My 4D’s Seonbae - Episode #40 “Sisa Misi Yang Harus Diselesaikan.”
05:35
Episode #40 “Sisa Misi Yang Harus Diselesaikan.”
Luna merebahkan tubuhnya di sofa.
Ritme detak jantungnya masih tak beraturan. Lagi-lagi Daniel memeluknya, dan ia
yang seharusnya menolak perlakuan itu justru tak bisa mengelak. Bersamaan
dengan itu, kata-kata Jihoon tentang putus kembali terniang. Luna mengusap
wajah dengan kedua tangannya.
Sampai detik ini ia belum bisa
memahami apa yang ia rasakan. Jika ditanya apa ia mulai menyukai Jihoon, ia tak
tahu. Tapi, ketika semalam Jihoon membahas tentang kemungkinan putus, ia merasa
berat hati. Sedang pada Daniel, ia memang selalu merasa bisa menjadi dirinya
sendiri saat bersama Daniel. Tapi, belakangan ia sering merasa bersalah pada
Jihoon setiap kali Daniel memperlakukannya layaknya seorang kekasih.
Bukan! Bukan kekasih! Luna menolak
pemikiran itu. Seorang teman memeluk temannya itu wajar, kan? Tidak! Itu tidak
wajar. Di Indonesia tidak boleh seperti itu. Tapi, ini di Korea. Luna
menggelengkan kepala. Bangkit dari duduknya dan menuju kamar mandi. Kembali
dari kamar mandi, Luna kembali duduk di sofa. Ia memeriksa ponselnya. Ada pesan
dari Jihoon. Sebuah pesan suara.
Aku mengetuk pintu, tapi sepertinya kau tidak mendengar.
Setelah cukup lama menunggu, aku berpikir mungkin kau sangat lelah hari ini.
Jadi, aku pergi. Tolong lihat keluar ya. Aku meletakkan coklat di bangku.
Sebenarnya ingin memakannya denganmu. Tak apa. Istirahatlah. Sampai ketemu
besok.
Setelah mendengar pesan suara itu,
Luna bergegas keluar. Ia menemukan bingkisan berwarna pink tergeletak di atas
bangku. Luna berjalan mendekati bangku dan meraih bingkisan itu. Ia membukanya.
Di dalam kardus kotak berwarna pink itu berisi sembilan coklat dengan bentuk
unik. Ada dua coklat berbentuk bunga mawar yang belum mekar sempurna berwarna pink,
dua coklat berbentuk hati warna putih, satu coklat berbentuk bunga mawar yang
belum mekar sempurna berwarna ungu, dan tiga coklat berbentuk bunga dalam warna
coklat asli.
Walau pada dasarnya Luna tak begitu
menyukai warna pink, tapi mendapat hadiah lucu berwarna pink, hatinya pun
berbunga-bunga. Ia tersenyum pada bingkisan yang ditinggalkan Jihoon dan
membawanya masuk ke dalam rooftop.
***
Selama beberapa menit Jihoon
bertahan di tangga usai menemukan Daniel memeluk Luna. Setelah ia bisa
mengendalikan dirinya, ia berjalan menuruni tangga. Lalu, kembali memasuki
mobilnya. Ia meminta sopir pribadinya untuk sedikit menjauhkan mobil dari
tempat Luna.
Sesuatu berkecamuk di dalam dadanya.
Ia cemburu dan mati-matian meredam rasa itu. Semalam ia telah membicarakannya
dengan Luna. Ia memberi kebebasan pada Luna jika gadis itu memang menyukai
Daniel. Tapi, melihat secara langsung Luna bersama Daniel, membuatnya hatinya
hancur.
Setelah melihat Daniel pergi, Jihoon
meminta sopirnya kembali mendekati tempat tinggal Luna. Ia pun turun dengan
membawa bingkisan pink di tangan kanannya. Jihoon sampai di depan pintu rooftop. Tangannya terangkat, hendak
mengetuk pintu. Tapi, ia urungkan. Ia berjalan mundur, kemudian meletakan
bingkisan di atas bangku yang berada di teras. Jihoon menatap bingkisan itu
sejenak, lalu membalikkan badan dan berjalan pergi.
Mobil yang ditumpanginya melaju
sedang. Setelah bisa menguasai emosinya, Jihoon pun berbicara pada ponselnya. “Aku
mengetuk pintu, tapi sepertinya kau tidak mendengar. Setelah cukup lama
menunggu, aku berpikir mungkin kau sangat lelah hari ini. Jadi, aku pergi.
Tolong lihat keluar ya. Aku meletakkan coklat di bangku. Sebenarnya ingin
memakannya denganmu. Tak apa. Istirahatlah. Sampai ketemu besok.”
Jihoon menghela napas usai mengirimkan
pesan suara pada Luna. Saat menatap spion tengah di dalam mobilnya, ia bertemu
pandang dengan sopirnya. “Ajushi
jangan menatapku seperti itu.” Tegurnya seraya mengalihkan pandangan.
“Manis sekali. Saya suka cara Tuan
Muda memperlakukan Luna Agashi.” Sopir
pribadi Jihoon memuji dengan tulus.
Jihoon tersenyum kecut. “Syukurlah.
Sebenarnya aku takut ini akan membebaninya.”
Ponsel Jihoon bergetar. Ia
memeriksanya dan terbelalak. “Ajushi!
Luna menelponku!” Ia berseru.
“Terima saja. Luna Agashi pasti sudah mendengar pesan Tuan
Muda.”
Jihoon berdehem. Ia pun menerima
panggilan telepon Luna. “Yeoboseyo.
Kau sudah menemukannya?” Ia langsung menebak.
Iya. Terima kasih.
“Kupikir kau akan marah, karena itu
pink.”
Jika semua isinya pink, aku pasti akan marah.
Jihoon tersenyum lebar. “Kau suka?
Kata artikel yang aku baca, makan coklat bisa bikin bahagia. Mood-mu sedang baik, sepertinya. Jadi,
menurutku itu baik untuk menjadi pendukung. Ngomong-ngomong, itu dark chocolate.” Dengan bangga ia
menyebutkan coklat favorit Luna.
“Harusnya tak usah diwarna-warna semua
ya? Tapi, kamu suka kan?” Jihoon memastikan.
Suka.
Jihoon tersenyum. Mengobrol dengan
Luna, membuat ia lupa pada rasa sesak dan sakit yang sempat menderanya. “Syukurlah.
Kau bisa membaginya dengan Dinar Hyung.”
Nggak! Kita makan sama-sama. Besok aku akan membawanya ke
sekolah.
Jihoon tercenung mendengar ungkapan
Luna. Luna yang berjanji akan memakan cokelat itu bersamanya, membuat hatinya
berbunga-bunga.
Yang pink, bagianmu. Jadi, jangan menghindar! Aku pastikan
tidak akan ada yang menyela atau bergabung dengan acara makan cokelat bersama
besok.
Jihoon tersenyum dan menghela napas.
“Baiklah jika itu maumu. Aku tidak akan menghindar. Sekarang, istirahatlah.”
Masih nunggu Mas Dinar, eh Dinar Oppa pulang. Sudah dulu ya.
Kau masih di jalan? Kabari aku kalau sudah sampai di rumah. Lalu, lekas
istirahat.
Senyum Jihoon semakin lebar. “Oke.”
Bye.
“Bye!”
Jihoon menurunkan ponsel dari telinga kanannya. Ia tak bisa berhenti tersenyum.
