Fly High! - Delapan
04:25
Fly High!
- Delapan -
Al merasa terharu ketika mendapat tepuk tangan meriah
setelah menyelesaikan pertunjukannya bersama Oi. Ia membenarkan pendapat Oi
tentang Meyra yang selalu melakukan yang terbaik untuk mereka. Sampai detik
ini, apa yang dilakukan Meyra untuknya memang selalu memberi dampak positif.
Al merasa wajar jika Oi terkesan
mengidolakan kakak sepupunya itu. Hari ini ia sadar jika Meyra memang keren dan
patut jadi idola. Apa yang Meyra lakukan memang selalu keren. Hal sederhana
seperti nama panggilannya dan Oi pun jadi terasa keren sekarang.
Meyra lah yang memberi nama
panggilan Al untuk Alka dan Oi untuk Oriana. Meyra memanggil Alka dengan nama
panggilan Al sejak gadis itu berusia tiga tahun. Sedang nama panggilan Oi,
Meyra buat saat Oriana sering main di rumahnya dengan Al. Al merasa nyaman
dengan nama panggilan itu. Oi pun sama. Hingga saat masuk SD, keduanya selalu
memakai nama Al dan Oi saat memperkenalkan diri mereka. Uniknya, kedua orang
tua Al dan Oi juga menyukai nama panggilan itu.
Sambutan penonton seperti ini bukan
yang pertama bagi Al. Semasa ia kanak-kanak, setiap kali naik pentas sambutan
penonton pun selalu meriah karena penampilannya dan Oi selalu berbeda. Pada
umumnya untuk pertunjukan digunakan lagu yang sedang booming dalam masyarakat. Tapi, Meyra selalu menampilkan sesuatu
yang berbeda. Walau Meyra menyukai segala sesuatu yang berbau Korea sejak tahun
2006, ia tak melulu menggunakan lagu Korea sebagai pengiring penampilan timnya.
Tapi, beberapa kali Meyra memang menggunakan lagu dari negeri gingseng itu
untuk penampilan timnya. Jadi, jauh sebelum kpop
booming di Indonesia, Meyra sudah memperkenalkannya pada masyarakat di
kampung halamannya.
Dalam tim Meyra, Al tidak hanya
tampil bersama Oi. Kadang ia tampil berlima, namun seringnya bertiga bersama
satu temannya yang bernama Gianina. Karena bersekolah di sekolah yang berbeda
usai lulus SD, hubungan Al, Oi, dan Gianina jadi renggang. Dulu ketiganya
dikenal sebagai trio AOG, Al, Oi, dan Gia. Setiap ada pentas, penampilan AOG
selalu ditunggu karena keunikan mereka.
Al tersenyum mengenang masa
kanak-kanaknya. Ia jadi merindukan masa itu. Masa ia rajin naik pentas. Ia pun
jadi rindu pada Gia. Walau hubungannya renggang, namun Al tetap berteman dengan
Gia di sosial media. Sering ia melihat postingan Gia. Teman masa kecilnya itu
pun menyukai segala hal yang berbau Korea. Senada dengan Oi yang menjadi fans Wanna One garis keras, Gia juga
mendeklarasikan dirinya sebagai Wannable.
Dari postingan yang dibagikan Gia,
Al tahu jika Gia mengidolakan Kang Daniel dalam Wanna One. Menurutnya jika hingga sekarang Gia masih akrab
dengannya dan Oi, bisa-bisa dua gadis itu selalu ribut karena memperebutkan
Kang Daniel. Walau Oi bilang di Wanna One
menyukai OngNiel 2Park—Ong Seongwoo,
Kang Daniel, Park Jihoon, dan Park Woojin—tingkah Oi selalu menunjukkan
kecenderungan pada Daniel. Dua fangirl
dengan bias yang sama bisa berteman baik sekaligus bisa saling bermusuhan.
“Kalau lolos nanti, apa kalian akan
menampilkan pertunjukan ini?” Suara Pak Agus membuyarkan lamunan Al.
Al tersadar jika ia masih berada di
dalam aula. Duduk di atas panggung usai menyelesaikan pertunjukkannya. Wajahnya
pun memanas karena ketahuan melamun.
“Iya, Pak. Tapi, karena ada jeda
panjang untuk persiapan, kemungkinan kami akan memberikan penampilan lain.” Oi
segera menjawab.
“Penampilan kalian bagus, tapi untuk
kualitas instrumennya saya rasa kurang sempurna. Memotong lagu dan
penggabungannya masih kasar.”
