My 4D’s Seonbae - Episode #37 “Kejutan Di Tengah Kekacauan.”
04:37
Episode #37 “Kejutan Di Tengah Kekacauan.”
Jangan terkejut kalau besok kalian melihat wajahku seperti ini. Hari
ini aku pergi bersama Daniel. Saat kami berjalan pulang ke rumah Daniel, lima
orang pemuda tiba-tiba menyerang kami. Kami tidak tahu mereka siapa. Tapi,
jangan khawatir. Kami baik-baik saja. Sampai bertemu besok di sekolah (smile emoticon).
Jihoon mengunggah foto ke akun Instagram pribadinya menjelang tengah
malam. Ia menghela napas panjang usai menyelesaikan postingannya.
***
Terdengar nada sambungan telepon
dari ponsel. Namun, panggilan itu tak kunjung terjawab. Pemuda yang hanya
tampak bagian belakang tubuhnya itu mengulangi kembali panggilannya.
Ponsel yang tergeletak di atas meja
itu berdering, bergerak-gerak karena getarannya. Pemuda—ketua dari kelompok
yang mengeroyok Daniel—yang duduk dengan kedua tangan terikat di belakang
punggungnya itu hanya bisa menatap ponselnya. Nama ‘dongsaeng’ muncul dalam layar ponselnya. Panggilan itu masuk
kembali usai ponsel diam sejenak. Pemuda itu mengalihkan pandangan dari
ponselnya pada pria berkostum serba hitam lengkap dengan topi hitam yang duduk
di seberang meja, berhadapan dengannya. Pria itu bangkit dari duduknya, meraih
ponsel yang tergeletak di atas meja, menerima panggilan dengan mode loud speaker.
“Hyung!
Ke mana saja kau? Bagaimana Park Jihoon bisa terlibat? Hyung?” Suara seorang pemuda terdengar panik.
Pemuda yang kedua tangannya terikat
itu mendongak, menatap pria berkostum serba hitam yang menyandranya. Pria itu
memberinya tatapan dingin. “Ak-aku sedang lelah. Dia tiba-tiba muncul dan
menyerang. Kami hanya mempertahankan diri. Memangnya, dia siapa?” Walau
berusaha tenang, suaranya masih bergetar ketika menjawab panggilan.
“Dia aktor! Hyung, tidak tahu? Kubilang target kita Kang Daniel. Kenapa harus
ada Park Jihoon?”
“Sudah kubilang dia tiba-tiba muncul
dan menyerang! Siphal!” Pemuda itu
mengumpat karena kesal.
“Baiklah. Hyung, istirahat saja dulu. Sisanya, kita pikirkan nanti.”
“Ya! Ya! Siphal!” Pemuda itu kembali mengumpat ketika panggilan diakhiri. Ia
menatap penuh emosi pada pria yang menyandranya. “Kenapa kau lakukan ini
padaku?! Kenapa?!” Ia berteriak. Tapi, pria yang menyandranya mengabaikannya.
Pria itu berjalan keluar ruangan dan mengunci pintu. “Siphal!”
***
Luna hampir tidak tidur. Ketika ia
baru saja terlelap, alarm ponselnya berbunyi. Mau tak mau ia membuka mata dan
bangun dari tidurnya. Ketika kembali tersadar seperti itu, kejadian semalam
otomatis terputar dalam ingatannya. Luna yang duduk di tepi ranjang memijat
keningnya. Kepalanya terasa pening. Kedua matanya terasa perih. Ia yakin kedua
matanya bengkak dan sembab sisa tangisannya semalam. Luna menghela napas dan
mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Selanjutnya ia bangkit dan bergerak
menuju kamar mandi.
Luna sudah mengenakan seragam ketika
ia menikmati sarapan sambil mengotak-atik ponselnya. Ia melihat postingan
Jihoon semalam yang ramai dibanjiri komentar pendukungnya. Karena menyebut nama
Daniel, Luna pun turut terseret dalam komentar. Seperti yang diduga Rania, ada
alibi jika peristiwa penyerangan itu ada hubungan dengannya. Komentar di
postingan Jihoon pun berisi pro dan kontra.
Luna mengunyah roti dalam mulutnya
dengan tenang. Ia beralih dari postingan Jihoon pada chat grup Squad Moon Kingdom. Sungwoon marah-marah
di sana. Pemuda itu mengatakan akan langsung membuat perhitungan hari ini.
Jisung, Seongwoo, dan Woojin menenangkan Sungwoon.
Jangan
gegabah. Tunggu sampai kita bertemu.
Luna mengirim pesan dalam grup chat Squad Moon Kingdom. Selesai dengan itu,
ia beralih mengecek pesan pribadi. Ada pesan dari Jihoon, Rania, Linda,
Seongwoo, Sungwoon, Woojin, Jisung. Rupanya anggota Squad Moon Kingdom tak puas hanya dengan mengobrol dalam grup.
Karenanya, mereka mengirim pesan pribadi padanya.
Luna tak mendapat balasan dari
Daerin. Padahal semalam ia langsung mengirim pesan, memberitahu teman
rahasianya itu perihal penyerangan yang dialami Daniel. Mendapati Daerin tak
kunjung membalas pesannya hingga pagi ini, Luna yang sempat merasa sedikit
tenang menjadi gundah.
Sebuah pesan masuk. Luna mengira itu
pesan balasan dalam grup Squad Moon
Kingdom. Tapi, sebuah pesan pribadi dari Bae Jinyoung. “Bae Jinyoung?” Ia
bergumam pelan dan segera membuka pesan itu.
Mengejutkan sekali. Aku membaca postingan Jihoon. Tapi, bukan itu
masalahnya. Ada hal yang ingin aku tunjukkan padamu. Bagaimana kita bisa
bertemu? Berdua saja. Sebenarnya aku sudah meninggalkan rumah, berharap pagi
ini bisa bertemu secara langsung denganmu.
Kedua mata bulat Luna terbelalak
setelah membaca pesan dari Jinyoung. Ia pun segera membalas pesan dengan
bertanya Jinyoung di mana. Setelah itu ia buru-buru menghabiskan sarapannya dan
merapikan meja makan.
***
Daniel mengetuk pintu rooftop. Itu yang ketiga kalinya. Namun,
tidak ada balasan. Ia beralih pada ponselnya, mencoba menelpon Luna.