Sopir pribadi Jihoon yang mengamati
dari spion tengah turut tersenyum. “Menurut saya, Tuan Muda tidak perlu
meragukan Luna Agashi lagi. Saya
yakin, hatinya pasti untuk Tuan Muda.”
Jihoon tersipu mendengarnya. “Semoga
saja keyakinan Ajushi benar adanya.”
Dua lelaki dalam mobil yang melaju
sedang itu kompak tersenyum.
***
Memenuhi janjinya, setelah jam
sekolah usai, Luna menunggu Jihoon di bangku favoritnya di taman sekolah.
Bingkisan berwarna pink itu sudah ia letakan di atas meja yang berada di tengah
dua bangku taman yang mengapitnya.
Luna baru saja tiba di bangku
favoritnya itu. Walau ia keluar paling akhir, suasana di sekolah masih ramai
karena adanya pelajaran tambahan dan kegiatan klub. Cukup banyak murid yang
wira-wiri di sekitar taman. Beberapa dari mereka terlihat melirik Luna yang duduk
sendirian dengan bingkisan pink tergeletak di atas meja di hadapannya. Luna
berusaha mengabaikan curi-curi pandang dari murid-murid yang melintas di
sekitarnya.
Lima belas menit kemudian, Jihoon
muncul. Dengan langkah tergesa-gesa ia berjalan menuju bangku tempat Luna duduk
menunggu. “Sudah lama? Maaf ya. Hari ini piket.” Ia segera meminta maaf saat
sampai.
“It's
OK!” Luna memaklumi. Ia memperhatikan Jihoon yang masih berdiri. “Terserah
kau mau duduk di mana. Senyamanmu saja.” Ia pun mempersilahkan.
Jihoon tersenyum saat bergegas
mendekati Luna. Ia pun memilih duduk di samping kanan Luna. “Aku lebih suka
seperti ini.”
Luna tersenyum. Ia pun membuka
bingkisan pink di hadapannya. “Cokelat dengan kualitas terbaik memang tidak
pernah mengecewakan. Beruntung aku punya pacar kaya.”
“Eh?” Jihoon terkejut mendengar
candaan Luna. Tapi, hatinya terasa hangat karena kalimat aku punya pacar yang diucapkan Luna. Ia pun tersipu.
“Wah! Benar-benar utuh. Dinar Hyung tidak tahu?” Jihoon mengamati isi
kotak yang masih utuh.
“Dia tahu. Tapi, aku melarangnya
menyentuh bingkisan ini.”
“Kejam sekali. Eh, bagaimana kalau
kita bawa pulang? Lalu, kita makan sama Dinar Hyung?” Jihoon antusias.
“Dia sibuk. Nggak ada di rooftop.”
“Oh.”
“Jadi makan sama-sama nggak?”
“Jadi lah.”
“All
pink yours!”
Jihoon terkekeh mendengar perintah
Luna. Ia memperhatikan Luna yang mengambil coklat berbentuk bunga tulip tanpa
olesan warna. “Sudah kuduga. Kau pasti suka yang reguler.”
“Aku bisa makan yang lain kecuali
yang pink.”
“Oke. Semua yang pink adalah milikku.”
Jihoon pun mengambil salah satu cokelat berbentuk kuntum bunga mawar yang
berwarna pink.
“Noona!”
Suara itu menyita perhatian Jihoon dan Luna. Keduanya pun menatap ke arah
suara. Tampak Daehwi dan Joohee sedang berjalan ke arah mereka.
Jihoon menghela napas dengan kasar.
“Kau bilang tidak akan ada yang menyela.” Ia menggerutu.
“Aku sudah menghandle semua temanku.
Dia temanmu, kan?” Luna membela diri.
“Temanmu juga!” Jihoon sewot.
“Nggak papa. Lagian cokelatnya
banyak. Masa iya kamu enggan berbagi dengan temanmu?”
Jihoon hendak bersuara, tapi keburu
Daehwi dan Joohee sampai di tempatnya berada.
“Woa! Coklat! Romantis sekali!” Tanpa
dipersilahkan, Daehwi langsung duduk. Ia menarik Joohee yang masih berdiri
untuk duduk. Kekasihnya itu pun akhirnya duduk di samping kirinya.
“Kencan di sekolah, kalian manis
sekali. Pantas saja aku mendengar kasak-kusuk di sana-sini. Jangan kaget kalau
nanti muncul foto kebersamaan kalian di komunitas sekolah.” Seperti biasa,
Daehwi langsung mengoceh.
“Dengan adanya kalian, jadi seperti double date ya.” Luna tersenyum manis.
“Iya.” Daehwi membenarkan. “Ini
dalam rangka apa? Perayaan 100 hari kalian pacaran apa bagaimana?”
“Tidak ada perayaan khusus. Hanya
ingin menikmati cokelat ini bersama. Kalian mau?”
Wajah Jihoon berkedut saat Luna
menawarkan cokelat pada Daehwi dan Joohee.
“Boleh ya? Pasti kami mau. Hehehe.” Daehwi
meringis.
“Jangan yang original ya! Itu
kesukaan Luna!” Jihoon memperingatkan.
“Kami ambil ini ya.” Daehwi
mengambil dua cokelat berbentuk hati dan berwarna putih. Ia memberikan satu
untuk Joohee.
Luna tersenyum melihatnya. Tapi,
Jihoon agak cemberut. Tak rela cokelat untuk Luna dibagi bersama Daehwi dan
Joohee.
***
Setelah momen penangkapan itu, Kim
Ji Yoon benar-benar berhenti mengganggu Luna. Sekolah pun terasa kembali normal
bagi Luna. Ia bisa berangkat sekolah dengan langkah ringan dan perasaan
bahagia. Perasaan normal yang sempat hilang dari hidupnya semenjak ia menolak
Kim Ji Yoon. Ditemani Taemin, Lee Taeyong pun telah menemui Luna untuk meminta
maaf dan berterima kasih.
Hari-hari normal di sekolah itu
telah kembali pada Luna. Ia akan mengikuti pelajaran wajib, pelajaran tambahan,
dan sibuk berlatih dengan Klub Teater dan perwakilan Persatuan Murid Asing SMA
Hak Kun tanpa merasa terbebani. Tanpa merasa selalu ada yang mengawasi
gerak-geriknya.
Selama Dinar berada di Korea, Luna
berusaha mengurangi kegiatannya di sekolah agar bisa menghabiskan waktu lebih
banyak dengan kakak keduanya itu. Sebelum kembali ke Indonesia, Dinar pun
menyempatkan diri menghadiri Klub Anak Rantau. Sebagai pendiri, kehadirannya
pun disambut oleh anggota klub. Dinar terkejut melihat peningkatan jumlah
anggota. Ia pun berjanji akan datang ke Korea saat ulang tahun klub di musim
panas nanti. Alasan lainnya adalah ia ingin menghadiri festival sekolah di SMA
Hak Kun.
Saat hadir dalam pertemuan rutin
Klub Anak Rantau, Dinar menampilkan sebuah pertunjukan. Ia memainkan gitar
akustik, sedang Luna dan Rania bernyanyi. Trio itu menampilkan Black Pink - As If It’s Your Last versi
akustik. Rania kembali menunjukkan kemampuan rapnya.
Video penampilan Dinar, Luna, dan
Rania yang kemudian diunggah Luna dalam kanal Youtube-nya itu mendapat sambutan baik dari pendukung Dinar dan
Luna. Banyak fans yang berharap kelak jika Luna kembali ke Indonesia, Luna
menjadi artis saja. Sama seperti Dinar. Dengan kemampuan vokalnya dan visual
yang baik, serta pengalaman tinggal di Korea, fans berpendapat Luna akan
memiliki nilai plus sendiri. Terlebih status Luna yang pacar seorang aktor muda
Korea—walau aktor itu sedang vakum dalam dunia hiburan. Fans berharap hubungan
Luna dan Jihoon langgeng hingga mereka lulus dan dewasa.