“Kami minta maaf karena
menyiapkannya dengan terburu-buru dan memotong serta menggabungkannya sendiri.
Tidak memakai jasa profesional. Tapi, jika seandainya kami lolos, kami akan
memperbaikinya.”
“Terburu-buru saja bagus, bagaimana
kalau dengan santai?” Pak Pri memuji. Membuat Al dan Oi kompak tersipu.
“Saran saya, kalau mau menampilkan
versi akustik bagusnya dengan iringan gitar langsung. Di kelas kalian pasti ada
yang bisa main gitar, kan?” Pak Agus memberi saran.
“Rekaman begitu juga bagus kok.” Pak
Iskandar membesarkan hati Al dan Oi. “Kalau nanti kalian lolos dan ingin
menampilkan pertunjukan ini, perbaiki saja rekamannya.”
“Baik, Pak. Terima kasih.” Oi
menyanggupi.
“Kalau saya lebih setuju dengan
diiringi gitar langsung. Kesannya lebih syahdu. Semoga bisa menjadi pertimbangan
kalau nanti kalian lolos.” Pak Agus kukuh pada usulannya.
“Terima kasih atas masukannya, Pak.”
Oi berterima kasih.
“Terima kasih sudah mengikuti audisi
SMA Wijaya Kusuma Mencari Bakat. Semoga lolos ya.” Ketua OSIS mengakhiri sesi
tanya jawab.
Al dan Oi pun berterima kasih lalu
turun panggung.
Saat keluar dari aula, Jia dan Nurul
langsung menyambut Al dan Oi dengan heboh. Bersahutan, keduanya memuji
penampilan Al dan Oi. Lalu, bersama Aning, Lila, dan Rina, mereka kembali ke
kelas XI-IPA2. Para pemuda sudah lebih dulu kembali ke kelas. Rifqi menyambut
kedatangan rombongan Al. Sama seperti Jia dan Nurul, Rifqi dan teman-temannya
bergantian memuji penampilan Al dan Oi.
Saat kelas ribut, Arwan datang. Ia
langsung menghampiri Al untuk memberikan kamera dan tripod Meyra yang
dipasrahkan padanya. “Maaf ya kalau hasilnya kurang bagus.” Arwan meminta maaf.
“Nggak papa. Makasih ya udah
bantuin.” Al berterima kasih.
“Aku rekam di hapeku juga kok. Nanti
aku kirim ke kamu ya.”
“Liat dong rekamannya.” Pinta Rifqi.
“Aku tadi juga rekam di hapeku.
Karena alasan itu aku diizinin masuk ke aula. Hehehe.” Jia meringis bangga.
“Wah! Makasih ya. Ntar kumpulin aja
Al. Serahin ke Mey Eonni semuanya.”
Oi girang. “Sayang aku nggak bawa laptop. Kalau bawa kan bisa sekalian di
copy.”
“Mumpung di sekolah, ada wifi. Tak kirim ya. Lewat WhatsApp.” Jia kemudian sibuk dengan
ponselnya.
“Eh iya ya. Kan di sekolah kita ada wifi.” Oi tertawa karena baru ingat
tentang wifi di sekolahnya.
“Kalau gitu, ayo pindah duduk di
deket laboratorium komputer atau deket kantor guru. Di sana sinyal wifi paling bagus.” Aning bangkit dari
duduknya.
“Oke!” Jia langsung setuju.
Jia keluar kelas lebih dulu bersama
Oi. Disusul Nurul dan Aning. Lalu, Rina dan Lila. Rifqi dan keenam temannya
juga ikut. Paling akhir Al berjalan berdampingan dengan Arwan.
“Hari ini Fuad nggak dateng?” Al memulai
obrolan.
“Nggak. Kenapa nyariin Fuad? Kamu
naksir dia ya? Kalian sering ngobrol berdua di kelas.” Arwan sengaja memancing.
Ia penasaran karena Al memang perhatian pada Fuad. Keduanya juga sering
menghabiskan waktu bersama di kelas.
Al tersenyum dan menggeleng. “Fuad
tuh dah aku anggep kayak masku ndiri. Dia baik kayak sosok seorang kakak.”
“Oh.” Arwan tersenyum, tak bisa
menahan rasa senang yang menyeruak di dadanya. Ia lega Al tidak naksir Fuad,
teman sebangkunya. “Dia pengen dateng, tapi tiba-tiba disuruh nganter
emaknya nggak tahu kemana gitu.”
