My 4D’s Seonbae - Episode #39 “Setelah Misi Penangkapan.”
06:26
Episode #39 “Setelah Misi Penangkapan.”
-
Mezzaluna: Tragedi Rompi Sweater -
Semalam aku begadang mengedit video
yang baru selesai kurekam. Sebelum tidur, aku menyiapkan semua keperluan ke
sekolah. Malam itu, aku tidur cukup lelap walau singkat. Tapi, karena cukup lelap dalam tidurku yang singkat
itu, aku bangun terlambat keesokan harinya. Dengan terburu-buru aku melakukan
segala ritual pagi. Saat berangkat pun aku seperti sedang di kejar anjing yang
berada di rumah merah maroon yang biasa
menggonggong padaku setiap kali aku lewat.
Sepertinya aku sudah mempersiapkan
semua sebelum tidur. Ya, sepertinya begitu. Tapi, saat sudah duduk di dalam bus
yang sudah melaju ini, baru aku sadar jika aku belum memakai rompi sweaterku.
Pantas saja aku merasa ada yang kurang. Tapi, bagaimana? Aku sudah di atas bus
yang membawaku ke sekolah.
Setelah turun di halte, aku duduk di
sana sejenak. Padahal waktu sudah sangat mepet. Aku bingung, harus ke sekolah
atau membolos saja. Ah! Masa iya aku membolos hanya gara-gara lupa tidak
memakai rompi sweater? Tidak! Tidak boleh! Apalagi aku murid kelas X, murid
asing pula. Itu tidak akan baik. Jadi, aku bangkit dari dudukku dan berjalan
menuju sekolah.
Sudah di dekat gerbang SMA Hak Kun,
tapi aku ragu untuk masuk. Dari tempatku bersembunyi, aku bisa mendengar suara
tim Tata Tertib Sekolah yang mencegat murid-murid di dekat gerbang bagian
dalam. Guru-guru pria itu memanggil nama-nama murid yang kedapatan melanggar
aturan. Mereka—murid-murid yang melakukan pelanggaran—pasti sedang berbaris di
dekat gerbang. Aku melihatnya setiap hari, saat memasuki area sekolah. Dan,
sepertinya hari ini aku akan menjadi bagian dari mereka. Mau bagaimana lagi?
Memang aku yang ceroboh.
Aku menunduk dan menghela napas.
Memang tidak ada pilihan lain kecuali menyerah pada keadaan karena
kecerobohanku. Tapi, sepasang kaki yang tiba-tiba muncul di depanku itu
membuatku urung melangkah. Aku tahu itu adalah sepasang kaki milik siswa SMA
Hak Kun, tapi siapa? Demi melihat wajah si pemilik sepasang kaki itu, aku pun
mendongak.
Eh? Dia? Dia kan… wakil presiden
sekolah. Anu, kita di Indonesia biasa menyebutnya wakil ketua OSIS. Namanya Lee
Taemin. Dia salah satu siswa populer di SMA Hak Kun. Tapi, kenapa dia berdiri
di sini? Oh! Tidak! Jangan-jangan selain menjabat sebagai wakil ketua OSIS, dia
adalah siswa pilihan yang tergabung dalam tim Tata Tertib Sekolah. Gawat! Aku
tertangkap! Baiklah! Ini memang salahku. Aku pun membungkuk demi mengikuti
aturan untuk bersikap sopan di depan senior.
“Kenapa? Oh, lupa tidak memakai
rompi sweater ya?” Tidak membalas sapaanku, Taemin Seonbaenim malah to the point
menyebutkan alasan kenapa aku menepi di dekat pintu gerbang. Di sini, aku
memang tidak akan terlihat tim Tata Tertib Sekolah yang sedang beraksi. Kecuali
jika mereka keluar melewati pintu gerbang. Aku bisa terlihat jelas dari sudut
manapun di luar area SMA Hak Kun ini.
“Anu, iya. Sepertinya sudah saya
siapkan semua sebelum tidur semalam, tapi karena tadi saya bangun terlambat,
saya lupa tidak memakai rompi sweater saya.” Aku menjawab dengan jujur. Entah
kenapa aku yakin kalau Taemin Seonbaenim
adalah murid yang terpilih menjadi anggota tim Tata Tertib Sekolah. Siapa tahu
aku mendapat dispensasi karena telah berkata jujur.
“Wah, sayang sekali ya.” Taemin Seonbaenim mengeluh. Memang sangat di
sayangkan, tapi mau bagaimana lagi? Aku yang ceroboh, jadi aku harus menerima
konsekuensinya.
“Pakai punyaku saja,” kata Taemin Seonbaenim tiba-tiba.
Eh? Apa? Pakai punyaku saja? Aku
mengerjapkan mata, lalu mengamati Taemin Seonbaenim
yang sudah melepas rompi sweater yang ia kenakan. Tidak! Tidak! Itu tidak
boleh!
“Tidak. Anu, maksud saya, maaf, saya
tidak bisa. Ini tidak boleh. Ini curang namanya.” Aku serta merta menolak.
“Kamu kan nggak sengaja melakukan kesalahan
ini.”
“Tetap saja saya yang ceroboh.
Maafkan saya, Seonbaenim. Saya tidak
bisa.” Setelah membungkukkan badan hingga 90° di depan Taemin Seonbaenim, lalu buru-buru berjalan
melewati gerbang. Tanpa dipanggil, aku langsung menghadap pada salah satu guru
yang menjadi anggota tim Tata Tertib Sekolah yang bertugas pagi itu.
Aku meminta maaf karena lupa tidak
memakai rompi sweater karena telat bangun. Seperti alasan yang aku sampaikan
pada Taemin Seonbaenim, aku pun
berkata jujur pada tim Tata Tertib Sekolah. Tapi, walau begitu, aku yakin tidak
akan mendapatkan dispensasi. Berikutnya, aku diminta bergabung dalam barisan
murid yang membuat pelanggaran.
Kepalaku sedikit tertunduk saat
menatap Taemin Seonbaenim melintas.
Dia menatapku, lalu menggelengkan kepala sebelum berlalu. Maafkan aku, Seonbaenim. Aku sangat tersanjung atas
apa yang Seonbaenim lakukan. Tapi,
aku tidak bisa melimpahkan kesalahan yang aku buat kepada orang lain. Kepalaku
benar-benar tertunduk sekarang.
“Eh? Kamu siswi itu, kan?” Saat aku
sedang khusyuk meminta maaf pada Taemin Seonbaenim
lewat telepati—maaf, ini hanya candaanku saja. Tapi, aku memang sedang
menyesali kejadian di luar gerbang tadi—, aku mendengar suara seorang pemuda
yang sepertinya menegurku. Aku yakin dia menegurku karena aku satu-satunya siswi
yang ada dalam barisan murid yang membuat pelanggaran. Keren, kan?
Aku mengangkat kepala dan menoleh ke
kanan. Siswa dengan postur tubuh tingga besar itu tersenyum lebar padaku.
Senyum yang aku artikan sebagai sebuah cibiran. Dalam pandangan pertama itu,
aku tak menyukainya. Aku yakin dia seorang senior.
“Ah iya! Benar kau! Siswi yang
mendapatkan nilai Matematika nyaris sempurna. Tapi, ada apa denganmu pagi ini?
Mencoba sensasi baru?”
Rasa tidak sukaku bertambah satu
level.
“Sayang sekali. Padahal kau sudah
cukup membuat heboh dengan prestasimu. Tapi, ada apa denganmu hari ini?
Kudengar, Indonesia memang negara yang rakyatnya hobi melakukan pelanggaran ya?
Kau membuktikannya.”
Level itu bertambah lagi. Aku
mengalihkan pandangan, melihat tag nama siswa itu. Oh, Kim Ji Yoon. Benar dia
senior. Aku mengenalinya dari tanda pada tag nama. Di SMA Hak Kun, murid kelas
X, XI, dan XII memiliki kode sendiri pada tag nama. Jadi, dia Kim Ji Yoon? Hmm,
baiklah. Aku tidak suka dia!
“Ji Yoon-aa, tega sekali kau berkata
seperti itu?”
Siapa lagi yang bicara? Oh! Siswa
yang berdiri di samping kanan Kim Ji Yoon Seonbae.
Walau tidak suka, dia tetap seniorku. Rasanya aneh jika tidak memberi
embel-embel kata seonbae di belakang
namanya.
Eh, yang barusan bicara itu siapa
ya? Tubuhnya lebih kecil, lebih kurus dari Kim Ji Yoon Seonbae. Dalam otakku saat ini, Kim Ji Yoon adalah Takeshi Goda.
Yap! Benar sekali! Tokoh Giant dalam anime Doraemon. Walau tubuhnya tidak
gemuk, tapi dia tinggi besar seperti raksasa. Aku berusaha melihat tag namanya.
Oh, senior juga. Namanya Bang Yoon He. Kalau dia adalah kroconya Kim Ji Yoon Seonbaenim, maka aku akan menyebutnya
sebagai Suneo Honekawa.
“Indonesia itu negara yang terkenal
dengan kepulauannya.” Bang Yoon He Seonbae
kembali bicara.
Terima kasih pujiannya.
“Karena pulaunya yang luas, di sana,
tempat sampah pun luas. Kau bebas membuang sampah di mana saja.”