Sepuluh hari di Korea, Dinar pun
kembali ke Indonesia. Luna dan Rania, ditemani Jihoon mengantar Dinar ke
bandara.
Luna menundukkan kepala dan mengusap
air matanya. Ia tak bisa menahan tangis saat melepas Dinar untuk kembali ke
Indonesia.
“Udah jangan nangis. Ntar musim
panas mas balik lagi ke sini buat dateng ke festival sekolah kamu dan juga
ultah Klub Anak Rantau.” Dinar menenangkan Luna.
“Janji ya?”
“Iya. Ntar mas ajak Mas Aro sama
Bunda juga. Kalau Ayah jangan diharap deh. Kayaknya Ayah bakalan datang kalau
kamu lulusan ntar.”
“Mas jahat ih!”
Dinar tersenyum. “Sekarang udah ada
Cue, Om, sama Tante di sini. Jangan sedih lagi. Kamu juga punya teman-teman
yang baik. Jadi, jangan sedih ya. Hidup kamu indah. Satu duri dalam dagingmu
udah dicabut. Luka bekas duri itu perlahan pasti sembuh. Kalau kamu butuh mas,
jangan sungkan buat manggil mas ke sini.”
Luna tersenyum dan mengangguk.
“Soal itu, kamu yakin?”
“Mm?”
“Video dance itu.” Dinar berbisik.
“Tentu saja. Wish me luck.”
“Yang terbaik buat kalian deh.”
“Makasih buat semuanya.”
Dinar tersenyum, mengelus puncak
kepala Luna, dan menganggukkan kepala. “Udah ya. Mas balik dulu. Sampai ketemu
musim panas ntar.” Sebelum pergi, Dinar
melambaikan tangan pada Jihoon dan Rania yang menunggu tiga langkah di belakang
Luna.
Setelah pesawat yang ditumpangi
Dinar lepas landas, Jihoon, Luna, dan Rania meninggalkan bandara.
***
Mengikuti pelajaran wajib, pelajaran
tambahan, dan berlatih dengan Klub Teater untuk festival sekolah. Hari-hari
Luna di sekolah berjalan seperti itu. Setiap hari Minggu, bersama tim
perwakilan Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun, berlatih Tari Buchaechum. Ibu Kecil selalu memantau
jalannya latihan Tari Buchaechum di
teras rooftop tempat Luna tinggal.
Walau panduannya adalah Tari Buchaechum
dari BKK UI, berkat Ibu Kecil tim Luna melakukan sedikit modifikasi.
Hubungan pertemanan Luna pun
berjalan dengan baik. Di sekolah, ia sudah tak canggung lagi berjalan bersama
Rania dan Linda. Bahkan, Rania dan Linda sempat ikut ke basecamp Klub Teater karena ingin menyaksikan jalannya latihan
pertunjukan yang dipersiapkan Klub Teater.
Setelah memberi kaos produk distro
milik Aro—secara tidak sengaja—pada Jaehwan dan menggunakannya untuk tampil
bersama Daniel dalam video dance,
Luna membagikan kaos untuk Jisung, Sungwoon, Seongwoo, Woojin, Jihoon,
Jinyoung, dan Daehwi. Hanya tersisa untuk Minhyun. Tapi, Rania menolak untuk
membantunya. Alih-alih membantu Luna memberikan kaos itu pada Minhyun, Rania
malah mengatur sebuah pertemuan untuk Luna dan Minhyun.
Minggu malam, usai latihan bersama
tim perwakilan Persatuan Murid Asing SMA Hak Kun, ditemani Rania, Luna menuju
cafe yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya—cafe yang sebelumnya ia pergi
bersama Daniel untuk interogasi kasus pengeroyokan. Saat sampai di cafe,
Minhyun belum datang. Luna memilih meja yang menurutnya nyaman untuk digunakan
ngobrol serius bertiga. Obrolannya dengan Minhyun tidak akan berjalan santai.
Ia yakin itu. Karenanya ia memilih meja yang letaknya di pojok.
Tanpa menunggu Minhyun, Luna memesan
minuman dan makanan lebih dulu. Bahkan, ia pun memesan makanan dan minuman
untuk Minhyun.
“Wah! Loe apal kesukaan Prince ya?” Rania kaget melihat bagaimana
Luna dengan mudah menyiapkan jamuan untuk Minhyun.
“Kami sama-sama menyukai menu itu
saat masih baikan dulu. Hari ini aku merasa kayak welcome back, Friend! Tapi, itu kalau dia mau baikan.” Luna
berusaha santai. Tapi, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
“Woles aja napa. Loe keliatan nervous gitu. Lagian gue udah bilang ke Prince kalau bakalan meet up sama loe. Kayaknya dia juga
pengen, entahbuat kasih penjelasan apa ke loe gitu deh.”
“Aku juga heran kenapa aku gugup.
Sialan banget, kan?”
“Wajar lah. Mau ketemu sohib yang
tahunan diemin loe.”
“Emang kamu bilang apa ke Prince?”
“Apa adanya. Gue bilang loe mau
kasih kaos produk abang loe. Kaos yang juga loe kasih ke Jisung dkk. Gue juga
bilang loe minta tolong gue tapi gue tolak, dan gue pengen bikin loe ama Prince ketemu biar loe bisa ngasih kaos
itu langsung ke Prince. Setelah diem
sebentar, doi setuju.”
“Kayaknya dia jadi jinak gitu ke
kamu.”
“Apaan sih loe, Cing!” Rania
tersipu. Kemudian ia melihat Minhyun memasuki cafe. “Eh, doi dateng!” Usai
memberi kode pada Luna, ia tersenyum manis dan melambaikan tangan pada Minhyun.
Minhyun membalas senyum dan berjalan
menuju meja tempat Rania dan Luna duduk.
“Sialan! Kenapa aku jadi gemeteran
gini?” Luna mengeluh.
“Woles, Cing! Ini cuman Prince. Bukan malaikat maut!”
“Sialan, loe Cue!”
Rania terkikik. Ia pun menyapa
Minhyun, “Hi! Silahkan duduk.”
Minhyun yang baru sampai menyaksikan
meja dengan takjub. Makanan dan minuman favoritnya sudah tersaji di sana. Ia
pun menatap Luna yang kepalanya tertunduk. Ia tersenyum samar, lalu duduk di
kursi yang berada di samping kiri Rania dan di samping kanan Luna.
Meja yang di pilih Luna berada di
pojok. Meja kotak itu di lengkapi dengan empat kursi. Luna dan Rania memilih
duduk berseberangan hingga saling berhadapan. Sedang Luna menata menu untuk
Minhyun di kursi yang berada di dekat tembok. Tempat Minhyun duduk menghadap
dinding kaca yang jaraknya dua meja saja. Jika merasa canggung, pemuda itu bisa
mengalihkan pandangan ke dinding kaca untuk melihat pemandangan di luar sana.
“Terima kasih telah menyiapkan ini
semua.” Minhyun yang sudah nyaman dalam duduknya tak lupa berterima kasih.
“Kucing yang siapin. Katanya, itu
menu favorit kalian waktu kalian masih baikan dulu.” Rania ceplas-ceplos.