Tersambung, tapi gadis itu tak kunjung menerima panggilannya. Semalam ia
memberi kesempatan Jihoon untuk menenangkan Luna. Pagi ini, ia berniat
mengambil bagian untuk berada berdua saja bersama Luna. Tak mengapa walau hanya
sebentar. Ia hanya ingin melihat Luna secara langsung. Kejadian semalam membuat
Luna syok. Ia berharap gadis itu baik-baik saja. Ia pun ingin mengatakan pada
Luna jika omma-nya baik-baik saja.
Semalam Luna mengirim pesan padanya,
bertanya apakah Tante—omma-nya—baik-baik
saja setelah melihatnya pulang dengan wajah babak belur seperti itu. Omma-nya memang sempat syok, tapi
setelah ia menjelaskan semua, omma-nya
pun bisa tenang. Namun, tak bisa berhenti mengutuk pelaku pengeroyokan putra
semata wayangnya. Daniel sengaja tak membalas pesan Luna. Karena, ia ingin
menyampaikan semua itu secara langsung pada Luna. Tapi, pagi ini ketika sampai
di rooftop, ia tak kunjung menemukan
Luna.
Daniel menurunkan ponsel dari
telinganya. Luna tak menjawab panggilannya. “Apa mungkin dia sudah pergi?
Sepagi ini?”
“Kau di sini?”
Daniel menoleh. Jihoon sudah berada
di ujung tangga teratas. “Eh! Iya. Tapi, sepertinya dia nggak ada.”
“Nggak ada? Bagaimana bisa?”
“Mungkin udah berangkat?”
Jihoon diam menatap Daniel.
“Aku sudah mengetuk berulang kali.
Tapi, tidak ada. Aku coba telpon, tersambung, tapi dia tidak menerimanya.” Daniel
yang merasa Jihoon tak mempercayainya pun memberi penjelasan.
“Ayo tanya pada Bibi pemilik rooftop.” Jihoon kembali menuruni
tangga.
Daniel memiringkan kepala. “Kenapa
nggak terpikirkan olehku?” Ia pun segera menyusul Jihoon.
Ibu Kecil—Bibi pemilik rooftop—membuka rooftop Luna dengan kunci cadangan yang ia miliki. Mendengar
penjelasan Daniel, ia khawatir terjadi sesuatu pada Luna. Daniel dan Jihoon
mengikuti Ibu Kecil.
“Aku sering masuk dengan cara ini
atas permintaan Luna. Kadang dia lupa mematikan air atau sejenisnya. Karena itu
dia menelpon dan minta tolong padaku untuk mematikannya.” Khawatir dikira
lancang, Ibu Kecil pun menjelaskan bagaimana ia bisa memiliki kunci cadangan.
“Sebenarnya kunci ini sudah
kuberikan padanya. Tapi, dia mengembalikannya lagi padaku.”
Setelah pintu terbuka, mereka masuk
bersama-sama. Tapi, rooftop kosong.
Ibu Kecil segera berkeliling untuk memeriksa. Ia memeriksa mug yang ada di
tempat cuci piring. Lalu, memeriksa benda lainnya di dapur.
“Masih hangat. Aku rasa dia baru
saja pergi. Mungkin karena ada urusan tertentu hingga harus berangkat
pagi-pagi?” Ibu Kecil menatap Daniel, lalu Jihoon.
“Terima kasih atas bantuannya.”
Jihoon membungkukkan badan. “Maaf merepotkan Bibi.”
“Tidak apa-apa. Tapi, ada apa dengan
wajah kalian?” Ibu Kecil baru menyadari wajah Daniel dan Jihoon yang dihiasi
luka dan memar.
“Anak laki-laki, bukankah biasa
seperti ini?” Daniel menjawab dengan hati-hati.
Ibu Kecil menghela napas dan
menggelengkan kepala. “Tolong temukan Luna. Dia tidak pernah begini. Biasanya
dia pamit pada Bibi kalau harus pergi ke suatu tempat sendiri.”
Saya akan mencarinya di sekolah. Kalau
begitu, saya pergi dulu.” Jihoon pamit.
“Bibi, saya berangkat ya. Terima
kasih.” Daniel ikut pamit dan menyusul Jihoon.
Jihoon berjalan cepat menuruni
tangga. Daniel menyusulnya. Saat tiba di tangga terbawah, Jihoon terus
berjalan. Baru Daniel sadari jika Jihoon tak di antar sopirnya.
“Kau mau ke mana?” Daniel yang
berhasil mensejajarkan langkah dengan Jihoon pun bertanya.
“Sekolah.” Jawab Jihoon singkat.
“Yakin Luna di sana?”
“Mungkin saja dia sengaja berangkat
pagi-pagi demi menghindari kejadian seperti saat itu. Kerumunan murid di
gerbang.”
“Dia tidak memberitahumu? Maksudku
jika memang dia punya rencana berangkat pagi-pagi demi menghindari hal itu.”
“Jika aku tahu, pasti aku sudah
bersamanya, kan?”
“Benar juga. Maafkan aku.” Daniel
diam. Turut berjalan dengan langkah lebar-lebar di samping kanan Jihoon. “Sekali
lagi, terima kasih untuk kemarin. Aku benar-benar tidak menyangka kau akan
melakukannya.”
Jihoon menghela napas. “Aku sendiri
tidak tahu kenapa aku melakukannya. Yang terpikirkan olehku hanyalah temanku
sedang dalam bahaya dan aku harus membantunya.”
Daniel menoleh, lalu tersenyum.
Semalam, bukanlah itu yang ia dengar sebagai alasan Jihoon membantunya. Tapi,
ia merasa senang Jihoon menganggapnya sebagai teman. Terlepas itu serius atau
tidak. “Gomawo.”
Jihoon tak menjawab, namun
langkahnya memelan. Ia menyipitkan mata ketika mengamati halte bus tempat Luna
biasa menunggu bus untuk berangkat ke sekolah. Ia melihat Luna di sana. Duduk
di halte. Namun tak sendiri. Ada pemuda yang berseragam sama dengannya yang
duduk menemani.
“Itu Luna, kan?” Jihoon bertanya
pada Daniel yang juga berhenti di sampingnya.
Daniel mengikuti arah pandangan
Jihoon. “Ah, iya itu Luna. Eh, dia sama siapa?”