Sial! Dia meledek juga. Baiklah! Dia
adalah Suneo. Kroconya Giant.
“Nah, kan? Sangat berhubungan.” Kim
Ji Yoon Seonbae menimpali.
Aku hanya bisa diam dalam geram.
Memang begitu kenyataannya. Rakyat kita di Indonesia, masih gemar membuang
sampah sembarangan. Itu fakta yang tidak bisa aku elak. Tapi, tidak semua orang
Indonesia tidak disiplin kan? Lagian, bagaimana bisa tahu?
“Tapi, bagaimana kau tahu tentang
itu?” Seolah bisa membaca pikiranku, Kim Ji Yoon Seonbae menanyakan hal itu pada Bang Yoon He Seonbae.
“Temanku ada yang pernah berwisata
ke Indonesia. Pada dasarnya negara itu sangat indah. Penduduknya juga ramah.
Sayangnya kau bisa menemukan sampah di mana-mana.”
Terima kasih atas simpatinya. Tapi,
maaf. Aku sudah terlanjur tidak menyukai kalian.
“Kalian ini bicara apa!” Salah satu
guru yang menjadi anggota tim Tata Tertib Sekolah menghampiri kami. Beliau pria
yang tampan. Guru Matematika di kelasku. Beliau menghela napas pelan saat
menatapku. Tak bisa membalas tatapan teduh itu, aku pun menunduk.
“Kalian, bersihkan gedung olah
raga.” Guru Matematika itu memberi hukuman pada murid-murid yang berbaris
bersamaku. Aku pun hendak pergi, tapi beliau menahan langkahku dengan berkata,
“Mezzaluna, tugasmu menyapu koridor kelas X.”
“Yah, kok begitu?” Bang Yoon He Seonbae mengeluh.
“Tidak adil.” Kim Ji Yoon Seonbae ikut-ikutan protes.
“Sudah sana! Kerjakan tugas kalian!”
Guru Matematika itu sedikit membentak.
Aku tidak berani mengangkat kepala.
Tapi, aku yakin murid-murid yang sedang berjalan membubarkan diri menuju gedung
olah raga itu pasti sedang mencibirku.
“Aku tahu ini bukan kesengajaan.
Tapi, bukan berarti aku harus memberimu dispensasi. Lain kali, lebih teliti
lah.” Guru Matematika itu menasehatiku.
“Iye,
Songsaengnim.” Aku membungkukkan badan.
“Lebih baik menyapu koridor
sendirian daripada membersihkan gedung olah raga dengan 10 siswa senior, kan?”
Hatiku… tersentuh! Aku mengangkat
kepala dan menatap Guru Matematikaku. Aku sangat berterima kasih. “Kamsahamnida, Songsaengnim!” Aku
membungkuk hingga 90° di depan Guru Matematikaku.
“Lekas selesaikan. Lalu, kita bertemu
di jam ketiga dan keempat ya.”
Aku menegakkan tubuhku, tersenyum
menatap punggung Guru Matematikaku. Terima kasih, Pak.
Menjadi satu-satunya siswi yang melanggar aturan menjadi
topik obrolan murid SMA Hak Kun hingga dua hari berikutnya. Aku berpikir, apa
untungnya bagi mereka terus berkasak-kusuk, bahkan terang-terangan memakiku.
Aku bukan murid populer atau sejenisnya. Tingkah laku beberapa teman seangkatan
dan senior yang kurang kerjaan itu cukup menggangguku. Tapi, tidak ada yang
bisa aku lakukan kecuali diam.
Beruntung aku punya teman yang
lumayan dekat bernama Song Hami. Dia selalu memberiku dukungan. Terkadang, dia
membalas makian yang dilontarkan padaku. Selain Song Hami, ada Kim Jaehwan dan
Yoon Jisung. Dua teman sekelas yang tempat duduknya dekat denganku dan Hami.
Keduanya selalu bersikap baik padaku. Keberadaan mereka lah yang selalu aku
syukuri. Terlebih aku menjadi satu klub dengan Yoon Jisung dan Kim Jaehwan di
Klub Teater. Kami berteman cukup baik. Tapi, keduanya selalu menyebutku susah
akrab.
Oya, sejak Tragedi Rompi Sweater itu, Giant dan Suneo sering menggangguku.
Sebenarnya mereka hanya sesekali muncul untuk sekedar menyapa—yang di telingaku
selalu terdengar sebagai olokan—, tapi aku merasa terganggu karena ulah mereka.
Ternyata dua orang itu punya satu anggota lagi. Namanya Jang Ki Bang. Tubuhnya
hampir sama dengan Kim Ji Yoon Seonbae.
Tapi, tampangnya culun. Ia selalu diam setiap kali Kim Ji Yoon Seonbae dan Bang Yoon He Seonbae menggangguku. Aku heran, kenapa
siswa seperti dia bisa berada satu geng dengan Kim Ji Yoon Seonbae.
Satu minggu setelah Tragedi Rompi Sweater, di koridor menuju
perpustakaan. Seperti tempo hari, Kim Ji Yoon Seonbae menghadang langkahku bersama dua kroconya. Karena dari awal
bertemu sudah tidak suka padanya, aku tidak pernah tersenyum setiap kali ia
menghadangku seperti ini. Aku tidak pernah menunjukkan ekspresi apa pun di
wajahku setiap kali berhadapan dengannya. Buat apa beramah tamah pada orang
yang tidak aku sukai?
“Walau kamu selalu cemberut setiap
kali di depanku, itu tak masalah bagiku.” Ujar Kim Ji Yoon Seonbae. Tumben ia berbasa-basi.
“Bagaimana ya? Aku jadi gugup.
Mungkin terlalu cepat. Tapi, sepertinya aku naksir kamu.”
Untuk pertama kalinya aku
menunjukkan ekspresi berbeda di depan Kim Ji Yoon Seonbae. Aku terkejut mendengar pengakuannya.
Sepertinya Kim Ji Yoon Seonbae menyadari perubahan ekspresiku.
“Kamu kaget ya? Aku juga kaget. Setiap malam wajahmu selalu muncul dalam
ingatanku. Kalau aku nggak liat kamu di sekolah, aku jadi galau. Setelah
kupikir-pikir, sepertinya aku naksir kamu. Bukan! Bukan sepertinya, tapi memang
naksir. Gimana, kamu mau jadi pacarku?”
“Shireo!”
Aku setengah berteriak. Gantian Kim Ji Yoon Seonbae
yang kaget.
“Wah…” Mulut Jang Ki Bang Seonbae terbuka.
“Langsung ditolak ya. Kasihan.” Bang
Yoon He Seonbae tersenyum mengolok.
“Ken-kenapa?” Baru kali ini aku
melihat Kim Ji Yoon Seonbae seperti
orang linglung. Suaranya gemetar dan terbata. Aku sama sekali tak merasa bangga
meski aku yang membuatnya jadi seperti itu.
“Pokoknya tidak mau! Tidak bisa!
Maaf!” Aku membungkuk di depan Kim Ji Yoon Seonbae.
Lalu, dengan langkah lebar-lebar, aku kabur dari hadapannya. Genggaman kedua
tanganku pada buku besar yang aku peluk di dada semakin erat. Ini kesalahan!
Aku sudah membuat kesalahan!
Setelah aku menolaknya, Kim Ji Yoon Seonbae dan gengnya tidak pernah muncul
lagi untuk menggangguku. Selama tiga hari, walau mereka tidak muncul
menggangguku, aku tidak bisa tenang. Lebih baik mereka muncul dan menggangguku,
daripada mereka tiba-tiba menghilang seperti ini. Aku curiga, mereka sedang
menyusun rencana untuk balas dendam. Penolakanku terlalu frontal. Bisa saja Kim
Ji Yoon Seonbae merasa sakit hati dan
berpikir untuk balas dendam padaku.
Hari kelima setelah penolakanku.
Saat aku hendak keluar dari toilet siswi kelas X, satu orang siswi mendorongku
dengan kuat hingga aku berjalan mundur dan langkahku terhenti ketika punggungku
menabarak tembok. Sakit! Tapi, lebih sakit cengkeraman di leher yang kalau
boleh kusebut dengan bahasa umumnya, aku dicekik.
Mendapat serangan mendadak, aku
panik dan berusaha berontak. Tapi, siswi itu terlalu kuat. Yang bisa aku
lakukan hanya memegang tangan mulus yang mencekik leherku. Sesekali menepuk-nepuknya
agar terbebas dari cengekeraman itu. Aku kesulitan bernapas hingga kedua mataku
berair. Dalam situasi seperti itu, aku masih bisa melihat dua siswi yang berdiri
di dekat pintu masuk toilet menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Keduanya
tak beranjak dari sana. Sepertinya memang sengaja ditugaskan untuk menjaga
pintu masuk.
Sedang di belakang siswi yang masih
mencekikku dengan kuat, berdiri dua siswi yang melipat tangan di dada dan
mencibirku. Sedang siswi yang mencekikku, menatapku penuh kebencian.
Sepertinya, ia meluapkan semua amarahnya pada cekikan di leherku. Kelimanya
cantik. Sekedar tahu, mereka adalah siswi kelas XII yang cukup populer di
sekolah.