“Mm.” Al bergumam.
“Penampilan kamu tadi keren, Al.”
“Makasih. Oi dong lebih keren.
Padahal pas latihan dia bolak-balik lupa di bagian rap. Pas perform bisa
lancar gitu. Salut aku.”
“Kamu juga keren. Kenapa sih selalu
merasa Oi itu lebih keren dari kamu?”
“Emang gitu kan?”
“Kalian itu sama-sama keren tau!
Punya ciri khas masing-masing. Jangan rendah diri gitu, Al. Kamu juga punya
kelebihan.”
“Penyakit lama yang susah sembuh
kata Mbak Mey.”
“Bukan berarti nggak bisa sembuh,
kan? Oya, sampaiin terima kasihku ke Mbak Mey ya. Kameranya keren. Makasih udah
mau percayain kameranya ke aku.”
“Ntar aku sampaiin.”
Oi dan Jia menggiring rombongannya
ke bangku panjang di dekat ruang guru. Walau hari Sabtu, di sana cukup ramai
murid berkumpul. Para pejuang wifi
yang selalu datang ke sekolah walau hari libur demi mendapat akses internet
gratis. Walau demikian, Oi dan Jia tetap duduk di sana untuk turut
memperebutkan sinyal wifi terbaik di
sekolah.
***
Al sudah menonton video hasil rekaman Arwan di kamera Meyra.
Video hasil rekaman Arwan dan Jia juga sudah tersimpan di ponselnya. Dari
ketiga video itu, rekaman dengan kamera Meyra yang terbaik. Pada rekaman dengan
ponsel Jia kualitas gambar bagus, namun sayangnya video diambil dari sisi kiri
depan dekat panggung.
Jia yang mendapat akses masuk aula
tak berani masuk lebih dalam ke belakang kursi dewan juri. Ia berhenti di dekat
pintu masuk yang letaknya dekat dengan panggung. Karenanya video hasil
rekamannya menampilkan Al dan Oi dari samping. Karena terlalu dekat dengan sound system, suaranya pun terlalu
berisik. Sepertinya Jia belum terbiasa merekam video dengan baik dari ponsel.
Sedang hasil rekaman di ponsel Arwan
videonya goyang. Mungkin karena yang merekam memegang ponsel itu dengan tangan,
dan mungkin memindahkan ponsel dari tangan satu ke tangan lainnya saat proses
perekaman video. Walau menyorot dari depan panggung, menonton video yang
terlalu banyak goyang bisa membuat kepala pusing.
Hasil rekaman dengan kamera Meyra bagus
karena Meyra juga menyerahkan tripod miliknya pada Al untuk dibawa Arwan.
Dengan begitu kamera bisa berdiri tenang saat merekam penampilan Al dan Oi.
Karena itu rekaman dari kamera Meyra menghasilkan video yang bagus. Sepertinya
Arwan sengaja melatih dirinya untuk merekam video dengan bagus saat membawa
kamera Meyra. Dalam hati Al memuji hasil kerja Arwan. Ia yakin Meyra yang
perfeksionis itu puas pada hasil kerja Arwan.
Hingga pukul sembilan malam Meyra
belum pulang. Al menduga mungkin kakak sepupunya itu tidak akan pulang lagi.
Belakangan ini Meyra sering menghilang dari rumah, terutama saat akhir pekan.
Entah apa yang sedang dikerjakannya di luar sana. Jika Meyra tak bercerita, Al
tak berani bertanya.
Al meletakkan kamera Meyra di kamar
Meyra. Agar jika kakak sepupunya itu datang malam ini bisa langsung mengecek
hasil rekaman Arwan. Selesai meletakkan kamera, Al pun kembali ke kamarnya.
Tak lama kemudian terdengar suara
motor Meyra. Al hafal suara motor Meyra. Baginya seolah memiliki suara
tersendiri. Al pun senang. Malam ini Meyra pulang. Artinya, ia bisa berbagi
cerita dengan kakak sepupunya itu. Al sudah bangkit dari duduknya, tapi ia
urung keluar kamar.
Kalau
Mbak Mey capek kan kasihan. Ah, biarin dia ngaso dulu deh. Gumam Al dalam hati sembari kembali
menghempaskan pantatnya ke atas kasur.
Tapi…
pasti Mbak Mey juga penasaran tentang penampilan kami. Dia kan gitu orangnya.
Gampang penasaran. Apa karena alasan itu dia pulang? Al memiringkan kepalanya.