Minhyun menatap menu yang tersaji di
depan Luna. Menu yang berbeda dari menu yang tersaji untuknya. Ia pun
tersenyum. “Aku yang merekomendasikan menu ini karena aku suka. Dulu, Luna juga
bilang suka. Tapi, sekarang seleranya sudah berubah ya.”
Tangan Luna meremas celana yang ia
kenakan. Ia kesal karena Minhyun langsung menyerangnya seperti itu.
“Karena kamu tiba-tiba tinggalin
dia, tanpa alasan yang jelas. Wajar dong kalau Kucing coba-coba dan menemukan
menu lain yang kemudian menjadi menu favoritnya.” Rania membela Luna.
“Iya. Aku memang salah. Karena itu,
aku setuju untuk bertemu. Luna-ya,
tolong maafkan aku yang kekanak-kanakan ini. Harusnya aku lakukan dari dulu,
tapi aku terlalu gengsi dan takut. Hubungan buruk kita jadi berlarut-larut.”
Minhyun mengucapkan kalimat panjang itu dengan lancar. Tanpa jeda dan tanpa
salah sedikitpun. Suaranya pun tak terdengar bergetar karena gugup.
Rania terbengong menatap Minhyun.
Tadinya ia menduga Minhyun akan canggung berada satu meja dengan Luna. Tapi,
perkiraannya salah.
Luna yang tertunduk pun mengangkat
wajah. Ia menatap Minhyun dengan mata berkaca-kaca. “Kamu pergi di saat aku
butuh seorang teman. Tega ya. Padahal kamu tahu nggak ada yang berubah sejak
kamu jauhin aku. Jihye Seonbaenim tetap
saja berbuat jahat padaku.”
Minhyun terkejut ketika Luna
menyebut nama Jihye. Karena gadis itu lah, ia meninggalkan Luna. Tapi, benar
yang dikatakan Luna. Tidak ada yang berubah setelah ia menjauhi Luna. Bodohnya,
walau mengetahui hal itu, dia tetap memilih untuk menjauh. Bukan kembali
menjadi teman baik Luna.
“Mian.”
Suara Minhyun terdengar sedikit bergetar kini.
“Nggak papa. Aku bisa memakluminya.
Saat itu, mungkin yang kamu pikir yang terbaik memang kamu menjauhi aku.”
“Wah, siapa itu Jihye Seonbae?” Rania menyela. Ia tak menahan
diri untuk bertanya. Menurutnya jika ia bersikap seperti itu, Luna dan Minhyun
tidak akan terlalu canggung.
“Senior yang cinta mati sama
Minhyun.” Jawab Luna.
“Nggak kok!” Minhyun membantah.
“Dari penjelasan singkat barusan,
itu bukan cinta mati. Tapi, cinta buta.” Rania meralat. “Ngeri juga ya.
Cewek-cewek macem gitu ternyata ada. Di SMP, kamu dibikin susah sama cewek
senior yang cinta buta sama Minhyun. Di SMA, sama cewek yang cinta buta sama
Lee Taemin Seonbae. Malang nian nasib
kamu, Cing.”
“Resiko jadi teman baik cowok
ganteng.”
Minhyun tersenyum mendengarnya. “Terima
kasih tetap membelaku walau aku udah sakitin kamu. Aku benar-benar minta maaf
atas semua yang udah aku lakuin ke kamu.”
“Masa iya aku bilang ke teman-teman
kamu jauhin aku karena Jihye Seonbae
naksir kamu? Konyol banget kan! Kebetulan tugas kita hilang, jadi aku ambil
kesempatan itu. Momennya pas sekali.”
“Jujur itu ulahku.”
Luna dan Rania kompak tercenung
menatap Minhyun.
“Aku sengaja mencuri tugas itu dari
tasmu. Hanya itu yang bisa aku lakukan, agar aku punya alasan untuk marah dan
menjauhimu. Maafkan aku.”
Luna dan Rania masih tercenung.
“Karena ulahku, kamu jadi harus
ngerjain tugas itu lagi. Tapi, aku tetap nggak bisa maafin kamu. Karena kalau
aku baikan lagi sama kamu, aku takut Jihye Seonbae
akan menyusahkanmu.”
“Kamu ninggalin Kucing, tapi kamu
nggak mau jalan sama siapa itu Jihye? Tetep aja Kucing akhirnya menderita, kan?
Sungguh aku pengen jitak kepalamu!” Rania mengutarakan kekesalannya. “Bukannya
lebih baik tetap bersama? Bagaimana bisa kamu membuang temanmu yang baik hanya
demi cewek nggak jelas yang cinta buta sama kamu!” Rania menggeleng heran.
Minhyun diam. Ia tahu ia salah.
Karenanya, ia tak mendebat Rania. Suasana pun hening selama beberapa detik.
Yang terdengar hanyalah musik yang diputar oleh pemilik cafe.
“SMP kita masih labil, kan? Walau
kesal, kalau dipikir-pikir, aku jadi bisa memaklumi tindakan Minhyun. Nggak
apa-apa. Setidaknya aku sama Minhyun bisa belajar dari peristiwa itu dan di
sini lah kami sekarang. Waktu kami adalah sekarang. Bukan kemarin atau beberapa
tahun yang lalu.” Luna memecah keheningan.
“Aku bukan teman yang baik. Bukan
pria yang bisa diandalkan. Ketika kamu susah karena ulah Kim Ji Yoon Seonbae, aku pun tak bisa berbuat
apa-apa.” Minhyun terus mengungkap penyelesannya.
“Kamu udah jaga Rania dengan baik,
aku sangat berterima kasih untuk itu. Bahkan, ketika kamu tahu dia adalah
sahabatku.”
“Kamu tahu kalau aku sahabatnya
Kucing? Sejak video yang diunggah Dinar Oppa,
ya?” Rania penasaran.
“Sejak di peternakan milik Ayah
Jaehwan.” Minhyun mengaku.
Rania terkejut hingga mulutnya
ternganga. Tapi, tidak dengan Luna.
“Jadi... jadi... waktu nama dari
undian itu... kamu... kamu... udah tahu?” Gumam Rania, cenderung berbicara
dengan dirinya sendiri.
“Aku sempat menolaknya, tapi aku
kalah suara. Maafkan aku. Aku tahu itu pasti membuatmu nggak nyaman.”
“Ini benar-benar...” Rania
menggelengkan kepala. Masih syok dengan pengakuan jujur Minhyun. “Kok kamu
nggak kaget, Cing?” Ia beralih menatap Luna.
“Itu wajar terjadi. Kita berada di
satu tempat yang sama dengan ruang gerak yang cukup minim. Apa kamu lupa kamu
pakai Bahasa Korea waktu kita ngobrol di dapur? Kamu nggak sepenuhnya pakai
Bahasa Indonesia waktu itu. Ketika ketemu Minhyun, aku merasa sikapnya jadi
makin canggung. Aku sempat curiga. Tapi, karena itu Minhyun, aku nggak ambil
pusing. Dia nggak mungkin bongkar rahasia kalau kamu temen baik aku.”
“Kalian berdua benar-benar
psikopat!” Rania menggelengkan kepala karena heran.
Luna dan Minhyun kompak tersenyum
melihat tingkah Rania.
“Oya. Aku meminta bertemu untuk
memberikan ini padamu.” Luna teringat pada kaos yang akan ia berikan pada
Minhyun. Ia memberikan tas kertas dengan sablon logo dan nama distro milik Aro
pada Minhyun.
“Sebenarnya, waktu Oppa-ku yang pertama merintis bisnis
distronya, aku pengen kasih kamu produknya. Karena kamu satu-satunya teman baik
yang aku miliki di Korea. Tapi, karena insiden Jihye Seonbae, aku jadi terlambat memberikannya. Maaf ya.” Luna
mengutarakan isi kepalanya.