Ketika air mataku mengucur semakin
deras dan pandanganku mulai kabur, siswi senior itu melepaskan cengkeramannya
pada leherku. Aku terbatuk-batuk. Tubuhku oleng, tapi siswi yang sebelumnya
mencekikku menarik kerah baju seragamku dan mendorongku semakin rapat ke
tembok.
“Jadi, ini penampakan gadis yang
menolak Lee Taemin?” Siswi yang kini mencengkeram kerah seragamku berujar.
Senyum mencibir tersungging di wajah ayunya.
Tunggu! Apa? Menolak Lee Taemin? Lee
Taemin Seonbaenim? Aku? Aku
mengerjapkan kedua mataku. Bulir air mata meluncur, menuruni pipiku. Apa ini?
Aku menolak Lee Taemin Seonbaenim?
Kapan?
“Ya! Apa kau merasa hebat karena
menolak Lee Taemin?” Siswi itu menuntut jawaban.
“Seon-seonbae,
say-saya tid-tidak mengerti.” Aku terbata-bata. Pipi kiriku terasa panas dan
sakit. Tamparan itu mendarat dengan sempurna ketika aku mencoba memberi
penjelasan.
“Menyebalkan sekali! Mungkin aku
akan lebih bermurah hati jika kau menerima ungkapan cintanya! Tapi, menolaknya
mentah-mentah, kau ini apa? Merasa hebat?!”
Aku tidak mengerti. Benar-benar
tidak mengerti. Kapan aku menolak ungkapan cinta Lee Taemin Seonbae? Tidak! Ini sebuah kesalahan. “Seon-bae, ini salah. Say-saya, Lee
Taemin Seonbae tidak pernah
mengungkapkan rasa sukanya pada saya. Ini salah!” Aku memekik ketika rambutku
dijambak dengan kasar. Para senior ini benar-benar brutal.
“Tidak peduli itu benar atau salah.
Aku hanya ingin melakukan ini padamu! Dengar! Lee Taemin adalah milikku. Aku
senang kau tidak pacaran dengannya. Tapi, aku juga kesal karena kau menolaknya.
Aku hanya ingin melakukan ini padamu. Agar kau ingat! Jadi anak jangan sombong!
Kau bukan apa-apa di sini!” Siswi itu menghentakan tubuhku hingga sekali lagi
punggungku menatap tembok. Bukan hanya punggung. Tapi, juga kepalaku. Karena
tangan kanannya menjambak rambutku dan menghentakannya.
Sakit. Tapi, aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Tubuhku melorot hingga aku jatuh terduduk di lantai toilet yang
dingin. Tak puas dengan mencekik, menampar, dan menjambakku. Siswi itu meraih
bidet dari kloset duduk yang berada paling dekat dengan kami. Ia menyemprotkan
air dari bidet itu ke tubuhku tanpa ampun. Setelah melihat tubuhku basah kuyup,
ia tertawa puas bersama keempat rekannya. Setelah mencuci dan mengeringkan
kedua tangannya, ia meminta dua rekannya yang bertugas menjaga pintu untuk
membuka pintu yang terkunci. Mereka keluar toilet siswi kelas X dengan
tertawa-tawa puas.
Aku masih terduduk di lantai toilet.
Merasa linglung. Serangan mendadak yang baru saja aku terima, tuduhan itu,
semuanya salah. Aku tak ingin menangis, tapi nyatanya aku menangis sesenggukan
di dalam toilet. Ketika pintu terbuka, aku mendongakan kepala. Kang Daerin yang
berdiri di ambang pintu terkejut saat melihatku duduk di lantai toilet dengan
tubuh basah kuyup dan menangis.
Kang Daerin menghampiriku, bertanya
apa yang terjadi padaku. Aku tidak bisa menjawabnya. Hanya air mataku yang
mengalir semakin deras. Daerin membantuku berdiri, memapahku keluar dari
toilet. Saat kami berjalan menuju ruang UKS, kami berpapasan dengan Kim Ji Yoon
Soenbae dan gengnya.
Kim Ji Yoon Seonbae tak tampak terkejut melihat kondisiku. Ia memelankan
langkahnya, dan ketika posisi kami sejajar, ia berujar, “Bagaimana? Bukan kah
ini menyenangkan?”
Kepalaku tertunduk. Tapi, aku yakin
ia pasti tersenyum puas. Jadi, ini alasan kenapa ia menghilang setelah aku
menolaknya lima hari yang lalu.
***
“Kurang ajar!” Rania menggebrak meja
setelah Luna menyelesaikan ceritanya. Semua berkumpul di sebuah rumah makan
usai misi penangkapan di jalankan. “Dia
cowok bukan sih? Tega-teganya lakuin hal itu ke loe! Dasar nggak tahu diri!
Nggak koreksi diri kenapa ditolak, malah terus-terusan neror loe!” Ia
bersungut-sungut karena kesal.
Sungwoon berdehem. “Tolong,
gunakanlah Bahasa Korea. Di sini, ada kami.” Ia mengedarkan pandangan dekat
cepat. Menunjuk keberadaan Jaehwan, Woojin, Daerin, dan pria dengan kostum
serba hitam yang duduk berdampingan dengan Dinar.
“Maaf. Aku emosi.” Rania
membungkukkan badan.
“Waktu itu, kenapa kamu tidak membaginya
denganku? Atau Jisung?” Jaehwan ikut bersuara.
“Kalau waktu itu aku cerita ke kamu,
apa yang akan kamu lakukan?” Luna balik bertanya.
“Walau bukan hal yang salah, melapor
karena diteror usai melakukan penolakan adalah hal yang memalukan bagi seorang
gadis. Terlebih Luna adalah murid asing. Aku sudah pernah mengusulkan untuk
melapor pada pihak sekolah, tapi Luna menolak.” Daerin menyambung pertanyaan
balik Luna untuk Jaehwan.
“Kau cukup terkenal, kan? Sejak kau
mendapat nilai Matematika nyaris sempurna.” Jaehwan masih kukuh pada
pendapatnya. Menurutnya, jika saat itu Luna membagi cerita dengannya, atau
dengan Hami pun Jisung, lalu mereka melaporkan bersama-sama. Ia yakin
masalahnya tidak akan berlarut-larut seperti ini.
“Sebenarnya tidak ada jaminan semua
kemungkinan yang kau pikirkan itu akan membuahkan hasil seperti yang kita
inginkan. Bukan kah begitu? Coba kau ingat runtutan kejadiannya. Benar Luna
mendapat nilai Matematika nyaris sempurna. Karena itu, ia jadi terkenal di
sekolah kita. Tapi, jadi terkenal itu tidak melulu membuatmu disukai banyak
orang. Bagaimanapun selalu ada yang suka dan yang benci.
“Sialnya, sebelum kejadian bullying
itu Luna membuat kesalahan kecil. Ia lupa tidak memakai rompi sweater yang
merupakan bagian dari seragam sekolah. Pendapat bahwa Luna adalah murid asing
yang baik dan pintar tentu saja sedikit bergeser. Yang sebelumnya mendukung
Luna pasti merasa kecewa. Lalu, yang membenci Luna pasti akan menggunakan
kesempatan itu untuk menyerang Luna.
“Jika tiba-tiba saja Luna melapor
karena para senior itu mengganggunya, apa kata para pengamat aktif di sekolah
kita? Anggap saja guru membela Luna, tapi bagaimana dengan para murid. Terlebih
yang membenci Luna. Mereka pasti akan menyebut Luna sebagai drama queen yang haus perhatian setelah
menjadi tenar dan terus meneror Luna. Teror di sini bukan hanya pesan ancaman
atau sejenisnya. Tapi, kasak-kusuk, sindiran, dan pandangan yang menusuk juga
termasuk teror. Apa yang membuat tak nyaman, itu termasuk teror.”
“Benar juga. Walau bisa dituntut,
seringnya masalah bullying tenggelam begitu saja. Maafkan aku, Luna. Andai aku
memberanikan diri untuk mengenalmu lebih dekat di tahun pertama kita.” Sungwoon
benar-benar menyesal.
“Tapi, kalau Kucing nggak cerita ke
kamu kan percuma! Dia tuh kebiasaan memendam semuanya sendiri. Padahal, untuk
menyelesaikan sebuah masalah kadang kan butuh bantuan orang lain.” Rania masih
dipenuhi emosi. Ia sangat sedih mendengar bagaimana para senior itu
memperlakukan sahabatnya. Dulu Luna membantunya hingga ia bisa bersih dari tuduhan
‘maling’. Tapi, ketika Luna tertindas, ia justru tak ada
di sisinya. Rania sangat menyesalinya.
“Aku nggak nyangka. Dia selalu
tertawa bersama kami. Bersamaku, Hami, dan Jisung. Tapi, di balik itu semua dia
menyembunyikan perihnya sendiri. Andai kau bilang pada Taemin Seonbae, aku yakin dia tidak akan
tinggal diam. Padahal kau kan cukup dekat dengan Taemin Seonbae.” Jaehwan pun bersimpati atas apa yang dialami Luna.