“Bae Jinyoung Seonbaenim?”
“Eh, iya. Sepagi ini? Untuk apa?”
Jihoon bergegas menuju halte.
Lagi-lagi Daniel mengikutinya.
“Luna!” Sapa Jihoon saat sampai di
halte. Daniel berhenti di samping kanannya.
Luna dan Jinyoung kompak menoleh.
Keduanya tak tampak terkejut melihat kehadiran Jihoon dan Daniel.
“Syukurlah kalian sudah sampai. Jadi,
kita berangkat sama-sama.” Luna tersenyum manis. Menyambut kedatangan Jihoon
dan Daniel.
***
Saat bus berhenti dan Luna berserta
rombongannya turun, ada Linda di halte dekat sekolah. Sepertinya sengaja
menunggu Daniel. Daniel pun berjalan lebih dulu bersama Linda. Jinyoung pamit
untuk pergi lebih dulu. Hanya tersisa Luna dan Jihoon di halte.
“Kenapa? Malas masuk? Kau mau
membolos?” Jihoon bertanya pada Luna yang malah duduk di halte daripada
berjalan menyusul teman-temannya. Ia pun duduk di samping kanan Luna. “Kalau
mau pergi, kita pergi sama-sama. Aku sudah janji pada Bibi Pemilik Rooftop untuk menemukan dan menjagamu.”
“Kalian berlebihan sekali.” Luna
menyunggingkan senyum dan menggeleng pelan. Di dalam bus tadi, ia sudah mendengar
dari Daniel perihal menerobos rooftop-nya
bersama Ibu Kecil.
Jihoon turut tersenyum. Luna pagi
ini adalah Luna yang terlihat angkuh seperti tempo hari saat di sekolah. Bukan
Luna yang gemetaran karena ketakutan seperti semalam. Jihoon merasa lega. Gadis
itu berhasil menguasi emosinya.
“Menurutmu, apa Kang Daerin marah
padaku?”
“Marah? Kenapa?”
“Semalam aku memberitahunya tentang
insiden yang menimpa kalian. Tapi, dia tidak membalas pesanku.”
“Kamu yakin ini ulahnya?”
“Entahlah. Rasanya tidak mungkin
jika ia bertindak begini jauh. Jika iya, untuk apa?”
“Menghentikanmu, mungkin.”
“Kenapa Daniel?”
“Karena, mungkin terlalu sulit untuk
menyentuhku?”
“Atau, Daniel sebelumnya punya musuh
dan pernah mengalami hal semacam itu sebelumnya? Maksudku, ini bukan pertama
kali ia terlibat perkelahian.”
“Apa dia terlihat seperti bad boy yang gemar berkelahi?”
“Entahlah.” Luna mengangkat kepala.
Menatap kosong jalan raya di depannya yang mulai ramai kendaraan lalu lalang. “Bagaimanapun,
aku akan menangkapnya. Dengan cara apa pun!”
Jihoon meraih tangan kanan Luna dan
menggenggamnya. “Kita lakukan sama-sama. Karena itulah tujuan kita.”
Luna menoleh ke kanan. Ia bertemu
pandang dengan Jihoon. Ia pun mengamati bekas luka dan memar di wajah Jihoon. “Jika
begini, kenapa kau terlihat lebih tampan ya?”
Jihoon bergumam dan kedua matanya melebar
mendengar ungkapan Luna. “Kau ini memuji apa meledekku?”
Luna tersenyum. Senyuman lebar dan
manis.
Jihoon menghela napas. “Kenapa
pagi-pagi dan di tempat umum kau sudah menggodaku seperti ini? Kau ini! Aigo!” Jihoon mengalihkan pandangan.
“Luna!” Suara itu menyita perhatian
Luna dan Jihoon. Keduanya kompak menoleh ke arah kiri. Terlihat Sungwoon dengan
langkah lebar-lebar sedang berjalan mendekat.
“Syukurlah dia mau datang.” Luna
tersenyum menyambut kedatangan Sungwoon.
***
Hari Senin yang cukup tenang. Tidak
ada murid yang bekerumun di gerbang. Pun tidak ada siswi pendukung Jihoon
yang mencegatnya. Walau tetap ada kasak-kusuk itu, tak begitu menganggunya.
Hanya saja ia masih dibuat gusar pada Daerin yang tak kunjung membalas
pesannya. Teman rahasianya itu pun tak masuk sekolah hari ini. Luna sedang
duduk di bangku taman favoritnya. Sendirian. Sepasang mata bulatnya menangkap
sosok Taemin yang sedang berjalan bersama teman-temannya. Luna terus
memperhatikan kakak seniornya itu.
Pagi tadi, saat bertemu di halte,
Sungwoon memastikan jika Lee Taeyong ada di dalam rekaman CCTV yang ia simpan.
Menurut Sungwoon, Taeyong memang berulang kali terlihat masuk ke bagian
belakang layar OHP yang menutupi area loker. Tapi, tak sendiri. Tapi, jika
melihat video rekaman yang di tunjukan Jinyoung padanya, bisa jadi memang Lee
Taeyong lah pelaku yang menaruh surat ancaman di lokernya.
Taemin menghilang dari jangkaun
pandang Luna. Membuat gadis itu menghela napas pelan. Selanjutnya ia menemukan
Kim Jiyoon dan gengnya. Pemuda itu sempat melihatnya, tapi tak menghampirinya
seperti tempo hari. Padahal ia sedang sendirian. Biasanya Kim Jiyoon tidak akan
menyia-nyiakan momen seperti itu; menghampirinya ketika ia sedang sendirian.
Tak jauh dari taman, Rania berdiri
dan mengamati Luna yang sedang duduk sendirian di bangku favoritnya. Ia terus
memperhatikan gerak-gerik sahabatnya itu. Dalam hati, ia terus bertanya-tanya,
apa yang sebenarnya sedang direncanakan Luna.
“Kenapa nggak ke sana aja?” Jaehwan
yang menemani Rania pun bertanya.
“Kayaknya dia lagi pengen sendiri.”
“Apa benar tentang postingan Jihoon
itu?”
“Kan udah aku bilang aku di sana
semalem. Itu beneran. Tapi, nggak tahu siapa yang nyerang Daniel.”
“Kalau sampai main keroyokan kayak
gitu, sudah masuk masalah kriminal yang serius, kan? Tapi, masa iya ada
hubungannya dengan Luna?”