“Karena waktu kita adalah sekarang. Bukan
kemarin, atau beberapa tahun yang lalu. Jadi, berhentilah meminta maaf.” Minhyun
menggunakan kalimat Luna.
Luna menatap Minhyun. Ia merasa
terharu. Lalu, ia pun tertawa bersama Minhyun. Rania tersenyum dan menghela
napas. Ia lega melihat Luna dan Minhyun baikan.
***
Minhyun mengantar Rania pulang usai
bertemu dengan Luna. Berjalan kaki setelah turun di halte terakhir, mereka
berjalan berdampingan menuju tempat tinggal Rania. Rania melirik Minhyun yang
berjalan di sebelah kanannya dengan membawa tas kertas pemberian Luna di tangan
kirinya. Wajah tampan Minhyun dihiasi senyuman. Rania turut tersenyum usai
memperhatikannya.
“Tumben kamu nggak bawa motor?” Rania
memulai obrolan.
“Sepertinya kamu lebih suka kalau
naik bus dan jalan kaki seperti ini. Di atas motor tidak bisa ngobrol.”
Kupikir biar lebih romantis. Rania tersenyum setelah mengucapkan kalimat itu dalam
benaknya. “Di Indonesia hampir setiap hari naik motor. Berangkat sekolah naik
motor, pulang naik motor. Di antar jemput sama ojek.”
“Oj-jek?”
“Iya. Jasa angkutan umum menggunakan
motor.” Rania memiringkan kepala. Di
Korea nggak ada ojek? Ia memiringkan kepala. “Di Korea jadi sering jalan
kaki. Bener kata Kucing, di Korea bikin lebih sehat karena lebih sering jalan
kaki.”
“Kata Luna, orang Indonesia males
jalan kaki ya? Termasuk dia.”
“Waktu SD kami jalan kaki tiap
berangkat dan pulang sekolah. Tapi, sekolahnya emang deket komplek kami
tinggal. Ya emang sih rata-rata demen naik motor. Di kota lebih susah buat
jalan kaki. Trotoar buat pejalan kaki kadang dibuat jualan. Kalau nggak gitu,
buat jalan motor yang menghindari jalanan macet. Sisi miris dari negaraku.”
“Setiap tempat ada sisi minusnya
kok. Korea pun punya.”
Rania menganggukkan kepala. “Gimana
perasaanmu sekarang?”
“Rasanya ringan. Beban itu rasanya
langsung hilang. Walau masih canggung, aku bersyukur bisa minta maaf ke Luna
dan memperbaiki hubungan. Makasih ya. Ini berkat kamu.”
“Nggak lah. Itu karena kalian
sendiri. Misal aku ngotot, tapi kalau kalian nggak mau, nggak akan baikan juga
kan? Bukan kamu aja yang terbebani. Kucing juga pasti rasain itu. Aku dengar
dari Jaehwan, katanya dia jadi tukang pos kalian waktu kalian bersama-sama
bantuin Bae Jinyoung.”
Minhyun tersenyum dan mengangguk.
Menertawakan dirinya sendiri karena teringat momen saat membantu Bae Jinyoung
bersama Luna. “Aku pengecut ya?”
“Dikit.” Rania bercanda. “Tipe orang
beda-beda. Mungkin waktu itu kamu ada keinginan hubungi Kucing langsung. Tapi,
kamu gengsi. Atau, kamu takut Kucing nggak akan kasih respon. Wajar kok kayak
gitu. Yang penting, sekarang kalian udah saling memaafkan dan memperbaiki
hubungan. Waktu kamu jemput aku pas kita mau main ke tempat Jaehwan, aku kaget
lho. Kok kamu tahu rumahku. Baru inget kalau rumah itu dulu tempat tinggal
Kucing. Dulu, kamu sering main ke sana?”
“Nggak sering. Tapi, pernah beberapa
kali. Waktu itu Luna mengajari aku untuk mengucapkan, Terima Kasih, Tante. Aku ingat sampai sekarang.”
“Mamaku kaget dengernya. Dikira kamu
bisa Bahasa Indonesia.”
Rania dan Minhyun tertawa bersama.
Lalu, kembali saling diam. Sesekali saling melirik.
“Kami kaget waktu tahu Kucing
pacaran sama artis.” Rania kembali memulai obrolan. Ia penasaran tentang
bagaimana pendapat Minhyun tentang hubungan Luna dan Jihoon.
“Aku sendiri terkejut.” Minhyun
menjawab tanpa jeda yang lama.
Rania yakin sebenarnya selama ini
Minhyun terus memperhatikan Luna. Hanya saja ia tak punya teman untuk berbagi.
“Dulu zaman kami SD, dia suka banget perhatiin adik kelas kami yang masih kelas
satu. Padahal kami sudah kelas enam. Waktu denger dia pacaran sama adik kelas,
aku pikir wajar. Dia sukanya sama daun muda.
“Tapi, itu cuman sebentar. Maksudku
waktu dia jadi perhatian ke adik kelas kami yang kata dia imut banget. Waktu
latihan bersama pramuka di SMP, Kucing kesengsem sama salah Kakak SMP yang
latihan bersama sama kami. Bahkan, awal-awal dia pindah ke sini masih sering
nanyain kakak itu. Kebetulan kami, aku dan ketiga temanku dari geng Pretty Soldier sekolah di SMP yang sama
dengan kakak itu. Dia kelas tiga saat kami diterima jadi murid kelas satu.
“Selain itu, yang diceritain di
Korea ya kamu. Makanya kami berpikir dia sama kamu bukan teman biasa. Waktu dia
cerita kamu diemin dia dan jauhin dia, kami ikutan sedih. Kami pikir Kucing
naksir kamu. Tahunya, dia malah jadian sama Park Jihoon. Dia emang penuh
misteri dan kejutan.”
“Bener banget. Waktu SMP, ada
beberapa siswa yang naksir dia. Tapi, dia ngakunya udah punya pacar di
Indonesia. Kalau aku tanya, dia jawab itu hanya alasan. Ternyata, dia beneran
punya cinta monyet di Indonesia. Jadi, pengakuan itu nggak sepenuhnya bohong
ya. Walau rasa suka Luna nggak pernah tersampaikan.”
“Siapa bilang!” Rania membantah. “Teman
kami yang punya julukan Wirog pernah dengan sengaja mengatakan pada kakak
senior itu. Tapi, dia justru menghindari kami. Sepertinya dia salah paham.
Mengira Wirog berusaha deketin dia dengan alasan ada temen yang naksir dia.”
“Lucu sekali. Trus, Luna tahu?”
“Tahu. Wirog langsung suruh Kucing
lupain kakak senior itu. Kata Wirog, cowok jinak-jinak merpati kayak gitu nggak
baik buat Kucing.”
“Sepertinya kalian dekat sekali ya.”
“Begitulah. Tapi, aku paling nyaman
dan dekat sama Kucing. Kucing juga yang bikin geng itu dan kasih nama Pretty Soldier. Padahal aku lebih suka
Srikandi.”
“Iya. Dia pernah cerita tentang
itu.”
“Eh?” Rania sampai menoleh karena
kaget. “Kucing cerita apa aja?”
“Banyak. Tentang kamu juga.”
“Tentang aku?”
“Iya. Yang pasti, apa yang
diceritakan Luna tentang kamu, sama persis seperti aslinya kamu yang aku temui
di sini.”
