di Facebook. Teman sekelas Al itu sangat mengagumi Meyra dan sudah
lama ingin bertemu. Akhirnya hari itu datang juga. Lila bisa bertemu dengan
Meyra. Karena masihs sepi, ia pun mengajak Meyra untuk foto bersama.
Satu per satu teman Al berdatangan.
Al dan Meyra menyambut mereka di lantai dua. Bu Tutik pun memenuhi janjinya.
Turut datang memenuhi undangan Meyra. Meyra merasa tersanjung karena wali kelas
Al berkenan hadir memenuhi undangannya.
Al terkejut melihat Diana, Nesya,
dan Tiara hadir. Ia pun menyambutnya dan memperkenalkan pada Meyra.
“Eri nggak ikut?” Tanya Al pada
Diana.
“Kamu kan tahu dia nggak bisa makan
pedes.” Jawab Diana. “Dia ada tipes kan.”
“Bisa request level nol lho! Jadi, nggak pedes.” Meyra menyahut.
“Aku juga udah bilang Mbak. Tapi,
kayaknya Eri nggak dikasih izin dateng.” Diana merasa sungkan pada Meyra.
“Wah, emang susah kalau nggak boleh
sama ortu. Silahkan duduk ya. Langsung aja mau pesan apa. Monggo, monggo.” Meyra mempersilahkan.
Hanya empat orang murid saja yang
tidak hadir memenuhi undangan Meyra. Keempatnya perempuan dan salah satunya
Eri. Tapi, karena teman-teman Al ada yang datang dengan membawa teman, total
jumlah teman yang datang mencapai 50 orang. Ditambah kehadiran Bu Tutik. Lantai
dua Kedai Mie Bledek pun penuh.
Sembari menunggu pesanan disajikan,
Meyra memberi sambutan. Berterima kasih atas kehadiran teman-teman Al. Tak lupa
ia berterima kasih atas kehadiran wali kelas Al. Ia juga meminta maaf karena
hanya bisa menjamu wali kelas Al dengan hidangan berupa mie. Meyra juga
berterima kasih untuk dukungan yang diberikan pada Al dan Oi untuk turut audisi
SMA Wijaya Kusuma Mencari Bakat. Setelah pesanan disajikan, Meyra pun
mempersilahkan teman-teman Al untuk makan.
Meyra dan Linda duduk satu meja
dengan Bu Tutik. Al dan Oi sebagai tuan rumah pun ada dalam meja yang sama.
Ditambah Aning, Nurul, Jia, Lila, Rina, dan Yani. Yani satu-satunya cowok dalam
meja itu. Karena menjadi ojek pribadi Bu Tutik, Yani setia menemani wali
kelasnya itu.
Bu Tutik memang akrab dengan
murid-muridnya. Wanita yang cukup sepuh
itu nyaman ngobrol dengan murid-muridnya. Terlebih dulu Meyra juga merupakan
anak didiknya. Bu Tutik adalah wali kelas Meyra saat kelas 3 SMA. Jadilah hari
itu pun menjadi ajang reuni bagi keduanya.
Pertemuan selama dua jam itu pun
berjalan lancar dengan suasana penuh kehangatan. Hanya tersisa Meyra, Linda,
Al, Oi, Nurul, Jia, Aning, Lila, Rina, Fuad, dan Arwan di kedai. Mereka
berkumpul di meja sebelumnya tempat Meyra duduk bersama Bu Tutik.
“Sayang ya bintangnya nggak hadir.
Padahal aku pengen ketemu langsung sama Eri.” Ujar Meyra.
“Nggak pengen ketemu langsung sama
aku Mbak?” Arwan menyahut.
“Yang bantu bikin video ya? Makasih
ya. Hasil rekamannya bagus.” Meyra berterima kasih secara langsung pada Arwan.
Pemuda itu pun tersipu dan menganggukkan kepala.
“Jujur aku takut banget bawa kamera
itu Mbak. Kamera mahal e.” Arwan mengungkap perasaannya saat dipercaya membawa
kamera Meyra.