“Rumit. Jika itu Jihoon, aku rasa
iya. Tapi, Daniel bisa juga iya. Hanya saja aku nggak yakin 100%. Daniel memang
ada hubungannya sama Luna. Tapi, Daniel juga punya sisi kehidupan yang kita
nggak tahu, kan? Sedang Jihoon, secara nggak sengaja aja nemuin Daniel lagi
dikeroyok dan malah sok jadi jagoan bantuin Daniel dan berakhir babak belur
juga.”
“Trus, kamu mau sampai kapan di
sini? Aku udah laper nih.” Jaehwan mengusuk perutnya.
Rania menghela napas. “Ya udah. Ayo
kita ke kantin.” Ia menatap Luna sekilas, lalu pergi bersama Jaehwan.
Luna masih nyaman dalam
kesendiriannya. Ia terus memikirkan runtutan fakta yang ia temukan hingga pagi
tadi. Penjelasan Jihoon semalam tentang kronologi ia terlibat dalam perkelahian
Daniel, lalu video rekaman Jinyoung, dan fakta dari Sungwoon. Ia merasa ada
yang terlewat. Ia belum bertanya pada Daniel tentang detail kejadian sebelum
penyerangan. Menyadari hal itu, ia merasa terlalu gegabah menyimpulkan bahwa
insiden penyerangan pada Daniel ada hubungan dengannya.
Luna kembali sibuk dengan ponselnya.
Ia mengetik pesan pada Daniel. Meminta pemuda itu untuk bertemu dengannya
setelah jam pelajaran usai. Tak lama, Daniel membalas pesannya. Berjanji untuk
pulang bersamanya. Luna menghela napas pelan. Ia terkejut ketika menyadari Kim
Jiyoon sedang berdiri tak jauh dari tempatnya dan menatapnya dengan sinis. Luna
membalas tatapan itu dengan dingin. Ia bertahan di tempatnya. Tak ingin
beranjak sedikitpun demi menghindari Kim Jiyoon. Ia siap jika seniornya itu
akan mendekatinya.
***
Daniel dan Luna pulang bersama.
Mereka tidak langsung pulang. Ada sebuah cafe
yang letaknnya tak jauh dari komplek tempat tinggal mereka. Luna yang biasanya
lebih suka membicarakan sesuatu di tempat tinggalnya, kali ini memilih ngobrol
dengan Daniel di luar. Dalam situasi seperti ini, siapa saja bisa muncul
tiba-tiba di rooftop. Luna
menghindari situasi itu, karena ia ingin ngobrol tanpa terganggu dengan Daniel.
Luna memilih meja yang letaknya di
pojok dan jauh dari dinding kaca hingga keberadaan mereka tidak bisa di lihat
dari luar cafe. Ia duduk berhadapan
dengan Daniel. Ia menatap wajah Daniel yang juga dihiasi memar dan luka. Sama
seperti ketika memperhatikan Jihoon pagi tadi, ia merasa kasihan sekaligus
terpesona. Daniel yang wajah dihiasi memar dan luka itu terlihat lebih tampan
dan lebih manly.
Menyadari dirinya mulai tersihir,
Luna pun mengalihkan pandangan ke daftar menu yang diletakkan di atas meja.
“Kamu mau pesan apa?” Ia mulai membaca menu yang tersedia.
Daniel yang sebelumnya pun menatap
Luna dalam diam tersenyum. Sambil menghela napas, ia mengalihkan pandangan ke
daftar menu. “Apa ya?”
“Aku sedang malas dengan coklat.
Sesuatu berbau vanila sepertinya bisa memperbaiki mood.”
“Coklat dan vanila minuman
favoritmu?”
“Minuman favoritku air putih.
Minuman manis di tempatku hanya untuk teman yang datang berkunjung.”
“Rooftop-mu
selalu mendapat kunjungan?”
“Yang rutin sih Edward sama Amber.
Belakangan aja makin ramai.”
“Kau suka?”
“Ada kalanya benar menyukainya.
Wajar, kan?”
Daniel tersenyum dan mengangguk. “Kalau
aku suka apa saja. Asal jangan seafood.
Aku ada alergi seafood.”
“Untungnya ini bukan restoran seafood.”
Daniel tersenyum. Ia sudah
menentukan pilihan. “Kau yang traktir, kan?” Ia menggoda Luna.
“Iya. Kan aku yang ngajak kamu
keluar.”
“Tradisi di Indonesia begitu?”
“Umumnya begitu.”
“Kalau kali ini aku yang traktir,
kamu bakal nolak apa nggak?”
“Nolak! Ntar aja kamu traktir aku.
Kalau misi dance kita sukses.”
“Eh? Misi dance?”
Luna mengangkat tangan kanannya,
memanggil pelayan cafe. Setelah
pelayan mendekat, ia pun menyebut pesanannya, diikuti oleh Daniel. Pelayan cafe pergi setelah mencatat pesanan Luna
dan Daniel.
Daniel hendak melanjutkan
pertanyaannya tentang misi dance, tapi
Luna lebih dulu bertanya, “Kemarin, bagaimana bisa terjadi?”
Daniel mengatupkan mulutnya yang
terbuka namun gagal berbicara. Ia menelan ludah, menatap Luna yang memberinya
tatapan serius.
“Aku hanya penasaran, sekaligus
khawatir. Khawatir peristiwa itu ada hubungannya denganku.”
“Bagaimana bisa kau berpikir
begitu?”
“Memangnya, sebelumnya kau punya
musuh? Atau sering terlibat perkelahian seperti itu?”
Daniel diam sejenak. “Kau sendiri,
siapa musuhmu?”
“Banyak.” Luna menyandarkan punggung
pada punggung kursi. “Jika benar ada hubungannya denganku, aku pikir bisa
berguna untuk menjadi umpan. Jujur aku sudah lelah dan ingin mengakhiri
semuanya. Tapi, sulit sekali menangkapnya.”
Lagi-lagi Daniel diam sambil menatap
Luna. Ia menghela napas. “Kalau boleh tahu, targetmu siapa?”
Luna menyipitkan mata. “Daerin.”
Mata sipit Daniel terbelalak.
“Apakah Daerin menghubungimu?”
Daniel semakin bingung.