“Tunggu! Jangan-jangan, dulu Kucing
kasih liat foto kami ya? Makanya kamu udah tahu kalau aku temen baik dia. Di sosmed
dia nggak ada foto kami.”
“Kita sudah sampai.” Minhyun
menghentikan langkah.
Rania turut menghentikan langkah.
Berjalan sambil mengobrol membuat perjalanan itu terasa cepat.
“Aku nggak tahu foto kamu. Luna
nggak pernah tunjukin ke aku. Saat kamu masuk ke sekolah kami, aku pun nggak
punya pikiran macam-macam. Tapi, setelah memikirkannya ulang, aku merasa kalian
memang punya hubungan. Sampai aku nggak sengaja dengar obrolan kalian di dapur
peternakan Ayah Jaehwan.”
Rania menghela napas panjang. “Makasih
ya. Walau sejak awal aku udah canggung, tapi dengan kamu nggak bilang kalau
tahu tentangku dan Kucing, aku jadi merasa sedikit nyaman.”
“Terima kasih juga karena kamu
bersikap biasa padaku walau tahu aku adalah orang yang jahatin teman baik
kamu.”
Rania tersenyum. “Satu cerita sudah
selesai. Mulai besok, kita tulis cerita yang baru.”
Minhyun tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih sudah mengantarku. Aku
masuk ya.”
“Sampai ketemu besok, di sekolah.” Minhyun
tersenyum manis.
“Oke.” Rania membalas senyum. Lalu,
membalikkan badan dan membuka pintu pagar. Ia pun masuk ke dalam rumah.
Setelah Rania masuk ke dalam rumah,
Minhyun menghela napas. Ia tersenyum menatap rumah Rania yang sebelumnya adalah
rumah Luna. Karena rumah itu adalah rumah yang disediakan perusahaan tempat
ayah Luna dan Rania bekerja. Minhyun menghela napas lagi, kemudian membalikan
badan dan berjalan pergi.
Rania membuka tirai di jendela ruang
tamu. Ia mengintip Minhyun yang berjalan menjauhi rumahnya. Ia pun tersenyum
manis pada punggung yang semakin menjauh itu.
***
Akhirnya Luna mempunyai waktu untuk
kembali mengunjungi Ibu Daniel. Sejak meminta bantuan untuk membeli tujuh macam
buah jeruk, ia belum sempat untuk berkunjung lagi. Setelah mengatur jadwalnya,
akhirnya malam ini ia bisa kembali berkunjung. Ia sengaja mencocokan dengan
Daniel yang sedang libur dari bekerja paruh waktu.
Luna membawa beberapa bingkisan
untuk Ibu Daniel. Ibu Daniel pun menyambut kedatangan Luna. Gadis yang sering
ia tanyakan pada putra semata wayangnya. Ibu Daniel tak lupa berterima kasih
atas bantuan Luna untuk menyambungkan kembali hubungan Daerin dan Daniel yang
sempat terputus. Ibu Daniel juga berterima kasih untuk bantuan Luna atas kasus
pengeroyokan yang dialami Daniel.
“Kamu ceritain semua ke Tante?” Luna
menegur Daniel.
“Omma
teman wanita yang paling dekat denganku. Dia tahu semua tentangku.” Daniel
membela diri.
“Kadang Omma yang sengaja wawancara.” Ibu Daniel menambahkan.
Luna tersenyum. “Oh iya. Saya lupa.”
Ia mengambil sesuatu dari tas kertas yang ia bawa. Ia mengeluarkan kaos Daniel
yang ketinggalan di rooftop-nya. Ia
telah mencuci kaos itu.
“Wah! Pantas saja aku cari-cari
nggak ketemu. Kupikir ketinggalan di studio dan hilang. Makasih ya. Udah
dicuciin juga.” Daniel menerima kaosnya dengan riang.
“Omma
sudah nonton videonya. Kalian keren sekali.” Ibu Daniel memuji tarian Daniel
dan Luna.
“Akhirnya diunggah juga. Sayang
sekali kalau nggak diunggah. Kan udah bayar mahal.” Daniel menyambung.
“Oppa
pun berkata begitu. Kupikir-pikir, sayang juga kalau disimpan sebagai koleksi
pribadi. Akhirnya aku setuju untuk menggunggahnya. Karena video itu, aku bawa
ini buat kamu.” Luna menyerahkan selembar kertas pada Daniel.
“Apa ini?” Daniel menerima kertas itu.
“Baca dulu.”
Ibu Daniel pun penasaran. Tapi,
memilih diam. Menunggu reaksi Daniel.
“In-ini…” Daniel mengangkat kepala.
Menatap Luna yang duduk di samping kirinya.
Luna tersenyum manis. “Kupikir,
mungkin saja kamu berminat.”
“Apa itu, Nak?” Ibu Daniel akhirnya
bertanya.
“Spring
Breeze Dance Crew, anu ini formulir pendaftaran untuk event Youth Dance yang digelar Spring
Breeze Dance Crew.” Daniel mendadak gugup.
“Spring
Breeze Dance Crew?”
“Iya, Omma. Itu, anu, banyak idol
jebolan dari anggota mereka. Bukan hanya idol
dan dancer terkenal. Ada juga yang
menjadi koreografer dari idol-idol.”
“Setahu saya mereka pernah bekerja
sama dengan JTL, C CLOWN, Chi Chi, Touch,
Jang Woo Hyuk. Bahkan penyanyi dari Cina, JJ Lin dan Chris Lee. Mereka pun
pernah bekerja untuk grup A-peace di
Jepang.” Luna menyambung penjelasan Daniel.
“Wah…” Ibu Daniel terkagum-kagum.
“Saya pikir Daniel yang hobi dance tertarik. Karenanya, saya
mengambil formulir itu.” Luna tersenyum pada Ibu Daniel.
“Bagaimana kau mendapatkannya?
Sangat sulit untuk mendapatkan formulir terbatas ini.”
“Aku berteman dengan Jun Oppa.”
“Mwo??”
“Di Instagram.”
“Masa?? Wah! Kenal dari mana?”
“Dinar Oppa. Dinar Oppa kenal
Jun Oppa semasa jadi trainee di salah satu agensi. Jun Oppa pernah datang ke pertemuan rutin
Klub Anak Rantau sebagai bintang tamu atas permintaan Dinar Oppa. Aku terkesima pada kemapuannya dance-nya. Dia juga bisa breakdance. Karena itu aku turut
berteman dengannya.”
Daniel ternganga mendengar
penjelasan Luna. “Aku sering menoton videonya di Youtube. Dia memang dancer
dan koreografer yang keren. Dia salah satu founder
Spring Breeze Dance Crew, kan?”
“Mm.” Luna menganggukkan kepala. “Saat
Dinar Oppa kemari, kami bertemu
dengan Jun Oppa. Aku menunjukkan
video-videomu padanya. Juga video kita. Menurut Jun Oppa, kamu sangat berbakat. Ia juga memuji dance kita. Koreografer yang kamu ciptakan unik, begitu katanya.
“Lalu, aku memberanikan diri
bertanya, apa orang sepertimu akan punya masa depan bersama Spring Breeze Dance Crew. Jun Oppa memberikan formulir itu dan
berkata, Kita lihat. Bagaimana nasib akan
membawanya. Jika ia berjodoh dengan kami, aku akan sangat bersyukur. Sekarang
keputusan ada di tanganmu. Mau mencobanya atau tidak.”