“Berkat Hami, aku jadi mengenal Song
Hyuri Seonbae. Lalu, Kim Myungsoo Seonbae dan Lee Taemin Seonbae. Tapi, bukan berarti aku boleh
memanfaatkan mereka, kan? Hami pernah menyinggung tentang rumor penolakan itu
di depan Taemin Seonbae. Tapi, Seonbae meminta kami mengabaikannya.
Asal kita tidak benar-benar melakukannya, abaikan saja. Memberi penjelasan pada
orang yang membenci kita, sama saja dengan berbicara dengan batu. Suara kita tidak
akan didengar sama sekali.”
“Benar-benar posisi yang sulit.
Tapi, aku penasaran, bagaimana kau begini akrab dengan Kang Daerin?”
Sungwoon, Rania, dan Woojin kompak
menatap Luna. Pertanyaan yang diajukan Jaehwan mewakili rasa penasaran mereka
juga.
Luna tersenyum manis. “Dia teman
rahasiaku. Aku lebih dulu berteman dengannya sebelum berteman denganmu, Hami,
Jisung, Sungwoon, dan Woojin, juga Seongwoo. Aku pergi berwisata ke Jalan Simni Cherry Blossom bersamanya
musim semi tahun ini.”
“Benar-benar mengejutkan. Maaf ya,
Daerin. Aku sempat berpikir buruk tentangmu. Bahkan, aku sempat berpikir kamu
lah yang membully Kucing. Ternyata, kamu adalah orang yang diam-diam
membantunya. Maafkan aku. Terima kasih sudah menjaga Kucing.” Rania segera
meminta maaf.
“Kau bisa bela diri, kan?
Kapan-kapan, ajari aku cara meninju yang benar ya. Tanganku masih sakit sampai
sekarang.” Pinta Daerin tulus.
“Boleh. Katakan saja, kapan kau mau.
Aku selalu siap mengajarimu.”
Semua yang ada di dalam ruangan itu
tertawa.
“Setidaknya sekarang masalah sudah
selesai.” Dinar tersenyum lega.
“Benar sekali. Akhirnya konflik
panjang itu bisa diakhiri. Kucing Hitam pasti sangat lelah. Semoga malam ini kau
bisa tidur dengan nyenyak.” Daerin tersenyum pada Luna.
“Saya sangat berterima kasih pada
Detektif Ajushi.” Luna menatap pria
yang memakai kostum serba hitam dan menundukkan kepala.
“Agashi,
saya bukan lagi detektif.” Pria itu tersipu.
“Tetap saja dulu pernah menjadi
detektif. Terima kasih atas kerja kerasnya dalam menjaga saya.”
“Sejak kapan Mas Dinar menjaga
Kucing dengan jasa bodyguard?” Rania
penasaran.
“Sejak ia ketahuan pacaran dengan
Park Jihoon. Aku hanya khawatir pada sasaeng
fans dan haters yang bisa saja
berbuat nekat padanya.” Jawab Dinar.
“Jadi, Mas Dinar juga nggak tahu
soal bullying itu?” Rania tetap menggunakan kata ‘mas’ , bukan ‘oppa’ untuk memanggil Dinar.
“Nggak.” Dinar menggeleng. “Baru
tahu bersama-sama dengan kalian. Beberapa menit yang lalu. Aku menyesal. Tapi, bersyukur
karena adikku berhasil melewati masa sulit itu. Sekarang, dia sudah berubah
menjadi elang yang tangguh. Buktinya, ia bisa memanfaatkan kebetulan ini untuk
menjebak senior-seniornya itu.”
“Kebetulan? Maksudnya?”
“Begini,” Luna mengambil alih, “sebenarnya,
kasus pengeroyokan Kang Daniel sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kim Ji
Yoon Seonbae.”
“Mwo??”
Daerin memekik. “Ya! Kalau tidak ada hubungannya, kenapa kau bilang… Ah! Kau
ini! Bisa-bisanya memanfaatkanku seperti ini?” Daerin menggelengkan kepalanya.
“Maaf. Tapi, bukan kah sedari awal
kau memang ingin meninju Kim Ji Yoon Seonbae
tepat di wajahnya? Lagi pula, kalau aku jelaskan detailnya, aku tidak punya
banyak waktu. Maafkan aku.
“Karena semalam tak sempat
mengobrol, Dinar Oppa mengirim pesan
padaku. Menjelaskan kenapa ia tiba-tiba muncul di Korea. Juga tentang Detektif Ajushi yang tidak sengaja memergoki
gerombolan preman yang menghajar Kang Daniel. Detektif Ajushi menangkap ketua preman itu. Setelah di interogasi, hasilnya
kasus itu sama sekali tidak ada hubungannya denganku.
“Aku lega. Tapi, ide itu tiba-tiba
muncul di kepalaku. Lalu, kenapa tidak memanfaatkan kebetulan ini? Beruntung
Dinar Oppa ada di sini. Dia lah yang
membantu mempersiapkan setting. Lalu,
dengan cepat aku memilih siapa saja yang akan aku bawa ke tempat eksekusi.
Kalian lah orang-orang terpilih itu.
“Siapa pun itu, sejahat apa pun dia,
pasti tidak akan suka jika disuruh mengakui sesuatu yang tidak ia perbuat.
Terlebih jika hal itu tidak diberikan imbalan apa pun. Jika tidak salah
perhitungan, dengan memanfaatkan emosi Bang Yoon He Seonbae, rencana ini pasti bisa menangkap Kim Ji Yoon Seonbae.
“Beruntung Tuhan berpihak pada kita.
Rencana dadakan dengan persiapan yang kurang, kita berhasil menangkap Kim Ji
Yoon Seonbae. Aku sangat berterima
kasih pada kalian. Terlebih pada Detektif Ajushi.
Kemunculan Ajushi, membuat akhir dari
pertunjukan hari ini menjadi sempurna. Seorang detektif dan putri hakim yang
menjadi saksi sekaligus membawa bukti, jika masih nekat bertindak, aku rasa
level Kim Ji Yoon Seonbae pasti jauh
di atasku.”
“Aku rasa tidak. Ini sudah pasti
berhasil. Rencana ini tidak hanya menyelamatkanmu, tapi juga Lee Taeyong.” Sungwoon
menghela napas lega.
“Terima kasih atas kerja kerasmu.
Terima kasih atas kerja keras kalian semua. Maafkan aku karena memanfaatkan
kalian.” Luna membungkuk.
“Tanganku sakit tahu!” Daerin
mengeluh. Ia masih kesal karena dimanfaatkan Luna hingga emosi dan meninju Kim
Ji Yoon.
Pelayan pun masuk untuk
menghidangkan makanan. Menyela obrolan di dalam ruangan itu.
“Sekarang, mari makan yang banyak.
Untuk mengisi energi kalian yang habis karena membuat jebakan untuk mangsa yang
besar.” Dinar mempersilahkan.
“Iya. Raja Kingkong!” Rania
menyahut.
“Besok, kembali lah ke sekolah
dengan riang. Karena, seharusnya begitulah remaja SMA itu. Penuh energi dan
kebahagiaan. Selamat makan!” Dinar melanjutkan pidatonya, lalu benar-benar
mempersilahkan orang-orang yang berkumpul mengitari meja untuk makan.
“Selamat makan!” Daerin, Jaehwan,
Luna, Rania, Sungwoon, dan Woojin hampir bersamaan. Mereka pun menikmati
hidangan makan malam dengan antusias. Sesekali mereka mengobrol. Masih tentang
Kim Ji Yoon, juga tentang persahabatan Daerin dan Luna. Mereka larut dalam
suasana hangat layaknya sebuah keluarga yang sedang makan malam bersama.
***
Berjalan kaki, Luna dan Dinar menyusuri jalan pulang menuju rooftop. Jika sebelumnya Luna selalu
merasa terbebani, malam ini ia merasa sangat ringan.
“Makasih, Mas. Mas dateng di saat
yang tepat.” Luna memecah kebisuan.
Dinar tersenyum. “Feeling Mas Aro selalu tepat ya. Kamu
sendiri, harusnya panggil mas-masmu kalau butuh bantuan. Seperti kata Cue, ada
kalanya kita nggak bisa beresin masalah kita sendiri.”
Luna menganggukkan kepala. “Bisa
nggak, hanya aku dan Mas Dinar aja yang tahu masalah bullying itu?”
“Mas nggak bisa janji, tapi mas
usahain. Palingan mas nggak bisa bohong di depan Mas Aro.”
“Aku juga.” Luna menaiki tangga.
“Sebenernya Mas Aro udah tahu sih.”
“Jadi penasaran gimana besok di
sekolah.” Dinar menyusul di belakang Luna. Turut menaiki tangga.
“Aku jadi pengen berangkat pagi-pagi
dan nunggu di gerbang. Nyegat Kim Ji Yoon Seonbae
dan gengnya, lalu menyapa mereka.”
“Ide bagus. Kamu pasti terlihat
seperti hantu bagi mereka. Hantu Korea cewek yang seram apa sih? Kalau di
Indonesia kan kuntilanak. Di Korea apa ya? Sadako? Eh, Sadako itu Jepang ya?”
“Cheonyeo
Gwishin?” Luna menyebut nama salah satu hantu Korea yang dipercaya sebagai
perwujudan dari wanita muda yang mati dalam keadaan perawan dan membawa dendam.