“Semalam, aku memberitahunya tentang
insiden yang menimpamu. Tapi, dia belum membalas pesanku. Sampai sekarang.
Bahkan, hari ini dia tidak masuk sekolah. Apa dia menghubungimu?”
Daniel menghela napas pelan. “Sepertinya
Noona hanya sedikit sibuk. Iya, dia
menghubungiku. Dia menghubungiku lewat video
call semalam. Omma juga ikutan ngobrol.”
“Oya, gimana Tante? Nggak syok liat
kamu pulang dengan muka babak belur begitu? Ah, pasti syok ya.”
Pelayan datang. Mengantarkan pesanan
Luna dan Daniel. Setelah meletakkan semua pesanan di meja, pelayan itu pun
pamit.
“Tentu saja Omma syok. Aku bisa menenangkannya, tapi Omma terus mengutuk para pelaku.” Daniel menjawab pertanyaan Luna
setelah sempat terjeda oleh pelayan yang mengantar pesanan. “Omma berterima kasih karena kau
merawatku.”
“Bukan aku! Tapi, Linda.”
“Iya. Aku bilang kalian bertiga. Aku
sudah menyampaikan terima kasih dari Omma
untuk Linda. Tolong sampaikan untuk Rania ya.”
“Sampaikan saja sendiri.” Luna
mengaduk-aduk milkshake vanila di
hadapannya, lalu menyeruputnya.
Daniel tersenyum melihat tingkah
Luna. Ia turut mengaduk milkshake
vanila di hadapannya. Ia sengaja memilih minuman yang sama dengan Luna. “Jika
kemarin nggak ada Linda, siapa yang akan kamu tolong lebih dulu?”
Kedua mata bulat Luna yang sedang
serius menyedot milkshake-nya beralih
menatap Daniel.
“Aku hanya penasaran.” Daniel
tersenyum canggung.
Luna menegakkan punggungnya.
Mengakhiri ritual menikmati milkshake.
“Yang kondisinya lebih parah.”
Daniel tidak bisa menahan dirinya
untuk tidak tersenyum. Kemarin kondisinya lah yang lebih parah dibanding
Jihoon. Ia paham kenapa Luna menyerahkan kotak obat pada Linda lebih dahulu
setelah Linda membersihkan luka-lukanya.
“Kenapa tersenyum? Harusnya memang
begitu kan?”
Daniel menopang dagu dengan kedua
tangan dan menatap Luna selama beberapa detik. “Iya. Seharusnya memang begitu. Gomawo.” Lagi-lagi dia tersenyum.
“Lalu, mereka siapa? Kau kenal? Setelah
mencegatmu, masa iya mereka langsung nyeret kamu ke gang dan menghajarmu?”
Senyum di wajah Daniel sirna ketika
ia kembali mendengar pertanyaan tentang peristiwa pengeroyokan yang di alaminya
kemarin. “Kamu penasaran ya?”
“Itu penting! Detailnya!” Luna
dengan nada suara agak meninggi.
Daniel terkejut karena sikap Luna.
Tiba-tiba ia kembali teringat seringaian Luna yang beberapa kali ia lihat.
Gadis itu memang bisa berubah secara tiba-tiba. “Kejadiannya memang seperti
yang aku katakan kemarin.”
“Mereka tidak mengancammu? Misalnya,
jangan dekati Luna lagi. Seperti itu.”
“Kenapa kau yakin sekali kalau mereka
ada hubungannya denganmu?” Daniel mulai merasa terusik. Nada bicaranya tak
terdengar santai.
“Tidak yakin. Aku hanya menduganya.
Karenanya aku membutuhkan pembenaran.”
Daniel mulai kesal. Luna yang sedang
diliputi rasa penasaran itu sangat menyebalkan. Ia tak menyukai tatapan dingin
itu.
“Jika kau mau menjelaskan detailnya,
aku akan mendapat jawaban. Apakah dugaanku benar atau salah.”
Daniel menatap Luna dalam diam. Luna
yang seperti sekarang ini adalah sosok Luna yang tidak ia sukai.
***
“Mana Mbak Luna?” Linda menyambut
Rania yang berjalan ke arahnya yang sedang duduk di bangku favorit Luna di
taman.
“Dia nggak bisa ikutan.” Rania
sembari duduk di seberang meja. Berhadapan dengan Linda. “Ada urusan mendadak
katanya.”
“Pasti soal kemarin ya? Maaf banget
nih ya Mbak. Kok aku nggak suka ya sama apa yang dilakuin Jihoon? Itu postingan
dia semalem. Kesannya caper banget gitu.”
Rania tersenyum menanggapi ungkapan
jujur Linda. “Drama banget ya?”
“He’em. Aku kadang juga mikir, Mbak
Luna kenapa hidupnya drama banget gitu. Dia sendiri yang bikin susah, kan?”
“Kucing mah gitu. Jalan pikirannya
sulit dipahami.”
“Oya, mamanya Daniel terima kasih ke
kita karena udah nolongin dia semalem. Tadi Daniel cerita ke aku.”
“Loe doang kan yang rawat dia. Gue
nggak ngapa-ngapain.”
“Mbak Rania bantu juga. Eh, Mbak,
reaksi Minhyun gimana? Soal Jihoon?”
Jantung Rania seolah copot dan
terjun bebas ke tanah ketika Linda bertanya tentang Minhyun. “Min-Minhyun?”
“He’em.” Linda mengangguk mantab. “Nggak
mungkin kan dia nggak tahu soal ribut-ribut yang dikaitkan dengan Mbak Luna?”
Rania terdiam sejenak. Tadi, Minhyun
bersikap sangat normal. Sama sekali tak menyinggung tentang Jihoon atau Luna. “Biasa
aja dia. Jaehwan yang nggak hentinya bahas tentang insiden itu. Sok wawancara
ke gue gitu deh. Keponya kebangetan.”
“Mbak Rania nggak merasa terbebani
gitu? Setelah ketahuan kalau mbak sohib kentalnya Mbak Luna.”
“Beban pasti ada lah. Apalagi gue
anak baru. Loe sendiri gimana?”
“Kadang sebel juga.”
Rania tersenyum manis. “Nggak papa.
Itu manusiawi kok. Hanya karena kamu juga dari Indonesia, jadi kamu kena
imbasnya.”
“Gitu deh.”
Linda dan Rania sama-sama terdiam.