Daniel masih menatap Luna dengan
ekspresi tak percaya yang menghiasi wajahnya. Bukannya tidak pernah berusaha,
sejak pindah ke Seoul, ia pernah mencoba untuk bergabung dengan event yang digelar Spring Breeze Dance Crew. Tapi, ia selalu kehabisan formulir yang
jumlahnya selalu disediakan terbatas. Pernah sekali event digelar dengan pendaftaran secara online. Daniel pun gagal saat mencoba daftar. Situs mengalami
gangguan hingga sulit di akses.
“Jadi, itu tiket VIP ya?” Suara Ibu
Daniel membuyarkan lamunan Daniel.
“Apa boleh dikatakan seperti itu,
Tante?”
“Kau mendapatkannya tanpa susah
payah.”
“Hanya kebetulan.”
“Kebetulan yang sudah kau
rencanakan?”
“Tidak. Sebenarnya saya tidak
berharap banyak, mengingat reputasi Jun Oppa.
Saya juga tidak paham betul dengan dunia dance.
Tapi, menurut saya, Daniel sangat berbakat. Karenanya, saya memberanikan diri
menunjukkan video-video Daniel pada Jun Oppa.
Ternyata, Oppa berpendapat sama. Daniel
adalah orang yang berbakat.”
“Wah, kenapa Omma yang tersipu ya?” Wajah Ibu Daniel bersemu merah.
“Tante pantas bangga karena punya
anak yang keren dan hebat, seperti Daniel.” Kemudian, Luna menoleh, menatap
Daniel dan tersenyum.
“Jika saja ia sedikit lebih
beruntung.”
“Mungkin itu maksud dari kertas itu?
Katanya, nasib kita adalah kita sendiri yang bisa merubahnya. Entah kejutan apa
yang disiapkan untuk kita di depan sana. Pilihan berada di tangan kita.”
“Benar sekali. Usaha keras dan
sedikit sentuhan keberuntungan. Seringnya, mantra bekerja seperti itu.”
“Mantra? Tante bisa aja.”
“Lalu, aku harus bagaimana?” Daniel
menyela obrolan dua perempuan yang ia sayangi.
“Omma
terserah padamu, Nak. Apa pun itu, Omma
akan selalu mendukungmu.” Ibu Daniel memberikan restu.
Daniel menatap ibunya. Lalu, beralih
pada Luna. Gadis itu masih menatapnya dengan senyum menghiasai wajah ayunya.
Daniel mengantar Luna pulang. Tidak
ada obrolan sejak keduanya meninggalkan rumah Daniel. “Sambutan untuk video
yang kamu unggah luar biasa ya. Pendukungmu memberi banyak pujian.” Daniel
memecah kebisuan.
“Biasanya mereka hanya tahu
tingkahku yang aneh atau kalau tidak aku yang bernyanyi. Tapi, kali ini dance. Benar-benar kejutan. Aku merasa
puas. Terima kasih ya. Semua berkat kamu. Karena Jun Oppa yang mengatakan, Unggah
saja. Ini bagus. Aku jadi percaya diri.”
“Kalau aku atau Dinar Hyung yang bilang, kamu nggak percaya
ya?”
“Kalau kamu, nggak. Itu kan kamu
yang buat koreografinya. Jelas kamu pasti bilang bagus.”
“Kau ini.”
Daniel dan Luna tersenyum bersama.
“Jihoon, tidak marah karenanya?” Daniel
akhirnya bertanya tentang Jihoon.
Luna tersenyum. Tentu saja Jihoon
marah. Bukan marah, tapi mungkin hanya kesal. Karena sikap Jihoon sempat
berubah setelah video dance itu
diunggah. Tapi, Luna bisa mengatasinya. “Reaksinya memang sedikit berlebihan.
Baru aku tahu kalau dia juga bisa dance.”
“Setahuku dia jadi trainee juga, kan? Selain debut jadi aktor
sejak masih anak-anak.”
“Sepertinya begitu.”
“Sampai kapan kalian akan tetap menjalin
hubungan seperti itu?” Walau tahu itu tak sopan, Daniel tetap menanyakan
perihal hubungan palsu Luna dan Jihoon.
“Entahlah. Mungkin sampai Kim Ji
Yoon Seonbae lulus.”
Daniel tersenyum getir, kemudian
menghela napas panjang. “Baiklah. Kalau begitu aku akan bersabar. Aku akan
tetap menunggumu.”
Luna menghentikan langkahnya, karena
sudah sampai di tangga yang akan membawanya ke rooftop tempat ia tinggal. Ia menatap Daniel lekat-lekat. Pemuda
itu tersenyum manis padanya. Melihat senyum itu, dadanya kembali merasa sesak.
***
Hari-hari di sekolah berjalan dengan
normal. Klub-klub semakin sibuk karena festival sekolah sudah di depan mata.
Selain klub, setiap kelas pun sibuk mempersiapkan diri untuk bazar.
Luna tak bisa membantu banyak di
kelasnya. Karena ia sudah disibukan oleh klub dan juga Persatuan Murid Asing
SMA Hak Kun. Ketika rapat di kelas digelar, ia pun tak memberi usulan untuk
bazar. Ia sama sekali tak mempunyai ide tentang bazar walau Sungwoon bertanya
padanya. Ia hanya bisa berjanji akan membawa produk asal Indonesia yang akan ia
sumbangkan untuk kelas. Mungkin saja produk-produk itu bisa di jual saat bazar.
Walau Persatuan Murid Asing SMA Hak
Kun juga akan membuka stan saat bazar, Luna tak tahu mereka akan menawarkan apa
untuk di jual. Karenanya, ia memutuskan untuk menyumbangkan produk asal
Indonesia yang lumayan banyak di rooftop-nya
pada kelasnya. Ia bersyukur teman-temannya menyambut baik. Sesaat Luna merasa beruntung
menjadi satu-satunya murid asing di kelasnya.
***
Luna sudah siap. Ia tak sendiri, ada
Linda dan Rania bersamanya. Jumat malam, Rania dan Linda menginap di rooftop-nya. Karena, Sabtu pagi Luna ada
jadwal, dua temannya itu pun ikut pergi bersama Luna.
Daniel muncul sambil berlari kecil
ke arah Luna. Ia menghampiri tiga gadis yang sudah menunggu di pinggir jalan
itu. Daniel bertanya tentang penampilannya, Luna, Rania, dan Linda memujinya,
oke! Daniel pun tersenyum lega. Tapi, ia tidak bisa menyembunyikan rasa
gugupnya.
Taksi yang dipesan Luna pun datang.
Luna, Rania, dan Linda duduk di kursi belakang. Sedang Daniel duduk di kursi
depan. Mobil itu pun melaju, membawa mereka ke tempat yang disebutkan Luna.
Setengah jam perjalanan, mereka pun
sampai di tempat tujuan. Luna terkejut karena melihat Minhyun dan Jaehwan juga
berada di sana. Ternyata, Rania lah yang membocorkan tentang acara di hari
Sabtu itu. Minhyun dan Jaehwan sengaja datang untuk memberi dukungan.
Bersama-sama, mereka menuju gedung berukuran cukup besar itu.
Spanduk event dance Spring Breeze Dance Crew di pasang di kanan kiri jalan
masuk bangunan yang bisa disebut dome
itu. Luna dan rombongannya sampai di pintu masuk. Panitia memeriksa mereka.
Walau acara itu gratis, pengunjung tetap di periksa sebelum masuk. Penonton
dipersilahkan masuk lewat pintu sebelah kanan. Sedang peserta event dan krunya, dipersilahkan masuk
lewat pintu sebelah kiri.