“Eh?” Saat sampai di ujung tangga teratas, ia kaget karena menemukan Jihoon
sudah duduk di bangku yang ada di teras rooftop.
Jihoon bangkit dari duduknya ketika
melihat Luna. Ia tersenyum melihat Luna. Ketika melihat Dinar muncul di
belakang Luna, ia pun membungkukan badan untuk memberi salam.
“Wah! Udah ada yang nunggu! Gitu ya enaknya
punya pacar perhatian.” Dinar menggoda Luna. “Dia memang manis. Cocok sama
selaramu. Kalau mas sih lebih suka sama Daniel.” Ia memelankan suara saat
menyebut nama Daniel.
Dinar tersenyum dan berjalan menuju rooftop. “Udah lama nunggu ya? Maaf ya,
tadi aku pinjam Luna.” Ia menepuk bahu Jihoon, lalu masuk ke dalam rooftop.
Luna yang berjalan di belakang Dinar
berhenti di depan Jihoon. “Maaf membuatmu menunggu.”
“Jisung Seonbae sudah memberitahuku. Aku ke sini hanya ingin menyapa.” Kening
Jihoon sedikit berkerut ketika memperhatikan ekspresi Luna. “Kenapa
berseri-seri seperti itu?”
“Eh?” Luna terkejut. “Wajar, kan?
Aku senang oppaku ada di sini.” Ia
tersenyum lebar.
“Bohong! Aku tahu penyebabnya bukan
itu. Pagi tadi tidak seperti itu. Padahal oppamu
kan ada di sini sejak kemarin. Harusnya pagi tadi ekspresimu sudah berseri-seri
seperti itu sejak kemarin.”
“Kamu mau dengar berita bagus?”
“Tentu. Itu alasan kenapa aku
kemari.”
“Katanya tadi mau menyapa saja.”
“Tapi, ekspresimu berkata lain. Aku
jadi penasaran. Apa yang aku lewatkan?”
Luna tersenyum dan bergerak lalu
duduk di bangku. Tanpa diminta, Jihoon mengikutinya. Ia duduk di samping kiri
Luna.
“Dimulai dari mana ya?” Luna
antusias.
“Langsung ke intinya?” Jihoon
memberi masukan.
“Oh iya! Intinya masalah sudah
selesai.”
“Masalah?”
“Giant!” Saking antusiasnya Luna
jadi sedikit berteriak.
“Oh! Eh? Mendadak sekali? Bagaimana
bisa? Ceritakan padaku!” Jihoon pun jadi ikut antusias.
“Semua karena kasus pengeroyokan
yang kamu alami sama Daniel.”
“Eh? Jadi, memang kasus itu ada
hubungannya denganmu?”
Luna menggeleng antusias. “Kasus itu
hanya jebakan.”
“Jebakan?”
Luna pun menceritakan bagaimana ia
dan kakak keduanya menjebak Kim Ji Yoon dan gengnya. Jihoon mendengarkan dengan
seksama. Bahkan, Luna menunjukkan video rekaman yang dibuat Dinar.
“Wah… kenapa aku nggak diajak?
Padahal aku kan juga korban.” Jihoon mengerucutkan bibirnya. Pura-pura ngambek.
“Kalian kan korban abal-abal.” Luna
membela diri. Ia menghela napas panjang. “Rasanya, aku bisa kembali bernapas
bebas.” Ia tersenyum menatap langit malam.
Jihoon menoleh ke kanan. Ditatapnya
Luna yang sedang mendongak menatap langit. Gadis itu tersenyum. Melihatnya, ia
pun ikut tersenyum. “Apa ini akan menjadi akhir dari hubungan kita?”
Luna menurunkan pandangannya. Senyum
di wajahnya sirna. Ia menoleh ke kiri dan bertemu pandang dengan Jihoon. Dia minta putus? Kalimat itu terlintas
di benaknya.
Jihoon tersenyum ketika menatap Luna
yang tercenung menatapnya. “Salah satu alasan kita membangun hubungan adalah
kau, demi membuat Kim Ji Yoon Seonbae
berhenti mengganggumu.”
Alasan lainnya adalah agar kau terhindar dari fans fanatik
yang sangat mengganggumu. Masalahku selesai, tapi bagaimana denganmu? Luna mengalihkan pandangan. Ia tertunduk dan menelan ludah.
“Mendengar masalah itu sudah beres,
aku hanya berpikir, mungkin saja kau ingin mengakhiri hubungan kerjasama kita.”
Kau sendiri, ingin putus? Aku bahkan tidak memikirkan
tentang itu. Putus? Luna merasakan sesak di dadanya.
Jadi, hanya sampai di sini? Kita selesai?
Padahal, kupikir kau masih membutuhkan kerjasama itu.
“Tolong katakan sesuatu. Jangan diam
saja. Aku sangat mengkhawatirkan hal itu.”
Luna masih terdiam. Menimbang kata
yang tepat untuk dia ucapkan. “Sebenarnya kerjasama kita tidak satu arah, kan?
Selain untuk menyelesaikan masalahku, juga untuk menyelesaikan masalahmu.
Kebetulan masalahku selesai lebih dulu. Tapi, jika menurutmu itu baik untukmu,
kerjasama kita selesai, aku tak mengapa.”
Hening selama beberapa detik. Jihoon
menatap Luna dalam diam. Begitu juga sebaliknya.
“Maaf. Aku yang memulai obrolan canggung
ini. Aku hanya khawatir,” jeda sejenak, “khawatir,” Jihoon ragu-ragu, “khawatir
kau ingin bersama Daniel, tapi merasa sungkan untuk mengakhiri kerjasama kita.”
Akhirnya ia menyelesaikan kalimatnya.
Luna tercenung. Sama sekali tak
terlintas dalam benaknya jika Jihoon memiliki pemikiran seperti itu. “Ak-aku?
Daniel?” Ia mengerjapkan kedua mata bulatnya.
“Mung-kin saja?”
“Kau ini bicara apa?” Luna tertawa canggung.
“Kalaupun, misalnya kamu dan Daniel
memang saling menyukai, tak apa. Tapi, bisa tidak kita tidak berakhir secepat
ini? Setidaknya, sampai Kim Ji Yoon Seonbae
lulus. Sebelum itu, aku ingin kerjasama kita tetap berlanjut.”
Luna kembali menatap Jihoon dalam
diam.
***
Luna menatap bayangannya di dalam cermin di dalam kamarnya
setelah mengganti pakaian. Semua kata-kata Jihoon tentang berakhirnya kontrak
kerjasama mereka kembali terniang di telinganya. Ia menghela napas dan berjalan
keluar kamar untuk mandi. Saat ia melenggang menuju kamar mandi, Dinar tiduran
di sofa sambil memainkan ponsel. Ia mengabaikannya.
Selesai membersihkan diri, Luna
kembali ke kamar. Setelah menyelesaikan ritual setelah mandi, ia kembali keluar
dan menuju dapur. Dinar masih nyaman dalam posisinya. Luna membuat coklat
hangat untuknya, juga untuk Dinar. Selesai dengan dua mug coklat hangat itu, ia
membawanya ke ruang tamu. Meletakkan kedua mug di atas meja. Lalu, ia kembali
masuk ke dalam kamar. Dan, keluar lagi dengan membawa laptop. Ia meletakkan
laptop di meja dan menyalakannya.
“Kok coklat? Emang kopi nggak ada?” Dinar
melirik mug yang mengepulkan asap.
“Punya sampeyan kopi rasa coklat
kok.” Luna masih sibuk dengan laptopnya.
“Kamu sama Jihoon baik-baik aja,
kan?”
“Kenapa emang? Sampeyan nguping ya?”
“Nggak kok.”
“Bohong!”
Dinar tersenyum jail. “Awalnya
pura-pura, tapi akhirnya suka beneran. Banyak kasus kayak gitu. Witing tresno jalaran soko ngglibet.
Benih cinta tumbuh karena sering sama-sama.”
Luna mengabaikannya. Pura-pura fokus
pada laptopnya, walau ritme detak jantungnya telah berubah.
“Jadi pengen nanya Mas Aro. Antara
Park Jihoon dan Kang Daniel, mana yang baik buat Luna? Nggak gitu. Tapi,
akhirnya ntar Luna bakal jadian sama siapa? Park Jihoon apa Kang Daniel?” Dinar
melirik Luna yang masih berkutat dengan laptopnya.
“Oh!” Mata Luna yang terfokus pada
laptop berbinar.
Dinar mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Sebentar. Masih di download.”
“Apaan sih?” Karena penasaran, Dinar
pun bangun dan duduk.
“Liat deh!” Luna memutar posisi
laptopnya menjadi menghadap pada Dinar. Ia pun berpindah posisi duduk. Ia duduk
di atas lantai, tepat di sisi kiri Dinar yang duduk di atas sofa. Luna
menunjukkan video yang baru saja ia unduh.
“Ini kamu? Oh! Jadi, kamu minta
dikirimin kaos sama topi buat ini? Wah. Eh? Itu cowoknya siapa?”
“Kang Daniel.”
“Kang Daniel??”
“Dia sebenernya hobi dance. Pernah ikut breakdance juga. Tapi, karena kondisinya sekarang, dia ninggalin
hobinya itu. Aku minta tolong dia bikin koreografi buat lagu Closer dari The Chainsmoker. Gitu jadinya.”