Nungguin
dia nyamperin aku ke kamar aja. Atau mungkin aja bentar lagi dia kirim pesan.
Kan kamera udah aku taruh di kamarnya. Jadi, aku nunggu aja di sini.
Al memutuskan menunggu Meyra di
kamarnya. Walau ia sebenarnya tak sabar ingin berbagi cerita dengan Meyra, tapi
ia khawatir kakak sepupunya itu lelah. Karenanya ia memilih menunggu Meyra di
kamarnya. Sambil terus berharap Meyra akan mengetuk pintu kamarnya dan bertanya
tentang penampilan hari ini atau Meyra mengiriminya pesan dan memintanya datang
ke kamar Meyra untuk berbagi cerita.
***
Al menunggu hingga satu jam lamanya, namun Meyra tak
menghubunginya. Akhirnya ia pun memutuskan untuk tidur. Keesokannya harinya ia
bangun pagi-pagi, tapi kamar Meyra masih tertutup rapat. Sudah menjadi
kebiasaan Meyra jika libur pasti akan terlambat bangun. Biasanya gadis itu akan
bangun untuk sholat subuh, lalu tidur lagi.
Al memakluminya dan memilih
menunggu. Paling siang biasanya Meyra akan keluar kamar pada pukul tujuh pagi.
Karena itu, ia meminta dirinya sendiri untuk lebih bersabar menunggu Meyra.
“Mbak Mey belum bangun Budhe?” Al
menyapa ibu Meyra yang sudah berada di dapur.
“Mbakmu agak nggak enak badan.
Semalam badannya demam.”
“Mbak Mey sakit?”
“Flu kayaknya. Semalam demam.
Keseringan kehujanan sih.”
Al menghela napas pelan. Ia merasa
kasihan pada Meyra yang kondisi kesehatannya sedang menurun. Bersamaan dengan
itu dia merasa lega karena semalam bisa menahan diri untuk tidak menghambur ke
kamar Meyra.
“Padahal harusnya hari ini ada
jadwal dia. Tapi, mau gimana lagi. Sakit gitu. Ya aku suruh pulang aja
semalem.” Ibu Meyra menambahkan.
“Lagi sibuk apa sih Mbak Mey di luar
Budhe?” Al memberanikan diri, mengorek informasi dari ibu Meyra.
“Sibuk ngurus jualannya aja.
Kayaknya lagi banyak pesenan. Trus, kalau jadwal, nggak tahu. Palingan acara
Korea-koreaan itu.”
Al teringat jika Meyra baru saja
membuat proyek kaos bergambar chibi
dari idol Korea dan tokoh drama yang
sedang booming. Proyek itu juga baru
saja selesai pre order. Karena itu
Meyra sibuk dan sering menghilang dari rumah.
“Tapi, biasanya Mbak Mey kan tinggal
duduk aja di rumah Budhe? Produksi kaos udah ada yang urus.” Setahu Al, Meyra
memang mempercayakan produksi kaos-kaos dari proyeknya pada salah satu
rekannya.
“Udah nggak. Sekarang diurus sendiri
sama Mey. Temennya itu kalau ngambil bathi
[1] terlalu banyak. Kasian Mey dong.
Sekarang harga kaos banyak yang murah. Kalau Mey jual terlalu mahal kan bisa-bisa
nggak laku.”
“Tapi, kan kualitas produk Mbak Mey
bagus.”
“Iya. Tapi, karena si temennya yang
biasa bantu urusin bikin kaos itu ambil untungnya kebanyakan, jadinya harga
produksi mahal. Setelah dicari tempatnya, ternyata harga produksi nggak semahal
itu. Jadinya sekarang Mey urus sendiri ke konveksinya.”
“Oh gitu. Mbak Mey terlalu baik sih.
Terlalu percaya juga sama orang.”
“Mbakmu emang gitu. Padahal bisa naik
motor. Urus sendiri kayak gini kan dapatnya lebih murah.”
“Pagi-pagi dah ngrasani[2].”
Meyra tiba-tiba muncul di dapur.
“Udah baikan, Mbak?” Al menyambut.
“Kata Budhe semalem mbak demam.”
“Udah minum obat kok. Udah reda
demamnya.”
“Alhamdulillah.” Al lega. “Jangan
kecapekan makanya.”
“Ini lagi urus kaos. Alhamdulillah
dapet konveksi deketan sini yang kualitas kaos dan sablonnya bagus. Jadi, nggak
perlu jauh-jauh ke Malang kota.”