Karena peraturan itu, Daniel harus
berpisah dengan teman-temannya. Rania dan Linda meminta Luna menemani Daniel
sebagai kru. Sedang keduanya akan masuk sebagai penonton. Luna pun setuju.
Bersama Daniel ia masuk dari pintu sebelah kiri. Sedang Rania, Linda, Minhyun,
dan Jaehwan masuk dari pintu sebelah kanan.
Di dalam gedung berbentuk lingkaran
itu sudah ramai. Luna dan Daniel muncul dari pintu sebelah kiri. Keduanya bisa
melihat Rania, Linda, Minhyun, dan Jaehwan yang masuk dari pintu sebelah kanan.
Rania sempat melambai pada Luna. Di dalam gedung, ada pembatas yang membatasi
area penonton dan peserta event.
Tribun di sebelah kanan panggung
disiapkan untuk peserta event. Di
sana sudah banyak peserta. Ada yang duduk-duduk saja sambil mengobrol. Ada yang
sibuk membenahi kostum dan make up.
Ada yang sibuk menghafal gerakan dance. Daniel dan Luna berjalan untuk mencari
tempat duduk yang nyaman di tribun. Menuruti Luna, Daniel pun ikut naik dan
duduk di tangga ketiga.
Sedang sisi depan dan kiri panggung
di peruntukan bagi pengunjung. Tak jauh di depan panggung, ada meja dan kursi
yang di tata berjajar. Tempat para dewan juri duduk dan menilai. Di belakang
meja dan kursi itu, terdapat barisan kursi yang sudah hampir penuh di bagian
tepat di belakang kursi dewan juri.
Rania memilih untuk duduk di tribun
dahulu. Linda, Minhyun, dan Jaehwan mengikutinya. Jarak mereka duduk dengan
panggung memang cukup jauh. Karena acara belum dimulai, mereka memutuskan untuk
duduk di sana dahulu. Toh dari tempat mereka duduk, mereka bisa melihat seluruh
ruangan. Mereka bisa menonton pertunjukan di atas panggung dengan bebas dari
sana. Hanya saja karena jaraknya yang terlalu jauh, tentu saja tidak terlalu
jelas.
Daniel mengungkapkan kegugupannya
pada Luna. Berkat Luna, ia mendapat tiket emas event Spring Breeze Dance Crew. Ia tak mau menyia-nyiakan
kesempatan langka itu. Karenanya, ia maju untuk mengikuti event itu.
Luna berusaha menenangkan Daniel. Ia
mengeluarkan sebotol air mineral dalam tasnya dan memberikannya pada Daniel.
Mungkin saja dengan minum, rasa gugup Daniel akan berkurang.
“Oh! Luna!” Suara itu menyita
perhatian Luna dan Daniel. Mereka pun kompak menoleh ke arah suara.
“Park Jihoon?” Daniel terkejut
melihat kemunculan Jihoon yang secara tiba-tiba.
Luna tak terlihat terkejut. Ia
tersenyum pada Jihoon. “Halo!” Sapanya ramah.
“Kau sama sekali nggak kaget?” Jihoon
heran melihat reaksi Luna.
“Kau pernah menunjukkannya padaku.
Tim dance yang waktu itu.”
Jihoon diam sejenak. “Ah iya.” Ia
pun ingat jika pernah menunjukkan teman-teman tim dance-nya pada Luna.
“Bukan yang waktu itu ya?”
“Bukan. Yang lolos seleksi tahap
awal mereka. Eh, jadi video dance
yang kamu buat itu…”
Luna bangkit dari duduknya dan
berdiri di depan Jihoon. “Nee. Untuk
video seleksi Kang Daniel.”
Jihoon tertegun sejenak menatap
Luna.
“Kau dan timmu, aku dan timku. Kita
saingan hari ini. Bukan patner.”
Jihoon mengamati Luna sejenak, lalu
berkata, “Baiklah! Kita lihat, tim siapa yang akan menang.” Ia tersenyum.
Luna pun membalas senyum.
“Luna!” Suara pria itu terdengar
lantang. Luna, Jihoon, Daniel, dan hampir semua orang yang berada di tribun
sebelah kanan panggung menoleh ke arah suara.
Mata bulat Luna terbelalak. Di bawah
sana, Jun tersenyum lebar dan melambaikan tangan padanya. “Aish! Oppa! Kenapa menyapaku di depan umum seperti ini?” Ia
bergumam menggerutu.
“Wah, Jun Seonbaenim.” Daniel terkesima.
“Kau kenal dengan Jun Seonbaenim?” Jihoon menatap Luna dengan
heran.
Tak menjawab pertanyaan Jihoon, Luna
bergegas turun untuk menemui Jun. Akan tidak sopan jika ia diam saja dan tak
membalas sapaan Jun. Untuk lebih sopannya, ia pun memilih turun untuk menemui
Jun. Karena suara keras Jun yang memanggil namanya, kini Luna menjadi pusat
perhatian peserta event. Ia
menggerutu untuk hal itu.
“Dia adik temanku dari Indonesia,
jadi dia adikku juga.” Jun yang turut jadi pusat perhatian tiba-tiba
memperkenalkan Luna pada para peserta event.
“Oppa!”
Luna menegur Jun.
“Dia datang untuk memberi dukungan
padaku.” Jun mengabaikan protes yang dilayangakan Luna. Ia pun merangkul Luna.
“Ayo! Yang lain ingin bertemu dengan adik Dinar.”
“Eh? Oppa!” Luna tiba-tiba diseret untuk masuk ke ruang khusus panitia.
Daniel dan Jihoon kompak tertegun
melihatnya.
“Kenapa kamu duduk di sana? Jadi
peserta?” Jun saat sampai di ruang kru.
“An-anee.
Hanya menemani temanku yang jadi peserta.” Luna takut-takut.
Jun tiba-tiba tertawa melihat tingkah
Luna. “Jangan di sana. Tidak bisa mengambil video dengan bagus. Ikut denganku
saja.”
“Eh?”
“Nanti duduk tepat di belakangku,
ya. Sudah aku siapkan kok. Dari sana kamu bisa ambil video dengan baik dan bisa
menonton dengan baik pula.”
Luna terharu mendengarnya. “Apa ini
permintaan Dinar Oppa?”
“Bukan. Ini pemberian oppa-mu.” Jun menepuk dadanya.
“Kamsahamnida,
Oppa.” Luna membungkuk hingga 90° di depan Jun.
Jun sudah duduk di kursinya. Menjadi
salah satu juri. Seperti yang ia janjikan, ia memberikan satu kursi yang tepat
berada di belakangnya untuk Luna. Deretan kursi di yang berada tepat di
belakang para juri di peruntukkan tamu khusus yang rata-rata perwakilan dari
agensi. Event yang digelar Spring Breeze Dance Crew tak jarang
dimanfaatkan agensi-agensi baik besar maupun kecil untuk ajang pencarian bakat.
Sendirian duduk di deretan kursi
untuk tamu khusus, Luna yang termuda. Ia merasa canggung. Tapi, ia tak bisa
menolak kebaikan Jun. Sesekali ia menoleh ke arah kiri, untuk melihat Daniel
yang masih duduk di tribun ketiga. Ia pun melihat Jihoon yang duduk di tribun
kedua bersama timnya. Luna menghela napas dan menundukkan kepala.
MC naik ke atas panggung. Acara pun
di buka. Walau baru pembukaan dari MC, detub jantung Luna sudah dibuat
meningkat. Ia jadi kepikiran Daniel yang sendirian di tribun. Berjuanglah, Kang Daniel! Luna
mengangguk. Ia mengangkat kepala dan tersenyum menatap panggung.
***
0 comments