“Keren lho! Ini rekam pakek jasa
profesional ya?”
“Yoi. Sekalian sewa studionya.”
“Niat banget. Trus, kok nggak kamu
unggah di Youtube-mu?”
“Nggak buat diunggah di sana.”
“Lhah?? Trus ngapain bayar mahal
buat bikin ginian?”
“Karena itu aku butuh bantuan
sampeyan. Kebetulan juga sampeyan pas di sini, Mas. Tuhan Maha Asik beneran.
Sampeyan datang di saat yang tepat.”
“Halah! Ngrayu! Kamu mau aku lakuin
apa lagi?”
Luna menunjukan senyum seluas
samudra pada Dinar.
***
Luna hanya berangkat dengan Daniel. Jihoon tak menjemputnya
pagi itu. Walau berusaha memaklumi, karena Jihoon tak selalu menjemputnya, Luna
tetap kepikiran. Ia menduga Jihoon tak datang pagi ini tak lain karena obrolan
semalam. Mengingatnya membuat Luna mendesah agak keras.
“Kenapa?” Tanya Daniel yang duduk di
samping kanan Luna.
“Nggak papa. Oya, semisal ada
kompetisi dance gitu, apa kamu mau
ikut?”
“Mau aja. Tapi, apa aku punya waktu?
Waktu bisa di atur, tapi di mana aku latihan? Memangnya mau ada kompetisi dance yang kamu pengen aku ikut?”
“Kali aja ada. Kan kamu hobi dance.”
“Kadang emang kepikiran pengen balik
aktif dance lagi. Apalagi sekarang
boleh dibilang ekonomi keluargaku mulai stabil. Andai aku nggak kerja paruh
waktu, Omma udah bisa kasih uang
jajan cukup. Tapi, entah kenapa berat aja rasanya buat ninggalin kerja paruh
waktuku.”
“I
feel you. Udah terbiasa mandiri juga sih ya. Tapi, kalau ada beneran mau
ya? Kamu bisa latihan di teras rooftop.”
Daniel menoleh ke kiri, memiringkan
kepala dan bertanya, “Emang boleh?”
“Aku sama temen-temen juga latihan
di sana. Eh, sebentar. Aku lupa. Liat ini!” Luna menyodorkan ponselnya.
Memperlihatkan video dance-nya
bersama Daniel yang sudah ia copy ke
ponsel.
Daniel menerima ponsel Luna dan
mulai menonton. “Wah, udah jadi ya? Woa! Aku nggak nyangka kita keliatan keren
gini.” Ia tersenyum puas.
“Makasih ya. Berkat kamu,
keinginanku terwujud. Bikin video dance
pakek lagu Closer dari The Chainsmoker.”
“Aku juga makasih. Karena proyek
ini, aku bisa merasakan menari di studio mahal.”
Daniel dan Luna tertawa bersama.
“Videonya bagus banget. Trus, video
ini mau buat apa? Sayang banget kalau nggak diunggah.”
“Tunggu aja tanggal mainnya.”
“Aigo!
Punya rencana apa lagi gadisku ini?”
Senyum di wajah Luna sirna ketika ia
mendengar Daniel mengucapkan kata ‘gadisku’.
Beberapa detik kemudian, bus berhenti di halte dekat sekolah.
“Kita sampai. Ayo turun!” Daniel
bangkit dari duduknya. “Luna?” Ia menatap Luna yang masih duduk melamun.
“Luna!”
“Eh?” Luna mengamati sekitar, lalu
bangkit dari duduknya dan bergegas turun bersama Daniel.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah,
Daniel tak hentinya membahas video dance
mereka dengan riang. Luna yang menjadi sedikit canggung sejak Daniel menyebut
kata ‘gadisku’ pun berusaha menimpali
ocehan Daniel dengan sewajarnya. Saat sampai di dekat gerbang, tanpa diduga ia
bertemu dengan Kim Ji Yoon yang berjalan dari arah berlawanan.
Melihat Kim Ji Yoon, Luna pun
menyeringai. Ia sengaja memperlambat langkahnya agar bisa bertepatan dengan
seniornya itu saat di gerbang. Kim Ji Yoon mencoba menghindar, tapi Luna malah
berhenti di depan gerbang. Sengaja menunggu Kim Ji Yoon. Saat Kim Ji Yoon
melintas, Luna sengaja mengucap salam dengan sopan. Bahkan ia menunjukkan
senyum terbaiknya. Dengan canggung Kim Ji Yoon membalas salam itu dan bergegas
pergi. Luna tersenyum puas melihatnya.
***
Luna tak pernah merasakan hari begitu ringan di sekolah
sebelumnya. Hampir sepanjang tahun pertamanya, ia selalu pergi ke sekolah
dengan perasaan berat hingga kadang membuatnya sulit untuk tersenyum, sulit
untuk bergerak bebas. Tapi, hari ini semua beban itu seolah sirna begitu saja.
Ia yang sedang duduk menopang dagu dengan kedua tanganya di bangku taman
favoritnya terus tersenyum. Beginilah harusnya masa SMA itu. Menyenangkan.
“Lihatlah dia! Senyum-senyum terus
dari tadi!” Jisung mengolok tingkah Luna.
“Aku hanya senang karena oppaku ada di sini.” Luna tak
mengabaikan olokan Jisung.
“Curang ya! Hanya aku dan Seongwoo
yang nggak dilibatkan!” Jisung sewot.
“Udah, kan? Tugasmu jagain Jihoon.”
“Apaan! Curangnya lagi,” Jisung
mencondongkan tubuhnya ke depan agar lebih dekat pada Luna, “kenapa
merahasiakan hubunganmu dengan Daerin? Padahal kalian berteman sudah setahun
lebih. Curang!” Ia kembali menegakkan badannya.
“Kalau kemarin kamu di sana, aku
yakin mulutmu pasti akan terbuka saat menyaksikan aksi heroik Daerin. Pasti
seperti ini.” Sungwoon mencoba menirukan ekspresi Jisung saat kaget.
“Benar sekali. Aku nggak nyangka dia
bakalan meninju Giant.” Woojin membenarkan. Demi menjaga identitas Kim Ji Yoon,
Squad Moon Kingdom sepakat
menyebutnya sebagai Giant. Hal itu
mereka sepakati di grup chat semalam. Saat Sungwoon menceritakan suksesnya
jebakan Luna untuk Kim Ji Yoon.
“Tapi, pasti yang lebih terkejut
adalah Seongwoo.” Luna ikut berkomentar.
“Benar sekali! Ekspresinya pasti
lebih mengerikan dari Jisung. Kira-kira seperti ini.” Kini Sungwoon menirukan
ekspresi Seongwoo saat kaget. Tentu saja bukan ekspresi yang sebenarnya.
Karena, ia bermaksud mengolok. Tingkahnya sukses membuat Jisung dan Woojin
tertawa. Sedang Luna, hanya tersenyum.
“Aku nggak gitu kalau kaget. Walau
kaget, aku tetep ganteng!” Seongwoo membanggakan dirinya sendiri.
“Iya ya.” Sungwoon mengangguk-angguk
setuju.
“Setelah ini mari kita berteman
dengan lebih baik. Saling membantu satu sama lain.” Jisung kembali serius. “Untukmu,
Luna. Jangan sungkan meminta bantuan pada kami. Setelah oppamu balik ke Indonesia, kami bisa jadi oppa buat kamu. Kau yang termuda di sini.”
“Nee,
Oppa.” Luna tersenyum manis dan tulus.
“Wah!” Seongwoo terkejut mendengar Luna
menyebut kata oppa.
Luna bangkit dari duduknya. “Jisung Oppa. Sungwoon Oppa. Seongwoo Oppa.
Woojin Oppa. Kamsahamnida.” Ia membungkuk hingga 90° kepada teman-temannya. Ia
tersenyum lebar saat kembali menegakkan badan. “Oppa, ayo kita makan! Aku sudah lapar.”
“Nee!”
Sungwoon yang pertama bangkit dari duduknya. “Mari kita mengisi energi dan menikmati
masa SMA yang indah ini.”
Jisung, Seongwoo, dan Woojin bangkit
hampir bersamaan. Dengan Luna berada di tengah, mereka berjalan menuju kantin.
***
Rania, Jaehwan, Minhyun, dan Jinyoung berkumpul di kantin.
Mereka duduk di meja paling pojok. Jaehwan telah menceritakan suksesnya jebakan
Luna pada Minhyun dan Jinyoung. Keempatnya sepakat memanggil Kim Ji Yoon dengan
sebutan Raja Kingkong. Mengikuti bagaimana Rania memanggil senior itu. Hal itu
mereka lakukan demi menjaga identitas Kim Ji Yoon jika saja ada yang mendengar
obrolan mereka. Selain itu, Jaehwan dan Rania memanggil Daerin dengan sebutan Queen. Mengikuti bagaimana Luna
memanggil teman rahasianya itu.
“Syukurlah kalau sudah beres. Aku
nggak nyangka Luna mengalami masa yang lebih sulit dariku. Bahkan ia menerima
siksaan fisik.” Jinyoung masih tak percaya dengan apa yang ia dengar dari
Jaehwan dan Rania. Bahwa Luna pernah dipukuli senior kelas XII di toilet siswi
kelas X.