Hanya desiran angin dan suara daun bergesekan yang terdengar di sekitar mereka.
“Karena loe juga masih baru di
sekolah ini, loe pasti nggak punya kecurigaan tentang siapa musuh Kucing
sebenernya ya.” Rania memulai obrolan.
Linda mengangguk dan bergumam,
“He’em.”
Rania menghela napas panjang. “Gue
cuman berharap masalahnya cepet kelar. Kucing sampai nekat pura-pura pacaran
sama Jihoon, itu artinya masalahnya serius.”
“Apa??” Linda memekik lumayan keras.
“Pura-pura?”
Rania menghela napas dan menepuk
keningnya. Ia lupa jika Linda tidak tahu perihal status Jihoon dan Luna. Ia
keceplosan.
“Maksud Mbak Rania apa?” Linda
penasaran.
Rania menghela napas panjang. “Sorry, gue keceplosan. Tolong rahasiain
ini ya.”
“Untung kita ngobrol pakek Bahasa
Indonesia. Kalau nggak kan gawat. Itu maksudnya apa? Pura-pura? Gimana sih? Kok
aku nggak mudeng.”
“Kalau gue ceritain, loe mau jaga
rahasia ini?”
“Nggak ada untungnya juga buatku
nyebarin aib orang.”
Rania kembali menghela napas
panjang. Ia pun akhirnya menceritakan tentang Jihoon dan Luna, juga Daniel.
Menyimak penjelasan Rania yang
mendetail, Linda jadi paham kenapa Daniel bertahan di sisi Luna. Karena Daniel
tahu hubungan Jihoon dan Luna adalah palsu. Wajar jika pemuda itu merasa
percaya diri, merasa memiliki kesempatan untuk bisa mendapatkan Luna. Ia merasa
kasihan dan sakit. Harapan Daniel pada Luna, sama dengan harapannya pada
Daniel. Walau ada kesempatan, tetap saja seolah nihil untuk bisa mendapatkan.
“Kucing sampai bikin skenario
panjang kayak gitu, pasti masalahnya serius. Gue yakin itu.” Rania mengakhiri
penjelasannya.
“Aku nggak tahu harus ngomong apa.” Linda
kehabisan kata-kata.
“Gue berharap segera kelar aja
masalahnya. Biar Kucing bisa hidup tenang. Bukannya gue belain dia, tapi dapat
nilai baik kan bukan sebuah kesalahan. Wajar kalau dia jadi terkenal, karena
dia murid asing. Asal Indonesia pula. You
know lah gimana jeleknya Indonesia di mata dunia.”
Linda menganggukkan kepala.
“Please,
jaga rahasia ini ya.” Rania memohon.
“Kan udah aku bilang nggak ada
untungnya buatku sebarin aib orang. Pantesan Daniel kayak nggak ngerasa bersalah
deket-deket Mbak Luna.”
“Kalau loe penasaran apa Kucing
punya feeling ke Daniel, sorry gue nggak tahu. Gue sih pengennya
dia sama Sungwoon aja. Nggak tau kenapa, dari awal liat mereka, aku jadi pengen
jodohin mereka.”
“Lha Sungwoon Seonbae apa punya feeling
ke Mbak Luna?”
“Kayaknya sih punya.”
“Rumit banget. Harusnya Mbak Luna
seneng dong ya ditaksir cowok cakep. Trus, Jihoon suka beneran ke Mbak Luna?
Kayaknya sih iya ya. Tapi, pas kami main bareng ke taman hiburan, Mbak Luna
juga enjoy banget sama Daniel.”
“Kucing gitu seringnya. Baik ke
siapa aja. Makanya nggak heran kalau pada kegeeran. Pulang aja yuk?”
“Oke.” Linda setuju.
Rania dan Linda berjalan bersama
meninggalkan taman. Sepanjang perjalanan menuju gerbang, Linda masih mengungkap
rasa tak percaya mengetahui kebenaran tentang Luna dan Jihoon.
***
Luna tiba di rooftop-nya. Saat ia memasukkan kunci ke lubang kunci, tidak bisa
masuk. Pintu terkunci dari dalam. Luna terkejut mengetahui hal itu. Kemudian ia
teringat penjelasan Jihoon jika pagi tadi Ibu Kecil masuk demi mengecek
kondisinya. Karena tadi ia tak langsung pulang, ia berasumsi jika Ibu Kecil
khawatir dan menunggunya di dalam. Dalam situasi seperti ini, ia menyesal telah
menyerahkan duplikat kunci pada Ibu Kecil.
Setelah menghela napas panjang, Luna
pun mengetuk pintu. “Ibu Kecil, ini aku.” Ujarnya sembari mengetuk pintu. “Ibu
Kecil! Ini aku!” Ia tersenyum dan menggelengkan kepala. Merasa lucu karena menyadari
dirinya terkunci di tempat tinggalnya sendiri.
Luna menghela napas. Ia sudah lelah,
tetapi ketika sampai di tempat tinggalnya, ia malah terkunci seperti ini. “Ibu
Kecil!” Ia mengetuk pintu lebih keras. Ia menduga Ibu Kecil mungkin saja
ketiduran di dalam.
Terdengar kunci yang di putar. Luna
menghela napas lega. Akhirnya ia bisa masuk dan segera beristirahat. Kedua mata
bulat Luna melebar ketika pintu terbuka. Bukan Ibu Kecil yang muncul dari balik
pintu, tapi Dinar, kakak keduanya. “Mas Dinar?!! Ngapain Mas di sini??”
Dinar yang sepertinya baru membuka
mata itu pun tersenyum. Menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi.
Dinar duduk di sofa. Kedua mata
elangnya memperhatikan setiap gerak-gerik Luna. Sama seperti Luna, walau Dinar
orang Jawa asli, ia memiliki kulit kuning langsat cenderung pucat yang bersih.
Wajahnya pun ada khas wajah oriental. Kedua matanya lebih sipit dari mata Luna.
Tapi, ia memiliki hidung yang mancung dan bibir penuh. Wajahnya yang tegas
mendukung kelakuannya yang sedikit nakal.
“Kita makan di luar yuk! Laper nih!”
Dinar berusaha mencairkan suasana. Sejak masuk ke dalam rooftop, adik bungsunya itu sama sekali tak bersuara.