Tempat tinggal Meyra memang terletak
jauh di pinggiran. Untuk mencapai Malang kota dibutuhkan waktu tiga puluh
hingga empat puluh lima menit dengan naik motor. Karena jarak yang lumayan jauh
itu lah Meyra sering menginap di rumah atau tempat kos temannya di Malang kota
jika ada kegiatan di kota sampai malam.
“Mau aku buatin kopi, Mey?” Tanya
ibu Meyra.
“Cappucino
aja.”
“Oke.”
Meyra duduk di kursi di dapur. Al yang
duduk di seberang berhadapan dengannya sesekali melirik. Adik sepupunya itu
sedang menikmati teh panas di hadapannya.
“Videonya bagus.” Ujar Meyra.
Mendengarnya Al merasa senang hingga
bibirnya sedikit terangkat karena tersenyum.
“Semalem aku juga nonton di hape Al.
Al sama Oi bagus ya penampilannya.” Ibu Meyra menyahut.
“Sudah kubilang kalian pasti bisa.
Penampilan kalian kemarin, sempurna.”
Kali ini Al benar-benar tersenyum.
“Pak Pri nggak berubah ya.”
“Aku nggak nyangka Arwan rekam
videonya dari awal sebelum kami perform
sampai sesi tanya jawab berakhir.”
“Nggak papa. Ntar bisa di edit itu.”
“Emang mau diunggah, Mbak?”
“Iya lah. Kalau nggak ngapain aku
susah-susah minta kamu bawa tripod sama kamera ke sekolah.”
Al tercenung menatap Meyra. Ibu
Meyra menyuguhkan secangkir cappucino
panas ke hadapan Meyra.
“Kenapa? Malu?” Tanya Meyra yang
dijawab dengan anggukan kepala oleh Al. “Jaraknya jauh. Muka kamu nggak
keliatan jelas kok. Temenmu itu nggak kamu ajarin gimana cara zoom video?”
“Lupa.” Al nyengir.
“Keuntungannya muka kamu sama Oi
jadi nggak keliatan banget.”
“Keliatan lah Mbak. Kan itu HD.”
“Keliatan kalau di zoom pas nonton. Kalau nggak ya biasa
aja. Lagian kenapa malu? Cantik lho. Coba tanya Memes[3].”
“Iya cantik. Al itu kayak kamu dulu,
Mey. Minderan.” Ibu Meyra setuju jika penampilan Al kemarin sempurna. “Heran
aku, kamu itu kok bisa mirip Mey banget.”
“Mungkin waktu hamil, Bulek ngefans
sama aku. Jadinya anaknya kayak gini. Mirip aku banget.” Meyra kemudian
menyesap cappucino di hadapannya.
“Emang. Bulekmu itu dulu seneng
banget sama kamu. Katanya, kamu itu ayu, pinter, kulitnya putih. Bulekmu ngarep
kalau punya anak cewek anaknya kayak kamu. Ya tak suruh nyengiti kamu. Kalau wong
hamil nyengit[4]
kan biasae anaknya jadi kayak yang disengiti.
Bukannya nyengit, Bulekmu malah
ngefans sama kamu.”
Meyra menyunggingkan bibir mendengar
penjelasan ibunya.
“Waktu lairan dan tau anaknya
kulitnya putih langsung bilang, alhamdulillah
anakku kayak Mey. Lucu bulekmu itu. Padahal dia sendiri kulitnya kan
bersih. Untung aja Al kulitnya nurun bulekmu. Kalau nurun paklekmu lhak njitheng[5]
dia.”
“Nggak papa item manis. Dengan mata
belo gitu jadi mirip orang India dong dia.”
“Waktu kecil dulu kamu manggil Mey
itu mama lho Al.”
“Iya. Saya masih inget Budhe.”
“Zaman kamu TK juga masih manggil
Mey mama. Orang percaya kamu itu anaknya Mey. Rambutmu bergelombang, mirip Mey
yang kribo. Trus, waktu rambut kamu dicat merah sama Mey, kamu dibilang kayak anake Londo. Inget nggak?”
“Saya inget waktu disemir itu Budhe.
Sama Mbak Mey disuruh tiduran di bangku panjang pas mau dikeramasin.”
“Trus kamu nangis sambil teriak, Sakit Ma! Sakit Ma!” Meyra mengolok.
“Emang sakit disuruh tiduran di
bangku kayu. Udah gitu disiram pakek air dingin pula.”