Minhyun yang turut menyimak kisah
itu tertunduk. Ia menyesal karena terlambat mengetahui perlakuan tak adil yang
diterima Luna.
“Aku juga nggak nyangka. Aku sekelas
sama dia waktu kelas X. Tempat duduk kami berdekatan. Kami rekan satu klub juga.
Tapi, Luna selalu tersenyum ketika bersama kami. Kukira sifat angkuhnya itu
memang bawaan dari lahir.” Jaehwan merasakan apa yang dirasakan Jinyoung
tentang Luna.
“Kucing bukannya angkuh. Dia hanya
pendiam. Kalau udah kenal, kalian bisa liat bagaimana gilanya dia.” Rania
membela Luna.
“Itu kenapa dia disebut 4D Princess From Country of a Thousand
Islands. Ia terlihat pendiam, tapi di video-video vlog-nya, ia bisa
bersikap edan. Kalau sama teman yang sudah dekat juga gitu. Aku sempat beberapa
kali melihat tingkah edannya saat sekelas dulu. Ia banyak melakukannya di depan
Hami.”
“Jadi, Lee Taeyong hanya korban juga
ya? Trus, Lee Taemin Seonbae nggak
salah? Syukurlah. Oya, maaf Minhyun.
Karena aku melihat obrolan Lee Taemin Seonbae
dan Lee Taeyong di dekat gudang, aku sempat curiga padamu. Kupikir kamu
kerjasama sama Lee Taemin Seonbae
buat jahatin Luna. Maaf ya.” Jinyoung meminta maaf pada Minhyun.
Minhyun yang sudah mengangkat kepala
sejak Jaehwan menyebutkan julukan Luna pun terkejut. Ia tak menyangka Jinyoung
mencurigainya seperti itu.
“Wah! Bagaimana bisa kamu curiga
Minhyun bakal jahatin Luna?” Jaehwan tak kalah terkejutnya. Begitu juga Rania
yang memilih diam dan menyimak.
“Hanya pemikiran dangkal karena aku
tak tahu pasti kenapa Minhyun perang dingin sama Luna. Terlebih, Minhyun
lumayan dekat dengan Lee Taemin Seonbae
karena sama-sama OSIS.”
Rania menatap Minhyun yang duduk
tepat di hadapannya di seberang meja. Ia penasaran pada apa yang dipikirkan
Minhyun sekarang. Atas persetujuan Luna, dia lah yang meminta Jaehwan
menceritakan suksesnya rencana kemarin pada Minhyun dan Jinyoung.
“Masuk akal juga sih. Kalau aku yang
melihat dan mendengar obrolan Lee Taemin Seonbae
dan Lee Taeyong, aku pun bisa jadi punya pemikiran seperti kamu.” Jaehwan
membenarkan dugaan Jinyoung.
“Kalau aku paling kaget waktu tahu
Kucing temenan sama Queen. Aku curiga
banget, bahkan yakin Queen yang
membully Kucing. Bahkan, aku membagi kecurigaanku pada Sungwoon.” Setelah puas
mengamati Minhyun, Rania ikut mengeluarkan isi kepalanya.
“Kita benar-benar dibuat berpikir ini
itu oleh fakta tentang Luna.” Jinyoung menggeleng heran.
“Eh! Itu dia!” Jaehwan yang duduk
berdampingan dengan Rania melihat Luna masuk ke kantin bersama Jisung,
Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin.
“Luna! Di sini!” Jaehwan memanggil
dan melambaikan tangan setelah melihat Luna selesai dengan antrian dan membawa
nampan berisi menu makan siang.
Luna menatap Jaehwan, lalu berbicara
dengan Jisung. Kemudian, ia berjalan menuju meja Jaehwan diikuti Jisung,
Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin. Luna dan gengnya bergabung untuk makan siang
dengan Rania dan gengnya. Momen itu pun langsung menjadi perhatian murid-murid
yang ada di kantin.
***
“Benar seperti itu ceritanya. Jadi, rencana dadakan itu
sukses. Aku lega Tuhan berpihak pada Luna Seonbae.
Nggak nyangka juga Luna Seonbae ngalamin
bullying saat masih kelas X cuman gara-gara ulah orang bodoh yang cintanya
ditolak!” Linda yang mendengar tentang misi penangkapan yang sukses kemarin
dari Rania, sengaja membagi cerita itu dengan Daniel. Ia merasa Daniel perlu
tahu tentang apa yang dilakukan Luna. Karena misi itu pun turut menguntungkan
Daniel.
Memilih kelas yang kosong setelah
jam sekolah usai, Linda mengajak Daniel ngobrol di sana. Linda menceritakan
semua yang ia dengar dari Rania dengan suara selirih mungkin. Walau hanya ada
mereka, masih ada CCTV di kelas. Linda menjadi sensitif pada benda itu. Selain
itu, ia pun khawatir ada yang mendengar ceritanya jika ia bersuara normal.
Daniel terkejut mendengar apa yang
diceritakan Linda, tentang Luna yang memanfaatkan insiden yang ia alami untuk
menjebak Kim Ji Yoon—yang oleh Linda disebut sebagai Raja Kingkong, menirukan
bagaimana Rania memanggil senior kelas XII itu.
“Itu namanya kombinasi kebetulan dan
keberuntungan. Kemungkinan berhasil tipis, karena itu rencana dadakan.
Syukurlah berhasil.” Linda mengungkapkan kelegaannya. “Kamu, kalau misal ntar
cintanya ditolak, jangan lakuin kayak apa yang dilakuin Raja Kingkong ya. Itu
tindakan pengecut!”
Daniel tersenyum mendengar nasehat
Linda.
“Trus, itu yang ngeroyok kamu
siapa?”
“Entahlah. Aku juga nggak tahu. Luna
sempat bertanya padaku tentang hal itu. Tapi, aku benar-benar nggak tahu.”
“Detektif yang disewa Dinar Oppa untuk menjaga Luna Seonbae berhasil menangkap ketua dari
kelompok yang ngeroyok kamu.”
Daniel mengalihkan pandangannya yang
sebelumnya menatap meja pada Linda. “Begitu?”
“Aku tadi belum sebut tentang ini
ya? Jadi, waktu pulang dari makan malam, Detektif Ajushi tidak sengaja mendengar keributan. Beliau mencari sumber
suara dan menemukan kalian. Karena beliau mengenalimu dan Jihoon sebagai teman
Luna Seonbae, beliau mengambil
tindakan.”
“Pria yang tiba-tiba muncul dan
meminta kami pergi?”
“Iya. Itu detektif yang disewa Dinar
Oppa untuk menjaga Luna Seonbae sejak hubungan Jihoon dan Luna Seonbae terbongkar. Dinar Oppa khawatir Luna Seonbae mendapat perlakuan buruk dari sasaeng fans Jihoon. Karena
selalu mengawasi Luna Seonbae,
Detektif Ajushi jadi tahu tentangmu
juga.
“Ketua geng itu mengaku kesal padamu
karena kau mengganggu kesenangan salah satu adiknya. Saat itu adiknya sedang
menarget anak SMP. Kamu melihatnya dan membela anak SMP itu. Kalian terlibat
perkelahian, dan adik ketua geng itu kalah. Niatnya balas dendam padamu. Nggak
tahunya melibatkan Park Jihoon juga.
“Detektif Ajushi memberi tahu Dinar Oppa
tentang insiden itu. Karenanya, Dinar Oppa
langsung terbang ke Korea. Walau sudah mendengar pengakuan bahwa geng itu
menyerangmu tidak ada hubungannya dengan Luna Seonbae, Dinar Oppa tetap
khawatir dan memilih terbang ke sini untuk memastikan kondisi Luna Seonbae.
“Karena Park Jihoon juga terlibat,
Dinar Oppa khawatir fans akan berbuat
nekat pada Luna Seonbae. Kau tahu
bagaimana komentar netizen kan? Benar-benar mengerikan. Kalau sampai ada yang
nekat melukai Luna karena menduga Jihoon babak belur karena dirinya kan gawat.”
Daniel terdiam.
“Maaf. Aku sengaja cerita ke kamu
karena nurut aku, kamu juga diuntungkan dalam hal ini walau kasusmu dijadikan
kambing hitam untuk menjebak Raja Kingkong. Ketua itu berjanji tidak akan
mengganggumu lagi, karena Dinar Oppa
dan Detektif Ajushi mengancam akan
melaporkan tindakannya. Penjara memang bisa jadi senjata yang ampuh ya.” Linda
menatap Daniel yang masih bungkam.
“Sekali lagi maaf. Maaf kalau
tindakanku ini membuatmu nggak nyaman.” Linda kembali meminta maaf.
“Nggak papa. Aku senang bisa tahu.
Aku harus berterima kasih pada Luna.”
Linda tersenyum lega. “Kalau gitu,
aku pulang dulu ya.” Linda bangkit dari duduknya.
“Gomawo.”
Linda menatap Daniel yang masih
duduk. Pemuda itu mendongak dan menatapnya. “Apa pun yang akan kamu lakukan
untuk Luna Seonbae, semoga berhasil.