“Aku udah makan. Tadi sebelum
pulang.” Luna masih sibuk di dapur.
“Yah... aku gimana dong?”
“Salah sendiri dateng nggak kasih
kabar!”
“Kamu ada apa gitu di kulkas yang
bisa abang makan.”
“Cih! Abang!” Luna mencibir. “Aku
bikinin telur dadar mau?”
“Jauh-jauh ke Korea, nemunya telur
dadar.”
“Ya udah. Aku bikinin omelet.”
“Apa bedanya telur dadar sama
omelet? Sama aja, kan?”
“Beda! Telur dadar telur diaduk
digoreng gitu aja. Kalau omelet, dikasih sayur.”
“Sak
karepmu wes! Terserah kamu, yang penting makan.”
Suasana kembali tanpa obrolan. Luna
larut dalam kesibukan di dapur untuk membuat omelet. Dinar menyibukkan diri
dengan ponselnya.
Setelah bunyi ribut di dapur dari
alat-alat masak yang digunakan Luna, sepiring omelet panas tersaji di meja
ruang tamu. Lengkap dengan nasi panas dari dalam magic com. Luna menjamu kakak keduanya dengan menu seadanya.
“Akhirnya bisa ngrasain masakan kamu
lagi, Dek.” Dinar antusias melihat menu yang tersaji di meja untuknya. Ia
bersemangat mengambil nasi dari dalam magic
com.
Melihat antusiasme Dinar, ada rasa
hangat menjalari Luna. Ia tersenyum karena bahagia, sekaligus sedih. “Kok
dateng nggak bilang-bilang?”
“Kata Mas Aro, ada yang butuh
bantuan. Dia bilang, aku apa kamu yang pergi. Aku bilang, aku aja.”
Luna mengerutkan kening. “Mas nggak
ada kerjaan apa? Bukannya ada proyek sinetron ya?”
“Jalan ceritanya nggak asik. Jadi,
aku tolak. Lagian kejar tayang, capeknya nggak ketulungan ntar. Band juga lagi
vakum. Tapi, mas bakalan dapat proyek film lho! Mas suka jalan ceritanya,
makanya mas terima.”
“Wah! Selamat ya! Trus, ngapain
malah ke sini? Bukan sibuk persiapan buat filmnya?”
“Masih ada waktu luang. Lagian kalau
Mas Aro yang ke sini, nggak yakin bakalan bisa bantu kamu.” Dinar mengoceh
sembari makan dengan lahap.
“Aku baik-baik aja kok. Emang Mas
Aro bilang apa?”
“Firasatnya nggak baik aja tentang
kamu.”
“Bunda tahu?”
“Nggak lah. Tapi, yang namanya ibu
pasti ada feeling nggak enak.”
“Trus, alasan mas ke sini apa? Waktu
pamit ke Bunda.”
“Kangen kamu.”
Luna bergeming. Kakak keduanya itu
memang sangat menyayanginya. Tapi, untuk menungkapkan rasa sayang atau rasa
kangennya, sama sekali tidak pernah ia lakukan di depannya seperti saat ini. Rasa
haru kembali memenuhi ruang di dadanya.
“Itu cuman alesan. Jadi, jangan
geer!” Dinar menegaskan.
Luna tersenyum mendengarnya.
“Pacarmu sama selingkuhanmu udah
pernah rasain telur dadar bikinanmu nggak?” Dinar tiba-tiba merubah topik.
“Pacar, selingkuhan! Mas Dinar
ngaco!”
“Bisa juga kamu ya gaet aktor. Siapa
namanya, Park Jihoon ya? Kata Mas Aro, dia baik sih. Tapi, kadang labil. Suka
caper.”
“Wajar, kan? Artis!”
“Tapi, kamu suka.”
“Belum sih.”
“Trus, kok mau diajak jalan?”
“Aku yang ngajak dia jalan!”
“Eh? Kamu nembak dia duluan?” Dinar
melotot. Merasa salah dengar atas pengakuan Luna. “Nggak papa sih. Kaget aja
dengernya. Nggak nyangka adekku yang pendiem ini nembak cowok duluan. Trus,
selingkuhanmu itu? Siapa namanya, Kang Daniel ya?”
“Dia temen satu komplek sini, Mas.
Bukan selingkuhan!”
“Temen tapi mesra? Di keluarga kita
nggak ada yang playboy lho!”
“Na
sampeyan apa, Mas? Ceweknya banyak gitu.”
“Mereka yang dateng kok. Kan sayang
kalau ditolak!”
Luna mengerucutkan bibirnya. Membuat
Dinar tertawa.
“Masalah sebenarnya apa?” Dinar
kembali serius.
“Rumit.”
“Trus, sampai mana perkembangannya?”
“Aku nggak tahu umpanku tepat
sasaran apa nggak.”
“Kali ini, siapa yang kamu bantu?”
“Diriku sendiri.”
“Udah jelas targetmu siapa?”
“Kenapa emang? Mau Mas samperin kayak
waktu SD dulu? Trus Mas hajar gitu?”
Luna teringat kenangan semasa ia SD.
Ada teman sekelasnya yang gemar menindas murid lain. Luna tak pernah berurusan
dengan murid nakal itu. Tapi, ketika guru kesayangannya dibuat menangis oleh
murid nakal itu, ia tak bisa terima. Ia maju demi membeli Bu Guru
kesayangannya. Karena itu, ia terlibat cek-cok dengan murid nakal di kelasnya
dan hampir mendapat pukulan dari murid nakal itu.
Bukannya menghindar, Luna malah
menantang murid nakal itu untuk memukulnya. Ia marah dan mematahkan
penggarisnya. Lalu, ia maju ke depan kelas dan meminta maaf pada Bu Guru
kesayangannya itu. Melihat bagaimana Luna membelanya, guru cantik itu memeluk
Luna. Keduanya menangis bersama. Seluruh siswi di kelas Luna turut menangis.
Insiden di kelas VI-A itu pun
diketahui kepala sekolah dan menjadi ramai dibicarakan di seluruh sekolah. Luna
menjadi pahlawan dan murid nakal dihukum atas tindakannya yang tidak sopan pada
guru yang masih muda itu. Kesal mendapat hukuman, murid itu mulai mengintimidasi
Luna. Luna pun tak gentar. Ia memiliki Rania, Santi, Cheryl, dan Firna. Santi
yang paling banyak membantunya saat itu. Sedang Rania, Cheryl, dan Firna tidak
berani maju langsung.