“Makasih juga foto-fotonya. Aku suka
lho foto candid.”
“Ada fotonya, Mbak? Motoin siapa si
Arwan? Banyakan foto Al ya?” Buru Jia. Sengaja bermaksud menggoda Arwan.
“Ada foto kalian juga. Aku jadi
kangen sama kelas 2-E. Yang sekarang jadi kelas kalian.”
“Dateng aja pas ultah sekolah ntar
Mbak. Terbuka buat alumni kok.” Fuad mengundang Meyra.
“Inshaa ALLOH kalau nggak ada
halangan. Ya, Lin?” Meyra bertanya pada Linda.
“He’em.” Linda mengiyakan.
“Mbak Linda yang jualan gimbab[5]
kan ya?” Tanya Rina.
“Iya.” Linda membenarkan.
“Aku sering order lho Mbak. Enak gimbab-nya. Kimchi-[6]nya
juga enak.”
“Wah, makasih udah order. Jangan
bosen order di saya ya. Tahu gini tadi tak bawain gimbab sama kimchi.”
“Linda Eonni buka kedai makan Korea deh. Di sini kan belum ada. Masakannya
enak lho. Tiap Mey Eonni dapet tester, aku sama Al ikutan makan lho.” Oi
memuji keahlian Linda dalam memasak makanan Korea.
“Inshaa ALLOH. Rencananya gitu.
Doain aja ya. Aku juga masih belajar.”
“Asik dong ntar ada kedai Korean Food di sini. Buruan di buka
Mbak.” Jia mendukung.
“Doanya aja.” Linda menyanggupi.
“Kalian mau pesan apa lagi? Bentar
lagi aku bayar tagihannya. Aku harus pergi.” Meyra berpamitan.
“Eonni
mau pergi?” Tanya Oi.
“Yo’i. Ada urusan sama Linda. Al,
kamu aja yang bayar tagihannya ya. Kalau kalian masih mau ngumpul di sini.”
“Kami pulang juga deh Mbak. Udah
kenyang.” Jia mengusuk perutnya.
“Ya udah. Aku bayar tagihan trus
langsung pergi ya. Makasih udah dateng.” Meyra menyalami satu per satu teman
Al. Lalu, pergi bersama Linda.
“Dua orang kece di sekitar kita.” Lila
menatap punggung Meyra dan Linda yang berjalan menjauh.
“Siapa tahu ntar Al dan Oi yang
bakalan jadi the next orang kece di
sekitar kita.” Celetuk Jia.
“Aamiin ya ALLOH.” Oi mengamini.
“Aamiin… aamiin… kabulkan ya Gusti.”
Nurul turut mengamini.
Lila, Rina, Jia, Aning, Arwan, dan
Fuad pun turut mengamini.
Aamiin…
bisik Al dalam hati. Walau ia hanya
tersenyum menanggapi celetukan Jia, di dalam hati ia mengamininya. Al pun ingin
menjadi perempuan mandiri dan tangguh seperti Meyra.
***
[1]
Sayur pedas
[2]
Penggemar cabe
[3]
Berat. Istilah yang merujuk pada perumpaan, merasa berat hati.
[4]
Keren. Istilah dalam bahasa Korea yang berarti keren.
[5] Gimbap adalah jenis makanan Korea
yang terdiri dari nasi yang dibungkus dengan rumput laut. Gimbap populer
sebagai makanan yang dibawa piknik, hiking atau aktivitas lain di luar ruangan.
Gimbab berisi nasi, lauk, dan sayuran yang kemudian dibungkus dengan rumput
laut dan digulung.
[6] Kimchi adalah makanan tradisional
Korea, yang berasal dari tiongkok salah satu jenis asinan sayur hasil
fermentasi yang diberi bumbu pedas. Setelah digarami dan dicuci, sayuran
dicampur dengan bumbu yang dibuat dari udang krill, kecap ikan, bawang putih,
jahe dan bubuk cabai merah.
0 comments