“Nggak
kroso bayek iki udah kelas dua SMA sekarang. Jadi, inget pas kamu nanya, Ma jurang itu apa sih? Karena bingung
nggak tahu harus jelasinnya gimana, aku bawa deh kamu liat jurang beneran.”
Meyra dan Al tertawa bersama.
“Dulu kamu itu kalau dipacak-pacaki[6]
sama Mey yang manut aja. Rambutmu
dikeriting pakek batang daun waru, kamu juga manut.”
“Saya inget itu Budhe. Badan sampai
gatel. Tapi, seneng rambut jadi mlungker-mlungker
lucu kayak rambut cewek di majalah.”
“Kalau diajarin nari, kamu paling
lincah. Itu kenapa kamu selalu ditaruh di tengah sama Mey.”
“Itu namanya center, Budhe.”
“Eh, masuk SMP malah nggak mau naik
pentas lagi. Mey dulu juga gitu. Zaman SD rajin nyanyi di pentas. Masuk SMP,
nggak mau lagi.”
“Kalau aku kan gara-gata tape kita rusak. Al fasilitas ada, cuman
dianya aja yang malu.” Meyra memperjelas perbedaan dirinya dan Al.
“Tapi, sama-sama mandek saat masuk SMP kan? Pas SMP ada
lomba karaoke, wali kelasnya Mey sampai dateng ke rumah biar Mey mau jadi wakil
sekolah di lomba karaoke itu. Tapi, Mey nolak. Goblok ya mbakmu itu.”
“Malu lah. Itu udah setahun nggak
nyanyi di pentas juga.”
“Tapi, aku sebel Budhe.”
“Sebel kenapa?” Ibu Meyra menatap
Al. Meyra ikut menatap adik sepupunya itu.
“Masa kalau kami jalan bertiga, kami
sering dibilang seumuran. Padahal kan beda jauh Budhe. Jarak umur kami beda 16
tahun, kan? Tapi, seringnya dibilang seumuran. Kan sebel jadinya.”
“Kamu sama Oi boros di muka tuh
namanya.”
“Nggak ya!”
“Kalau gitu, emang aku yang nggak
bisa tua.”
“Idih! Nggak juga. Mbak Mey udah tua
tau! Kayak nenek-nenek.”
“Iya. Tapi, muka masih kayak ABG. Ya
tho?”
Ibu Meyra tersenyum dan
menggelengkan kepala melihat tingkah Al dan Meyra. Suasana hening sejenak. Tiga
perempuan itu menyesap minuman di hadapan masing-masing.
“Temen satu gengmu ada berapa?”
Meyra bertanya pada Al. “Semuanya.”
“Semuanya? Hampir satu kelas akrab
sih. Kecuali sama Eri dan gengnya. Tapi, yang akrab ya ada sekitar lima belas
orang. Lima cewek, sepuluh cowok. Itu yang biasa maen bareng. Kenapa Mbak?”
“Rina sama Lila itu siapa?”
“Lumayan deket sih. Cuman mereka itu
nggak bisa akrab sama Aning cs. Jadi,
kalau aku sama Rina dan Lila, Aning cs
nggak deket-deket. Kalau Oi bisa akrab sama semua.”
“Ajak semua temen kamu. Kita makan-makan.
Sabtu ntar gimana?”
Al melongo. “Pengumuman audisinya
masih Senin depan, Mbak.”
“Bukan buat rayain itu kok. Cuman
mau bilang terima kasih ke mereka karena mereka udah dukung Al dan Oi. Enaknya
makan di mana? Mie Ayam Bledek? Kan tempat nongkrong anak sekolahan tuh.”
“Serius Mbak?”
“Emang aku keliatan bercanda?”
“Kami berlima belas lho! Kalau Rina
sama Lila gabung, jadi tujuh belas.”
“Nggak bakalan habisin duit sejuta
juga. Kamu mau ajak temen sekelasmu juga oke. Sabtu ntar ya. Mumpung aku luang.
Kasih tau temen-temen kamu. Sekelas juga boleh. Trus, terserah kalian mau makan
di mana. Deketan sekolah kalian kan banyak tempat nongkrong. Kamu sama
temen-temen kamu yang tentuin. Aku ikut aja. Sabtu ntar pokoknya.”
Al yang masih terbengong pun
menganggukan kepala. Mengiyakan permintaan Meyra.
***
[1]
Keuntungan
[2]
Bergosip
[3]
Ibu dalam bahasa Malangan
[4]
Membenci
[5]
Berkulit hitam
[6]
Didandanin
0 comments