Kamu masih punya kesempatan. Jangan lelah untuk memperjuangkan perasaanmu. Kang
Daniel, fighting!” Linda
menyemangati. Ia tersenyum manis, lalu berjalan meninggalkan Daniel sendirian
di dalam kelas.
Daniel tersenyum melihat tingkah
Linda. Tapi, dengan cepat senyum itu sirna. Ia baru menyadari jika Linda tahu semua
tentang Luna dari Rania. “Apa dia tahu tentang Luna dan Jihoon? Karena itu, dia
memintaku untuk tidak menyerah?” Ia bergumam sambil menelengkan kepala. Daniel
menggelengkan kepala, lalu bangkit dari duduknya, dan berjalan keluar dari
kelas untuk pulang.
Saat berjalan di koridor panjang yang sepi itu, Daniel
melihat Luna. Ia senang, tapi Luna tak sendiri. Luna sedang berbicara dengan
Taemin. Daniel memperlambat langkahnya, lalu benar-benar berhenti. Menunggu
Luna selesai. Saat Luna selesai dengan Taemin dan sudah sendirian, ia bergegas
mendekati Luna.
“Hai!” Daniel menyapa Luna.
“Oh! Hai!” Luna menyambut Daniel.
“Sudah selesai? Mau pulang?”
Luna mengangguk.
“Kita pulang sama-sama?”
“Oke!”
Daniel tersenyum lebar. Ia pun
berjalan di samping kanan Luna.
Daniel ingin membahas tentang cerita
yang dituturkan Linda. Namun, mereka masih berjalan di kompleks sekolah. Saat
di dalam bus pun ada beberapa murid SMA Hak Kun. Daniel pun menahan diri.
Hingga mereka sampai di halte untuk mereka turun. Saat sudah berjalan kaki
menuju komplek tempat tinggal mereka, Daniel pun masih ragu untuk memulai.
“Dinar Hyung ada di rooftop?” Daniel
bertanya tentang Dinar. Jika, Dinar tak berada di rooftop, ia berniat mampir untuk berterima kasih pada Luna.
“Kayaknya nggak. Aku kasih dia
tugas. Tapi, nggak tahu juga kalau dia nggak bisa kerjain tugas itu hari ini.” Luna
tak bisa menjawab dengan pasti.
Karena kemungkinannya 50:50, Daniel
membulatkan tekad untuk berterima kasih pada Luna sekarang. “Bagaimanapun,
terima kasih.”
“Mm?” Luna menoleh ke arah kanan dan
menatap Daniel dengan ekspresi tak paham.
“Linda cerita tentang misi yang kamu
jalankan kemarin. Selamat ya! Misimu sukses. Dia tahu itu dari Rania.”
“Ah! Cue! Dia cerita ke Linda juga.”
“Terima kasih. Karena aku pun
diuntungkan.”
“Maaf tidak mengundangmu dalam misi
kemarin. Karena kalian hanya korban yang aku palsukan. Lagi pula, kalau terlalu
banyak yang aku undang, aku khawatir rencana tidak berjalan lancar.”
“Aku nyesel nggak diundang. Nyesel
karena nggak bisa liat langsung aksi Daerin Noona.”
“Dia penuh kejutan ya? Setelah itu
dia terus mengeluh tangannya sakit.”
Daniel tersenyum mendengarnya.
“Aku jahat pada Queen. Karena kubilang padanya ini menyangkut kamu, dia jadi emosi
dan meninju Giant.”
“Giant? Ah! Itu kode nama yang kamu
gunakan? Linda menyebutnya Raja Kingkong, karena Rania memakai kode nama itu.
Kalian benar-benar.” Daniel menggelengkan kepala. Ia menyusul langkah Luna yang
sudah menaiki tangga menuju rooftop.
“Dari sabotase itu, bukan hanya aku
yang diuntungkan. Tapi, juga Lee Taeyong. Tadi Taemin Seonbae menemuiku untuk berterima kasih dan meminta maaf. Minhyun
yang memberitahunya kalau masalah dengan Kim Ji Yoon Seonbae sudah beres. Aku harap Kim Ji Yoon Seonbae bisa berubah dan berhenti bertindak konyol. Bukan hanya padaku.
Tapi, pada yang lain juga.”
“Aku pun berharap begitu.
Mengejutkan sekali. Akibat yang harus kamu terima atas ulahnya benar-benar mengerikan.”
“Kalau seonbaenim itu belum lulus, pasti Cue sudah melabrak dan menghabisi
mereka.”
Daniel tersenyum. Ia berhenti di
depan Luna yang sudah berdiri membelakangi pintu rooftop dan menghadap padanya. “Kalau aku cerita ke omma tentang ini, omma pasti akan makin jatuh hati padamu.”
“Eh? Tante? Wah jang—”Luna tak
melanjutkan kata-katanya karena Daniel tiba-tiba memeluknya. Seperti
sebelumnya, ia diam mematung dalam pelukan Daniel.
Daniel memeluk erat Luna. Ia merasa
lega gadis yang ia sayangi itu baik-baik saja. Ia lega gadis yang ia cintai itu
bisa melewati masa sulit dan memenangkan kasusnya.
Jihoon yang baru sampai di ujung
tangga teratas menghentikan langkahnya. Ia menemukan Daniel dan Luna sedang
berpelukan di depan pintu rooftop.
Menyaksikan adegan itu, jantungnya seolah dihujam ribuan pisau. Perlahan ia
berjalan mundur. Kembali menuruni tangga. Setelah menuruni tiga tangga, ia
menjatuhkan punggungnya pada dinding. Ia menundukkan kepala. Berharap apa yang
ia lihat hanyalah mimpi.
***
Kemarin, setelah Luna membaca pesan Dinar. Saat pergantian
jam pelajaran, ia meminta izin ke toilet. Dari toilet, Luna mengirim pesan
panjang pada Dinar. Ia menjelaskan skenario jebakan yang akan ia buat. Setelah
Dinar sanggup membantu, Luna berpikir sejenak. Memilih siapa saja yang akan ia
libatkan dalam misi itu. Dengan berbagai pertimbangan, ia pun memilih Sungwoon,
Woojin, Jaehwan, Rania, dan Daerin untuk bergabung.
Saat jam istirahat, Luna sengaja
mengajak Sungwoon pergi. Selesai dengan Sungwoon, ia menghabiskan hampir
seluruh jam istirahatnya untuk mengetik pesan pada Sungwoon, Woojin, Jaehwan,
dan Daerin. Ia sengaja tak mengirim pesan pada Rania. Namun, ia meminta Jaehwan
untuk mengajak Rania ikut serta.
Luna to Queen: Kim Ji Yoon adalah dalang di balik pengeroyokan Kang Daniel.
Hari ini aku akan menjebaknya. Datanglah ke gedung terbengkalai dekat sekolah
setelah jam sekolah berakhir. Perangkap sudah disiapkan di sana. Keamanan
terjamin. Jangan sampai terlambat. Perkiraan target akan datang 15 menit lebih
lama dari kita. Aku sudah mengatur waktu.
Luna to Jaehwan: Rekanku!
Tolong ajak Rania bersamamu ke gedung terbengkalai dekat sekolah setelah jam
sekolah berakhir. Aku butuh kalian untuk misi penangkapan. Tolong bawa Rania
ya. Perkiraan target akan datang 15 menit lebih lama dari kita. Aku sudah
mengatur waktu.
Luna to Woojin: Aku sudah
melihat video yang dibuat Bae Jinyoung. Jebakan sudah disiapkan. Sungwoon pun
sedang berusaha membujuk Lee Taeyong. Bantu aku ya. Tempatnya di gedung
terbengkalai dekat sekolah setelah jam sekolah usai. Perkiraan target akan
datang 15 menit lebih lama dari kita. Aku sudah mengatur waktu.
Luna to Sungwoon: Semoga
berhasil. Terima kasih. Aku menunggumu di lokasi jebakan. Gedung terbengkalai
dekat sekolah setelah jam sekolah usai. Perkiraan target akan datang 15 menit
lebih lama dari kita. Aku sudah mengatur waktu.
Luna to Dinar: Mas, di sini
semua udah siap. Tolong ya. Tidak usah membawa pelaku. Cukup bawa Detektif Ajushi saja. Aku mengandalkanmu. Jangan
lupa bantu doa.
Luna to Aro: Mas, bantu doa
ya. Doain misiku jebak Giant
berhasil. Maaf mendadak kasih tahu soal ini. Aku sangat butuh dukungan Mas Aro.
Bantu kami dari sana. Bagaimanapun,
di antara kita bertiga, doa Mas Aro yang paling sering dikabulkan Tuhan. Jadi,
kali ini tolong bantu bujuk Tuhan agar mau berada di pihakku. Terima kasih.
Luna to Bunda: Bunda, doain
Luna ya. Luna mau hadapi ujian nih. Ada ujian mendadak. Luna jadi gugup. Jadi,
tolong kasih Luna kekuatan lewat restu dan doa Bunda ya. Doain Luna bisa melewati
ujian dengan lancar.
Bunda to Luna: Doa dan restu
Bunda selalu bersamamu, Nak. Semangat hadapi ujiannya ya. Kamu pasti bisa
melewatinya dengan baik. Semangat, Anakku! Tuhan bersamamu.
***
0 comments