Kesal karena melihat Luna selalu
diintimidasi, Rania mengadu pada Aro dan Dinar saat berkunjung ke rumah Luna.
Dinar yang arogan tidak tinggal diam. Hari berikutnya ia sengaja pergi ke
sekolah dan menemui murid nakal yang mengganggu Luna saat jam pulang. Dinar
menyentil telinga si murid nakal berulang-ulang sambil mengatakan untuk tidak
mengganggu Luna lagi. Dinar mengancam akan menghajar murid nakal itu jika tetap
mengganggu Luna. Setelah kejadian itu, murid nakal itu tak berani mengganggu
Luna lagi.
“Kalau emang perlu, why not?” Jawab Dinar santai.
“Nggak usah. Sampeyan publik figur,
Mas. Nggak usah rusak image dengan
datang ke sekolahku dan hajar anak orang. Sekarang netizen lebih mengerikan
dari wartawan.”
“Khawatir juga kamu sama masmu?”
“Iya lah.”
“Trus, kenapa berulah? Harusnya,
kalau khawatir sama keluarga di Indonesia, nggak usah berulah.”
Luna terkejut. Kemudian menundukkan
kepala. Ia tahu tindakannya pasti membuat keluarganya di Indonesia khawatir.
“Buat diri kamu sendiri, kan? Nggak
papa sih. Membela diri kalau nggak salah itu memang perlu. Untung aja Bunda
nggak punya IG. Kalau punya dan follow
akun kamu kan bahaya. Belum lagi kalau follow
akun Park Jihoon. Makin bahaya. Untung juga, Santi, Cheryl, Firna nggak pernah
kasih tahu Bunda tentang semua itu. Kamu harus bersyukur punya orang-orang baik
di sekitarmu.”
Luna diam. Baginya, tak ada gunanya
mendebat Dinar. Karena, semua yang diucapkan kakak keduanya itu memang benar.
“Cue juga nggak cerita apa-apa
tentang kamu. Tumben banget itu ikan teri adem ayem.”
“Cue bukan ikan teri!”
“Masih sempet debat soal ikan ini
anak!”
“Kan emang beda!”
Dinar berdecak. Suasana kembali
tanpa suara. “Aku ke sini buat bantuin kamu. Jadi, aku nggak akan pergi sebelum
masalahmu beres.”
Luna menatap Dinar dalam diam selama
beberapa detik. “Emang Mas tau masalah aku sebenarnya apa?”
“Nggak tau-tau banget. Tapi, kamu
nggak perlu khawatir. Masalah pengeroyokan kemarin itu, nggak ada hubungannya
sama kamu.”
Kening Luna berkerut. “Bagaimana Mas
bisa tahu?”
“Tahu dong! Masmu ini kan punya profesi
sampingan jadi deteketif!” Dinar membusungkan dada.
Kening Luna berkerut semakin dalam.
Ia penasaran, bagaimana Dinar bisa seyakin itu tentang insiden yang di alami
Daniel kemarin tidak ada hubungan dengannya. Ia kembali memperhatikan Dinar
yang sibuk merapikan peralatan makan. Pemuda itu mengusung piring kotor ke
dapur. Luna kembali menunduk. Larut dalam debat di dalam otaknya tentang
pernyataan Dinar.
***
Selesai makan malam, Dinar pamit
keluar sebentar. Luna tak bertanya banyak. Ia tahu kakak keduanya itu punya
banyak teman di Korea. Teman dalam Klub Anak Rantau, teman yang didapat semasa
menjalani trainee, juga teman
nongkrong. Luna menduga Dinar akan bertemu salah satu dari teman-temannya itu.
Ia tak mau peduli. Tapi, ia tidak bisa menepis rasa penasarannya tentang
pengakuan Dinar.
Luna membaringkan tubuhnya di kasur.
Kedua matanya menerawang langit-langit kamar. Fakta-fakta yang ia terima hari
ini berputar-putar dalam otakknya. Ia berusaha memikirkannya, mencari benang
merah dari semua fakta itu. Tiba-tiba ia merasa lelah hanya dengan diam
berbaring dan melamun seperti itu. Kepalanya seolah akan meledak.
Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan
masuk. Nama Queen muncul di layar
ponselnya. Daerin menelponnya. Luna tak mengabaikannya. Ia segera menerima
panggilan itu. Begitu tersambung, Daerin langsung meminta maaf. Ia sangat sibuk
hingga tak sempat membalas pesan yang dikirim Luna. Ia mengaku terkejut saat
membaca pesan itu. Ia juga mengatakan jika ia sempat menghubungi Daniel usai
menerima pesan Luna. Mendengar Daerin mengoceh, Luna tersenyum. Ia lega mendengar
semua penjelasan Daerin. Ia lega Daerin benar-benar sibuk, hingga tak bisa
menghubunginya.
Lalu, apa yang kau temukan hari ini? Tanya Daerin setelah mengoceh panjang lebar menjelaskan
kondisinya.
“Banyak. Banyak hal mengejutkan. Aku
sudah menjelaskan sebagian di pesan, kan?”
Mengejutkan sekali. Video dari Bae Jinyoung itu. Trus, siapa
aja yang tahu?
“Aku, kamu, dan Woojin.”
Lainnya?
“Belum.”
Trus, rencanamu apa?
“Belum tahu.”
Yakin Taemin Seonbae terlibat?
“Entahlah.”
Percakapan terjeda selama beberapa detik.
“Daerin-aa.” Luna gantian memulai
obrolan.
Iya? Eh, tumben panggil namaku? Bukan Queen?
“Oppa-ku
ada di sini.”
Mwo??
“Iya. Oppa-ku yang kedua ada di sini.”
Dinar Oppa? Dinar Oppa ada di sini?
“Iya. Eh? Daerin?? Daerin??” Luna
menurunkan ponsel dari telinga kanannya. Sambungan terputus.
Luna menghela napas panjang dan
meletakkan ponselnya. Ia merasa kelelahan. Karenanya, ia mulai mengantuk. Tak
menolak keinginan itu, Luna pun memejamkan mata. Ia hanya ingin tidur. Sejenak
melupakan semua pemikiran yang membuatnya penat. Perlahan, ia pun terlelap.
***
0 comments